- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#413
Jilid 12 [Part 290]
Spoiler for :
WANAMERTA, Bantaran dan Penjawi pun terkejut melihat Mahesa Jenar meloncat turun dari kudanya dan kemudian menghilang. Tetapi mereka tidak sempat bertanya ketika kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata,
Sebelum mereka menjawab, jarak mereka dengan orang-orang yang berdiri di tengah jalan itu sudah demikian dekatnya sehingga mereka terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka. Namun mereka masih tetap berada di atasnya. Sesaat kemudian salah seorang yang berdiri di tengah, bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju sambil berkata dengan suara yang menakutkan,
Sampai pertanyaan itu, Kebo Kanigara merasa bahwa orang yang berdiri menghadangnya itu ingin memperpanjang waktu dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Karena itu ia segera mencoba mempersingkat pembicaraan.
Sekarang ia dapat mengukur kekuatan lawannya, sebab ia telah mendengar kekuatan hantu Alas Mentaok ini.
Tetapi agaknya Lawa Ijo masih saja ingin bertanya-tanya. Apalagi ketika ia tidak melihat Mahesa Jenar diantara orang-orang rombongan berkuda itu.
Kanigara sudah tidak mau melayani pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan itu lagi. Ia ingin cepat-cepat lewat dan menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami sesuatu. Karena itu Kanigara berkata lantang,
Lawa Ijo adalah seorang kepala gerombolan yang ditakuti oleh penduduk di sekitar Alas Mentaok. Bahkan namanya tersiar sampai ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu ketika ia mendengar seorang yang takut terinjak seakan-akan menganggapnya tidak lebih dari seorang yang takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi marah. Apalagi orang yang duduk di atas punggung kuda dan memandangnya dengan berani itu bukanlah orang yang pernah menggemparkan karena kesaktiannya. Kalau semula ia agak cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui tingkat ilmu Arya Salaka, muridnya, maka kemudian ia menjadi berlega hati ketika Mahesa Jenar tidak ada di dalam rombongan itu. Meskipun ia mulai bertanya, ketika diketahuinya bahwa seekor kuda dari rombongan itu ternyata tidak berpenumpang.
Maka dengan marah ia menjawab dengan kasarnya,
Kanigara semakin tidak senang melihat sikap itu. Sebenarnya ia tidak perlu marah kepada Lawa Ijo, sebab ia tahu benar bahwa demikianlah sifat-sifat yang pada umumnya dimiliki oleh orang-orang dari kalangan hitam.
Tetapi kali ini Kanigara tergesa-gesa benar. Karena itu ia merasa terganggu. Sehingga dengan tajamnya ia menjawab,
Dada Lawa Ijo berdesir mendengar kata Kebo Kanigara yang menebak dengan tepat apa yang sedang terjadi. Karena itu ia merasa tidak perlu untuk memutar-mutar pembicaraan lagi, bahkan ia mengharap agar orang yang menamakan diri Karangjati itu menjadi gelisah dan kecemasan. Katanya,
Kanigara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak yakin bahwa kata-kata Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi. Sebab dengan demikian tidak perlu agaknya bagi Lawa Ijo untuk mencegatnya di perjalanan, meskipun tinggal beberapa langkah dari perkemahan. Kalau apa yang dikatakan Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi, maka pasti Lawa Ijo akan membiarkan mereka itu sampai di perkemahan dan membunuhnya di sana pula, atau sama sekali membiarkan hidup apabila mereka merasa tidak mampu untuk melawan.
Sekali lagi dada Lawa Ijo berdesir cepat. Orang itu benar-benar berotak cerah seperti apa yang dikatakan. Namun demikian ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang sukar dicari bandingannya.
Dengan demikian sambil membusungkan dada ia berkata,
Kanigara tidak membuang waktu lagi. Tanpa diduga oleh Lawa Ijo, Kanigara menarik kekang kudanya dan memukul perut kuda itu dengan tumitnya. Dengan terkejut kudanya meloncat maju. Melihat kuda itu seperti akan menerkamnya, Lawa Ijo pun terkejut. Namun ia benar-benar tidak mau terinjak oleh kaki kuda itu. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya sambil meloncat ke samping. Dengan mengumpat sejadi-jadinya ia menerjang Kebo Kanigara.
Ternyata Kebo Kanigara memiliki kelincahan jauh di luar dugaan Lawa Ijo. Ketika ia menerjang dengan garangnya, tiba-tiba terasa pergelangan tangannya tertangkap dengan kuatnya. Bahkan beberapa saat ia tergantung-gantung dibawa oleh derap kuda Kebo Kanigara untuk kemudian terbanting dengan kerasnya di padas tepi jalan itu. Untunglah bahwa tubuh Lawa Ijo benar-benar keras seperti batu.
Meskipun sakitnya bukan main, namun ia masih dapat meloncat untuk kemudian berdiri. Ketika ia sudah tegak berdiri, ia melihat anak buahnya mencoba untuk menyerang Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Tetapi apakah yang dapat mereka lakukan, hanyalah seperti sebuah permainan anak-anak yang sama sekali tidak menarik. Lawa Ijo melihat, kuda Kebo Kanigara membalik sekali, dan menyambar beberapa orang sekaligus. Sedang Bantaran, Penjawi dan Wanamertapun telah melawan penyerang-penyerangnya dari atas kuda mereka. Tetapi yang paling mengerikan adalah gerak kuda Kebo Kanigara. Seperti seekor elang yang gagah melayang-layang dengan derasnya menyambar mangsanya.
Lawa Ijo benar-benar ngeri melihatnya.
Tetapi ia tidak mau berdiam diri. Dengan sebuah teriakan nyaring melontarlah dari kedua belah tangannya, dua benda yang berkilat-kilat seperti tatit melayang ke arah Kebo Kanigara. Demikian cepatnya kedua pisau belati panjang itu, sehingga kecepatan mata hampir tak mampu mengikutinya.
Demikianlah Lawa Ijo memang memiliki keahlian untuk menyerang dengan pisau dari jarak jauh. Tetapi sasaran Lawa Ijo kali ini adalah Kebo Kanigara. Karena itu meskipun pisau Lawa Ijo itu dengan cepatnya menyambar satu kearah kepalanya, sedang yang lain ke arah perutnya, namun Kanigara masih juga mampu menghindari. Mula-mula ia membungkuk lekat dengan punggung kudanya, kemudian untuk menghindari sambaran pisau yang mengarah keperutnya, ia memutar tubuhnya melekat ke bagian sisi punggung kuda itu, sehingga dengan demikian pisau Lawa Ijo berlari tidak lebih dari secengkang di atasnya.
Kali ini dada Lawa Ijo benar-benar seperti diguncang-guncang melihat keterampilan Kebo Kanigara.
Tidak saja kekuatannya yang maha besar, yang telah dirasakannya pada saat pergelangannya ditangkap. Namun ternyata orang itu ahli pula mengendarakan kuda. Karena itu, ia merasa bahwa usahanya menghalang-halangi orang itu pasti akan sia-sia. Tetapi dengan demikian setidak-tidaknya ia sudah berhasil memperpanjang waktu, meskipun hanya sebentar. Karena itu ketika ia melihat kuda Kebo Kanigara itu sekali lagi berputar ke arahnya, cepat-cepat ia meloncat ke dalam gerumbul di tepi jalan dengan suatu suitan nyaring. Bersamaan dengan itu anak buahnya pun segera berloncatan meninggalkan gelanggang seperti anak ayam yang bersembunyi melihat di udara ada seekor elang.
Kebo Kanigara tidak mau membuang waktu lagi. Cepat-cepat ia memutar kudanya, dan dengan cepat pula ia mengajak kawan-kawannya menuju ke perkemahan.
Setelah itu, maka kembali mereka berpacu. Meskipun jarak lurus ke perkemahan itu tidak jauh lagi, namun mereka terpaksa melingkar-lingkar menuruti jalan yang dapat mereka tempuh dengan kuda-kuda mereka. Kembali terdengar deru kaki kuda memenuhi lembah, memukul-mukul lambung bukit untuk kemudian dilontarkan kembali seakan-akan beratus-ratus ekor kuda berderap bersama di sekitar lembah itu.
Sementara itu, di perkemahan, Mahesa Jenar telah berdiri diantara mereka yang sedang berjuang melawan Pasingsingan. Pada saat itu, meskipun mata Pasingsingan tidak jelas tampak karena terbalut oleh topeng kasarnya, namun terasa betapa tajamnya ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung ikat kepalanya. Sebenarnya bagi Pasingsingan, yang menilai Mahesa Jenar seperti beberapa tahun yang lalu, tidak demikian terpengaruh atas kehadirannya. Pasingsingan merasa bahwa sekalipun dengan Mahesa Jenar, pekerjaannya tidak akan bertambah berat, meskipun ia mempertimbangkan juga kemungkinan lain, karena anak muda, murid Mahesa Jenar itu.
Tetapi bagaimanapun juga, Pasingsingan masih menganggap orang itu termasuk dalam gerombolan kelinci-kelinci yang tak tahu diri. Tetapi yang mengejutkan Pasingsingan, adalah sapa yang telah diucapkan oleh Mahesa Jenar itu. Dari mana dia mendengar bahwa yang ada sekarang adalah Pasingsingan muda, yang pernah bernama Umbaran. Karena itu dengan kemarahan yang masih menyala-nyala di dalam dadanya terdengar suaranya yang berat,
Quote:
“Bawalah kudanya. Ia perlu secepatnya sampai di perkemahan kita. Bersiaplah menghadapi kemungkinan di depan kita.”
Sebelum mereka menjawab, jarak mereka dengan orang-orang yang berdiri di tengah jalan itu sudah demikian dekatnya sehingga mereka terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka. Namun mereka masih tetap berada di atasnya. Sesaat kemudian salah seorang yang berdiri di tengah, bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju sambil berkata dengan suara yang menakutkan,
Quote:
“Siapa kalian?”
“Aku Karangdjati,” jawab Kanigara perlahan-lahan.
“Hem…” dengus orang yang bertanya, yang tidak lain adalah Lawa Ijo.
“Kalian mau ke mana?”
“Kami ingin kembali ke perkemahan kami,” jawab Kanigara.
“Hem….” Sekali lagi Lawa Ijo mendengus.
“Dari manakah kalian?”
“Aku Karangdjati,” jawab Kanigara perlahan-lahan.
“Hem…” dengus orang yang bertanya, yang tidak lain adalah Lawa Ijo.
“Kalian mau ke mana?”
“Kami ingin kembali ke perkemahan kami,” jawab Kanigara.
“Hem….” Sekali lagi Lawa Ijo mendengus.
“Dari manakah kalian?”
Sampai pertanyaan itu, Kebo Kanigara merasa bahwa orang yang berdiri menghadangnya itu ingin memperpanjang waktu dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Karena itu ia segera mencoba mempersingkat pembicaraan.
Quote:
“Aku datang dari Banyubiru. Kau tidak usah menanyakan keperluanku. Dan kau tidak usah mengurus hal-hal di luar kepentinganmu. Nah sekarang katakan kepadaku siapa kau ini?”
Lawa Ijo tertawa, jawabnya,
“Jarang-jarang aku menemui pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang mengenal aku. Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas Mentaok.”
“Ooo….” sahut Kanigara.
Lawa Ijo tertawa, jawabnya,
“Jarang-jarang aku menemui pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang mengenal aku. Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas Mentaok.”
“Ooo….” sahut Kanigara.
Sekarang ia dapat mengukur kekuatan lawannya, sebab ia telah mendengar kekuatan hantu Alas Mentaok ini.
Tetapi agaknya Lawa Ijo masih saja ingin bertanya-tanya. Apalagi ketika ia tidak melihat Mahesa Jenar diantara orang-orang rombongan berkuda itu.
Quote:
“Berapa orang kalian semuanya?”
“Empat,” jawab Kanigara mulai jengkel.
“Tetapi jumlah kuda kalian adalah lima. Di mana yang seorang?” tanya Lawa Ijo pula.
“Empat,” jawab Kanigara mulai jengkel.
“Tetapi jumlah kuda kalian adalah lima. Di mana yang seorang?” tanya Lawa Ijo pula.
Kanigara sudah tidak mau melayani pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan itu lagi. Ia ingin cepat-cepat lewat dan menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami sesuatu. Karena itu Kanigara berkata lantang,
Quote:
“Minggirlah Lawa Ijo, supaya aku bisa lewat, atau supaya kamu tidak terinjak oleh kaki kuda-kuda kami.”
Lawa Ijo adalah seorang kepala gerombolan yang ditakuti oleh penduduk di sekitar Alas Mentaok. Bahkan namanya tersiar sampai ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu ketika ia mendengar seorang yang takut terinjak seakan-akan menganggapnya tidak lebih dari seorang yang takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi marah. Apalagi orang yang duduk di atas punggung kuda dan memandangnya dengan berani itu bukanlah orang yang pernah menggemparkan karena kesaktiannya. Kalau semula ia agak cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui tingkat ilmu Arya Salaka, muridnya, maka kemudian ia menjadi berlega hati ketika Mahesa Jenar tidak ada di dalam rombongan itu. Meskipun ia mulai bertanya, ketika diketahuinya bahwa seekor kuda dari rombongan itu ternyata tidak berpenumpang.
Maka dengan marah ia menjawab dengan kasarnya,
Quote:
“Karangjati, kau harus belajar menilai seseorang. Aku minta kau turun dari kudamu untuk menghormati kehadiranku di sini. Kemudian kau harus berkata sejujur-jujurnya, di mana Mahesa Jenar sekarang berada. Sesudah itu baru aku dapat memberi keputusan apakah kau akan diijinkan meneruskan perjalanan ke perkemahan orang-orang Banyubiru, atau kau terpaksa kembali ke Banyubiru.”
Kanigara semakin tidak senang melihat sikap itu. Sebenarnya ia tidak perlu marah kepada Lawa Ijo, sebab ia tahu benar bahwa demikianlah sifat-sifat yang pada umumnya dimiliki oleh orang-orang dari kalangan hitam.
Tetapi kali ini Kanigara tergesa-gesa benar. Karena itu ia merasa terganggu. Sehingga dengan tajamnya ia menjawab,
Quote:
“Lawa Ijo, aku sedang tergesa-gesa. Kau pasti tahu apa sebabnya. Dan kau tidak usah menyembunyikan diri, bahwa kau sengaja menghalangi perjalananku dan menurut dugaanmu Mahesa Jenar akan lambat datang ke perkemahan. Tetapi dengan demikian aku menjadi semakin yakin, bahwa kau pasti telah berbuat kejahatan terhadap anak-anak Banyubiru. Udara yang mengandung pengaruh sirep ini telah mengabarkan kepadaku sejak tadi bahwa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya.”
Dada Lawa Ijo berdesir mendengar kata Kebo Kanigara yang menebak dengan tepat apa yang sedang terjadi. Karena itu ia merasa tidak perlu untuk memutar-mutar pembicaraan lagi, bahkan ia mengharap agar orang yang menamakan diri Karangjati itu menjadi gelisah dan kecemasan. Katanya,
Quote:
“Kau benar. Ternyata otakmu terang seperti bintang-bintang di langit itu. Karena itu seharusnya kau juga mengerti bahwa orang-orang Banyubiru dan orang-orang yang datang bersama Mahesa Jenar telah habis terbunuh. Karena itu maka sekarang datang giliran padamu dan orang-orang yang datang bersertamu itu.”
Kanigara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak yakin bahwa kata-kata Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi. Sebab dengan demikian tidak perlu agaknya bagi Lawa Ijo untuk mencegatnya di perjalanan, meskipun tinggal beberapa langkah dari perkemahan. Kalau apa yang dikatakan Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi, maka pasti Lawa Ijo akan membiarkan mereka itu sampai di perkemahan dan membunuhnya di sana pula, atau sama sekali membiarkan hidup apabila mereka merasa tidak mampu untuk melawan.
Quote:
KANIGARA menjawab,
“Jangan membual Lawa Ijo. Apa gunanya kau mempersulit dirimu menghadang kami di tengah jalan…? Kenapa tidak kau tunggu saja kami di perkemahan? Tetapi dengan kehadiranmu di sini, aku menduga bahwa ada orang lain yang sedang melakukan tugasnya di perkemahan. Katakan siapakah dia. Gurumu yang bergelar Pasingsingan barangkali…?”
“Jangan membual Lawa Ijo. Apa gunanya kau mempersulit dirimu menghadang kami di tengah jalan…? Kenapa tidak kau tunggu saja kami di perkemahan? Tetapi dengan kehadiranmu di sini, aku menduga bahwa ada orang lain yang sedang melakukan tugasnya di perkemahan. Katakan siapakah dia. Gurumu yang bergelar Pasingsingan barangkali…?”
Sekali lagi dada Lawa Ijo berdesir cepat. Orang itu benar-benar berotak cerah seperti apa yang dikatakan. Namun demikian ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang sukar dicari bandingannya.
Dengan demikian sambil membusungkan dada ia berkata,
Quote:
“Sekali lagi aku membenarkan kata-katamu. Guruku berada di sana dan saat ini sedang membinasakan semua orang yang ditemuinya.”
Kanigara tidak membuang waktu lagi. Tanpa diduga oleh Lawa Ijo, Kanigara menarik kekang kudanya dan memukul perut kuda itu dengan tumitnya. Dengan terkejut kudanya meloncat maju. Melihat kuda itu seperti akan menerkamnya, Lawa Ijo pun terkejut. Namun ia benar-benar tidak mau terinjak oleh kaki kuda itu. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya sambil meloncat ke samping. Dengan mengumpat sejadi-jadinya ia menerjang Kebo Kanigara.
Ternyata Kebo Kanigara memiliki kelincahan jauh di luar dugaan Lawa Ijo. Ketika ia menerjang dengan garangnya, tiba-tiba terasa pergelangan tangannya tertangkap dengan kuatnya. Bahkan beberapa saat ia tergantung-gantung dibawa oleh derap kuda Kebo Kanigara untuk kemudian terbanting dengan kerasnya di padas tepi jalan itu. Untunglah bahwa tubuh Lawa Ijo benar-benar keras seperti batu.
Meskipun sakitnya bukan main, namun ia masih dapat meloncat untuk kemudian berdiri. Ketika ia sudah tegak berdiri, ia melihat anak buahnya mencoba untuk menyerang Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Tetapi apakah yang dapat mereka lakukan, hanyalah seperti sebuah permainan anak-anak yang sama sekali tidak menarik. Lawa Ijo melihat, kuda Kebo Kanigara membalik sekali, dan menyambar beberapa orang sekaligus. Sedang Bantaran, Penjawi dan Wanamertapun telah melawan penyerang-penyerangnya dari atas kuda mereka. Tetapi yang paling mengerikan adalah gerak kuda Kebo Kanigara. Seperti seekor elang yang gagah melayang-layang dengan derasnya menyambar mangsanya.
Lawa Ijo benar-benar ngeri melihatnya.
Quote:
“Gila,” gumamnya,
“Siapakah orang ini?”
“Siapakah orang ini?”
Tetapi ia tidak mau berdiam diri. Dengan sebuah teriakan nyaring melontarlah dari kedua belah tangannya, dua benda yang berkilat-kilat seperti tatit melayang ke arah Kebo Kanigara. Demikian cepatnya kedua pisau belati panjang itu, sehingga kecepatan mata hampir tak mampu mengikutinya.
Demikianlah Lawa Ijo memang memiliki keahlian untuk menyerang dengan pisau dari jarak jauh. Tetapi sasaran Lawa Ijo kali ini adalah Kebo Kanigara. Karena itu meskipun pisau Lawa Ijo itu dengan cepatnya menyambar satu kearah kepalanya, sedang yang lain ke arah perutnya, namun Kanigara masih juga mampu menghindari. Mula-mula ia membungkuk lekat dengan punggung kudanya, kemudian untuk menghindari sambaran pisau yang mengarah keperutnya, ia memutar tubuhnya melekat ke bagian sisi punggung kuda itu, sehingga dengan demikian pisau Lawa Ijo berlari tidak lebih dari secengkang di atasnya.
Kali ini dada Lawa Ijo benar-benar seperti diguncang-guncang melihat keterampilan Kebo Kanigara.
Tidak saja kekuatannya yang maha besar, yang telah dirasakannya pada saat pergelangannya ditangkap. Namun ternyata orang itu ahli pula mengendarakan kuda. Karena itu, ia merasa bahwa usahanya menghalang-halangi orang itu pasti akan sia-sia. Tetapi dengan demikian setidak-tidaknya ia sudah berhasil memperpanjang waktu, meskipun hanya sebentar. Karena itu ketika ia melihat kuda Kebo Kanigara itu sekali lagi berputar ke arahnya, cepat-cepat ia meloncat ke dalam gerumbul di tepi jalan dengan suatu suitan nyaring. Bersamaan dengan itu anak buahnya pun segera berloncatan meninggalkan gelanggang seperti anak ayam yang bersembunyi melihat di udara ada seekor elang.
Kebo Kanigara tidak mau membuang waktu lagi. Cepat-cepat ia memutar kudanya, dan dengan cepat pula ia mengajak kawan-kawannya menuju ke perkemahan.
Quote:
“Ayolah kita tinggalkan tempat celaka ini. Tidak ada waktu untuk mengurusi Lawa Ijo. Mudah-mudahan Mahesa Jenar tidak terlambat sampai.”
Setelah itu, maka kembali mereka berpacu. Meskipun jarak lurus ke perkemahan itu tidak jauh lagi, namun mereka terpaksa melingkar-lingkar menuruti jalan yang dapat mereka tempuh dengan kuda-kuda mereka. Kembali terdengar deru kaki kuda memenuhi lembah, memukul-mukul lambung bukit untuk kemudian dilontarkan kembali seakan-akan beratus-ratus ekor kuda berderap bersama di sekitar lembah itu.
Sementara itu, di perkemahan, Mahesa Jenar telah berdiri diantara mereka yang sedang berjuang melawan Pasingsingan. Pada saat itu, meskipun mata Pasingsingan tidak jelas tampak karena terbalut oleh topeng kasarnya, namun terasa betapa tajamnya ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung ikat kepalanya. Sebenarnya bagi Pasingsingan, yang menilai Mahesa Jenar seperti beberapa tahun yang lalu, tidak demikian terpengaruh atas kehadirannya. Pasingsingan merasa bahwa sekalipun dengan Mahesa Jenar, pekerjaannya tidak akan bertambah berat, meskipun ia mempertimbangkan juga kemungkinan lain, karena anak muda, murid Mahesa Jenar itu.
Tetapi bagaimanapun juga, Pasingsingan masih menganggap orang itu termasuk dalam gerombolan kelinci-kelinci yang tak tahu diri. Tetapi yang mengejutkan Pasingsingan, adalah sapa yang telah diucapkan oleh Mahesa Jenar itu. Dari mana dia mendengar bahwa yang ada sekarang adalah Pasingsingan muda, yang pernah bernama Umbaran. Karena itu dengan kemarahan yang masih menyala-nyala di dalam dadanya terdengar suaranya yang berat,
Quote:
“Mahesa Jenar, kalau aku tidak salah dengar, adakah kau tadi menyebut Pasingsingan muda yang pernah bernama Umbaran?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat.
“Hem…” geram Pasingsingan, kemudian ia bertanya,
“Siapakah yang kau maksud dengan nama itu?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat.
“Hem…” geram Pasingsingan, kemudian ia bertanya,
“Siapakah yang kau maksud dengan nama itu?”
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas