- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#410
Jilid 12 [Part 287]
Spoiler for :
LAWA IJO yang ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri, kemudian berkata,
Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak ikut membantu Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka yang telah siap itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun anak muda ini pun mempunyai harapan yang kecil saja untuk mengalahkannya.
Namun sebagai seorang tokoh yang namanya telah bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok, maka ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri.
Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya menjadi heran, apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang pertempuran itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri juga sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi kenapa ia tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya?
Pertanyaan itu akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan. Karena itu ia pun menjadi bertambah waspada. Apakah kawan-kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya. Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu kepada Wirasaba, yang ternyata sependapat pula. Apalagi kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring sekali seperti suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu kemudian disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi dengan nada yang lebih tinggi.
Mantingan melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu, ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih lama lagi. Dengan lantang terdengarlah ia memerintah,
Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera berloncatan mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur seorang diri. Untuk beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti bertempur. Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah ia sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya menyambar wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di sisi itu.
Tetapi tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri. Ah, anak ini bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah, secerah bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengagumi kecantikan gadis kecil itu.
Dalam kegelisahan, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi terang kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias bibirnya.
Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya menjadi terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu mempunyai arti yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi perkemahan anak-anak Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka bersama-sama menyiagakan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih berbahaya.
Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah bayangan seperti bayangan hantu yang melayang-layang memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak disamping Lawa Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah abu-abu serta menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah topeng yang kasar dan jelek.
Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di dalamnya terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud kedatangannya. Menuntut bela terhadap murid serta anak buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia bergumam,
Setiap dada menjadi terguncang karenanya. Mereka semua telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama Pasingsingan. Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk mereka melihat orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka dengan sebuah tuntutan yang mengerikan.
Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada mengangkat dada mereka sebagai jantan sejati. Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat diatas kebenaran, diatas suatu pengabdian yang tulus.
MANTINGAN menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Pasingsingan sedang mencari sebab untuk melakukan pembalasan. Namun demikian ia menjawab.
Untuk beberapa lama Pasingsingan tidak berkata sesuatu. Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh nafasnya yang memburu.
Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal diam.
Meskipun Rara Wilis adalah seorang gadis, namun darah Pandan Alas yang mengalir ditubuhnya telah menjadikannya seorang gadis yang tabah dan berani. Meskipun ia menyadari, betapa tinggi ilmu Pasingsingan itu, namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan darah Gunung Kidul itu akan bertekuk lutut untuk dipenggal lehernya. Karena itu ujung pedangnya nampak semakin bergetar sejalan dengan debar jantungnya yang bertambah cepat.
Bahkan kemudian terdengar suaranya gemetar.
Bahkan kemudian terdengar suaranya gemetar.
Juga pertanyaan Rara Wilis itu sederhana, sama sederhananya dengan pertanyaan Pasingsingan yang pertama. Tetapi juga didalam kata-kata itu terkandung suatu tantangan yang dalam. Tantangan bagi kejantanan Lawa Ijo dan Pasingsingan sendiri. Tetapi ternyata Lawa Ijo bukan seorang jantan. Ia adalah seorang yang licik, yang dapat menganggap suatu cara apapun dapat dibenarkan untuk mencapai maksudnya.
Karena itu ialah yang menjawab pertanyaan Rara Wilis.
Tetapi suaranya tiba-tiba tenggelam dalam derai tawa Endang Widuri. Semua yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali, kalau dalam keadaan yang demikian, masih ada orang yang berani memperdengarkan tertawanya.
Dada Lawa Ijo yang sudah mendidih sejak semula itu terasa seperti diaduk. Tetapi ketika dipandangnya wajah gadis kecil yang cerah itu, terasa sesuatu yang aneh meraba-raba dadanya. Tiba-tiba saja seperti bintang yang jatuh dari langit, terbesitlah jauh disudut relung hatinya, yang selama ini seolah-olah tak pernah tampak olehnya, suatu perasaan yang menyenangkan, apabila iamempunyai anak seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis, berani dan tangkas. Tetapi berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia merasa seolah-olah gadis kecil yang menghinanya pula.
Sekali lagi Pasingsingan menggeram karena kemarahan yang sudah hampir memuncak.
Mendengar Pasingsingan menggeram sedemikian dahsyatnya, tegaklah bulu roma mereka yang mendengarnya kecuali Widuri. Ia masih saja tersenyum seperti tidak terjadi sesuatu. Meskipun sebenarnya didalam hatinya memercik juga kecemasannya atas sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap tenang seperti ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka Pasingsingan menjadi bertambah marah lagi. Ia merasa terhina oleh seorang anak kecil yang sengaja merendahkannya. Karena itu ia tidak bersabar lagi.
Sebagai seorang penjahat yang telah berpuluh bahkan ratusan kali membunuh, maka ia sama sekali tidak lagi punya hati terhadap calon korbannya. Demikian juga terhadap Widuri. Meskipun ia melihat betapa gadis itu masih sedang tumbuh, namun ia telah dibakar oleh kemarahannya.
Maka dengan suara yang bergetar ia berkata.
Sehabis kalimat itu, mulailah Pasingsingan bergerak kearah Endang Widuri. Kembali semua orang yang menyaksikan, hatinya berdesir. Tetapi mereka tidak mau membiarkan peristiwa yang mengerikan itu terjadi.
Serentak tanpa berjanji lebih dahulu, berloncatanlah semua orang menghadang dihadapan Endang Widuri. Mantingan dengan trisulanya yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis dengan pedang tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus kedepan.
Disampingnya berdiri Arya Salaka dengan wajah yang tegang dan dengan tangan yang gemetar menggenggam Kiai Bancak. Disebelahnya Wirasaba dengan kapak raksasanya yang sudah tersandang dipundaknya siap untuk diayunkan sedang diujung berdiri Jaladri erat-erat memegang canggah andalannya.
Quote:
“Hai betina-betina dari Banyubiru… kenapa kalian tidak maju bersama-sama? Jangan berpura-pura bersikap jantan dengan membiarkan anak kecil ini menjadi korban kesombongan kalian.”
Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan menjawab,
“Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang berpura-pura untuk menyelamatan diri. Jangan pula berbicara tentang kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami bersama-sama dan beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan sembunyi-sembunyi memasuki perkemahan kami? Tetapi biarlah untuk sementara kami ingin melihat kau bertempur.”
Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan menjawab,
“Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang berpura-pura untuk menyelamatan diri. Jangan pula berbicara tentang kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami bersama-sama dan beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan sembunyi-sembunyi memasuki perkemahan kami? Tetapi biarlah untuk sementara kami ingin melihat kau bertempur.”
Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak ikut membantu Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka yang telah siap itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun anak muda ini pun mempunyai harapan yang kecil saja untuk mengalahkannya.
Namun sebagai seorang tokoh yang namanya telah bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok, maka ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri.
Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya menjadi heran, apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang pertempuran itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri juga sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi kenapa ia tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya?
Pertanyaan itu akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan. Karena itu ia pun menjadi bertambah waspada. Apakah kawan-kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya. Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu kepada Wirasaba, yang ternyata sependapat pula. Apalagi kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring sekali seperti suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu kemudian disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi dengan nada yang lebih tinggi.
Mantingan melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu, ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih lama lagi. Dengan lantang terdengarlah ia memerintah,
Quote:
“Tangkap iblis dari Mentaok ini.”
Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera berloncatan mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur seorang diri. Untuk beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti bertempur. Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah ia sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya menyambar wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di sisi itu.
Tetapi tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri. Ah, anak ini bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah, secerah bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengagumi kecantikan gadis kecil itu.
Dalam kegelisahan, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi terang kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias bibirnya.
Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya menjadi terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu mempunyai arti yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi perkemahan anak-anak Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka bersama-sama menyiagakan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih berbahaya.
Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah bayangan seperti bayangan hantu yang melayang-layang memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak disamping Lawa Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah abu-abu serta menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah topeng yang kasar dan jelek.
Quote:
“Pasingsingan…!” Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan nama yang mengerikan itu.
Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata,
“Apakah yang telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?”
Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata,
“Apakah yang telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?”
Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di dalamnya terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud kedatangannya. Menuntut bela terhadap murid serta anak buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia bergumam,
Quote:
“Kalian telah melakukan beberapa kesalahan.”
Setiap dada menjadi terguncang karenanya. Mereka semua telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama Pasingsingan. Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk mereka melihat orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka dengan sebuah tuntutan yang mengerikan.
Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada mengangkat dada mereka sebagai jantan sejati. Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat diatas kebenaran, diatas suatu pengabdian yang tulus.
Quote:
Karena itu kemudian terdengar Mantingan menjawab,
“Tidak ada sesuatu yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain mengucapkan selamat datang di perkemahan kami, dengan cara yang disenangi oleh murid Tuan sendiri.”
“Hem…” terdengar Pasingsingan mendengus.
“Kau tahu dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?”
“Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?” jawab Mantingan.
“Bagus!” sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam.
“Kalau demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku dengan baik pula.”
Mantingan mengangguk.
“Nah,” dengus Pasingsingan dari belakang topengnya.
“Kenapa kalian melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?”
“Tidak ada sesuatu yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain mengucapkan selamat datang di perkemahan kami, dengan cara yang disenangi oleh murid Tuan sendiri.”
“Hem…” terdengar Pasingsingan mendengus.
“Kau tahu dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?”
“Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?” jawab Mantingan.
“Bagus!” sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam.
“Kalau demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku dengan baik pula.”
Mantingan mengangguk.
“Nah,” dengus Pasingsingan dari belakang topengnya.
“Kenapa kalian melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?”
MANTINGAN menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Pasingsingan sedang mencari sebab untuk melakukan pembalasan. Namun demikian ia menjawab.
Quote:
“Kami sama sekali tidak melakukan pembunuhan tuan. Yang kami lakukan adalah suatu cara untuk menyelamatkan diri kami.”
“Omong kosong” bentak Pasingsingan.
“Apapun alasanmu tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.”
“Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya seseorang ingin membunuh tuan?” sahut Mantingan.
“Omong kosong” bentak Pasingsingan.
“Apapun alasanmu tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.”
“Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya seseorang ingin membunuh tuan?” sahut Mantingan.
Untuk beberapa lama Pasingsingan tidak berkata sesuatu. Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh nafasnya yang memburu.
Quote:
Kemudian dengan lantang ia berkata.
“Kaukah yang bernama Mantingan, dalang Mantingan.”
“Ya” jawab Mantingan pendek.
“Mulutmu terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang pertama-tama akan aku hancurkan” berkata Pasingsingan perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang dahsyat.
Mantingan menarik nafas sekali lagi.
“Apaboleh buat” pikirnya.
“Kaukah yang bernama Mantingan, dalang Mantingan.”
“Ya” jawab Mantingan pendek.
“Mulutmu terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang pertama-tama akan aku hancurkan” berkata Pasingsingan perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang dahsyat.
Mantingan menarik nafas sekali lagi.
“Apaboleh buat” pikirnya.
Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal diam.
Meskipun Rara Wilis adalah seorang gadis, namun darah Pandan Alas yang mengalir ditubuhnya telah menjadikannya seorang gadis yang tabah dan berani. Meskipun ia menyadari, betapa tinggi ilmu Pasingsingan itu, namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan darah Gunung Kidul itu akan bertekuk lutut untuk dipenggal lehernya. Karena itu ujung pedangnya nampak semakin bergetar sejalan dengan debar jantungnya yang bertambah cepat.
Bahkan kemudian terdengar suaranya gemetar.
Bahkan kemudian terdengar suaranya gemetar.
Quote:
“Tuan, adakah tuan ingin ikut dalam permainan anak-anak ini?."
Juga pertanyaan Rara Wilis itu sederhana, sama sederhananya dengan pertanyaan Pasingsingan yang pertama. Tetapi juga didalam kata-kata itu terkandung suatu tantangan yang dalam. Tantangan bagi kejantanan Lawa Ijo dan Pasingsingan sendiri. Tetapi ternyata Lawa Ijo bukan seorang jantan. Ia adalah seorang yang licik, yang dapat menganggap suatu cara apapun dapat dibenarkan untuk mencapai maksudnya.
Karena itu ialah yang menjawab pertanyaan Rara Wilis.
Quote:
“Adakah pertanyaan itu sebagai suatu permintaan ampun dari guru, Rara Wilis?”
Dada Rara Wilis tergoncang. Ia merasa tersinggung oleh jawaban itu. Namun Wirasaba yang tinggi hati telah mendahuluinya menjawab.
“Dibelakang sayap indukmu kau masih mampu tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami sama sekali tidak seperti orang yang terkenal dengan sebutan iblis alas Mentaok, yang ternyata tidak lebih dari seekor anak ayam yang ketakutan melihat belalang terbang.”
“Diam” bentak Lawa Ijo marah.
Dada Rara Wilis tergoncang. Ia merasa tersinggung oleh jawaban itu. Namun Wirasaba yang tinggi hati telah mendahuluinya menjawab.
“Dibelakang sayap indukmu kau masih mampu tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami sama sekali tidak seperti orang yang terkenal dengan sebutan iblis alas Mentaok, yang ternyata tidak lebih dari seekor anak ayam yang ketakutan melihat belalang terbang.”
“Diam” bentak Lawa Ijo marah.
Tetapi suaranya tiba-tiba tenggelam dalam derai tawa Endang Widuri. Semua yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali, kalau dalam keadaan yang demikian, masih ada orang yang berani memperdengarkan tertawanya.
Quote:
“Aneh” kata Widuri dalam nada kekanak-kanakan.
“Seorang yang bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar lenganku ini, tiba-tiba tanpa malu-malu bersembunyi dibelakang punggung gurunya. Bukankah itu suatu tontonan yang lucu.”
“Seorang yang bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar lenganku ini, tiba-tiba tanpa malu-malu bersembunyi dibelakang punggung gurunya. Bukankah itu suatu tontonan yang lucu.”
Dada Lawa Ijo yang sudah mendidih sejak semula itu terasa seperti diaduk. Tetapi ketika dipandangnya wajah gadis kecil yang cerah itu, terasa sesuatu yang aneh meraba-raba dadanya. Tiba-tiba saja seperti bintang yang jatuh dari langit, terbesitlah jauh disudut relung hatinya, yang selama ini seolah-olah tak pernah tampak olehnya, suatu perasaan yang menyenangkan, apabila iamempunyai anak seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis, berani dan tangkas. Tetapi berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia merasa seolah-olah gadis kecil yang menghinanya pula.
Quote:
Dengan menggeram ia berkata.
“Siapakah kau?”
“Seorang yang bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu, siapakah yang sedang berdiri dihadapannya” jawab Widuri tanpa takut-takut.
“Siapakah kau?”
“Seorang yang bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu, siapakah yang sedang berdiri dihadapannya” jawab Widuri tanpa takut-takut.
Sekali lagi Pasingsingan menggeram karena kemarahan yang sudah hampir memuncak.
Mendengar Pasingsingan menggeram sedemikian dahsyatnya, tegaklah bulu roma mereka yang mendengarnya kecuali Widuri. Ia masih saja tersenyum seperti tidak terjadi sesuatu. Meskipun sebenarnya didalam hatinya memercik juga kecemasannya atas sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap tenang seperti ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka Pasingsingan menjadi bertambah marah lagi. Ia merasa terhina oleh seorang anak kecil yang sengaja merendahkannya. Karena itu ia tidak bersabar lagi.
Sebagai seorang penjahat yang telah berpuluh bahkan ratusan kali membunuh, maka ia sama sekali tidak lagi punya hati terhadap calon korbannya. Demikian juga terhadap Widuri. Meskipun ia melihat betapa gadis itu masih sedang tumbuh, namun ia telah dibakar oleh kemarahannya.
Maka dengan suara yang bergetar ia berkata.
Quote:
“Gadis kecil yang tak tahu diri. Apakah kau telah mempunyai nyawa yang rangkap, sehingga berani menghina Pasingsingan? Karena itu kaulah yang pertama-tama akan menerima hukuman”.
Sehabis kalimat itu, mulailah Pasingsingan bergerak kearah Endang Widuri. Kembali semua orang yang menyaksikan, hatinya berdesir. Tetapi mereka tidak mau membiarkan peristiwa yang mengerikan itu terjadi.
Serentak tanpa berjanji lebih dahulu, berloncatanlah semua orang menghadang dihadapan Endang Widuri. Mantingan dengan trisulanya yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis dengan pedang tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus kedepan.
Disampingnya berdiri Arya Salaka dengan wajah yang tegang dan dengan tangan yang gemetar menggenggam Kiai Bancak. Disebelahnya Wirasaba dengan kapak raksasanya yang sudah tersandang dipundaknya siap untuk diayunkan sedang diujung berdiri Jaladri erat-erat memegang canggah andalannya.
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas