- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#396
Jilid 12 [Part 276]
Spoiler for :
SORA Dipayana mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian pandangan matanya berkisar kepada Penjawi, Bantaran, dan kemudian Wanamerta.
Wanamerta menjadi terharu mendengar sapaan Sora Dipayana itu. Sora Dipayana baginya adalah seorang pemimpin yang pada masa-masa menjalankan tugas menjadi kebanggaannya. Kebanggaan seluruh daerah perdikan yang dulu disebut Pangrantunan. Karena itu dengan hormat ia menjawab,
Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat berkeliling, matanya menjadi bertambah suram. Ia melihat dua lingkaran di halaman itu. Laskar Pamingit di lingkaran pertama, dan laskar Banyubiru di lingkaran kedua. Masing-masing masih erat memegang senjata mereka. Bagi Sora Dipayana, yang hampir seluruh hidupnya diserahkan kepada tanah perdikan itu, melihat peristiwa itu dengan sedih. Apa yang dilihatnya di halaman itu adalah lambang perpecahan yang terjadi saat itu. Perpecahan antara Pamingit dan Banyubiru. Dua daerah yang seharusnya dapat saling mengisi dan saling memperkuat ketahanan diri dalam segala bidang.
Kemudian kepada lembu Sora ia berkata,
Lembu Sora tidak begitu senang mendengar kata-kata ayahnya. Tetapi ia tidak berani membantah. Karena itu ia hanya dapat menggigit bibir, sehingga sekali lagi Sora Dipayana berkata,
Sawung Sariti tidak menjawab. Hanya matanya saja yang membentur wajah kakeknya. Lembu Sora kemudian tergopoh-gopoh datang kepadanya, dan sekali lagi ia bertanya,
Semua mata segera tertuju kepada Sawung Sariti. Ia menjadi tidak senang, ketika seolah-olah dirinya menjadi tontonan. Tetapi ia tidak segera dapat berdiri dan pergi dari tempatnya. Kakinya terasa sakit bukan main, bahkan seolah-olah tidak dapat digerakkan sama sekali. Sedang tangannya menjadi semutan dan gemetar.
Sawung Sariti hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala, meskipun hatinya mengumpat tidak habis-habisnya. Ia hanya dapat menyeringai dan berdesis-desis ketika kemudian Ki Ageng Sora Dipayana mengurut punggungnya.
Sawung Sariti kemudian berdiri dan terhuyung-huyung berjalan masuk ke dalam pringgitan. Di depan pintu, sekali lagi ia menoleh dan memandang Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, dengan penuh dendam.
Ketika anak itu sudah lenyap di balik pintu, terdengar Sora Dipayana berkata,
dan kemudian dengan tangannya ia memberi isyarat kepada pemimpin laskar yang berada di halaman itu. Kemudian segera membubarkan laskar Pamingit dan Banyubiru. Sebentar kemudian halaman itu menjadi kosong, kecuali beberapa orang yang khusus bertugas sebagai pengawal-pengawal pribadi Lembu Sora.
SEKALI lagi Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi dipersilahkan naik ke pendapa. Tetapi kali ini Lembu Sora sudah tidak tenang lagi duduk bersama. Karena itu ia berkata,
Lembu Sora tidak menjawab. Dengan langkah gontai ia berjalan meninggalkan tamu-tamunya yang duduk bersama dengan Ki Ageng Sora Dipayana.
Sepeninggal Lembu Sora, berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan ketika Mahesa Jenar memandang wajahnya yang suram, ia menjadi terkejut. Membayanglah di dalam sepasang matanya yang sayu, seolah-olah mendung menyelimuti langit. Dengan tertahan-tahan ia menjawab,
Mendengar nama itu Ki Ageng Sora Dipayana menegakkan kepalanya. Ia lupa-lupa ingat akan nama itu. Namun bagaimanapun juga orang yang bernama Kebo Kanigara itu sangat menganggumkannya. Ia melihat ketika orang yang bernama Kebo Kanigara itu menepuk pundak Mahesa Jenar untuk menenangkannya. Ia melihat betapa Mahesa Jenar tidak berani memandang wajah orang itu. Karena itu, orang yang bernama Kebo Kanigara itu pasti mempunyai pengaruh yang kuat atas Mahesa Jenar. Apalagi menilik sikapnya yang tenang penuh kepercayaan kepada diri sendiri, telah menyatakan betapa ia memiliki ilmu yang kuat dan meyakinkan pula.
Kalau Kebo Kanigara itu seorang Putut yang bernama Karang Jati, dan memiliki ilmu yang cukup meyakinkan, bagaimanakah agaknya Panembahan yang bernama Ismaya itu? Dan apakah hubungannya dengan Mahesa Jenar, sehingga ia datang bersamanya? Tetapi Sora Dipayana merasa kurang pada tempatnya untuk menanyakannya.
Sementara itu Kebo Kanigara pun sedang memperhatikan Ki Ageng Sora Dipayana dengan seksama. Ia pernah mendengar nama itu dari ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan ia pernah mendengar pula bahwa Ki Ageng Sora Dipayana itu adalah sahabat ayahnya dan memiliki ilmu yang setingkat.
Agaknya apa yang dikatakan oleh ayahnya itu tidak berlebih-lebihan. Ia melihat dengan mata kepala sendiri apa yang baru saja terjadi. Ketika Sawung Sariti dengan diam-diam bersiap untuk melontarkan tombak ke punggung Mahesa Jenar, Kebo Kanigara telah bersiap untuk mencegahnya.
Tetapi tiba-tiba ia melihat Sora Dipayana itu seperti melayang terbang ke arah anak muda itu. Dengan satu sentuhan di punggungnya, Sawung Sariti tiba-tiba gemetar dan jatuh terduduk di tangga tanpa dapat berdiri lagi.
Kemudian seperti berjanji, mereka masing-masing meloncat masuk kedalam lingkaran laskar Pamingit untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Kebo Kanigara berusaha untuk menenangkan Mahesa Jenar, sedang Sora Dipayana mencegah Lembu Sora untuk berbuat lebih banyak lagi.
Setelah mereka berdiam diri sejenak, mulailah Sora Dipayana melanjutkan kata-katanya,
Quote:
“Adi Wanamerta… apakah kau sehat-sehat saja selama ini…?”
Wanamerta menjadi terharu mendengar sapaan Sora Dipayana itu. Sora Dipayana baginya adalah seorang pemimpin yang pada masa-masa menjalankan tugas menjadi kebanggaannya. Kebanggaan seluruh daerah perdikan yang dulu disebut Pangrantunan. Karena itu dengan hormat ia menjawab,
Quote:
“Kakang, sebagaimana Kakang, agaknya akupun selamat. Demikian juga anak-anak Banyubiru yang pergi bersamaku.”
Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat berkeliling, matanya menjadi bertambah suram. Ia melihat dua lingkaran di halaman itu. Laskar Pamingit di lingkaran pertama, dan laskar Banyubiru di lingkaran kedua. Masing-masing masih erat memegang senjata mereka. Bagi Sora Dipayana, yang hampir seluruh hidupnya diserahkan kepada tanah perdikan itu, melihat peristiwa itu dengan sedih. Apa yang dilihatnya di halaman itu adalah lambang perpecahan yang terjadi saat itu. Perpecahan antara Pamingit dan Banyubiru. Dua daerah yang seharusnya dapat saling mengisi dan saling memperkuat ketahanan diri dalam segala bidang.
Kemudian kepada lembu Sora ia berkata,
Quote:
“Lembu Sora, bukankah lebih baik kalau kau persilakan tamumu ini duduk kembali? Dan bukankah lebih akrab kalau kau jamu tamu-tamumu ini dengan sekadar pelepas haus, daripada kau suguhkan kepada mereka pameran kekuatan yang tak berarti?”
Lembu Sora tidak begitu senang mendengar kata-kata ayahnya. Tetapi ia tidak berani membantah. Karena itu ia hanya dapat menggigit bibir, sehingga sekali lagi Sora Dipayana berkata,
Quote:
“Lembu Sora, persilakan tamumu duduk kembali.”
“Baik ayah,” jawabnya singkat. Tetapi Lembu Sora masih belum mempersilakan tamu-tamunya. Malah kemudian ada sesuatu yang dicarinya.
“Sariti… Sariti….” panggilnya.
“Ya, ayah…” jawab Sawung Sariti, masih duduk di tangga pendapa.
“Kemarilah.”
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi bibirnya masih menyeringai kesakitan. Sehingga ketika Lembu Sora melihatnya, ia menjadi terkejut.
“Kenapa kau?”
“Baik ayah,” jawabnya singkat. Tetapi Lembu Sora masih belum mempersilakan tamu-tamunya. Malah kemudian ada sesuatu yang dicarinya.
“Sariti… Sariti….” panggilnya.
“Ya, ayah…” jawab Sawung Sariti, masih duduk di tangga pendapa.
“Kemarilah.”
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi bibirnya masih menyeringai kesakitan. Sehingga ketika Lembu Sora melihatnya, ia menjadi terkejut.
“Kenapa kau?”
Sawung Sariti tidak menjawab. Hanya matanya saja yang membentur wajah kakeknya. Lembu Sora kemudian tergopoh-gopoh datang kepadanya, dan sekali lagi ia bertanya,
Quote:
“Kenapa kau…?”
“Kakek…” jawab Sariti singkat.
Lembu Sora menoleh kepada ayahnya. Kemudian ia bertanya,
“Kenapa dengan Sariti, ayah…?”
“Ah,” jawab Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya.
“Aku hanya mencegahnya bermain-main dengan tombak.”
“Kakek…” jawab Sariti singkat.
Lembu Sora menoleh kepada ayahnya. Kemudian ia bertanya,
“Kenapa dengan Sariti, ayah…?”
“Ah,” jawab Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya.
“Aku hanya mencegahnya bermain-main dengan tombak.”
Semua mata segera tertuju kepada Sawung Sariti. Ia menjadi tidak senang, ketika seolah-olah dirinya menjadi tontonan. Tetapi ia tidak segera dapat berdiri dan pergi dari tempatnya. Kakinya terasa sakit bukan main, bahkan seolah-olah tidak dapat digerakkan sama sekali. Sedang tangannya menjadi semutan dan gemetar.
Quote:
“Ayah…” kata lembu Sora dengan nada menyesal,
“Apakah Ayah akan membiarkannya demikian?”
Sora Dipayana perlahan-lahan berjalan mendekati cucunya. dengan sareh ia berkata,
“Sariti, lain kali janganlah kau berbuat hal-hal yang berbahaya.”
“Apakah Ayah akan membiarkannya demikian?”
Sora Dipayana perlahan-lahan berjalan mendekati cucunya. dengan sareh ia berkata,
“Sariti, lain kali janganlah kau berbuat hal-hal yang berbahaya.”
Sawung Sariti hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala, meskipun hatinya mengumpat tidak habis-habisnya. Ia hanya dapat menyeringai dan berdesis-desis ketika kemudian Ki Ageng Sora Dipayana mengurut punggungnya.
Quote:
“Nah, masuklah,” perintahnya kemudian.
“Jangan campuri perkara orang tua-tua.”
“Jangan campuri perkara orang tua-tua.”
Sawung Sariti kemudian berdiri dan terhuyung-huyung berjalan masuk ke dalam pringgitan. Di depan pintu, sekali lagi ia menoleh dan memandang Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, dengan penuh dendam.
Ketika anak itu sudah lenyap di balik pintu, terdengar Sora Dipayana berkata,
Quote:
“Lembu Sora, apakah kau masih memerlukan laskar sebanyak itu untuk menyambut tamumu?”
“Ayah…” jawab Lembu Sora,
“Aku tidak menyiapkan laskar ini untuk menyambut kedatangan Adi Mahesa Jenar. Tetapi semula aku menyiapkan laskarku karena Banyubiru baru saja didatangi oleh orang-orang dari Nusa Kambangan untuk mencari kedua pusaka Demak yang hilang, yang katanya berada di Banyubiru ini.”
Sora Dipayana mengerutkan keningnya kembali. Jawabnya,
“Baiklah, kalau demikian kau dapat membubarkannya.”
“Baiklah, Ayah,” jawab Lembu Sora singkat,
“Ayah…” jawab Lembu Sora,
“Aku tidak menyiapkan laskar ini untuk menyambut kedatangan Adi Mahesa Jenar. Tetapi semula aku menyiapkan laskarku karena Banyubiru baru saja didatangi oleh orang-orang dari Nusa Kambangan untuk mencari kedua pusaka Demak yang hilang, yang katanya berada di Banyubiru ini.”
Sora Dipayana mengerutkan keningnya kembali. Jawabnya,
“Baiklah, kalau demikian kau dapat membubarkannya.”
“Baiklah, Ayah,” jawab Lembu Sora singkat,
dan kemudian dengan tangannya ia memberi isyarat kepada pemimpin laskar yang berada di halaman itu. Kemudian segera membubarkan laskar Pamingit dan Banyubiru. Sebentar kemudian halaman itu menjadi kosong, kecuali beberapa orang yang khusus bertugas sebagai pengawal-pengawal pribadi Lembu Sora.
SEKALI lagi Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi dipersilahkan naik ke pendapa. Tetapi kali ini Lembu Sora sudah tidak tenang lagi duduk bersama. Karena itu ia berkata,
Quote:
“Ayah, biarlah untuk sementara ayah menemani tamu-tamu kita. Aku ingin menyelesaikan persoalan kecil dibelakang sebentar.”
Ki Ageng Sora Dipayana menganggukkan kepalanya, jawabnya,
“Baiklah Lembu Sora, tetapi sesudah pekerjaanmu itu selesai datanglah dan duduklah di sini bersama-sama.”
Ki Ageng Sora Dipayana menganggukkan kepalanya, jawabnya,
“Baiklah Lembu Sora, tetapi sesudah pekerjaanmu itu selesai datanglah dan duduklah di sini bersama-sama.”
Lembu Sora tidak menjawab. Dengan langkah gontai ia berjalan meninggalkan tamu-tamunya yang duduk bersama dengan Ki Ageng Sora Dipayana.
Sepeninggal Lembu Sora, berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,
Quote:
“Angger berdua. Sebenarnyalah kedatangan kalian sangat mengejutkan kami dan rakyat Banyubiru. Sudah sejak bertahun-tahun mereka melupakan nama Mahesa Jenar bersama dengan lenyapnya nama Gajah Sora dan Arya Salaka.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia menyahut,
“Adakah nama itu lenyap pula dari hati Tuan? Bukan Mahesa Jenar, tetapi Gajah Sora dan Arya Salaka.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia menyahut,
“Adakah nama itu lenyap pula dari hati Tuan? Bukan Mahesa Jenar, tetapi Gajah Sora dan Arya Salaka.”
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan ketika Mahesa Jenar memandang wajahnya yang suram, ia menjadi terkejut. Membayanglah di dalam sepasang matanya yang sayu, seolah-olah mendung menyelimuti langit. Dengan tertahan-tahan ia menjawab,
Quote:
“Gajah Sora adalah harapan bagi masa kini, sedang Arya Salaka adalah harapan masa depan. Bagaimana aku dapat melupakan mereka?”
“Tetapi masa kini telah hilang dari tangannya,” sahut Mahesa Jenar meneruskan. Perlahan-lahan namun jelas.
Sora Dipayana memandangi mata Mahesa Jenar dengan cermat. Ia melihat pertanyaan yang bergulat di dalamnya. Karena itu ia berkata,
“Anakmas Mahesa Jenar, aku tidak pernah menolak kalau ada orang meletakkan tanggungjawab di dalam tanganku. Aku tidak pernah mengelakkan tuduhan bahwa aku seolah-olah membiarkan keadaan berkembang seperti apa yang terjadi kini. Tetapi aku ingin juga mengatakan, alasan-alasan apakah yang telah menyudutkan aku ke dalam keadaan ini.”
Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak. Dengan seksama ia mengawasi Kebo Kanigara. Dan tiba-tiba saja terlontar dari mulutnya,
“Siapakah Angger ini?”
“Aku adalah seorang Putut, Tuan. Yang menghambakan diri pada Panembahan yang tinggal di bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebagai seorang Putut, aku bernama Putut Karang Jati,” lanjut Kanigara.
Sora Dipayana mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia bertanya pula,
“Adakah Anakmas bergelar lain selain nama Angger sebagai seorang Putut?”
Kebo Kanigara ragu sejenak. Ketika ia menoleh kepada Mahesa Jenar, Mahesa Jenar pun agaknya bimbang hati.
Akhirnya kepada orang tua itu Kebo Kanigara tidak merasa perlu untuk menyembunyikan diri.
Karena itu ia menjawab, “
Tuan, aku memang memiliki nama lain. Nama yang diberikan oleh ayah bunda pada saat aku dilahirkan nama itu adalah Kebo Kanigara.”
“Tetapi masa kini telah hilang dari tangannya,” sahut Mahesa Jenar meneruskan. Perlahan-lahan namun jelas.
Sora Dipayana memandangi mata Mahesa Jenar dengan cermat. Ia melihat pertanyaan yang bergulat di dalamnya. Karena itu ia berkata,
“Anakmas Mahesa Jenar, aku tidak pernah menolak kalau ada orang meletakkan tanggungjawab di dalam tanganku. Aku tidak pernah mengelakkan tuduhan bahwa aku seolah-olah membiarkan keadaan berkembang seperti apa yang terjadi kini. Tetapi aku ingin juga mengatakan, alasan-alasan apakah yang telah menyudutkan aku ke dalam keadaan ini.”
Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak. Dengan seksama ia mengawasi Kebo Kanigara. Dan tiba-tiba saja terlontar dari mulutnya,
“Siapakah Angger ini?”
“Aku adalah seorang Putut, Tuan. Yang menghambakan diri pada Panembahan yang tinggal di bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebagai seorang Putut, aku bernama Putut Karang Jati,” lanjut Kanigara.
Sora Dipayana mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia bertanya pula,
“Adakah Anakmas bergelar lain selain nama Angger sebagai seorang Putut?”
Kebo Kanigara ragu sejenak. Ketika ia menoleh kepada Mahesa Jenar, Mahesa Jenar pun agaknya bimbang hati.
Akhirnya kepada orang tua itu Kebo Kanigara tidak merasa perlu untuk menyembunyikan diri.
Karena itu ia menjawab, “
Tuan, aku memang memiliki nama lain. Nama yang diberikan oleh ayah bunda pada saat aku dilahirkan nama itu adalah Kebo Kanigara.”
Mendengar nama itu Ki Ageng Sora Dipayana menegakkan kepalanya. Ia lupa-lupa ingat akan nama itu. Namun bagaimanapun juga orang yang bernama Kebo Kanigara itu sangat menganggumkannya. Ia melihat ketika orang yang bernama Kebo Kanigara itu menepuk pundak Mahesa Jenar untuk menenangkannya. Ia melihat betapa Mahesa Jenar tidak berani memandang wajah orang itu. Karena itu, orang yang bernama Kebo Kanigara itu pasti mempunyai pengaruh yang kuat atas Mahesa Jenar. Apalagi menilik sikapnya yang tenang penuh kepercayaan kepada diri sendiri, telah menyatakan betapa ia memiliki ilmu yang kuat dan meyakinkan pula.
Kalau Kebo Kanigara itu seorang Putut yang bernama Karang Jati, dan memiliki ilmu yang cukup meyakinkan, bagaimanakah agaknya Panembahan yang bernama Ismaya itu? Dan apakah hubungannya dengan Mahesa Jenar, sehingga ia datang bersamanya? Tetapi Sora Dipayana merasa kurang pada tempatnya untuk menanyakannya.
Sementara itu Kebo Kanigara pun sedang memperhatikan Ki Ageng Sora Dipayana dengan seksama. Ia pernah mendengar nama itu dari ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan ia pernah mendengar pula bahwa Ki Ageng Sora Dipayana itu adalah sahabat ayahnya dan memiliki ilmu yang setingkat.
Agaknya apa yang dikatakan oleh ayahnya itu tidak berlebih-lebihan. Ia melihat dengan mata kepala sendiri apa yang baru saja terjadi. Ketika Sawung Sariti dengan diam-diam bersiap untuk melontarkan tombak ke punggung Mahesa Jenar, Kebo Kanigara telah bersiap untuk mencegahnya.
Tetapi tiba-tiba ia melihat Sora Dipayana itu seperti melayang terbang ke arah anak muda itu. Dengan satu sentuhan di punggungnya, Sawung Sariti tiba-tiba gemetar dan jatuh terduduk di tangga tanpa dapat berdiri lagi.
Kemudian seperti berjanji, mereka masing-masing meloncat masuk kedalam lingkaran laskar Pamingit untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Kebo Kanigara berusaha untuk menenangkan Mahesa Jenar, sedang Sora Dipayana mencegah Lembu Sora untuk berbuat lebih banyak lagi.
Setelah mereka berdiam diri sejenak, mulailah Sora Dipayana melanjutkan kata-katanya,
Quote:
“Angger berdua, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi. Anggaplah bahwa sebuah dongeng yang akan saya utarakan nanti sebagai suatu usaha untuk meringankan perasaanku dari himpitan tanggungjawab yang hampir tak dapat aku laksanakan. Atau barangkali dapat kalian artikan sebagai suatu usaha untuk meringankan kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan.”
Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan,
“Pada saat itu, aku baru saja datang kembali dari perjalananku mencari jejak kedua pusaka Demak yang hilang kembali, setelah diketemukan oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama. Aku datang kembali ke Banyubiru tanpa membawa kedua keris itu. Apalagi membawanya kembali, jejaknya pun tak dapat aku ketahui.”
Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan,
“Pada saat itu, aku baru saja datang kembali dari perjalananku mencari jejak kedua pusaka Demak yang hilang kembali, setelah diketemukan oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama. Aku datang kembali ke Banyubiru tanpa membawa kedua keris itu. Apalagi membawanya kembali, jejaknya pun tak dapat aku ketahui.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas