- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#402
Jilid 12 [Part 281]
Spoiler for :
MALAM yang semakin larut itu benar-benar merupakan malam yang tegang dan gelisah. Ketika di kejauhan terdengar salak anjing-anjing liar, maka kembali terdengar siulan yang melengking merobek suara angin yang berdesir lembut. Seperti semula, suara itu pun kemudian disusul dengan siulan dari tiga penjuru yang lain berturut-turut. Namun suara ini terdengar jauh lebih dekat daripada suara yang pertama. Agaknya orang-orang yang menyebar sirep itu sudah berjalan maju beberapa puluh langkah.
Sesaat kemudian telinga Mantingan menangkap suara langkah perlahan mendekati gardu pimpinan yang masih benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia melihat tiga orang kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang diantaranya mengendap-endap mendekati pintu yang masih ternganga lebar. Hati-hati sekali ia mengintip ke dalam.
Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan itu kosong, ia memberi isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain pun kemudian mendekati pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka tertawa. Sebentar kemudian terdengar pula salah seorang dari ketiga orang itu bersiul pula. Dan bermunculan pula dari berbagai arah beberapa orang mendekati gardu pimpinan itu. Ketika semuanya sudah berkumpul, menurut hitungan Mantingan, berjumlah sepuluh orang.
Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya semakin erat melekat pada tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia masih belum tahu siapa-siapakah yang mendekati perkemahan itu. Baru kemudian ketika salah seorang dari mereka dengan sombong mempermainkan pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir.
Ia pernah melihat jenis pisau belati panjang semacam itu. Bahkan ia hampir saja terlubang dadanya oleh pisau semacam itu. Mau tidak mau Mantingan harus berpikir keras memperhitungkan kekuatannya sendiri. Kekuatan perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota gerombolan Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu.
Dalam cahaya lampu minyak jarak yang menusuk lewat pintu gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat salah seorang dari mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang itu beberapa tahun yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Wiraraga, Paningron, dan Gajah Alit. Melawan orang-orang itu bersama rombongannya. Sekarang, agaknya orang itu pula yang memimpin rombongannya mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru. Orang itu tidak lain adalah Lawa Ijo itu sendiri.
Sekali lagi dada Mantingan berdesir. Meskipun ia sendiri sama sekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi setelah ilmu geraknya yang lincah, Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam, namun ia merasa harus memperhitungkan orang-orang itu.
Orang-orang lain dalam rombongan itu adalah seorang yang bertubuh gagah tegap. Ketika seleret sinar menyambar wajah orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak percaya pada penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang bernama Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar.
Sekarang, tiba-tiba orang itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam keheranan itu tiba-tiba ia teringat pada masa kanak-kanaknya. Meskipun lamat-lamat ia teringat bahwa yang kemudian Watu Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung. Orang itulah pasti saudara kembar itu. Sedang orang-orang yang lain, Mantingan belum pernah melihatnya. Seorang yang tinggi kekurus-kurusan, seorang yang pendek bulat yang juga berkumis lebat, dan orang-orang lain yang gagah dan garang.
Mereka itulah anak buah Lawa Ijo yang terpilih untuk mengikutinya menyerbu ke perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka itulah Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, Tembini dan sebagainya, yang berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo sendiri.
Beberapa saat kemudian terdengarlah Lawa Ijo berkata perlahan-lahan namun jelas. Kata demi kata terdengar oleh Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh dari gardu itu.
Sesaat kemudian berpencarlah mereka ke segenap penjuru. Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang masih tetap berada di gardu pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi semakin gelisah. Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum akan bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para penjaga yang ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya.
Ternyata Lawa Ijo tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian anak buahnya telah berkumpul kembali dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berkata,
SETELAH suara tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti, Carang Lampit meneruskan laporannya,
Terlalu pendek dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang itulah yang bernama Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh Endang Widuri.
Mendengar Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit tertawa.
Hampir serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang dari mereka yang bertubuh kekar kuat dan berwajah gelap berkata,
Jadipa diam saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan gadis itu. Meskipun demikian, kemudian ia membela diri,
Sekali lagi Lawa Ijo tertawa menggelegar memenuhi rimba itu. Ia menjadi bergembira sekali, seolah – olah Banyubiru telah jatuh ke tangannya, dan demikian pula Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Mendengar semua kata-kata Lawa Ijo itu, tubuh Mantingan bergetaran. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ia mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai banyak sekali pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba. Bahkan kemudian tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Tetapi kemudian ia dapat mengerti bahwa hal yang demikian itu sangat mungkin. Orang-orang Lawa Ijo dapat mendengar nama-nama itu dari orang-orang Banyubiru yang acuh tak acuh pada keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa Jenar, Widuri sendirilah yang telah bercerita.
Bersamaan dengan bunyi jawaban itu, berdesirlah hati Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu pertama-tama akan memasuki pondok Rara Wilis.
Gerombolan itu pun segera bergerak lewat beberapa langkah dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi. Sekali lagi Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan bertanya kepada senjatanya itu, apakah yang harus dilakukan segera. Ia menjadi sedikit lega ketika diingatnya bahwa Wirasaba ada di dalam kemah itu.
Sementara itu, di dalam pondok kecil itu Wirasaba semakin lama menjadi semakin tidak sabar. Waktu yang hanya beberapa saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam. Ketika mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar, Wirasaba tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir beberapa kali. Tetapi sesaat kemudian ia sudah terbanting duduk kembali. Demikian pula ketika untuk kedua kalinya Lawa Ijo tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba semakin marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu, baginya lebih baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan pondok kecil itu.
Sesaat kemudian telinga Mantingan menangkap suara langkah perlahan mendekati gardu pimpinan yang masih benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia melihat tiga orang kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang diantaranya mengendap-endap mendekati pintu yang masih ternganga lebar. Hati-hati sekali ia mengintip ke dalam.
Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan itu kosong, ia memberi isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain pun kemudian mendekati pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka tertawa. Sebentar kemudian terdengar pula salah seorang dari ketiga orang itu bersiul pula. Dan bermunculan pula dari berbagai arah beberapa orang mendekati gardu pimpinan itu. Ketika semuanya sudah berkumpul, menurut hitungan Mantingan, berjumlah sepuluh orang.
Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya semakin erat melekat pada tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia masih belum tahu siapa-siapakah yang mendekati perkemahan itu. Baru kemudian ketika salah seorang dari mereka dengan sombong mempermainkan pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir.
Quote:
“Rombongan Lawa Ijo,” desis Mantingan.
Ia pernah melihat jenis pisau belati panjang semacam itu. Bahkan ia hampir saja terlubang dadanya oleh pisau semacam itu. Mau tidak mau Mantingan harus berpikir keras memperhitungkan kekuatannya sendiri. Kekuatan perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota gerombolan Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu.
Dalam cahaya lampu minyak jarak yang menusuk lewat pintu gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat salah seorang dari mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang itu beberapa tahun yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Wiraraga, Paningron, dan Gajah Alit. Melawan orang-orang itu bersama rombongannya. Sekarang, agaknya orang itu pula yang memimpin rombongannya mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru. Orang itu tidak lain adalah Lawa Ijo itu sendiri.
Sekali lagi dada Mantingan berdesir. Meskipun ia sendiri sama sekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi setelah ilmu geraknya yang lincah, Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam, namun ia merasa harus memperhitungkan orang-orang itu.
Orang-orang lain dalam rombongan itu adalah seorang yang bertubuh gagah tegap. Ketika seleret sinar menyambar wajah orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak percaya pada penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang bernama Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar.
Sekarang, tiba-tiba orang itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam keheranan itu tiba-tiba ia teringat pada masa kanak-kanaknya. Meskipun lamat-lamat ia teringat bahwa yang kemudian Watu Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung. Orang itulah pasti saudara kembar itu. Sedang orang-orang yang lain, Mantingan belum pernah melihatnya. Seorang yang tinggi kekurus-kurusan, seorang yang pendek bulat yang juga berkumis lebat, dan orang-orang lain yang gagah dan garang.
Mereka itulah anak buah Lawa Ijo yang terpilih untuk mengikutinya menyerbu ke perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka itulah Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, Tembini dan sebagainya, yang berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo sendiri.
Beberapa saat kemudian terdengarlah Lawa Ijo berkata perlahan-lahan namun jelas. Kata demi kata terdengar oleh Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh dari gardu itu.
Quote:
“Dengarlah baik-baik… agaknya sirep kita benar-benar dapat membius perkemahan ini. Tidak seorang pun yang masih terbangun. Dan gardu ini pun telah kosong. Aku kira gardu ini adalah gardu pimpinan. Sekarang, untuk meyakinkan kita sendiri, lihatlah berkeliling. Apakah masih ada seorang yang bangun. Kalau ada, aku beri wewenang kepada kalian untuk menyelesaikannya. Kemudian kalian harus berkumpul kembali di sini. Dan bersama-sama memasuki setiap perkemahan. Jangan sampai seorang pemimpin pun yang dapat membebaskan dirinya.”
Sesaat kemudian berpencarlah mereka ke segenap penjuru. Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang masih tetap berada di gardu pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi semakin gelisah. Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum akan bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para penjaga yang ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya.
Ternyata Lawa Ijo tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian anak buahnya telah berkumpul kembali dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berkata,
Quote:
“Ki Lurah, tak seorang penjaga pun yang masih terbangun. Semuanya tertidur di tempat mereka bertugas.”
“Bagus…” dengus Lawa Ijo,
“Lalu apa lagi yang kalian lihat?”
“Semua perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman melakukan pekerjaan kita,” sambung orang yang tinggi kekurus-kurusan, yang bernama Carang Lampit.
Lawa Ijo tertawa pendek.
“Aku kira Mahesa Jenar tidak akan kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan orang yang dapat diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu. Dengan keempat kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia berhasil melarikan diri, nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila ia kembali.” Kata-kata itu diakhiri dengan bunyi tertawanya yang khusus, yang menggelegar memenuhi rimba. Mengerikan.
“Bagus…” dengus Lawa Ijo,
“Lalu apa lagi yang kalian lihat?”
“Semua perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman melakukan pekerjaan kita,” sambung orang yang tinggi kekurus-kurusan, yang bernama Carang Lampit.
Lawa Ijo tertawa pendek.
“Aku kira Mahesa Jenar tidak akan kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan orang yang dapat diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu. Dengan keempat kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia berhasil melarikan diri, nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila ia kembali.” Kata-kata itu diakhiri dengan bunyi tertawanya yang khusus, yang menggelegar memenuhi rimba. Mengerikan.
SETELAH suara tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti, Carang Lampit meneruskan laporannya,
Quote:
“Ki Lurah, menurut penilikan kami, diantara kemah-kemah yang ada ternyata ada satu kemah yang mendapat penjagaan kuat. Aku kira ada sesuatu yang penting di dalamnya. Atau barangkali di dalam pondok itulah berada gadis kecil yang dikatakan Jadipa siang tadi.”
“Kalau begitu kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,” dengus orang bertubuh sedang tetapi berkaki pendek.
“Kalau begitu kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,” dengus orang bertubuh sedang tetapi berkaki pendek.
Terlalu pendek dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang itulah yang bernama Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh Endang Widuri.
Mendengar Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit tertawa.
Quote:
“Aku ingin melihat kau sekali lagi berlari menghindarinya apabila perutmu dikenai kaki gadis kecil itu.”
“Ia bukan gadis kecil,” jawab Jadipa.
“Di desaku dahulu gadis-gadis sebayanya telah dikimpoikan oleh orang tuanya. Dan memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu segera kimpoi. Mempelai laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.”
“Tunjukkan kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,” jawab Bagolan.
“Akulah orangnya,” jawab Jadipa.
“Ia bukan gadis kecil,” jawab Jadipa.
“Di desaku dahulu gadis-gadis sebayanya telah dikimpoikan oleh orang tuanya. Dan memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu segera kimpoi. Mempelai laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.”
“Tunjukkan kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,” jawab Bagolan.
“Akulah orangnya,” jawab Jadipa.
Hampir serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang dari mereka yang bertubuh kekar kuat dan berwajah gelap berkata,
Quote:
“Kalau kau berselisih dengan istrimu kelak, kau harus lari kepada Ki Lurah untuk minta tolong melerainya.”
Jadipa diam saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan gadis itu. Meskipun demikian, kemudian ia membela diri,
Quote:
“Aku sebenarnya tidak kalah. Tetapi aku tidak mau menyakitinya. Karena itu aku biarkan ia sampai malam ini.”
Kembali kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo berkata,
“Carang Lampit… apakah sebabnya kau dapat mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang kau anggap terpenting?”
“Di luar kemah itu terdapat beberapa orang penjaga yang sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah lain tidak ada penjaga-penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada seorang penjagapun,” jawab Carang Lampit.
Lawa Ijo mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Menurut laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru bersama seorang yang belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan Penjawi. Jadi, pemimpin-pemimpin Banyubiru yang tinggal di perkemahan ini adalah Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti, kakak-beradik Sendangpapat dan Sendangparapat, dan dua orang yang menurut pendengaranku bernama Mantingan dan Wirasaba. Ditambah dengan gadis kecil yang disebut-sebut oleh Jadipa bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi, menurut Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka sendiri.”
“Benar Ki Lurah,” sahut Jadipa, “Gadis itu berkata demikian.”
Kemudian Lawa Ijo meneruskan,
“Kalau demikian pekerjaan kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu. Kecuali menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka. Ketahuilah bahwa laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini jauh lebih berbahaya daripada laskar Banyubiru yang masih tetap berada di Banyubiru, dan laskar Pamingit. Laskar yang berada di tempat ini, dengan penuh keyakinan berusaha untuk mempertahankan Banyubiru. Mereka rela mati untuk keyakinannya itu. Sedangkan laskar yang lain terdiri orang-orang yang bekerja untuk hidup mereka dan kekayaan mereka tanpa memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan demikian maka apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar Pamingit. Dengan demikian maka kalangan hitam akan merajai Banyubiru dan Pamingit. Mengaduk isinya dan menemukan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Kembali kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo berkata,
“Carang Lampit… apakah sebabnya kau dapat mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang kau anggap terpenting?”
“Di luar kemah itu terdapat beberapa orang penjaga yang sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah lain tidak ada penjaga-penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada seorang penjagapun,” jawab Carang Lampit.
Lawa Ijo mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Menurut laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru bersama seorang yang belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan Penjawi. Jadi, pemimpin-pemimpin Banyubiru yang tinggal di perkemahan ini adalah Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti, kakak-beradik Sendangpapat dan Sendangparapat, dan dua orang yang menurut pendengaranku bernama Mantingan dan Wirasaba. Ditambah dengan gadis kecil yang disebut-sebut oleh Jadipa bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi, menurut Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka sendiri.”
“Benar Ki Lurah,” sahut Jadipa, “Gadis itu berkata demikian.”
Kemudian Lawa Ijo meneruskan,
“Kalau demikian pekerjaan kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu. Kecuali menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka. Ketahuilah bahwa laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini jauh lebih berbahaya daripada laskar Banyubiru yang masih tetap berada di Banyubiru, dan laskar Pamingit. Laskar yang berada di tempat ini, dengan penuh keyakinan berusaha untuk mempertahankan Banyubiru. Mereka rela mati untuk keyakinannya itu. Sedangkan laskar yang lain terdiri orang-orang yang bekerja untuk hidup mereka dan kekayaan mereka tanpa memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan demikian maka apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar Pamingit. Dengan demikian maka kalangan hitam akan merajai Banyubiru dan Pamingit. Mengaduk isinya dan menemukan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Sekali lagi Lawa Ijo tertawa menggelegar memenuhi rimba itu. Ia menjadi bergembira sekali, seolah – olah Banyubiru telah jatuh ke tangannya, dan demikian pula Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Mendengar semua kata-kata Lawa Ijo itu, tubuh Mantingan bergetaran. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ia mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai banyak sekali pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba. Bahkan kemudian tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Tetapi kemudian ia dapat mengerti bahwa hal yang demikian itu sangat mungkin. Orang-orang Lawa Ijo dapat mendengar nama-nama itu dari orang-orang Banyubiru yang acuh tak acuh pada keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa Jenar, Widuri sendirilah yang telah bercerita.
Quote:
Dalam pada itu kembali terdengar suara Lawa Ijo,
“Nah, sekarang marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para pemimpin itu. Sebab tanpa pimpinan, laskar Banyubiru akan kehilangan garis perjuangannya. Manakah menurut pertimbanganmu yang pertama-tama kita masuki Carang Lampit…?”
“Perkemahan yang aku katakan tadi Ki Lurah,” jawab Carang Lampit.
“Nah, sekarang marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para pemimpin itu. Sebab tanpa pimpinan, laskar Banyubiru akan kehilangan garis perjuangannya. Manakah menurut pertimbanganmu yang pertama-tama kita masuki Carang Lampit…?”
“Perkemahan yang aku katakan tadi Ki Lurah,” jawab Carang Lampit.
Bersamaan dengan bunyi jawaban itu, berdesirlah hati Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu pertama-tama akan memasuki pondok Rara Wilis.
Gerombolan itu pun segera bergerak lewat beberapa langkah dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi. Sekali lagi Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan bertanya kepada senjatanya itu, apakah yang harus dilakukan segera. Ia menjadi sedikit lega ketika diingatnya bahwa Wirasaba ada di dalam kemah itu.
Sementara itu, di dalam pondok kecil itu Wirasaba semakin lama menjadi semakin tidak sabar. Waktu yang hanya beberapa saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam. Ketika mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar, Wirasaba tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir beberapa kali. Tetapi sesaat kemudian ia sudah terbanting duduk kembali. Demikian pula ketika untuk kedua kalinya Lawa Ijo tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba semakin marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu, baginya lebih baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan pondok kecil itu.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas