- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#399
Jilid 12 [Part 279]
Spoiler for :
ARYA SALAKA kemudian mencoba membayangkan pohon itu. Alangkah rindangnya duduk di bawahnya apabila matahari yang terik sedang membakar seluruh halaman rumanya. Tetapi yang terakhir terbayang di dalam otaknya adalah orang yang paling dikasihinya. Orang yang telah melahirkannya dan mengasuhnya dengan penuh cinta kasih. Orang itu adalah ibunya. Nyai Ageng Gajah Sora.
Terbayanglah wajah ibunya yang sayu pucat berdiri di regol halaman rumahnya. Dengan penuh harapan ia menanti kedatangan ayahnya. Gajah Sora dari Demak. Dan dengan penuh harapan pula ia menanti kedatangannya, satu-satunya anak yang dimilikinya.
Tetapi kemudian dibayangkannya, bahwa ibunya akan menjadi putus asa kalau yang ditunggunya sekian lama tidak kunjung tiba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah menangis di ruang tidurnya dengan membenamkan wajahnya di bawah bantalnya yang telah basah oleh air mata.
Arya menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya untuk mengusir bayang-bayang yang mengganggu otaknya. Tetapi bayangan-bayangan itu menjadi semakin jelas dan seolah-olah ibunya itu melambai-lambai kepadanya dengan wajah sedih dan berkata,
Arya terkejut ketika terasa tetesan cairan yang hangat di pipinya. Cepat ia mengusapnya dengan lengan bajunya. Tetapi mau tidak mau, dadanya menjadi sesak oleh sesuatu yang seakan-akan menyumbat kerongkongannya.
Beberapa kali Arya menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, untuk mengurangi himpitan perasaan yang menekan dadanya.
Semula ia ingin menanyakan kepada orang-orang Banyubiru itu tentang keadaan ibunya. Tetapi kemudian ia menjadi ketakutan. Ketakutan pada jawaban yang akan didengarnya. Jangan-jangan jawaban mereka atas pertanyaan itu akan dapat menambah sedih hatinya. Karena itu, maksudnya untuk bertanya tentang ibunya dibatalkan.
Sementara itu malam menjadi semakin jauh. Bintang-bintang telah berkisar dari tempatnya semula ke arah barat. Di ujung selatan, bintang Gubug Penceng telah melampaui garis tegak lurus.
Dalam pada itu tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh. Angin yang silir bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya sehingga tiba-tiba pula perasaan kantuk seolah-olah menyengat perasaannya.
Dua orang yang berada di kedua sisinya itu telah beberapa kali menguap. Sedang orang yang berjalan hilir mudik itu pun merasakan pula serangan kantuk yang dalam. Demikian pula orang yang tegak berjaga-jaga di tengah jalan. Dengan tanpa mereka sadari, mereka jatuh terduduk.
Arya Salaka pun merasakan juga serangan kantuk itu. Tetapi karena pengalamannya selama ini, telah mempertajam nalurinya. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tiba-tiba ia teringat ceritera gurunya tentang semacam ilmu yang dapat mempengaruhi kesadaran seseorang. Yaitu ilmu sirep.
Dengan ilmu itu orang dapat memperlemah kesadaran orang lain yang tampaknya menjadi kantuk dan tertidur. Karena itu, pada saat itupun Arya segera memperkuat ketahanan diri. Dikerahkannya segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh sirep yang dalam itu.
Arya Salaka, meskipun masih sangat muda, tetapi karena masa-masa pembajaan diri yang selama ini dialami, maka iapun telah menjadi anak muda yang perkasa lahir dan batin.
Karena itulah maka ia berhasil menyelamatkan dirinya dari pengaruh sirep yang tajam itu.
Beberapa kali ia mencoba membangunkan orang-orang jaga yang kemudian jatuh tertidur. Tetapi demikian mereka terbangun, menguap dan kembali jatuh tertidur. Arya Salaka menjadi heran. Demikian kuatnya pengaruh sirep terhadap kesadaran seseorang. Namun meskipun demikian, ia yakin, apabila ada sesuatu yang mengejut dan cukup kuat memberi mereka rangsang, maka orang-orang yang kena pengaruh sirep itupun akan dapat terlepas dengan sendirinya. Sebab apabila ia memukul paha salah seorang dari penjaga yang tertidur, orang itupun menjadi terkejut pula dan terbangun untuk kemudian jatuh tertidur kembali.
Bagi Arya Salaka, pengaruh sirep itu merupakan tanda bahaya. Ia tidak tahu siapakah yang menyebarkannya. Tetapi ia menjadi cemas, kalau kemudian sepasukan laskar akan diam-diam menyerbu perkemahan yang seolah-olah menjadi tertidur seluruhnya. Ia tidak tahu apakah semua orang mengalami nasib seperti kelima penjaga itu. Apakah orang yang berjaga-jaga di sekitar pondok Endang Widuri pun menjadi tertidur. Dan apakah Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan Jaladri tidak dapat membebaskan diri dari pengaruhnya.
Arya Salaka menjadi kebingungan. Ia tidak sampai hati meninggalkan para penjaga yang tertidur itu. Kalau penyebar sirep ini menghendaki, maka dengan mudahnya mereka membunuh penjaga-penjaga itu.
Tetapi belum lagi ia mendapat keputusan, telinganya yang tajam mendengar kemersik daun tersentuh kaki. Cepat Arya Salaka menyiagakan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi suara itu tidak berhenti ketika sudah menjadi semakin dekat dari tempat duduknya. Bahkan kemudian terdengar suara berbisik lirih,
Arya sudah mengenal suara itu. Suara Wirasaba. Karena itu ia menjadi gembira karena setidak-tidaknya, ia sendiri dan Wirasaba dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep ini. Maka dengan perlahan-lahan pula ia menjawab,
Hati Arya Salaka menjadi bertambah besar ketika ternyata Mantingan pun terbebas dari pengaruh sirep itu. Bahkan kemudian ia bertanya,
Kemudian Arya Salaka tidak cemas lagi. Ada empat orang yang pasti terbebas dari pengaruh sirep itu. Namun ia bertanya pula,
Tetapi kemudian Arya Salaka kembali membayangkan bagaimanakah kalau sepasukan laskar menyerbu perkemahan ini. Sedang sebagian besar dari laskar Banyubiru itu jatuh tertidur. Karena itu ia bertanya kembali,
Meskipun Arya Salaka mempunyai daya tahan lahir batin yang cukup kuat, namun ternyata pengetahuannya belumlah seluas Wirasaba, yang menjawab pertanyaannya itu.
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia sama sekali tidak perlu khawatir. Di dalam perkemahan itu ia cukup mempunyai kawan yang mempunyai ilmu cukup tinggi. Meskipun demikian ia masih ingin mengetahui bagaimanakah keadaan Endang Widuri dan Rara Wilis. Sebab tanpa setahunya, ia merasa bahwa nasib gadis kecil itu adalah sama dengan nasibnya sendiri. Maka kemudian setelah Wirasaba berada di tempat itu, ia tidak keberatan lagi meninggalkan para penjaga itu. Kepada Wirasaba ia berkata,
Arya Salaka dapat mengerti keterangan Wirasaba itu. Karena itu iapun segera membantunya, mengangkat para penjaga yang tertidur itu ke tepi, ke atas rerumputan yang sudah mulai basah karena embun malam yang perlahan-lahan turun ke bumi.
Dingin malam musim bediding rasa-rasanya sampai menggigit tulang. Namun oleh ketegangan yang mengetuk-ngetuk dada, rasa itu sama sekali tak mempengaruhi mereka yang sedang berusaha menyelamatkan perkemahan itu.
Dengan mengendap-endap penuh kewaspadaan, Arya Salaka diantar oleh Wirasaba yang menggenggam sebuah kapak yang besar sekali menuju ke barak kecil tempat Rara Wilis dan Endang Widuri beristirahat selama mereka berada di perkemahan itu.
Meskipun sebenarnya Arya Salaka sama sekali tidak merasa perlu pengawalan, namun ia tidak mau menyakitkan hati orang lain. Karena itu ia tidak menolak. Ketika mereka lewat dekat gardu pimpinan, mereka melihat bahwa gardu itu kosong. Tetapi mata Arya Salaka yang tajam dapat melihat sebuah bayangan yang berdiri di belakang gardu itu. Agaknya Jaladri merasa perlu sekadar melindungkan dirinya untuk dapat mengadakan pengawasan di sekitar tempat itu dengan lebih seksama. Di tangannya tergenggam sebuat canggah, tombak bermata dua.
Arya dan Wirasaba berjalan terus. Dengan gerak tangan Wirasaba memberi isyarat kepada Jaladri, yang membalas dengan isyarat tangan pula. Beberapa langkah kemudian mereka sudah melihat pondok tempat tinggal Rara Wilis dan Endang Widuri. Ternyata para penjaga pondok itupun telah tertidur pula. Karena itu Arya Salaka menjadi cemas, jangan-jangan telah terjadi sesuatu atas penghuninya.
Perlahan-lahan ia menyusuri tempat-tempat yang gelap mendekati pondok itu.
Dengan sangat hati-hati mereka mendekati pintu pondok yang memang tidak pernah terkancing. Perlahan-lahan Arya menyingkapkan pintu itu. Meskipun demikian terdengar suatu gerit perlahan. Hanya perlahan. Tiba-tiba ketika pintu itu terbuka, terjulurlah ujung sehelai pedang yang tipis mengarah ke dada Arya Salaka.
Terbayanglah wajah ibunya yang sayu pucat berdiri di regol halaman rumahnya. Dengan penuh harapan ia menanti kedatangan ayahnya. Gajah Sora dari Demak. Dan dengan penuh harapan pula ia menanti kedatangannya, satu-satunya anak yang dimilikinya.
Tetapi kemudian dibayangkannya, bahwa ibunya akan menjadi putus asa kalau yang ditunggunya sekian lama tidak kunjung tiba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah menangis di ruang tidurnya dengan membenamkan wajahnya di bawah bantalnya yang telah basah oleh air mata.
Arya menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya untuk mengusir bayang-bayang yang mengganggu otaknya. Tetapi bayangan-bayangan itu menjadi semakin jelas dan seolah-olah ibunya itu melambai-lambai kepadanya dengan wajah sedih dan berkata,
Quote:
“Arya, aku sudah sedemikian rindunya kepadamu.”
Arya terkejut ketika terasa tetesan cairan yang hangat di pipinya. Cepat ia mengusapnya dengan lengan bajunya. Tetapi mau tidak mau, dadanya menjadi sesak oleh sesuatu yang seakan-akan menyumbat kerongkongannya.
Quote:
“Hem….”
Beberapa kali Arya menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, untuk mengurangi himpitan perasaan yang menekan dadanya.
Semula ia ingin menanyakan kepada orang-orang Banyubiru itu tentang keadaan ibunya. Tetapi kemudian ia menjadi ketakutan. Ketakutan pada jawaban yang akan didengarnya. Jangan-jangan jawaban mereka atas pertanyaan itu akan dapat menambah sedih hatinya. Karena itu, maksudnya untuk bertanya tentang ibunya dibatalkan.
Sementara itu malam menjadi semakin jauh. Bintang-bintang telah berkisar dari tempatnya semula ke arah barat. Di ujung selatan, bintang Gubug Penceng telah melampaui garis tegak lurus.
Dalam pada itu tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh. Angin yang silir bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya sehingga tiba-tiba pula perasaan kantuk seolah-olah menyengat perasaannya.
Dua orang yang berada di kedua sisinya itu telah beberapa kali menguap. Sedang orang yang berjalan hilir mudik itu pun merasakan pula serangan kantuk yang dalam. Demikian pula orang yang tegak berjaga-jaga di tengah jalan. Dengan tanpa mereka sadari, mereka jatuh terduduk.
Arya Salaka pun merasakan juga serangan kantuk itu. Tetapi karena pengalamannya selama ini, telah mempertajam nalurinya. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tiba-tiba ia teringat ceritera gurunya tentang semacam ilmu yang dapat mempengaruhi kesadaran seseorang. Yaitu ilmu sirep.
Dengan ilmu itu orang dapat memperlemah kesadaran orang lain yang tampaknya menjadi kantuk dan tertidur. Karena itu, pada saat itupun Arya segera memperkuat ketahanan diri. Dikerahkannya segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh sirep yang dalam itu.
Arya Salaka, meskipun masih sangat muda, tetapi karena masa-masa pembajaan diri yang selama ini dialami, maka iapun telah menjadi anak muda yang perkasa lahir dan batin.
Karena itulah maka ia berhasil menyelamatkan dirinya dari pengaruh sirep yang tajam itu.
Beberapa kali ia mencoba membangunkan orang-orang jaga yang kemudian jatuh tertidur. Tetapi demikian mereka terbangun, menguap dan kembali jatuh tertidur. Arya Salaka menjadi heran. Demikian kuatnya pengaruh sirep terhadap kesadaran seseorang. Namun meskipun demikian, ia yakin, apabila ada sesuatu yang mengejut dan cukup kuat memberi mereka rangsang, maka orang-orang yang kena pengaruh sirep itupun akan dapat terlepas dengan sendirinya. Sebab apabila ia memukul paha salah seorang dari penjaga yang tertidur, orang itupun menjadi terkejut pula dan terbangun untuk kemudian jatuh tertidur kembali.
Bagi Arya Salaka, pengaruh sirep itu merupakan tanda bahaya. Ia tidak tahu siapakah yang menyebarkannya. Tetapi ia menjadi cemas, kalau kemudian sepasukan laskar akan diam-diam menyerbu perkemahan yang seolah-olah menjadi tertidur seluruhnya. Ia tidak tahu apakah semua orang mengalami nasib seperti kelima penjaga itu. Apakah orang yang berjaga-jaga di sekitar pondok Endang Widuri pun menjadi tertidur. Dan apakah Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan Jaladri tidak dapat membebaskan diri dari pengaruhnya.
Arya Salaka menjadi kebingungan. Ia tidak sampai hati meninggalkan para penjaga yang tertidur itu. Kalau penyebar sirep ini menghendaki, maka dengan mudahnya mereka membunuh penjaga-penjaga itu.
Tetapi belum lagi ia mendapat keputusan, telinganya yang tajam mendengar kemersik daun tersentuh kaki. Cepat Arya Salaka menyiagakan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi suara itu tidak berhenti ketika sudah menjadi semakin dekat dari tempat duduknya. Bahkan kemudian terdengar suara berbisik lirih,
Quote:
“Siapa yang bertugas di sini?”
Arya sudah mengenal suara itu. Suara Wirasaba. Karena itu ia menjadi gembira karena setidak-tidaknya, ia sendiri dan Wirasaba dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep ini. Maka dengan perlahan-lahan pula ia menjawab,
Quote:
“Aku, Paman, Arya.”
“Arya Salaka?” ulang Wirasaba agak terkejut.
“Ya,” jawab Arya pula.
WIRASABA beringsut mendekati Arya Salaka.
“Kenapa Angger berada di sini?” tanya Wirasaba.
“Aku hanya berjalan-jalan saja ketika aku tidak dapat tidur. Tetapi para penjaga inilah yang kemudian jatuh tertidur,” sahut Arya.
“Mereka terkena pengaruh sirep,” jelas Wirasaba.
“Untunglah Angger terbebas dari pengaruhnya.”
“Akupun merasakan pengaruhnya, Paman. Lalu bagaimanakah dengan yang lain-lain?” tanya Arya Salaka.
“Adi Mantingan sedang mengamati mereka,” jawab Wirasaba.
“Arya Salaka?” ulang Wirasaba agak terkejut.
“Ya,” jawab Arya pula.
WIRASABA beringsut mendekati Arya Salaka.
“Kenapa Angger berada di sini?” tanya Wirasaba.
“Aku hanya berjalan-jalan saja ketika aku tidak dapat tidur. Tetapi para penjaga inilah yang kemudian jatuh tertidur,” sahut Arya.
“Mereka terkena pengaruh sirep,” jelas Wirasaba.
“Untunglah Angger terbebas dari pengaruhnya.”
“Akupun merasakan pengaruhnya, Paman. Lalu bagaimanakah dengan yang lain-lain?” tanya Arya Salaka.
“Adi Mantingan sedang mengamati mereka,” jawab Wirasaba.
Hati Arya Salaka menjadi bertambah besar ketika ternyata Mantingan pun terbebas dari pengaruh sirep itu. Bahkan kemudian ia bertanya,
Quote:
“Siapa pulakah yang dapat menyelamatkan diri?”
“Adi Mantingan baru menyelidiki mereka. Tetapi Jaladri juga terbebas dari pengaruh sirep ini atas bantuan Adi Mantingan,” jawab Wirasaba.
“Adi Mantingan baru menyelidiki mereka. Tetapi Jaladri juga terbebas dari pengaruh sirep ini atas bantuan Adi Mantingan,” jawab Wirasaba.
Kemudian Arya Salaka tidak cemas lagi. Ada empat orang yang pasti terbebas dari pengaruh sirep itu. Namun ia bertanya pula,
Quote:
“Jadi dapatkah Paman Mantingan menolong orang lain membebaskan diri dari pengaruh sirep ini?”
“Demikianlah,” jawab Wirasaba.
“Tetapi tidak kepada semua orang. Ia hanya dapat membantu seperlunya apabila orang itu sendiri cukup mempunyai daya tahan.”
“Syukurlah,” gumam Arya.
“Ia adalah seorang dalang. Sebagai seorang dalang ia perlu memiliki berbagai macam ilmu. Sebab kadang-kadang ia memang berhadapan dengan gangguan-gangguan dari para penontonnya yang jahil.” Wirasaba menegaskan.
“Demikianlah,” jawab Wirasaba.
“Tetapi tidak kepada semua orang. Ia hanya dapat membantu seperlunya apabila orang itu sendiri cukup mempunyai daya tahan.”
“Syukurlah,” gumam Arya.
“Ia adalah seorang dalang. Sebagai seorang dalang ia perlu memiliki berbagai macam ilmu. Sebab kadang-kadang ia memang berhadapan dengan gangguan-gangguan dari para penontonnya yang jahil.” Wirasaba menegaskan.
Tetapi kemudian Arya Salaka kembali membayangkan bagaimanakah kalau sepasukan laskar menyerbu perkemahan ini. Sedang sebagian besar dari laskar Banyubiru itu jatuh tertidur. Karena itu ia bertanya kembali,
Quote:
“Paman Wirasaba, bagaimanakah seandainya malam ini perkemahan kita ini diserbu oleh sepasukan laskar?”
Meskipun Arya Salaka mempunyai daya tahan lahir batin yang cukup kuat, namun ternyata pengetahuannya belumlah seluas Wirasaba, yang menjawab pertanyaannya itu.
Quote:
“Tidak Angger, pasukan penyerbu itupun akan terkena pengaruh sirep ini pula. Sebab daya kekuatan sirep ini tidak dapat ditujukan kepada seorang atau serombongan orang. Tetapi dayanya seolah-olah memenuhi udara di sekitar penyebarnya. Sehingga apabila pada malam ini ada orang yang ingin memasuki perkembahan ini, pasti merekapun jumlahnya terbatas. Terbatas pada mereka yang atas kemampuan sendiri, atau atas bantuan orang lain membebaskan diri dari pengaruh sirep ini.”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia sama sekali tidak perlu khawatir. Di dalam perkemahan itu ia cukup mempunyai kawan yang mempunyai ilmu cukup tinggi. Meskipun demikian ia masih ingin mengetahui bagaimanakah keadaan Endang Widuri dan Rara Wilis. Sebab tanpa setahunya, ia merasa bahwa nasib gadis kecil itu adalah sama dengan nasibnya sendiri. Maka kemudian setelah Wirasaba berada di tempat itu, ia tidak keberatan lagi meninggalkan para penjaga itu. Kepada Wirasaba ia berkata,
Quote:
“Paman, apabila Paman bersedia untuk tinggal di sini, aku minta ijin untuk menengok pondok Bibi Wilis dan Widuri.”
“Jangan Angger,”cegah Wirasaba.
“Jangan pergi sendiri. Marilah aku antar Angger ke sana.”
“Lalu bagaimana dengan para penjaga ini?” tanya Arya Salaka.
“Biarlah mereka kita sisihkan. Aku kira orang-orang yang menyebar sirep itu tidak akan berkesempatan mengurusi para penjaga itu. Mereka pasti berhasrat untuk langsung menemukan kekuatan-kekuatan pokok dari perkemahan ini.”
“Jangan Angger,”cegah Wirasaba.
“Jangan pergi sendiri. Marilah aku antar Angger ke sana.”
“Lalu bagaimana dengan para penjaga ini?” tanya Arya Salaka.
“Biarlah mereka kita sisihkan. Aku kira orang-orang yang menyebar sirep itu tidak akan berkesempatan mengurusi para penjaga itu. Mereka pasti berhasrat untuk langsung menemukan kekuatan-kekuatan pokok dari perkemahan ini.”
Arya Salaka dapat mengerti keterangan Wirasaba itu. Karena itu iapun segera membantunya, mengangkat para penjaga yang tertidur itu ke tepi, ke atas rerumputan yang sudah mulai basah karena embun malam yang perlahan-lahan turun ke bumi.
Dingin malam musim bediding rasa-rasanya sampai menggigit tulang. Namun oleh ketegangan yang mengetuk-ngetuk dada, rasa itu sama sekali tak mempengaruhi mereka yang sedang berusaha menyelamatkan perkemahan itu.
Dengan mengendap-endap penuh kewaspadaan, Arya Salaka diantar oleh Wirasaba yang menggenggam sebuah kapak yang besar sekali menuju ke barak kecil tempat Rara Wilis dan Endang Widuri beristirahat selama mereka berada di perkemahan itu.
Meskipun sebenarnya Arya Salaka sama sekali tidak merasa perlu pengawalan, namun ia tidak mau menyakitkan hati orang lain. Karena itu ia tidak menolak. Ketika mereka lewat dekat gardu pimpinan, mereka melihat bahwa gardu itu kosong. Tetapi mata Arya Salaka yang tajam dapat melihat sebuah bayangan yang berdiri di belakang gardu itu. Agaknya Jaladri merasa perlu sekadar melindungkan dirinya untuk dapat mengadakan pengawasan di sekitar tempat itu dengan lebih seksama. Di tangannya tergenggam sebuat canggah, tombak bermata dua.
Arya dan Wirasaba berjalan terus. Dengan gerak tangan Wirasaba memberi isyarat kepada Jaladri, yang membalas dengan isyarat tangan pula. Beberapa langkah kemudian mereka sudah melihat pondok tempat tinggal Rara Wilis dan Endang Widuri. Ternyata para penjaga pondok itupun telah tertidur pula. Karena itu Arya Salaka menjadi cemas, jangan-jangan telah terjadi sesuatu atas penghuninya.
Perlahan-lahan ia menyusuri tempat-tempat yang gelap mendekati pondok itu.
Quote:
“Marilah,” jawab Wirasaba.
Dengan sangat hati-hati mereka mendekati pintu pondok yang memang tidak pernah terkancing. Perlahan-lahan Arya menyingkapkan pintu itu. Meskipun demikian terdengar suatu gerit perlahan. Hanya perlahan. Tiba-tiba ketika pintu itu terbuka, terjulurlah ujung sehelai pedang yang tipis mengarah ke dada Arya Salaka.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas