- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#397
Jilid 12 [Part 277]
Spoiler for :
Setelah berhenti sejenak, Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan ceritanya.
Sora Dipayana berhenti sesaat. Pandangan matanya terlempar jauh, seolah-olah menerawang kembali kepada masa-masa silam. Masa-masa pahit yang pernah dialami.
Setelah orang tua itu menelan ludahnya, maka mulailah ia meneruskan ceritanya,
Sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana berhenti, seolah-olah ia menjadi sangat lelah. Beberapa kaliia menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya ditekankan ke lantai yang dilambari tikar pandan,seolah-olah dengan demikian ia ingin mencari kekuatan untuk menahan berat badannya yang tidakseberapa besar itu.
Beberapa saat kemudian ia mulai lagi dengan ceritanya,
Ki Ageng Sora Dipayana mengakhiri ceritanya dengan suatu tarikan napas kecewa. Ia melihat masa depan yang suram bagi tanah perdikannya yang dibangunnya dengan cucuran keringat.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun merasakan apa yang bergetar di dalam orang tua itu. Mereka ikut serta dihadapkan pada persimpangan jalan yang tidak dikenalnya. Jalan manakah yang harus dipilihnya.
Ki Ageng Sora Dipayana tidak dapat membiarkan tanah perdikannya ditelan oleh kekuatan hitam yang ada disekitarnya. Sedang yang ada padanya pada saat itu tidak ada lain, kecuali Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Maka orang tua itu tidak dapat berbuat lain daripada membentengi Pamingit dan Banyubiru dengan menempa Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Untuk sesaat pendapa Banyubiru itu menjadi sepi. Masing-masing berdiam diri dan membiarkan angan angan mereka merayapi daerah yang tak mereka kenal.
KI AGENG Sora Dipayana masih saja memandangi titik-titik di kejauhan.
Menembus alam kasatmata dan hinggap ke dalam alam yang hanya dapat dicitakan. Banyubiru yang gemah ripah loh jinawi. Jauh dari sifat cecengilan dan fitnah. Jauh dari keirihatian dan ketamakan.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan orang-orang lain yang mendengarnya menjadi terkejut. Bahkan Sora Dipayana sendiri seolah-olah menjadi tersadar oleh kata-katanya sendiri.
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas panjang. Lalu ia melipat tangannya di dadanya. Tetapi ia harus menjawab pertanyaan Wanamerta itu. Maka katanya,
Wanamerta merasa, seolah-olah Ki Ageng Sora Dipayana sedang menyesali dirinya. Menyesali keadaan yang menghadapkannya kepada persoalan yang serba salah. Maju tatu, mundur ajur. Karena itu maka ia berusaha untuk memperingan beban orang tua itu. Katanya.
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum puas. Tetapi hanya sesaat, sebab kemudian ia teringat kembali pada keadaan yang dihadapi kini. Di dalam rumah itu ada Sawung Sariti yang mewarisi sifat-sifat ayahnya. Meskipun demikian ia tidak mau membiarkan keadaan berkembang berlarut-larut kearah yang tak dikehendaki. Karena itu ia harus berbuat sesuatu.
Menempatkan kembali segala sesuatunya pada tempat masing-masing. Karena itu ia berkata,
Mendengar kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu, Mahesa Jenar beserta segenap kawan-kawannya menjadi bergembira. Wajah-wajah mereka menjadi cerah dan bercahaya. Tetapi ketika mereka sadar bahwa kekuasaan Banyubiru pada saat itu seolah-olah berada sepenuhnya di tangan Lembu Sora, mereka menjadi ragu. Dan tanpa mereka sadari mereka segera memandang kearah pintu dimana Lembu Sora tadi masuk.
Sora Dipayana ternyata menangkap perasaan mereka. Perasaan yang sebenarnya berkecamuk juga di dalam rongga dadanya. Tetapi ia berpendapat bahwa keadaan di Banyubiru harus segera mendapat bentuk yang tegas. Apabila keadaan dibiarkan seperti saat itu maka kehidupan rakyatnya pun jadi mengambang tanpa pegangan. Mereka menjadi ragu-ragu untuk berbuat banyak, sebab mereka selalu dibebani oleh perasaan takut dan was-was. Mereka selalu dihadapkan pada keadaan yang tidak tetap, yang setiap waktu dapat berubah-ubah tanpa ketentuan.
Karena pendapat itulah maka kemudian Ki Ageng Sora Dipayana berkata,
Jelas terasa dalam nada kata-katanya. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar sedang dihadapkan pada suatu persoalan yang sulit.
Mahesa Jenar akhirnya merasa bahwa pertemuan itu sudah cukup baginya. Ia sudah mendapat gambaran yang cukup jelas tentang keadaan di Banyubiru, yang sudah cukup pula dipergunakannya sebagai bekal untuk menentukan langkah-langkah seterusnya. Karena itu segera ia mohon diri untuk kembali ke daerah Candi Gedong Sanga.
Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana menahannya untuk beberapa saat karena ia masih ingin menjamu tamu-tamunya dengan sekadar minuman dan makanan.
Quote:
“Yang aku ketemukan di Banyubiru pada saat itu, adalah pemerintahan tanah perdikan ini telah beralih ke tangan Lembu Sora. Dari dia aku mendengar cerita tentang apa saja yang telah terjadi di tanah perdikan ini. Dari Lembu Sora aku mendengar bahwa Gajah Sora dihukum mati oleh Sultan Demak karena pengkhianatannya. Dan darinya pula aku mendengar bahwa Arya Salaka telah diketemukan terbunuh dan kehilangan tombak pusakanya, Kyai Bancak.”
“Tidak benar,” potong Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk. Katanya,
”Aku tidak percaya cerita itu sejak aku mendengarnya. Tetapi apakah yang aku hadapi seterusnya di sini ? Di tanah perdikan ini ? Lembu Sora adalah anakku pula. Anak terkasih dari ibunya. Sedang kepada ibunya aku tidak dapat melupakan duka derita yang disandangnya pada saat itu. Duka derita sebagai ungkapan kesetiaan seorang istri yang baik, pada saat aku sedang bekerja mati-matian membangun tanah perdikan ini, yang semula bernama Pangrantunan. Dan pada saat itulah Lembu Sora dilahirkan."
"Dengan Lembu Sora didalam embanan, ibunya membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan kami. Kadang-kadang Lembu Sora itu dibawanya menuai padi diterik panas matahari, menumbuk dan kemudian menanaknya sekali. Sedang Gajah Sora pada saat itu telah dapat berjalan mengikutinya kemana ia pergi, menggandengnya disepanjang pematang dan di jalan-jalan yang sama sekali belum berujud jalan seperti sekarang ini.”
“Tidak benar,” potong Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk. Katanya,
”Aku tidak percaya cerita itu sejak aku mendengarnya. Tetapi apakah yang aku hadapi seterusnya di sini ? Di tanah perdikan ini ? Lembu Sora adalah anakku pula. Anak terkasih dari ibunya. Sedang kepada ibunya aku tidak dapat melupakan duka derita yang disandangnya pada saat itu. Duka derita sebagai ungkapan kesetiaan seorang istri yang baik, pada saat aku sedang bekerja mati-matian membangun tanah perdikan ini, yang semula bernama Pangrantunan. Dan pada saat itulah Lembu Sora dilahirkan."
"Dengan Lembu Sora didalam embanan, ibunya membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan kami. Kadang-kadang Lembu Sora itu dibawanya menuai padi diterik panas matahari, menumbuk dan kemudian menanaknya sekali. Sedang Gajah Sora pada saat itu telah dapat berjalan mengikutinya kemana ia pergi, menggandengnya disepanjang pematang dan di jalan-jalan yang sama sekali belum berujud jalan seperti sekarang ini.”
Sora Dipayana berhenti sesaat. Pandangan matanya terlempar jauh, seolah-olah menerawang kembali kepada masa-masa silam. Masa-masa pahit yang pernah dialami.
Setelah orang tua itu menelan ludahnya, maka mulailah ia meneruskan ceritanya,
Quote:
“Rupa-rupanya Tuhan berkenan kepada usahaku itu, sehingga beberapa tahun kemudian terwujudlah padepokan yang kemudian berkembang menjadi semakin ramai dan subur. Aku menjadi bangga ketika kemudian tanah ini dikuatkan dengan suatu piagam menjadi tanah perdikan. Tanah perdikan yang semakin lama menjadi semakin berkembang. Bersamaan dengan itu semakin berkembang pulalah perasaan iba dan kasih istriku kepada Lembu Sora. Ia selalu ingat kepada saat-saat bayi itu mengalami masa-masa pahit. Namun akibatnya adalah sifat-sifat manja pada anak itu. Bahkan kemudian sifat itu semakin menjadi-jadi.. Dan kesalahan itu barangkali yang telah menjerumuskannya kedalam keadaannya sekarang ini. Keadaan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.”
Sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana berhenti, seolah-olah ia menjadi sangat lelah. Beberapa kaliia menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya ditekankan ke lantai yang dilambari tikar pandan,seolah-olah dengan demikian ia ingin mencari kekuatan untuk menahan berat badannya yang tidakseberapa besar itu.
Beberapa saat kemudian ia mulai lagi dengan ceritanya,
Quote:
“Meskipun kemudian aku sadar bahwa akuharus berdiri diatas kebenaran dan keadilan, namun aku bermaksud untuk berlaku bijaksana. Aku ingin menyelesaikan masalahnya tanpa mengorbankan salah satu diantaranya. Karena itulah maka diam-diam aku pergi ke Demak untuk membuktikan ketidak benaran cerita Lembu Sora. Tetapi aku terbentur pada suatu kenyataan, bahwa Gajah Sora ternyata terlibat dalam suatu keadaan yang sulit. Ia dapat dilepaskan apabila kesalahannya nyata-nyata tidak terbukti, apabila Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten telah dapat diketemukan, dan ternyata benar-benar tidak disembunyikannya.”
Kemudian dengan nada yang rendah dan sedih, Ki Ageng Sora Dipayana bergumam,
“Lalu berapa tahunkah kedua keris itu dapat ditemukan ?”
Mata orang tua itu menjadi sayu. Dan nada kata-katanya menjadi sangat rendah.
“Apalagi umurku menjadi semakin tua. Berapa tahun lagi aku masih diperkenankan oleh Yang Maha Esa untuk dapat menikmati segarnya angin pegunungan Telamaya ini ? Apakah yang terjadi seandainya aku harus meninggalkan tanah ini menghadap Tuhan Yang Maha Esa, sedang Gajah Sora masih belum kembali ? Sedang Arya Salaka kemudian lenyap tanpa bekas, seolah-olah ia telah benar-benar mati terbunuh ? Itulah sebabnya kenapa aku tidak mempunyai pilihan lain daripada untuk sementara mempergunakan tenaga yang ada untuk kepentingan tanah ini. Aku sadar bahwa dari berbagai penjuru dapat datang bahaya. Gerombolan kalangan hitam yang liar dari Gunung Tidar, Rawa Pening dan Alas Mentaok. Bahkan ternyata dari Nusa Kambangan pun bahaya itu dapat datang setiap saat.”
Kemudian dengan nada yang rendah dan sedih, Ki Ageng Sora Dipayana bergumam,
“Lalu berapa tahunkah kedua keris itu dapat ditemukan ?”
Mata orang tua itu menjadi sayu. Dan nada kata-katanya menjadi sangat rendah.
“Apalagi umurku menjadi semakin tua. Berapa tahun lagi aku masih diperkenankan oleh Yang Maha Esa untuk dapat menikmati segarnya angin pegunungan Telamaya ini ? Apakah yang terjadi seandainya aku harus meninggalkan tanah ini menghadap Tuhan Yang Maha Esa, sedang Gajah Sora masih belum kembali ? Sedang Arya Salaka kemudian lenyap tanpa bekas, seolah-olah ia telah benar-benar mati terbunuh ? Itulah sebabnya kenapa aku tidak mempunyai pilihan lain daripada untuk sementara mempergunakan tenaga yang ada untuk kepentingan tanah ini. Aku sadar bahwa dari berbagai penjuru dapat datang bahaya. Gerombolan kalangan hitam yang liar dari Gunung Tidar, Rawa Pening dan Alas Mentaok. Bahkan ternyata dari Nusa Kambangan pun bahaya itu dapat datang setiap saat.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengakhiri ceritanya dengan suatu tarikan napas kecewa. Ia melihat masa depan yang suram bagi tanah perdikannya yang dibangunnya dengan cucuran keringat.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun merasakan apa yang bergetar di dalam orang tua itu. Mereka ikut serta dihadapkan pada persimpangan jalan yang tidak dikenalnya. Jalan manakah yang harus dipilihnya.
Ki Ageng Sora Dipayana tidak dapat membiarkan tanah perdikannya ditelan oleh kekuatan hitam yang ada disekitarnya. Sedang yang ada padanya pada saat itu tidak ada lain, kecuali Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Maka orang tua itu tidak dapat berbuat lain daripada membentengi Pamingit dan Banyubiru dengan menempa Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Untuk sesaat pendapa Banyubiru itu menjadi sepi. Masing-masing berdiam diri dan membiarkan angan angan mereka merayapi daerah yang tak mereka kenal.
KI AGENG Sora Dipayana masih saja memandangi titik-titik di kejauhan.
Menembus alam kasatmata dan hinggap ke dalam alam yang hanya dapat dicitakan. Banyubiru yang gemah ripah loh jinawi. Jauh dari sifat cecengilan dan fitnah. Jauh dari keirihatian dan ketamakan.
Quote:
“Adakah kita akan sampai ke sana…?”
Tiba-tiba terdengar Sora Dipayana bergumam.
Tiba-tiba terdengar Sora Dipayana bergumam.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan orang-orang lain yang mendengarnya menjadi terkejut. Bahkan Sora Dipayana sendiri seolah-olah menjadi tersadar oleh kata-katanya sendiri.
Quote:
“Sampai ke mana Ki Ageng?” tanya Wanamerta.
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas panjang. Lalu ia melipat tangannya di dadanya. Tetapi ia harus menjawab pertanyaan Wanamerta itu. Maka katanya,
Quote:
“Wanamerta… kau adalah orang tertua yang pernah ikut serta membanting tulang, membina tanah ini. Bahkan sejak tanah ini masih bernama Pangrantunan. Seperti aku, agaknya kau mencita-citakan tanah ini menjadi tanah yang subur. Wadah dari masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Tetapi kau agaknya lebih beruntung daripadaku. Pada saat saat seperti sekarang ini kau berhasil menarik garis tegas.”
Wanamerta merasa, seolah-olah Ki Ageng Sora Dipayana sedang menyesali dirinya. Menyesali keadaan yang menghadapkannya kepada persoalan yang serba salah. Maju tatu, mundur ajur. Karena itu maka ia berusaha untuk memperingan beban orang tua itu. Katanya.
Quote:
“Ki Ageng, kalau dalam wawasan Ki Ageng aku dapat menarik garis tegas pada keadaan seperti sekarang ini, adalah karena aku mempunyai kesempatan yang lebih banyak. Aku dapat menilai Anakmas Gajah Sora dan Anakmas Lembu Sora dalam keadaan yang wajar, karena aku tidak tersangkut pada persoalan-persoalan yang tali-temali seperti Kakang Sora Dipayana.”
“Kau benar Wanamerta,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Kau lebih beruntung lagi, karena kau berhasil menemukan Arya Salaka.”
“Itu adalah karena doa dan pangestu Kakang,” sahut Wanamerta.
Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana menoleh kepada Mahesa Jenar dan berkata kepadanya,
“Mahesa Jenar, adakah Arya Salaka itu sehat-sehat saja?”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk sambil menjawab,
“Baik Ki Ageng. Arya Salaka sekarang dalam keadaan segar bugar. Ia menyampaikan baktinya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Hem…” Sora Dipayana bergumam.
“Ia pasti segagah ayahnya. Lima tahun yang lalu ia telah jauh lebih gagah dari kawan-kawan sebayanya. Apalagi sekarang.”
“Ia mirip benar dengan ayahnya, Paman.” Mahesa Jenar menyambung.
“Kau benar Wanamerta,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Kau lebih beruntung lagi, karena kau berhasil menemukan Arya Salaka.”
“Itu adalah karena doa dan pangestu Kakang,” sahut Wanamerta.
Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana menoleh kepada Mahesa Jenar dan berkata kepadanya,
“Mahesa Jenar, adakah Arya Salaka itu sehat-sehat saja?”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk sambil menjawab,
“Baik Ki Ageng. Arya Salaka sekarang dalam keadaan segar bugar. Ia menyampaikan baktinya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Hem…” Sora Dipayana bergumam.
“Ia pasti segagah ayahnya. Lima tahun yang lalu ia telah jauh lebih gagah dari kawan-kawan sebayanya. Apalagi sekarang.”
“Ia mirip benar dengan ayahnya, Paman.” Mahesa Jenar menyambung.
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum puas. Tetapi hanya sesaat, sebab kemudian ia teringat kembali pada keadaan yang dihadapi kini. Di dalam rumah itu ada Sawung Sariti yang mewarisi sifat-sifat ayahnya. Meskipun demikian ia tidak mau membiarkan keadaan berkembang berlarut-larut kearah yang tak dikehendaki. Karena itu ia harus berbuat sesuatu.
Menempatkan kembali segala sesuatunya pada tempat masing-masing. Karena itu ia berkata,
Quote:
“Mahesa Jenar, bawalah Arya Salaka kemari.”
Mendengar kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu, Mahesa Jenar beserta segenap kawan-kawannya menjadi bergembira. Wajah-wajah mereka menjadi cerah dan bercahaya. Tetapi ketika mereka sadar bahwa kekuasaan Banyubiru pada saat itu seolah-olah berada sepenuhnya di tangan Lembu Sora, mereka menjadi ragu. Dan tanpa mereka sadari mereka segera memandang kearah pintu dimana Lembu Sora tadi masuk.
Sora Dipayana ternyata menangkap perasaan mereka. Perasaan yang sebenarnya berkecamuk juga di dalam rongga dadanya. Tetapi ia berpendapat bahwa keadaan di Banyubiru harus segera mendapat bentuk yang tegas. Apabila keadaan dibiarkan seperti saat itu maka kehidupan rakyatnya pun jadi mengambang tanpa pegangan. Mereka menjadi ragu-ragu untuk berbuat banyak, sebab mereka selalu dibebani oleh perasaan takut dan was-was. Mereka selalu dihadapkan pada keadaan yang tidak tetap, yang setiap waktu dapat berubah-ubah tanpa ketentuan.
Karena pendapat itulah maka kemudian Ki Ageng Sora Dipayana berkata,
Quote:
“Mahesa Jenar, aku kira kau sedang mempertimbangkan apakah yang akan terjadi apabila Arya Salaka kau bawa kemari?”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab,
“Benar Paman. Memang aku menjadi bimbang akan nasib anak itu kelak.”
“Sebenarnya aku pun bimbang. Tetapi aku menghendaki agar keadaan seperti sekarang ini segera berakhir. Karena itu aku akan mencoba agar segala sesuatu akan menjadi jelas dalam waktu yang dekat. Mudah-mudahan aku masih mempunyai pengaruh yang cukup atas anakku sendiri.”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab,
“Benar Paman. Memang aku menjadi bimbang akan nasib anak itu kelak.”
“Sebenarnya aku pun bimbang. Tetapi aku menghendaki agar keadaan seperti sekarang ini segera berakhir. Karena itu aku akan mencoba agar segala sesuatu akan menjadi jelas dalam waktu yang dekat. Mudah-mudahan aku masih mempunyai pengaruh yang cukup atas anakku sendiri.”
Jelas terasa dalam nada kata-katanya. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar sedang dihadapkan pada suatu persoalan yang sulit.
Mahesa Jenar akhirnya merasa bahwa pertemuan itu sudah cukup baginya. Ia sudah mendapat gambaran yang cukup jelas tentang keadaan di Banyubiru, yang sudah cukup pula dipergunakannya sebagai bekal untuk menentukan langkah-langkah seterusnya. Karena itu segera ia mohon diri untuk kembali ke daerah Candi Gedong Sanga.
Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana menahannya untuk beberapa saat karena ia masih ingin menjamu tamu-tamunya dengan sekadar minuman dan makanan.
Quote:
“Sebentar lagi hari akan malam, Paman, sebaiknya kami berangkat sekarang.” Mahesa Jenar mencoba untuk memaksa kembali.
Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana menjawab,
“Apakah bedanya siang dan malam bagimu Anakmas Mahesa Jenar? Apalagi kau berjalan bersama dengan Angger Kebo Kanigara, selain masih ada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghalangi perjalananmu.”
Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana menjawab,
“Apakah bedanya siang dan malam bagimu Anakmas Mahesa Jenar? Apalagi kau berjalan bersama dengan Angger Kebo Kanigara, selain masih ada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghalangi perjalananmu.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas