Kaskus

Story

papahmuda099Avatar border
TS
papahmuda099
Pelet Orang Banten
Pelet Orang Banten





Assalamualaikum wr.wb.



Perkenalkan, aku adalah seorang suami yang saat kisah ini terjadi, tepat berusia 30 tahun. Aku berasal dari Jawa tengah, tepatnya disebuah desa kecil yang dikelilingi oleh perbukitan, yang masih termasuk kedalam wilayah kabupaten Purbalingga.

Aku, bekerja disebuah BUMN sebagai tenaga kerja outsourcing di pinggiran kota Jakarta.


Kemudian istriku, adalah seorang perempuan Sumatra berdarah Banten. Kedua orang tuanya asli Banten. Yang beberapa tahun kemudian, keduanya memutuskan untuk ber-transmigrasi ke tanah Andalas bagian selatan. Disanalah kemudian istriku lahir.

Istriku ini, sebut saja namanya Rara ( daripada sebut saja mawar, malah nantinya jadi cerita kriminal lagi emoticon-Leh Uga), bekerja disebuah pabrik kecil, di daerah kabupaten tangerang, sejak akhir tahun 2016. Istriku, karena sudah memiliki pengalaman bekerja disebuah pabrik besar di wilayah Serang banten, maka ia ditawari menduduki jabatan yang lumayan tinggi dipabrik tersebut.


Dan alhamdulillah, kami sudah memiliki seorang anak perempuan yang saat ini sudah berusia 8 tahun. Hanya saja, dikarenakan kami berdua sama-sama sibuk dalam bekerja, berangkat pagi pulang malam, jadi semenjak 2016 akhir, anak semata wayang kami ini, kami titipkan ditempat orang tuaku di Jawa sana.


Oya, sewaktu kejadian ini terjadi (dan sampai saat ini), kami tinggal disebuah kontrakan besar dan panjang. Ada sekitar 15 kontrakan disana. Letak kontrakan kami tidak terlalu jauh dari pabrik tempat istriku bekerja. Jadi, bila istriku berangkat, ia cukup berjalan kaki saja. Pun jika istirahat, istriku bisa pulang dan istirahat dirumah.


Oke, aku kira cukup untuk perkenalannya. Kini saatnya aku bercerita akan kejadian NYATA yang aku alami. Sebuah kejadian yang bukan saja hampir membuat rumah tangga kami berantakan, tapi juga nyaris merenggut nyawaku dan istriku !
emoticon-Takut

Aku bukannya ingin mengumbar aib rumah tanggaku, tapi aku berharap, agar para pembaca bisa untuk setidaknya mengambil hikmah dan pelajaran dari kisahku ini
emoticon-Shakehand2


*


Bismillahirrahmanirrahim



Senin pagi, tanggal 10 februari 2020.


Biasanya, jam 7 kurang sedikit, istriku pamit untuk berangkat bekerja. Tapi hari ini, ia mengambil cuti 2 hari ( Senin dan selasa ), dikarenakan ia hendak pergi ke Balaraja untuk melakukan interview kerja. Istriku mendapatkan penawaran kerja dari salah satu pabrik yang ada disana dan dengan gaji yang lebih besar dari gaji yang ia terima sekarang.


Karena hanya ada 1 motor, dan itu aku gunakan untuk kerja, ia memutuskan untuk naik ojek online saja.


Awalnya aku hendak mengantarnya
emoticon-Ngacir tapi jam interview dan jam aku berangkat kerja sama. Akhirnya, aku hanya bisa berpesan hati-hati saja kepadanya.


Pagi itu, kami sempat mengobrol dan berandai-andi jika nantinya istriku jadi untuk bekerja di balaraja.

"Kalau nanti bunda jadi kerja disana, gimana nanti pulang perginya ?" kataku agak malas. Karena memikirkan bagaimana aku harus antar jemput.

"Nanti bunda bisa bisa ajak 1 anak buah bunda dari pabrik lama, yah," jawab istriku, "nanti dia bunda ajak kerja disana bareng. Kebetulan rumah dia juga deket disini-sini juga."

Wajahku langsung cerah begitu tahu, kalau aku nantinya tidak terlalu repot untuk antar jemput.

"Siapa emang, bun?" tanyaku, "Diki?"

Diki adalah salah satu anak buah istriku dipabrik ini. Diki juga sudah kami anggap sebagai adik sendiri. Selain sesama orang lampung, juga karena kami sudah mengenal sifat anak muda itu.

"Bukan," jawab istriku.

Aku langsung memandang istriku dengan heran.

"Terus siapa?"

"Sukirman, yah. Dia anak buah bunda juga. Kerjanya bagus, makanya mau bunda ajak buat bantu bunda nanti disana."

"Kenapa bukan diki aja, bun?" tanyaku setengah menuntut.

Istriku menggelengkan kepalanya.

"Diki masih diperluin dipabrik bunda yang lama. Gak enak juga main asal ambil aja sama bos. Kalo kirman ini, dia emang anak buah bunda. Kasihan, yah. Dia disini gajinya harian. Mana dia anak udah 2 masih kecil-kecil lagi." Istriku menerangkan panjang lebar.

Aku akhirnya meng-iyakan perkataannya tersebut. Aku berfikir, "ah, yang penting aku gak susah. Gak capek bolak balik antar jemput. Lagian maksud istriku juga baik, membantu anak buahnya yang susah."

"Ya udah, bun. Asalkan jaga kepercayaan ayah ya sayang," aku akhirnya memilih untuk mempercayainya.


Jam 09:00 pas, aku berangkat kerja. Tak lupa aku berpamitan kepada istriku. Setelah itu aku berangkat dengan mengendarai sepeda motor berjenis matic miliku.


Waktu tempuh dari kontrakanku ketempat kerja sekitar 40-50 menit dengan jalan santai. Jadi ya seperti biasa, saat itu aku menarik gas motorku diantara kecepatan 50 km/jam.


Tapi tiba-tiba, saat aku sudah sampai disekitaran daerah Jatiuwung. Motorku tiba-tiba saja mati
emoticon-Cape deeehh


"Ya ampun, kenapa nih motor. Kok tau-tau mati," kataku dalam hati.


Aku lalu mendorong motorku kepinggir. Lalu aku coba menekan stater motor, hanya terdengar suara "cekiskiskiskis...," saja
emoticon-Ngakak


Gagal aku stater, aku coba lagi dengan cara diengkol. 


Motor aku standar 2. Lalu aku mulai mengengkol.


Terasa enteng tanpa ada angin balik ( ya pokoknya ngemposlah ) yang keluar dari motor.


"Ya elah, masa kumat lagi sih ini penyakit," ujarku mengetahui penyebab mati mendadaknya motorku ini.


Penyebabnya adalah los kompresi
emoticon-Cape d... Penyakit ini, memang dulu sering motorku alami. Tapi itu sudah lama sekali, kalau tidak salah ingat, motorku terakhir mengalami los kompresi adalah sekitar tahun 2017.


Lalu, entah mengapa. Aku tiba-tiba saja merasakan perubahan pada moodku. 


Yang awalnya baik-baik saja sedari berangkat, langsung berubah menjadi jelek begitu mengalami kejadian los kompresi ini.


Hanya saja, aku mencoba untuk bersabar dengan cara memilih langsung mendorong motorku mencari bengkel terdekat.


Selama mendorong motor ini, aku terus menerus ber-istighfar didalam hati. Soalnya, gak tau kenapa, timbul perasaan was-was dan pikiran-pikiran buruk yang terus melintas dibenak ini.


"Astaghfirullah...Astaghfirullah...semoga ini bukan pertanda buruk," kalimat itu terus kuulang-ulang didalam hati.


Alhamdulillah, tak lama kemudian, aku menemukan sebuah bengkel. Aku langsung menjelaskan permasalahan motorku.


Oleh si lay, aku disarankan untuk ganti busi. Aku sih oke-oke saja. Yang penting cepet beres. Karena aku tidak mau terlambat dalam bekerja.


"Bang, motornya nanti lubang businya aku taruh oli sedikit ya," kata si lay itu padaku. Lalu lanjutnya, "nanti agak ngebul sedikit. Tapi tenang aja, bang. Itu cuman karena olinya aja kok. Nanti juga ilang sendiri."


"Atur aja bang," kataku cepat.


Sekitar 5 menit motorku diperbaiki olehnya. Dan benar saja, motorku memang langsung menyala, tapi kulihat ada asap yang keluar dari knalpot motorku.


"Nanti jangan kau gas kencang dulu, bang," katanya.


"Oke,"


Setelah membayar biaya ganti busi dan lainnya. Aku langsung melanjutkan perjalananku.


Aku sampai dikantor telat 5 menit. Yakni jam 10:05. Jam operasional kantorku sudah buka. Aku langsung menjelaskan penyebab keterlambatanku kepada atasanku. Syukurnya, merek mengerti akan penjelasan ku. Hanya saja, kalau nanti ada apa-apa lagi, aku dimintanya untuk memberikan kabar lewat telepon atau WA.


Aku lalu, mulai bekerja seperti biasa lagi.


Jam menunjukan pukul 12:00 wib.


Itu adalah jam istirahat pabrik istriku. Aku lalu menulis chat untuknya. Contreng 2, tapi tak kunjung dibacanya. Aku lalu berinisiatif untuk menelponnya. Berdering, tapi tak diangkat juga.


"Kemana ini orang....," kataku agak kesal.


"Ya udahlah, nanti juga ngabarin balik," ujarku menghibur diri.


Jam 13:30 siang, disaat aku hendak melaksanak ibadah solat Dzuhur. HPku berdering. 


Kulihat disana tidak tertera nama, hanya nomer telpon saja.


"Nomer siapa nih," desisku.


Awalnya aku malas untuk mengangkatnya.


Tapi sekali lagi nomer itu meneleponku.


Dan, entah kenapa jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat. Hatiku langsung merasakan ada sesuatu yang tidak menyenangkan akan aku dapatkan, bila aku mengangkat telpon ini.


Dengan berdebar, aku lalu menekan tombol hijau di HPku.


"Halo, Assalamualaikum...," jawabku.


"Halo, waalaikumsalam...," kata si penelpon.


"Maaf, ini siapa ya ?" tanyaku.


"Ini saya, mas. Sumarno," jawabnya.


"Oh, mas Sumarno," kataku.


Sumarno adalah laki-laki yang diserahi tanggung jawab untuk mengawasi dan mengurus kontrakan tempatku tinggal.


"Ada apa ya, mas ?" tanyaku dengan jantung berdebar-debar.


"Maaf mas sebelumnya," jawab mas Sumarno.


Aku menunggu kelanjutan kalimat mas Sumarno ini dengan tidak sabar.


Lalu, penjaga kontrakan kami ini melanjutkan ucapannya. Ucapan yang membuat lututku lemas, tubuhku menggigil hebat. Sebuah ucapan yang rasanya tidak akan terjadi selama aku mengenal istriku. Dari sejak kami berpacaran sampai akhirnya kami menikah.


Mas Sumarno berkata, "Mbak Rara berduaan sama laki-laki didalam kontrakan sekarang. Dan pintu dikunci dari dalam."



***



Part 1

Pelet Orang Banten




Quote:




Part 2

Teror Alam Ghaib


Quote:




Terima kasih kepada agan zafin atas bantuannya, dan terutama kepada para pembaca thread ini yang sudah sudi untuk mampir dilapak saya

emoticon-Nyepi






*


Silahkan mampir juga dicerita saya yang lainnya


Diubah oleh papahmuda099 05-04-2024 04:27
ridom203Avatar border
sampeukAvatar border
bebyzhaAvatar border
bebyzha dan 248 lainnya memberi reputasi
235
333.7K
3.1K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
papahmuda099Avatar border
TS
papahmuda099
#852
Guruku







Aku hanya duduk mendengarkan cerita bapak dan sahabat-sahabatnya sambil memandang jauh kearah gunung Ciremai. Sesekali aku meminum air yang sudah dihidangkan.


Tak lama kemudian, adzan Dzuhur berkumandang dari masjid yang berada tak jauh dari tempat pondokan ini.


Mang baung lalu mengajak kami semua untuk menyudahi percakapan ini, dan mengajak kami untuk segera pergi ke masjid.


Aku berjalan mengekor dibelakang mereka. Hanya 10 menit berjalan, kami semua sudah sampai disebuah masjid yang lumayan bagus dan besar. 


mulustrasi bree
kaskus-image


"Wih, rame juga, padahal Dzuhur. Ternyata orang-orang sini pada rajin solatnya," batinku sambil berjalan menuju tempat wudhu.


Dan saat aku sedang berniat, berdirilah seseorang yang sangat familiar disebelah ku.


Aku terkejut sampai tidak jadi meneruskan niatku mengambil wudhu.


"Bang Gunadi," ujarku.
emoticon-Wow


"Hehehe...," Orang yang bernama Gunadi itu tertawa melihatku dan orang ini, adalah guru silatku di Tangerang.


Lalu ia menaruh telunjuk di bibirnya sambil memberikan isyarat agar aku meneruskan mengambil air wudhu.


Aku yang seperti tersadar lalu mengangguk agak gugup.


(Skip)


Setelah melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah, aku berdiri didepan pintu masjid menunggu guru silatku yang kulihat masih berdzikir.


Bapak yang melihatku berdiri segera mendekat.


"Ada apa, nang?" Tanyanya.


"Ternyata ada guru silat saya, pap. Tuh orangnya, lagi dzikir," kataku sambil menunjuk kearah bang Gunadi.


"Oh, terus gimana. Mau bareng sama bapak balik ke pondok atau kamu mau nungguin guru kamu itu,"


Aku terdiam.


Bimbang untuk ikut dengan bapak tapi tak bisa mengobrol dengan guruku, atau menunggu guruku tapi tak bisa bareng sama bapak. Sedangkan aku tak bisa seenaknya keluar masuk pondokan guru bapak itu.


Disaat aku bingung, mang baung serta mang Miswan datang menghampiri.


"Ada apa, gok?" Tanyanya.


Bapak lalu menjelaskan tentang guruku yang masih wiridan.


Mang baung sedikit menyipitkan matanya.


"Oohh....itu. itu mah Gunadi, muridnya adik dari kyai. Kebetulan adik kyai datang bersama 2 muridnya. Salah satunya ya Gunadi itu," katanya.


Aku memandang wajah mang baung.


"Mang, jadi bang Gunadi itu singgah ditempat kyai?" Tanyaku.


Mang baung mengangguk.


"Oh, kalau gitu saya nungguin bang Gunadi aja, pap. Toh nantinya saya akan kesana juga," kataku memutuskan.


"Yaudah kalau gitu. Bapak jalan duluan aja ya," kata bapak.


Aku mengangguk.


Aku memandangi kepergian keempat sahabat itu sampai hilang ditikungan jalan.


"Woy," 


Seseorang menepuk pundak ku agak keras.


Aku langsung menoleh kebelakang.


Ternyata bang Gunadi telah berdiri disana sambil cengengesan. Matanya yang kecil jadi tambah kecil.


Aku langsung menyalaminya. Tapi aku tak mencium tangannya. Karena bang Gunadi itu tipe orang yang tidak mau terlihat tinggi dibandingkan dengan orang lain. Bahkan untuk alasan menghormatinya saja, ia tetap tidak mau. 


Usia kami hanya terpaut 10 tahun. Dan karena pembawaannya yang santai, juga tidak gila hormat. Maka cara kami berbicarapun seperti antar sahabat saja.


"Buru-buru gak bang?" Tanyaku sambil duduk di beranda masjid.


Bang Gunadi juga ikut duduk di sebelahku.


"Gak juga sih," katanya sambil memandangi orang-orang yang pulang.


"Oya, lu ngapain dimari?" Tanyanya dengan logat khas betawi.


"Oh, gw ikut sama bapak gw bang. Lagi ada perlu dipondok kyai disini, bang," jawabku sedikit menutupi permasalahan.


"Bokap lu tamu disini?" Tanyanya lagi.


Aku menggeleng.


"Bapak gw muridnya kyai itu bang. Cuman udah lama bapak gak kesini,"


"Wih, hebat Bokap lu dong. Bisa jadi murid kyai *****. Susah lho buat jadi muridnya. Soalnya kata guru gw, kyai itu pilih-pilih kalau mau ambil murid," ujarnya.


Aku mengangguk.


"Nah, kalau lu, bang. Ngapai disini? Emang gak kerja?" Tanyaku.


"Hehehe..., Ada perlu aja gw, ndra. Ambil cuti gw," jawabnya yang masih membuatku bingung.


"Nemenin guru lu ya, bang?" Tanyaku menebak, padahal udah tau dari mamg baung.


"Weh, kok lu bisa tau?" Tanyanya kaget.


"Hehehe...iya dong," kataku berteka-teki membalas jawaban bang Gunadi.


"Suwe," katanya.


Aku lalu berusaha untuk mengembalikan topik kepercakapan semula.


"Jadi, lu ngapain sih bang kemari? Dulu katanya lu udah selesai belajarnya di Cirebon tempat lu mesantren dulu," kataku penasaran.


"Heehh...," Katanya mendesah panjang.


"Kalau untuk selesai sih memang udah selesai. Tapi belum tuntas. Jadi guru gw nyuruh gw kesini buat nuntasin ilmu gw disini. Karena yang diangkatan gw, cuman gw doang yang belum tuntas," katanya lagi.


"Oh, jadi lu kesini buat nuntasin ilmu lu, bang. Kalau gw gak salah inget, dulu lu cerita kalau lu nyelesein mesantren tahun 97an ya?" Kataku.


"Iya, tapi itu baru nyelesein doang. Nah gw baru dikabarin sekarang buat nuntasin ilmu gw," jawabnya.


"Terus gimana nanti, caranya buat nuntasin ilmu lu itu, bang?"


"Katanya sih gw disuruh buat ke sono," jawab bang Gunadi sambil menunjuk ke arah gunung Ciremai.

kaskus-image


"Eh buset, naik ke gunung?" Tanyaku kaget.


"Hahahaha....bukan, tapi iya juga," jawabnya.


"Gimana maksudnya, bang?"


"Maksud gw, bukan ke gunung Ciremainya. Tapi masuk ke dalam alam gaib yang berada disana," 


"Widih, keren tuh, bang," kataku memuji.


"Bisa bae lu,"


"Hehehe,"


"Ya udah, ayuk balik ke rumah kyai lagi," ajaknya.


Kami berdua lalu berjalan kembali kearah rumah kyai yang tidak terlalu jauh jaraknya dari masjid.


Sesampainya didepan rumah, aku tak melewati jalan kecil disamping rumah, tapi masuk lewat pintu depan.


"Wis, gede juga dalamannya," kataku dalam hati, memuji isi rumah sang kyai.


Aku mengikuti arah jalan bang Gunadi, yang melewati orang-orang yang mungkin ingin bertemu, atau berobat ke kyai. Beberapa santri yang ada disana membiarkan saja. 


"Mungkin mereka sudah kenal sama, bang gun,"kataku dalam hati.


Sesampainya kami didepan sebuah kamar dengan pintu besar berwarna coklat, kami berhenti.


Bang Gunadi mengetuk pintunya sambil beruluk salam.


"Tok tok tok, assalamualaikum," 


Tak lama dari arah kamar terdengar jawaban salam dan suara seseorang untuk segera masuk.


Didalam kamar besar itu, duduk beberapa orang yang sebagian aku kenali.


Orang-orang itu adalah bapak, mang Ujang dan mang baung. Sedangkan ada 4 orang yang belum aku kenali. Namun, aku merasa bahwa diantara keempat orang ini, ada seseorang yang menjadi guru dari bapak.


Aku lalu memilih duduk dibelakang bapak. Sedangkan bang Gunadi duduk dibelakang seorang laki-laki tua dengan sorban putih.


"Mungkin itu gurunya," kataku dalam hati.


"Gok," terdengar suara memanggil nama bapak.


Aku lalu melihat bapak mengangguk kecil sambil matanya tetap melihat kearah bawah.


"Ini anak kamu yang barusan kamu ceritakan?" Tanya laki-laki tua yang kutaksir sudah berusia diatas 70 tahunan itu.


"Betul, kyai," jawab bapak.


Lalu kyai melihat kearah ku. Dan entah kenapa, aku tak kuasa untuk menatap wajahnya. Sehingga akhirnya aku juga memilih untuk menjaga pandangan mataku seperti bapak.


"Hemmm, agak rumit juga persoalannya," kata kyai sambil terus memandangiku.


Lalu sambungnya, "sebenarnya, gok. Kalau aku lihat-lihat, untuk persoalan adu fisik, anak kamu lebih kuat dari orang itu. Tapi, untuk masalah yang gaib, anak kamu jauh dibawahnya. Mungkin karena tubuhnya ini kosong. Tidak memiliki isi sama sekali."


"Siapa orang yang dimaksud kyai barusan? Apa Sukirman?" Tanyaku dalam hati.


Dan baru saja aku membatin. Tiba-tiba aku seolah mendengar suara dikepalaku.


"Iya, tebakan kamu benar, nak."


Aku tanpa sadar mendongak dan menatap wajah kyai. Tapi sekejap kemudian, karena perbawanya, aku kembali menunduk.


Tapi, meski hanya sesaat. Aku bisa menebak kalau suara tadi adalah suara milik kyai. Karena saat aku melihatnya, ia tampak tersenyum sambil mengangguk pelan.


"Tapi, anak saya sudah saya berikan sedikit ilmu untuk berjaga-jaga, kyai," kata bapak perlahan dan sopan.


"Itu belum cukup, gok. Meskipun ilmu kamu, yang nantinya akan aku kembalikan itu kamu serahkan semuanya kepada anakmu. Itu tidaklah cukup. Kenapa? Karena mental anakmu masih belum siap untuk menghadapi pertempuran gaib," ujar kyai.


"Jadi, anak saya harus bagaimana, kyai?" Kudengar bapak bertanya.


"Kebetulan ada anak didik dari adikku yang sedang kesini untuk menjalankan laku. Guna menuntaskan ilmunya. Nanti aku akan meminta izinmu untuk mengijinkannya pergi bersama dengan murid adikku itu. Bagaimana?" Kyai bertanya balik.


Bapak seperti bingung. Untuk sesaat bapak menoleh kepadaku sambil memberiku sebuah isyarat.


Aku yang sedari tadi mendengarkan dengan seksama segera menganggukkan kepalaku.


Bapak lalu kembali menghadap ke arah Kyai.


"Dengan izin dari Kyai, saya akan mengijinkan anak saya untuk ikut dengan adik dari murid Kyai, yang akan menjalankan laku tirakat," kata bapak.


Kyai menganggukkan kepalanya.


Kemudian Kiai bertanya kepadaku.


"Nah kalau begitu kamu harus mempersiapkan diri dari sekarang. Karena setelah ashar kamu akan berangkat bersama dengan murid adikku ke gunung Ciremai. Untuk menemaninya melakukan tirakat di sana. Tenang tidak lama, hanya sampai adzan Subuh saja,"


Tanpa berkata apa-apa, aku menganggukkan kepala saja menuruti semua keputusan dari Kyai. Karena aku tahu, kalau maksud Kyai pasti baik untukku.


"Mohon maaf Kyai, tapi siapakah orangnya yang akan ditemani oleh anak saya?" Tanya bapak yang terus menghawatirkan ku.


"Gunadi," kyai memanggil nama guruku.


Bang Gunadi kulihat bergeser maju.


"Inilah orangnya, gok. Yang akan anakmu temani nanti," kaya kyai.


Bapakku paham. Karena meskipun hanya sesaat bapak sempat melihat bang Gunadi di masjid tadi.


"Iya kyai. Saya mengijinkan," ujar bapak.


"Alhamdulillah... Insya Allah, semua ini demi kebaikan anakmu juga," kata kyai.


Obrolan kemudian berlanjut antara bapak dan kyai.


Di dalam obrolan itu, aku bisa menyimpulkan bahwa semua ilmu bapak akan dikembalikan lagi oleh Kyai.


Tapi setelah urusan bapak selesai, Kyai meminta agar nanti bapak kembali ke kediamannya untuk meleburkan semua ilmunya. Karena jika nantinya bapakku tidak memiliki usia panjang, dan semua ilmunya itu masih di dalam tubuhnya. Kelak bila bapak ku mati, tubuhnya tidak akan diterima oleh bumi. Dan bapakku akan berubah menjadi Batara Karang!

kaskus-image






***
Diubah oleh papahmuda099 01-09-2020 22:40
redrices
sulkhan1981
clon3aj4
clon3aj4 dan 50 lainnya memberi reputasi
51
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.