- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#409
Jilid 12 [Part 286]
Spoiler for :
SEBENARNYALAH, bahwa seseorang dengan mengatur pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran dan kehendak, percaya kepada kebenaran atas tindakannya, dan pasrah setulus-tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Besar, dapatlah kiranya orang menyingkirkan diri dari kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh wujud jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai ujud jasmaniahnya sendiri.
Dalam keadaan yang demikianlah Arya Salaka bertempur dengan gigihnya melawan Lawa Ijo. Sebagai seorang pemuda yang sedang berkembang, ia memiliki semangat yang luar biasa. Otot-ototnya yang mulai tampak berjalur-jalur di bawah kulitnya telah membentuk tubuhnya menjadi bertambah serasi dengan wajahnya yang keras penuh daya juang dan penuh harapan bagi masa depan.
Mantingan melihat pertempuran itu seperti terpaku di tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo dalam keadaan sedemikian baiknya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Arya Salaka telah berhasil menempa dirinya menjadi seorang anak muda perkasa. Yang mau tidak mau harus diakuinya bahwa anak itu telah melampauinya, dan menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan ternyata bahwa Arya Salaka sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang memancarkan panas, sepanas api.
Mantingan tersadar ketika beberapa kali udara panas melanda dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut menjauhi titik pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam dirinya. Apakah sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah sama sekali tidak merasakan sentuhan-sentuhan udara panas itu.
Meskipun demikian Mantingan belum berani meninggalkan Arya Salaka bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi sesuatu atas anak itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya. Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu, Mantingan tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur berpasangan melawan Lawa ijo, meskipun ia yakin bahwa seandainya ia ikut serta maka pasti ia berdua dengan Arya Salaka akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun barangkali tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh Lawa Ijo.
Karena itu Mantingan hanya dapat melihat saja pertempuran itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya tetap tergenggam erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika melihat Arya Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti burung rajawali raksasa.
Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-benar dapat bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya menjadi bercahaya seperti mata serigala. Dengan menggeram dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun demikian di dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang membelit-belit dirinya. Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi heran, kenapa anak muda itu dapat membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu Alas Kobar.
Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan jawab atas pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia merangsang lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar, yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera pewayangan.
Tetapi Arya Salaka pun tangguh bukan kepalang. Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat sekali. Sedang gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi dirinya.
Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng, melawan Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah banyak memiliki pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah beberapa puluh orang yang cukup terkenal dilawan dan dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan yang didatanginya dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan Demak. Namun ia masih tetap pada pekerjaannya. Merampok. Membunuh.
Dan yang terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk menundukkan perdikan Banyubiru. Apalagi ketika tersiar berita untuk kedua kalinya, bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia bersepakat dengan kawan-kawan segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan terjadi saling mendesak dan saling membunuh diantara golongan hitam itu sendiri.
Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya karena Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya. Apakah sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia sekarang menghadapi suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada Lawa Ijo menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih ia mengerahkan segenap kekuatannya dengan dilambari oleh ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak itu.
ARYA SALAKA bukanlah seekor cacing yang hanya mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan yang dapat menyamai Lawa Ijo. Bahkan apapun yang dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh lawannya yang muda itu.
Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah, bahkan akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan. Apalagi ketika sekali-kali ia sempat melihat lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain.
Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa anak buahnya dapat mengatasi keadaan. Wadas Gunung, adik seperguruannya ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat berkisar mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung sama sekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak pula terlalu mudah.
Sedang Wirasaba masih bertempur pula dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun menakutkan.
Di kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan rantai berputar di tangan kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa langkah di mukanya hanya berkisar-kisar saja. Dengan tertawa-tawa Widuri membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama Bagolan sama sekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi lawannya, ia berkisar berputar-putar. Namun kemana ia pergi, Widuri selalu menghadapinya.
Akhirnya Bagolan menjadi marah juga. Marah, malu dan segala macam perasaan bercampur baur. Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah basah karena peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia ingin meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa gadis kecil itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain-main dengan rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah mengumpat-umpat di dalam hati tak habis-habisnya. Kalau saja Widuri menyerangnya, Bagolan akan mendapat kesempatan pada perubahan-perubahan gerak gadis itu. Tetapi ternyata Widuri masih berdiri saja di tempatnya.
Tetapi justru karena itu Bagolan merasa malam itu tegang sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya terdengar berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak dapat. Karena itulah maka ia menjadi seperti cacing kepanasan.
Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka ternyata jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh anak muda itu benar-benar seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa tahun yang lalu di hutan Tambak Baya.
Ketangkasan, ketangguhan dan ketrampilan. Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi ilmunya dengan ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu sama sekali tidak menemui kesulitan apa-apa, sehingga menurut penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju dari Mahesa Jenar lima tahun yang lalu.
Disamping perasaan marah, timbul pula sepercik pertanyaan di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya telah berhasil menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan Mahesa Jenar sendiri.
Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan cepatnya. Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan sekarang ternyata apa yang pernah didengarnya itu adalah benar. Ia pernah bertempur dan bahkan membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening.
Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah yang agak mengganggu dirinya, karena sebagian kekuatan cadangannya tersalur untuk melawan kekuatan pancaran panas sehingga kulitnya tidak hangus karenanya, disamping tata pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan tekadnya, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Besar. Maka hal yang demikian itulah yang telah mengurangi gangguan-gangguan perasaan pada bentuk jasmaniahnya.
Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin ganas. Ia sama sekali tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah teriakan nyaring dari mulut orang yang bernama Ketapang, karena goresan kapak Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika di sekeliling titik pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri disamping Mantingan.
Mereka telah kehilangan lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya Lawa Ijo sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah untuk meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak buahnya bertempur semakin lama, mereka pasti akan binasa. Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh orang lain, Lawa Ijo membenarkan anak buahnya untuk menyingkir.
Tetapi ia sendiri sama sekali belum bermaksud meninggalkan pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun benar.
Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu.
Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran itu. Meskipun mereka tidak merasa curang, apabila mereka bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun tiba-tiba di dalam hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya Salaka bertempur sendiri.
Dalam keadaan yang demikianlah Arya Salaka bertempur dengan gigihnya melawan Lawa Ijo. Sebagai seorang pemuda yang sedang berkembang, ia memiliki semangat yang luar biasa. Otot-ototnya yang mulai tampak berjalur-jalur di bawah kulitnya telah membentuk tubuhnya menjadi bertambah serasi dengan wajahnya yang keras penuh daya juang dan penuh harapan bagi masa depan.
Mantingan melihat pertempuran itu seperti terpaku di tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo dalam keadaan sedemikian baiknya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Arya Salaka telah berhasil menempa dirinya menjadi seorang anak muda perkasa. Yang mau tidak mau harus diakuinya bahwa anak itu telah melampauinya, dan menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan ternyata bahwa Arya Salaka sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang memancarkan panas, sepanas api.
Mantingan tersadar ketika beberapa kali udara panas melanda dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut menjauhi titik pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam dirinya. Apakah sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah sama sekali tidak merasakan sentuhan-sentuhan udara panas itu.
Meskipun demikian Mantingan belum berani meninggalkan Arya Salaka bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi sesuatu atas anak itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya. Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu, Mantingan tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur berpasangan melawan Lawa ijo, meskipun ia yakin bahwa seandainya ia ikut serta maka pasti ia berdua dengan Arya Salaka akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun barangkali tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh Lawa Ijo.
Karena itu Mantingan hanya dapat melihat saja pertempuran itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya tetap tergenggam erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika melihat Arya Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti burung rajawali raksasa.
Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-benar dapat bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya menjadi bercahaya seperti mata serigala. Dengan menggeram dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun demikian di dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang membelit-belit dirinya. Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi heran, kenapa anak muda itu dapat membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu Alas Kobar.
Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan jawab atas pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia merangsang lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar, yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera pewayangan.
Tetapi Arya Salaka pun tangguh bukan kepalang. Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat sekali. Sedang gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi dirinya.
Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng, melawan Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah banyak memiliki pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah beberapa puluh orang yang cukup terkenal dilawan dan dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan yang didatanginya dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan Demak. Namun ia masih tetap pada pekerjaannya. Merampok. Membunuh.
Dan yang terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk menundukkan perdikan Banyubiru. Apalagi ketika tersiar berita untuk kedua kalinya, bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia bersepakat dengan kawan-kawan segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan terjadi saling mendesak dan saling membunuh diantara golongan hitam itu sendiri.
Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya karena Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya. Apakah sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia sekarang menghadapi suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada Lawa Ijo menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih ia mengerahkan segenap kekuatannya dengan dilambari oleh ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak itu.
ARYA SALAKA bukanlah seekor cacing yang hanya mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan yang dapat menyamai Lawa Ijo. Bahkan apapun yang dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh lawannya yang muda itu.
Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah, bahkan akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan. Apalagi ketika sekali-kali ia sempat melihat lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain.
Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa anak buahnya dapat mengatasi keadaan. Wadas Gunung, adik seperguruannya ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat berkisar mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung sama sekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak pula terlalu mudah.
Sedang Wirasaba masih bertempur pula dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun menakutkan.
Di kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan rantai berputar di tangan kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa langkah di mukanya hanya berkisar-kisar saja. Dengan tertawa-tawa Widuri membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama Bagolan sama sekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi lawannya, ia berkisar berputar-putar. Namun kemana ia pergi, Widuri selalu menghadapinya.
Akhirnya Bagolan menjadi marah juga. Marah, malu dan segala macam perasaan bercampur baur. Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah basah karena peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia ingin meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa gadis kecil itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain-main dengan rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah mengumpat-umpat di dalam hati tak habis-habisnya. Kalau saja Widuri menyerangnya, Bagolan akan mendapat kesempatan pada perubahan-perubahan gerak gadis itu. Tetapi ternyata Widuri masih berdiri saja di tempatnya.
Tetapi justru karena itu Bagolan merasa malam itu tegang sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya terdengar berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak dapat. Karena itulah maka ia menjadi seperti cacing kepanasan.
Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka ternyata jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh anak muda itu benar-benar seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa tahun yang lalu di hutan Tambak Baya.
Ketangkasan, ketangguhan dan ketrampilan. Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi ilmunya dengan ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu sama sekali tidak menemui kesulitan apa-apa, sehingga menurut penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju dari Mahesa Jenar lima tahun yang lalu.
Disamping perasaan marah, timbul pula sepercik pertanyaan di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya telah berhasil menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan Mahesa Jenar sendiri.
Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan cepatnya. Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan sekarang ternyata apa yang pernah didengarnya itu adalah benar. Ia pernah bertempur dan bahkan membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening.
Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah yang agak mengganggu dirinya, karena sebagian kekuatan cadangannya tersalur untuk melawan kekuatan pancaran panas sehingga kulitnya tidak hangus karenanya, disamping tata pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan tekadnya, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Besar. Maka hal yang demikian itulah yang telah mengurangi gangguan-gangguan perasaan pada bentuk jasmaniahnya.
Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin ganas. Ia sama sekali tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah teriakan nyaring dari mulut orang yang bernama Ketapang, karena goresan kapak Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika di sekeliling titik pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri disamping Mantingan.
Mereka telah kehilangan lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya Lawa Ijo sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah untuk meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak buahnya bertempur semakin lama, mereka pasti akan binasa. Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh orang lain, Lawa Ijo membenarkan anak buahnya untuk menyingkir.
Tetapi ia sendiri sama sekali belum bermaksud meninggalkan pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun benar.
Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu.
Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran itu. Meskipun mereka tidak merasa curang, apabila mereka bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun tiba-tiba di dalam hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya Salaka bertempur sendiri.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas