- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#406
Jilid 12 [Part 285]
Spoiler for :
WAKTU yang diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan tenaganya tidaklah lama. Beberapa kejap kemudian ia sudah meloncat kembali dan menyerang Mantingan dengan sangat dahsyat. Mantingan pun dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak ilmu pacar wutah. Namun hanya sesaat saja ia mampu bertahan, sebab kemudian terasa bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan udara yang amat panas. Mantingan sadar bahwa udara yang panas itu adalah akibat dari ilmu Lawa Ijo yang dipancarkan oleh kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber pada ilmu hitam.
Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian dengan garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh udara yang sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar tidak melihat kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara panas yang membakar dirinya, seolah-olah membuat darahnya mendidih dan tak berdaya. Kakinya tiba-tiba terasa lumpuh. Dalam keadaan demikian, ia hanya mampu mengacungkan trisulanya lurus ke depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan menerkamnya dengan dua pisau belati di tangan.
Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh yang jatuh terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan dapat menembus dada Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ketika ia menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya Tembini berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah merah segar. Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis melihat keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu sengaja ia berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa Ijo.
Karena untuk melukai Wadas Gunung masih agak sulit dan waktu yang terlalu sempit, akhirnya pedang Rara Wilis terpusat ke arah dada Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu mendahului gerak Lawa Ijo yang hampir saja menentukan batas umur Mantingan dengan ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas Kobar, sehingga benar-benar jeritan Tembini dapat menghentikan langkah terakhir Lawa Ijo.
Melihat Tembini terbanting dan berguling-guling di tanah, Lawa Ijo sama sekali tidak menaruh perhatian. Ia bahkan menjadi semakin marah karena geraknya terganggu. Karena itu dari mulutnya terdengar umpatan,
Semua yang mendengar umpatan itu mau tak mau meremang bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri, Lawa Ijo dapat berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam pada itu Bagolan pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti Tembini. Apalagi lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil.
Tetapi bagaimanapun Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata ia tidak dapat mengatasi keadaan. Sebab rantai perak itu seperti selalu meraung-raung di telinganya, menyambar-nyambar seperti lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian tubuhnya dengan sesukanya.
Memang, beberapa kali Bagolan telah merasakan ujung rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan nyeri. Semakin lama semakin sering. Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu bertempur sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan terkelupas habis.
Dalam pada itu, kembali mata Lawa ijo yang memancar merah menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan yang membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya api. Kali ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun yang terjadi. Meskipun semua anggotanya akan berteriak bersama-sama dan mati bersama-sama sekalipun. Ia akan membunuh Mantingan untuk kemudian membunuh Wirasaba dan Arya Salaka.
Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang anak muda muncul dari kegelapan malam berjalan seenaknya ke arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi oleh senyumnya yang manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata,
Melihat kedatangan anak muda dan mendengar kata-katanya untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti dihantam batu hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali, sedemikian marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan Arya Salaka itu. Apakah benar-benar ia akan melakukannya?
Dalam pada itu Mantingan pun kemudian menengok ke segenap arah untuk mencari di manakah orang-orang yang baru saja bertempur melawan Arya Salaka. Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di sana-sini tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis melawan Wadas Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan Ketapang, sedangkan Widuri melawan Bagolan.
Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan bertanya,
SEKALI lagi dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia memandang berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung, Cemara Aking, Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang terluka. Kalau demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah Bandotan, Jadipa dan seorang kebanggaannya yang bernama Kyai Sada Gebang. Dengan hampir tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi berteriak,
Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada orang lain yang membantu anak muda itu sehingga ia berhasil membunuh ketiga orangnya yang sama sekali bukan orang-orang kebanyakan, Dan sekarang anak itu datang menantangnya.
Tiba-tiba timbullah dendam di dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin membara dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin membunuh anak muda itu untuk memadamkan semangat perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak Banyubiru yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang berbahaya bagi jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh daerah perdikan bekas perdikan Pangrantun.
Dan, sekarang anak itu telah datang kepadanya untuk menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa tanpa bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena itu dengan menggeram ia berkata,
Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar perkataan kasar itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang semacam Lawa Ijo itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan tenangnya ia menjawab,
Mendengar ejekan-ejekan Mantingan, telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi sekarang anak yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani menghinanya pula, menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang sama.
Karena itu Lawa Ijo sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang maharaja di daerah alas Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya yang maha sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa membiarkan dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh, membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah ia. Kalau ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia.
Demikianlah kali ini, timbullah keinginannya untuk membunuh dengan cara yang paling mengerikan. Ia menganggap bahwa orang-orang itu sama sekali tidak menghargainya, tidak merasa ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus mendapat hukuman.
Sambil menggeram dahsyat Lawa Ijo menerkam Arya Salaka, sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas seolah-olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap penjuru di sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo itu pun merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya. Bersama dengan itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang akan terjadi dengan Arya Salaka?
Mantingan sendiri mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri melawan Lawa Ijo. Tetapi hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan tenangnya dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo. Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan yang cepat dan lincah ia meloncat memutar tombak pusakanya, langsung mengarah ke ulu hati lawannya.
Lawa Ijo pun terkejut melihat serangan itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan. Serangannya yang dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih sempat dihindari oleh Arya Salaka.
Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula terkejut merasakan serangan udara panas itu.
Namun tanpa sesadarnya, udara yang panas itu lambat laun menjadi sejuk dengan sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari segenap lubang kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi terpengaruh oleh udara panas yang secara bergelombang melibat dirinya. Ia sendiri tak menyadari bahwa berkat pertolongan orang berjubah abu-abulah, ia dapat membebaskan diri dari serangan aji Alas Kobar yang ganas.
Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga cadangan untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan kulit untuk melawan rangsang dari luar, kini telah bebas. Kekuatan-kekuatan itu dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus. Adalah suatu kurnia baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur jalan pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya dengan baik menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk mendasari ilmunya Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang berjubah abu-abu yang telah membuka segenap simpanan kekuatan di dalam tubuhnya.
Demikianlah, maka Arya Salaka seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan simpul-simpul perasa dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun ia tidak menjadi kebal dari serangan senjata, namun dalam saat-saat tertentu dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu.
Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian dengan garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh udara yang sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar tidak melihat kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara panas yang membakar dirinya, seolah-olah membuat darahnya mendidih dan tak berdaya. Kakinya tiba-tiba terasa lumpuh. Dalam keadaan demikian, ia hanya mampu mengacungkan trisulanya lurus ke depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan menerkamnya dengan dua pisau belati di tangan.
Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh yang jatuh terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan dapat menembus dada Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ketika ia menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya Tembini berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah merah segar. Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis melihat keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu sengaja ia berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa Ijo.
Karena untuk melukai Wadas Gunung masih agak sulit dan waktu yang terlalu sempit, akhirnya pedang Rara Wilis terpusat ke arah dada Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu mendahului gerak Lawa Ijo yang hampir saja menentukan batas umur Mantingan dengan ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas Kobar, sehingga benar-benar jeritan Tembini dapat menghentikan langkah terakhir Lawa Ijo.
Melihat Tembini terbanting dan berguling-guling di tanah, Lawa Ijo sama sekali tidak menaruh perhatian. Ia bahkan menjadi semakin marah karena geraknya terganggu. Karena itu dari mulutnya terdengar umpatan,
Quote:
"Persetan kau Tembini. Matilah kau kelinci, dan kulitmu akan aku rentang di depan regol sarang kita sebagai peringatan dari salah seorang anggota Lawa Ijo yang memalukan."
Semua yang mendengar umpatan itu mau tak mau meremang bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri, Lawa Ijo dapat berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam pada itu Bagolan pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti Tembini. Apalagi lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil.
Tetapi bagaimanapun Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata ia tidak dapat mengatasi keadaan. Sebab rantai perak itu seperti selalu meraung-raung di telinganya, menyambar-nyambar seperti lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian tubuhnya dengan sesukanya.
Memang, beberapa kali Bagolan telah merasakan ujung rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan nyeri. Semakin lama semakin sering. Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu bertempur sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan terkelupas habis.
Dalam pada itu, kembali mata Lawa ijo yang memancar merah menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan yang membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya api. Kali ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun yang terjadi. Meskipun semua anggotanya akan berteriak bersama-sama dan mati bersama-sama sekalipun. Ia akan membunuh Mantingan untuk kemudian membunuh Wirasaba dan Arya Salaka.
Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang anak muda muncul dari kegelapan malam berjalan seenaknya ke arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi oleh senyumnya yang manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata,
Quote:
"Paman Mantingan, sebaiknya Paman beristirahat untuk sementara. Meskipun aku harap Paman untuk selalu mengawasi aku di sini. Beberapa tahun yang lampau aku mendengar guruku bertempur mati-matian melawan Lawa Ijo di tengah-tengah hutan Tambakbaya. Sekarang kurang lebih lima tahun kemudian, biarlah aku, muridnya, mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku telah dapat memenuhi harapan guruku, mewarisi ilmunya untuk sedikitnya seperti ilmu guru lima tahun lalu."
Melihat kedatangan anak muda dan mendengar kata-katanya untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti dihantam batu hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali, sedemikian marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan Arya Salaka itu. Apakah benar-benar ia akan melakukannya?
Dalam pada itu Mantingan pun kemudian menengok ke segenap arah untuk mencari di manakah orang-orang yang baru saja bertempur melawan Arya Salaka. Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di sana-sini tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis melawan Wadas Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan Ketapang, sedangkan Widuri melawan Bagolan.
Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan bertanya,
Quote:
"Di manakah lawan Angger tadi…?"
Arya Salaka masih saja tersenyum.
"Aku terpaksa membunuh mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau mendengar peringatanku. Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba membunuh aku pula."
"Kau bunuh mereka bertiga…?" Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo berteriak.
"Maaf Lawa Ijo. Anak buahmu itu terlalu keras kepala," jawab Arya Salaka.
Arya Salaka masih saja tersenyum.
"Aku terpaksa membunuh mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau mendengar peringatanku. Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba membunuh aku pula."
"Kau bunuh mereka bertiga…?" Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo berteriak.
"Maaf Lawa Ijo. Anak buahmu itu terlalu keras kepala," jawab Arya Salaka.
SEKALI lagi dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia memandang berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung, Cemara Aking, Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang terluka. Kalau demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah Bandotan, Jadipa dan seorang kebanggaannya yang bernama Kyai Sada Gebang. Dengan hampir tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi berteriak,
Quote:
"Benar kau lakukan pembunuhan itu?"
"Aku tidak bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua berjanggut panjang dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya bukan main."
Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata,
"Ialah Kyai Sada Gebang. Kau bunuh juga orang itu?"
"Terpaksa," gumam Arya Salaka.
"Aku tidak bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua berjanggut panjang dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya bukan main."
Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata,
"Ialah Kyai Sada Gebang. Kau bunuh juga orang itu?"
"Terpaksa," gumam Arya Salaka.
Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada orang lain yang membantu anak muda itu sehingga ia berhasil membunuh ketiga orangnya yang sama sekali bukan orang-orang kebanyakan, Dan sekarang anak itu datang menantangnya.
Tiba-tiba timbullah dendam di dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin membara dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin membunuh anak muda itu untuk memadamkan semangat perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak Banyubiru yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang berbahaya bagi jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh daerah perdikan bekas perdikan Pangrantun.
Dan, sekarang anak itu telah datang kepadanya untuk menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa tanpa bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena itu dengan menggeram ia berkata,
Quote:
"Arya Salaka, kalau kau benar-benar dapat membunuh ketiga orang-orangku tanpa bantuan orang lain, maka wajarlah kalau kau berani menantang aku. Tetapi kalau dalam perkelahian ini kau akan terbunuh dengan sia-sia, maka jangan salahkan aku. Bersama-sama dengan Mantingan, kepalamu akan aku penggal dan akan aku pasang kelak di tengah-tengah alun-alun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira rakyat Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu?"
Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar perkataan kasar itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang semacam Lawa Ijo itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan tenangnya ia menjawab,
Quote:
"Jangan kau menakut-nakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku jangan sekali-kali kau penggal, sebab alangkah sulitnya hidup tanpa kepala."
"Gila!" geramnya.
"Gila!" geramnya.
Mendengar ejekan-ejekan Mantingan, telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi sekarang anak yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani menghinanya pula, menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang sama.
Karena itu Lawa Ijo sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang maharaja di daerah alas Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya yang maha sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa membiarkan dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh, membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah ia. Kalau ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia.
Demikianlah kali ini, timbullah keinginannya untuk membunuh dengan cara yang paling mengerikan. Ia menganggap bahwa orang-orang itu sama sekali tidak menghargainya, tidak merasa ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus mendapat hukuman.
Sambil menggeram dahsyat Lawa Ijo menerkam Arya Salaka, sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas seolah-olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap penjuru di sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo itu pun merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya. Bersama dengan itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang akan terjadi dengan Arya Salaka?
Mantingan sendiri mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri melawan Lawa Ijo. Tetapi hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan tenangnya dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo. Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan yang cepat dan lincah ia meloncat memutar tombak pusakanya, langsung mengarah ke ulu hati lawannya.
Lawa Ijo pun terkejut melihat serangan itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan. Serangannya yang dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih sempat dihindari oleh Arya Salaka.
Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula terkejut merasakan serangan udara panas itu.
Namun tanpa sesadarnya, udara yang panas itu lambat laun menjadi sejuk dengan sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari segenap lubang kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi terpengaruh oleh udara panas yang secara bergelombang melibat dirinya. Ia sendiri tak menyadari bahwa berkat pertolongan orang berjubah abu-abulah, ia dapat membebaskan diri dari serangan aji Alas Kobar yang ganas.
Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga cadangan untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan kulit untuk melawan rangsang dari luar, kini telah bebas. Kekuatan-kekuatan itu dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus. Adalah suatu kurnia baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur jalan pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya dengan baik menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk mendasari ilmunya Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang berjubah abu-abu yang telah membuka segenap simpanan kekuatan di dalam tubuhnya.
Demikianlah, maka Arya Salaka seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan simpul-simpul perasa dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun ia tidak menjadi kebal dari serangan senjata, namun dalam saat-saat tertentu dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas