Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 03:25
sehat.selamat.
JabLai cOY
al.galauwi
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
332.1K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2351
Berani_Part 1
Semakin lama, gue semakin yakin kalau keberadaan Ara di sisi gue itu memiliki arti. Kalau kehadiran kembali Ara di hari-hari gue ini ada alasan. Nggak cuman sekedar menemani gue di saat sepi-nya gue ketika gue saat ini nggak lagi bersama Emi. Dan hingga di titik ini, Ara sempurna menurut gue.

Walaupun tetap ada beberapa hal yang mengganjal ketika gue bersama dia karena ternyata ada banyak checklist di dalam diri Ara yang nggak bisa dia lengkapi. Inget kan mengenai bagaimana proses gue bisa mendapatkan seorang Emi dimana di dalam diri seorang Emi, seluruh checklist gue dalam menentukan standar pasangan hidup bisa dia lengkapi? Ternyata cewek sekaliber Ara, nggak bisa memenuhi itu semua. Itupun kalau gue membandingkan Ara dengan Emi.

Tetapi di posisi gue saat ini, masa gue masih juga milih-milih pendamping? Masih syukur masih ada yang mau dengan cowok kayak gue. Masih ada gitu cewek yang mau dan masih bisa berusaha mengerti gue. Gue nggak tau bersyukur banget kalau gue masih juga nyari yang lebih sempurna dari Ara, kecuali gue kembali ke Emi. Walaupun rasanya sulit.

Hati gue pun semakin mantap. Biar gue nggak meleng sana sini lagi dan biar Ara nggak direbut orang, gue mau seriusin hubungan gue dengan Ara. Gue putusin untuk merencanakan pelan-pelan dan diam-diam bagaimana gue akan menyatakan perasaan gue pada Ara. Target gue dengan Ara bukan lagi hanya sekedar untuk menjadi pendamping biasa alias pacar, tetapi Ara akan gue jadikan pendamping hidup. Gue pun mencoba untuk menghubungi orang dekat untuk dimintai pendapat mengenai rencana gue ini. Gue menghubungi Anin. Dia sepakat untuk bertemu langsung dengan gue dan membahas urusan ini.

Namun, ketika gue mencoba menyakinkan hati gue dengan Ara, entah kenapa mendadak terbesit dalam benak gue untuk menunggu sementara. Menunggu peruntungan apakah Emi bisa kembali sama gue. Dan pemikiran itu nggak cuma datang ke dalam pikiran gue satu dua kali. Tetapi entah berapa kali sampai gue akhirnya kepikiran untuk mencari kabar Emi. Maklum, semua kontak gue udah dia blokir. Satu-satunya tempat dimana gue bisa tau kabar dia ya cuma lewat media sosial.

Gue nggak puas dan nggak percaya dengan apa yang dia tulis di media sosial. Banyak loh orang yang menutupi identitas atau perasaan asli mereka di media sosial demi terlihat ‘baik’. Walaupun gue tau Emi nggak seperti itu, tetapi pasti Emi nggak mau terlihat kalau dia sedih karena sudah nggak lagi bersama gue. Ketika Ara sedang sibuk dengan urusan kantornya, gue berangkat ke rumah Emi.

Gue sengaja nggak bilang sama Ara karena gue nggak mau Ara nanti malah memaksa gue untuk kembali ke Emi ketika hati gue ingin mencoba bersama dia. Gue juga nggak tau apa Emi akan menerima gue kembali ketika hati gue sedang kalut harus memilih mana yang harus gue perjuangin.

Gue pun nggak bilang nyokap dan adik gue kemana gue akan pergi. Gue hanya bilang kalau gue ada urusan yang perlu gue selesein. Mereka pasti mikir gue pergi sama Ara. Ya, semenjak gue kembali dekat dengan Ara, mereka merasa gue akan selalu menghabiskan waktu gue dengan Ara.

Gue sengaja datang sore hari. Soalnya kalau Minggu siang, Emi pasti full berdiam diri di dalam rumahnya. Kecuali kalau ada gue, dia pasti lagi pergi sama gue. Entah dia masih seperti itu apa nggak. Gue memilih datang sore karena ada kemungkinan Emi keluar rumah untuk sekedar beli jajanan atau mungkin gue bisa melihat dia sekilas di dalam rumahnya. Maaf kalau gue terdengar seperti seorang stalker, tapi ini satu-satunya cara gue bisa langsung tau gimana keadaan Emi yang sebenernya.

Sore itu, gue memakai baju dan jaket hitam, helm lama gue yang berwarna hitam, dan juga celana panjang berwarna hitam. Hanya sepatu gue yang ada corak warna merahnya. Harusnya dengan paduan pakaian seperti ini, gue nggak mudah dikenali oleh orang-orang di komplek ini. Maklum, kalau gue make outfit gue yang biasa takutnya orang komplek sini nyapa gue atau malah bilang ke bokapnya Emi kalau gue dateng kesini lagi. Gue nggak tau bokapnya dia tau apa nggak kalau gue udah nggak sama anaknya lagi.

Mumpung kompleknya nggak begitu rame dan di depan rumah dia nggak ada orang sama sekali, gue berniat lewat di depan rumah dia. Alangkah mengejutkan gue ketika gue melihat Emi lagi ngobrol sama satu orang cowok yang gue kenal, mantan pacar Emi, Fazli. Gue pengen berniat untuk nggak suudzon dengan apa yang gue liat. Gue mau berusaha berpikir “Ya namanya juga Fazli kan tetangga dia di rumah, mungkin lagi main ke rumah…”.

Tapi Emi itu udah cerita kalau dia emang udah nggak pernah main lagi dengan temen-temen di komplek rumah dia. Cuman tiga orang temen deket Emi di waktu kecil yang masih akrab dengan dia. Jadi, nggak mungkin Fazli sekedar mampir ke rumahnya untuk main. Dan kenapa dia harus mulai main ke rumah Emi ketika Emi udah putus sama gue kalau bukan karena dia ngedeketin Emi lagi?

Ini maksudnya apa? Apa Emi sekarang udah balikan lagi sama Fazli ini? Apa Emi segitu mudahnya mengganti gue di hati dia? Kenapa harus Fazli? Jadi Fazli yang bakalan jadi pacar terakhir Emi? Jadi pacar pertama Emi jadi pacar terakhir Emi? Apa Fazli nggak cuma dijadiin pelarian aja buat Emi? Gue bener-bener pengen nyamperin mereka terus maksa Emi buat jawab semua pertanyaan gue ini.

Tetapi… Ketika gue melihat Emi bisa ketawa dan tersenyum ketika dia bareng sama Fazli bikin hati gue yang lagi panas karena kebodohan Emi, mendadak mereda. Tawa dan senyum tulus Emi itu udah lama banget gue rindukan. Saat-saat terakhir gue bersama Emi banyak dihabiskan dengan isak tangis dan air mata. Belum lagi kata-kata kasar dari bibir gue yang mungkin tanpa gue sadari diam-diam menyakiti perasaan Emi juga. Apalagi ditambah dengan kata-kata nggak pantes yang diucap adik gue. Menambah serentetan sakit di hati Emi pasti. Gue orang yang nggak tau belas kasih kalau gue mau merusak tawa dan senyum manis Emi itu.

Mungkin Emi udah lelah dengan gue. Dia lelah menangis dan sakit hati. Dia lelah mencoba. Dan utamanya ya dia lelah dengan gue yang memang orang nggak berguna. Gue diumur segini masih nggak bisa mempertahankan cinta gue. Gue ditinggalkan cinta gue dan berujung saking putus asanya gue sampe mengejar sahabat gue untuk gue jadiin pendamping hidup gue? Kasian banget ya gue? Semoga Ara bukan hanya sekedar pelarian buat gue.

Semakin lama gue memperhatikan dari jauh, semakin hati gue bersedih dan harus menelan pil pahit kekalahan hati. Ya, Emi sepertinya sudah benar-benar mengalihkan perhatiannya ke Fazli secara utuh. Di sini gue pun akhirnya menyadari, kalau memang kedatangan gue kesini hanya akan menyakiti hati gue sendiri. Harusnya tadi gue mikir, untuk apa lagi gue kesini? Toh disana Ara sedang menunggu gue. Menunggu untuk diresmikan. Status Ara tidak penting lagi buat gue. Yang terpenting adalah gue bisa mendapatkan kebahagiaan yang seutuhnya dan satu untuk selamanya.

Berarti dengan kejadian ini, sudah jelas bahwa gue harus berpaling selamanya dari Emi dan mengalihkan perhatian gue seutuhnya untuk Ara. Hanya Ara yang bisa mengisi kekosongan hati gue. Semoga cinta gue dengan Ara ini akan terus berlangsung selamanya. Gue hanya menginginkan hubungan serius dalam hubungan pernikahan satu kali seumur hidup gue.

Gue memantapkan hati untuk kembali kerumah dan meninggalkan jauh-jauh kenangan gue dengan Emi di belakang punggung gue. Gue menjauh dari rumah Emi. Gue menjauh dari rumah mantan cinta terbaik gue. Cinta terbaik gue yang takkan pernah terlupakan oleh gue. Mungkin untuk selamanya.

---

“Sebenernya mau kalian apa sih? Lo sama Mama ngarepin apa lagi dari gue?” Gue mulai bernada tegas. Malam itu gue habiskan untuk menyelesaikan permasalahan dengan Mama dan Dania. Entah apa yang merasuki mereka sampe gue yang baru aja pulang kantor mendadak disidang kayak begini. Dan entah kesalahan apa lagi yang gue perbuat sampe mereka kayak begini.

“Ngarepin? Ya kita mah ngarep lo dapet yang terbaik, Kak. Udah lah jangan pernah lagi lo berharap atau ngerencanain buat balikan sama Emi yang nggak jelas itu. Mending lo sama yang lain aja. Atau lo mendingan sama Ara aja sekalian yang jelas lebih baik daripada mantan lo itu.”

“Punya pacar bukannya lebih baik, malah makin berantakan. Liat sekarang kayak gimana kesehatan kamu? Oke kamu udah nggak sama Emi lagi, tapi liat Ara jadinya juga nggak bisa bantu kamu apa-apa bukan? Kamu jadinya tetep sakit batuk-batuk begitu walaupun Ara udah ngurus kamu lebih baik daripada Emi begini.”

“Ara ngurus aku lebih baik? Ini Emi bikin kesalahan baru lagi apa Ara ada ngomong sesuatu sama kalian sih? Kenapa mendadak jadi ngebahas beginian lagi malem-malem?”

“Lo udah nggak usah nanya balik gitu deh, Kak!”

Gue nengok ke arah Dania. Kalau nggak karena dia yang udah tinggal menghitung hari lagi lahiran, gue pasti udah ngebentak dia balik. “Dengerin ya. Aku udah berulang kali ya jelasin ke kalian soal ini. Emang Emi banyak bawa perubahan di hidup aku. Tapi entah kenapa yang kalian bisa liat itu cuma perubahan negatif aja padahal lebih banyak perubahan positif yang terjadi di diri aku daripada negatifnya. Lagipula kalian menilai ada perubahan negatif itu hanya karena dari sudut pandang kalian aja. Karena jalan hidup yang aku pilih nggak sesuai kemauan kalian. Iya kan? Tanpa konfirmasi atau nanya ke aku, kalian menilai apapun yang Emi lakuin itu terkesan negatif hanya ya karena semuannya udah ketutup sama kebencian nggak jelas kalian ke Emi. Nih, kalau aku ternyata jadinya sama Ara, apa kalian akan menilai Ara dari sisi negatifnya aja?”

“Ya nggak dong. Ara kan udah kayak keluarga kita sendiri. Mama udah kenal dia dari dulu. Orangtuanya aja Mama juga kenal baik. Ara udah jelas dari keluarga baik-baik---”

“TERUS MENURUT MAMA EMI BUKAN DARI KELUARGA BAIK-BAIK?” Tanpa sengaja, gue jadi menaikkan nada bicara gue. Gue tau itu salah. Tapi mendadak gue jadi teringat bagaimana Dania nuduh Emi bukan dari keluarga baik-baik. Itu sesuatu yang jahat. Asli.

“KAKAK! KOK LO BENTAK MAMA SIH?”

Gue mengabaikan omongan Dania. “Sekarang coba Mama sebut, Ara udah ngelakuin hal baik apa sama keluarga kita sampe Ara dianggep selalu ngelakuin hal positif? Terus sekarang sebutin apa aja hal yang Mama anggep negatif dari Emi? Ayo coba sebut! Bisa? Nggak kan? Mama sama lo cuman bisa bilang berubah berubah berubah!”

“Apaan sih lo, Kak? Muter-muter begitu ngomongnya. Udah jelas Mama udah bilang kalau Emi itu bikin lo makin nggak jelas idupnya. Masih aja disuruh sebutin lagi!”

“Cuma karena Mama kenal sama keluarga Ara yang bersikap baik sama aku, terus Mama langsung nilai kalau apapun yang Ara lakuin itu pasti cuma hal positif aja. Apa Mama nggak mikir kalau misalnya ternyata Ara pernah ngelakuin hal negatif, apa Mama mau bersikap begitu juga ke Ara?’ Gue sayang sama Ara kok. Gue sadar kalau gue akan berencana mempersunting Ara. Tapi entah kenapa, deep down inside my heart, gue masih ingin menuntut keadilan untuk Emi. Emi nggak salah apa-apa. Emi nggak pantes dapet perlakuan kayak begini.

“Ara itu anak baik dan lahir dari keluarga baik-baik---”

“Emi juga!”

“Lo jangan motong omongan Mama lah, Kak!” Bentak Dania ke gue.

“Mama itu udah kenal Ara belasan taun, Ja. Bahkan ibu bapaknya juga Mama kenal baik. Kalaupun dia ada sisi negatif atau kekurangan ya Mama bisa ngerti lah.”

“Kenapa kalau Emi ada sisi negatif atau kekurangan menurut Mama terus Emi diperlakukan berbeda daripada Ara? Ara dianggep baik karena orangtua nya Mama kenal, tapi Emi dateng kesini seorang diri memperkenalkan dirinya sendiri, berusaha mengenal keluarga kita, berusaha ngebantu keluarga kita, bantuin Dania waktu skripsi sama nikahan, do the bestbuat keluarga kita, bantuin kerjaan Ija, bantuin kuliah Ija, bahkan menyayangi Ija bagaimanapun Ija pernah nyakitin dia… Terus Emi MASIH NGGAK DIANGGAP BAIK SAMA MAMA? Ara dengan mudahnya dimaafin, tapi Emi yang belum jelas bikin kesalahan apa, nggak dikasih tau juga kesalahannya apa, nggak pernah dimaafin sama kalian?”

“Emang dia pernah minta maaf?” Tanya Dania sinis.

“Emang kalian pernah mau dengerin dia baik-baik gimana dia selalu bilang makasih, punten, dan minta maaf setiap kali dia bareng kita? Pernah nggak?”

“…….” Nggak ada yang bisa jawab pertanyaan gue.

“Kenapa diam aja? Kenapa nggak dijawab? Mama sama Papa selalu menjungjung tinggi yang namanya keadilan. Tapi KENAPA MAMA NGAJARIN AKU BUAT NGGAK ADIL? Emi banyak bantuin kita, tapi nggak pernah tuh diliat atau dianggep sama Mama. Tapi sekarang Mama bilang sendiri kalau misalnya Ara bikin kesalahan, Ara masih sangat bisa dimaafkan. Ara nggak bikin apapun ke keluarga kita pun malah langsung dianggep baik-baik. Penilaian macem apaan itu kayak gitu? Mana sisi adilnya? Mana? Aku nggak yakin, Papa bakalan bersikap kayak begini!”

“Kalau ada Papa, mungkin Emi nggak akan pernah ada di keluarga kita!” Tambah Dania.

“Kenapa? Coba sebut kenapa? Cuman karena gue pulang malem? Karena gue kerjanya nggak jelas menurut kalian? Karena gue sekarang suka naik motor? Karena gue nggak ada duit? Iya itu? Terus menurut lo Papa bakalan menilai dari sisi begitu doang kayak kalian? Kalau lo mikir begitu, BERARTI LO NGGAK KENAL PAPA! LO BUKAN ANAK PAPA!”

“IJA!”

“APAAN SIH LO, KAK?!”

“Kapan Emi absen buat nggak hadir di setiap acara merepotkan di rumah kita? Kapan Emi bilang nggak bisa bantuin keluarga kita? Kapan Emi nggak bisa bantuin kerjaan kantor dan kuliah Ija? Kalian nggak akan pernah bisa ngeliat Ija yang bisa kembali nge-band dan punya banyak pengetahuan tentang dunia luar kalau nggak karena dipicu dan disemangatin Emi! Terus menurut kalian Papa nggak bakalan ngeliat itu semua???”

“Ya oke Papa liat itu semua tapi kan tetep dia kasih dampak negatif buat lo, Kak!”

“Emang apa buktinya kalau Emi yang maksa gue biar gue pulang malem? Emang apa buktinya kalau Emi yang nuntut gue buat ngempanin dia terus? Dan apa buktinya kalau Emi yang bikin gue jadi freelancer jarang punya duit? Emi pernah bilang begitu emang sama kalian? Nggak kan? IYA NGGAK? HAH?” Perlahan tangan gue mengepal dan terasa sedikit basah karena keringat dingin.

“…….”

“Gue yang mutusin buat pulang malem dari rumah dia. Gue yang mutusin buat jadi freelancer tanpa minta persetujuan dia. Gue nggak pernah ngempanin dia apapun. Dia make uang dia sendiri buat kebutuhan dia jadi nggak ada urusannya gue nggak punya duit karena dia. Dia juga nggak pernah minta mobil itu, gue yang ngasih. Semuanya karena gue! Bukan salah dia! Gue ngomong kayak begini juga karena bukan suruhan dia karena dia udah ninggalin gue sejak lo ngelabrak dia waktu itu! Puas lo sekarang?” Gue balik ngebentak Dania sekaligus menunjuk mukanya dengan telunjuk tangan kiri gue.

“Kalau kalian ngerasa adil. Ayo hapus penilaian negatif kalian ke Emi dan sekarang nilai negatif ke Ija aja. Ija, kakaknya Dania dan anak Mama yang jadi penyebab diri Ija nggak guna kayak sekarang gini, menurut kalian. Apa Mama jadi nggak ngerasa bersalah kalau udah nilai anak orang nggak bener dan ternyata yang nggak bener malah anaknya sendiri, bukan anak orang lain?” Mulut gue sudah mulai bergetar. Badan gue terasa sangat capek dengan pertengkaran ini.

“…….”

“Sekarang kalian udah tau kan kalau Ija yang kalian kenal ini ternyata jadi penyebab utama kenegatifan di diri Ija itu sendiri. Coba kalian pikirin, apa kalian nggak kurang bersyukur pas tau kalau masih ada cewek di luar sana yang masih mau nerima Ija yang ternyata diem-diem itu nggak bisa apa-apa? Cuman cowok gagal yang nggak guna bahkan itu dinilai oleh keluarganya sendiri? Lo aja bilang kan ke Emi kalau lo pribadi jadi cewek nggak mau jadian sama cowok kayak gue? Terus menurut lo pas tau gue ditinggalin Emi, lo nggak mikir apa gue bakalan dapet cewek lain lagi apa nggak setelah ini hah?”

“Kan ada Ara!”
putudarmaji
khodzimzz
caporangtua259
caporangtua259 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.