- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#393
Jilid 12 [Part 274]
Spoiler for :
PENJAWI bukanlah orang yang dapat banyak bicara. Karena itu semakin banyak yang akan diucapkan, semakin sulit kata-kata itu keluar dari mulutnya. Demikian juga Bantaran yang hanya dapat mengingsar-ingsar duduknya dan meraba-raba hulu kerisnya.
Wanamerta sendiri menjadi bingung. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mendapat jawaban yang demikian. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun menjadi gelisah, mereka masih tetap pada kesadaran yang penuh. Karena itu Mahesa Jenar masih dapat berkata las-lasan,
Lembu Sora mengernyitkan keningnya. Terhadap Mahesa Jenar ia harus berhati-hati. Karena itu ia mempertimbangkan setiap kata-katanya dengan baik. Maka setelah berfikir sejenak ia menjawab.
Semua orang terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan Bantaran sendiri terkejut.
Sawung Sariti sama sekali tidak senang mendengar Bantaran membentaknya. Karena itu ia menjawab tajam,
Tetapi kata-kata bentakan itu sudah terucapkan. Sebagai laki-laki, Bantaran tidak mau dihinakan, meskipun ia tahu bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya. Tetapi mati atas landasan kesetiaan kepada Banyubiru adalah pengabdian yang didambanya selama ini. Dengan demikian tiba-tiba menengadahkan dadanya sambil berkata,
Hampir saja Sawung Sariti meloncat, kalau ia tidak ditahan Lembu Sora, yang agaknya kepalanya masih cukup dingin. Namun kata-katanya sangat menyakitkan hati.
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin memadamkan api yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Namun dari matanya terpancarlah bara kemarahan yang tak terhingga.
Mahesa Jenar melihat keadaan berkembang ke arah yang tidak diharapkan, meskipun ia tidak dapat menyalahkan Bantaran, Wanamerta maupun Penjawi. Ia sebenarnya sama sekali tidak menduga bahwa sampai sedemikian jauh keingkaran Lembu Sora dan Sawung Sariti terhadap kemenakannya serta sepupunya sendiri. Terhadap kadang tuwa yang selalu bersikap baik kepada mereka, Gajah Sora.
Mahesa Jenar pernah mendengar cerita tentang hubungan mereka. Lembu Sura dengan Gajah Sora sebagai kakak-beradik. Ia pernah mendengar bagaimana Gajah Sora sebagai saudara tua selalu melindungi dan membimbing adiknya dalam berbagai soal, dan banyak mengalah dalam berbagai hal. Namun akibatnya, kemanjaan Lembu Sora itu menjadi berlebih-lebihan dan menelan Gajah Sora sendiri. Kalau sekali dua kali, Gajah Sora pernah marah kepadanya, adalah wajar. Sebagai seorang kakak yang ingin melihat adiknya tidak berbuat kesalahan-kesalahan.
Mahesa Jenar berusaha untuk tetap memelihara suasana pertemuan itu agar tidak bertambah kusut, meskipun dadanya sendiri seperti hendak meledak. Maka berkatalah ia dengan setenang-tenangnya, seolah-olah tidak terjadi ketegangan sama sekali di dalam pertemuan itu.
Lembu Sora menelan ludahnya serta menggigit bibirnya. Ia kagum juga kepada Mahesa Jenar yang dapat menguasai perasaannya dengan baik. Tetapi ia sudah bertekad untuk menganggap bahwa Arya Salaka sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Karena itu Lembu Sora menjawab,
MAHESA JENAR mengangkat dadanya seolah-olah ada sesuatu yang menyilang di dalamnya. Dengan sudut matanya ia melihat betapa wajah Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sudah menjadi merah padam. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih berkata,
Dada Mahesa Jenar benar-benar seperti dihantam linggis, mendengar kata-kata itu. Sehingga tidak sesadarnya ia menggeretakkan giginya. Namun bagaimanapun juga dengan susah payah ia masih menahan diri, dan berkata,
Pertanyaan ini sekali lagi menggelisahkan Lembu Sora. Sawung Sariti pun tidak tahan lagi untuk membiarkan pembicaraan yang tak disukainya itu berlarut-larut. Maka ia pun kemudian menyela,
Mahesa Jenar memandang Sawung Sariti dengan sudut matanya. Sekali lagi ia merasa muak melihat wajah itu. Wajah yang tampan dan bersih namun di belakang wajah itu tersirat kelicikan hatinya. Tiba-tiba ia teringat kepada Jaka Soka dari Nusa Kambangan.
Bara yang mula-mula berkobar di dada Sawung Sariti masih belum padam, ditambah dengan kata-kata Mahesa Jenar yang cukup tajam itu. Maka semakin menyalalah hatinya. Tetapi sebelum ia menjawab, Lembu Sora telah mendahuluinya,
Mahesa Jenar benar-benar tersinggung karenanya, ditambah dengan perasaan muaknya sejak bertemu dengan orang itu untuk pertama kalinya. Karena itu ia menjawab lantang,
Wanamerta mendengar kata-kata itu dengan dada yang berdentam-dentam. Telinganya serasa tersentuh api. Maka katanya lantang, meskipun ia langsung berhadapan dengan bahaya yang dapat saja merenggut jiwanya,
Wanamerta sendiri menjadi bingung. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mendapat jawaban yang demikian. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun menjadi gelisah, mereka masih tetap pada kesadaran yang penuh. Karena itu Mahesa Jenar masih dapat berkata las-lasan,
Quote:
“Kakang Lembu Sora, apakah yang Kakang katakan itu merupakan pendapat Kakang Lembu Sora?”
Lembu Sora mengernyitkan keningnya. Terhadap Mahesa Jenar ia harus berhati-hati. Karena itu ia mempertimbangkan setiap kata-katanya dengan baik. Maka setelah berfikir sejenak ia menjawab.
Quote:
“Adi, aku tidak mengatakan demikian. Tetapi aku wajib mempertimbangkan setiap keadaan, supaya aku tidak meletakkan keputusan yang salah”.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu katanya meneruskan,
“Baik. Kalau demikian bagaimanakah kalau berita tentang kematian yang Kakang dengar itu salah…?”
Lembu Sora berpikir sekali lagi. Baru ia menjawab,
“Mudah-mudahan berita yang aku dengar itu salah. Tetapi bagaimana aku tahu kalau berita itu tidak benar?”
“Kakang akan tahu bahwa berita itu tidak benar setelah Kakang nanti dapat bertemu dengan Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora tersenyum. Katanya,
“Bagaimanakah aku dapat percaya bahwa yang datang kemudian itu Arya Salaka?”
“Ia harus membawa tanda kebesaran Banyubiru,” jawab Mahesa Jenar.
“Dan bukankah Kakang akan dapat mengenal kembali kemenakan Kakang itu?”
“Permainan yang bagus,” potong Sawung Sariti.
“Aku pernah bertemu dengan Paman Mahesa Jenar di Gedangan bersama-sama dengan anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, yang membawa tombak yang dinamainya Kyai Bancak.”
“Diam!” Tiba-tiba terdengar Bantaran membentak.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu katanya meneruskan,
“Baik. Kalau demikian bagaimanakah kalau berita tentang kematian yang Kakang dengar itu salah…?”
Lembu Sora berpikir sekali lagi. Baru ia menjawab,
“Mudah-mudahan berita yang aku dengar itu salah. Tetapi bagaimana aku tahu kalau berita itu tidak benar?”
“Kakang akan tahu bahwa berita itu tidak benar setelah Kakang nanti dapat bertemu dengan Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora tersenyum. Katanya,
“Bagaimanakah aku dapat percaya bahwa yang datang kemudian itu Arya Salaka?”
“Ia harus membawa tanda kebesaran Banyubiru,” jawab Mahesa Jenar.
“Dan bukankah Kakang akan dapat mengenal kembali kemenakan Kakang itu?”
“Permainan yang bagus,” potong Sawung Sariti.
“Aku pernah bertemu dengan Paman Mahesa Jenar di Gedangan bersama-sama dengan anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, yang membawa tombak yang dinamainya Kyai Bancak.”
“Diam!” Tiba-tiba terdengar Bantaran membentak.
Semua orang terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan Bantaran sendiri terkejut.
Sawung Sariti sama sekali tidak senang mendengar Bantaran membentaknya. Karena itu ia menjawab tajam,
Quote:
“Bantaran… kalau kau membentak aku sekali lagi, aku sobek mulutmu.”
Tetapi kata-kata bentakan itu sudah terucapkan. Sebagai laki-laki, Bantaran tidak mau dihinakan, meskipun ia tahu bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya. Tetapi mati atas landasan kesetiaan kepada Banyubiru adalah pengabdian yang didambanya selama ini. Dengan demikian tiba-tiba menengadahkan dadanya sambil berkata,
Quote:
“Aku akan berbuat sekali, dua kali, sepuluh kali lagi, sesuka hatiku.”
Hampir saja Sawung Sariti meloncat, kalau ia tidak ditahan Lembu Sora, yang agaknya kepalanya masih cukup dingin. Namun kata-katanya sangat menyakitkan hati.
Quote:
“Sawung Sariti, adakah cukup berharga bagimu untuk menyentuh tubuhnya?”
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin memadamkan api yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Namun dari matanya terpancarlah bara kemarahan yang tak terhingga.
Mahesa Jenar melihat keadaan berkembang ke arah yang tidak diharapkan, meskipun ia tidak dapat menyalahkan Bantaran, Wanamerta maupun Penjawi. Ia sebenarnya sama sekali tidak menduga bahwa sampai sedemikian jauh keingkaran Lembu Sora dan Sawung Sariti terhadap kemenakannya serta sepupunya sendiri. Terhadap kadang tuwa yang selalu bersikap baik kepada mereka, Gajah Sora.
Mahesa Jenar pernah mendengar cerita tentang hubungan mereka. Lembu Sura dengan Gajah Sora sebagai kakak-beradik. Ia pernah mendengar bagaimana Gajah Sora sebagai saudara tua selalu melindungi dan membimbing adiknya dalam berbagai soal, dan banyak mengalah dalam berbagai hal. Namun akibatnya, kemanjaan Lembu Sora itu menjadi berlebih-lebihan dan menelan Gajah Sora sendiri. Kalau sekali dua kali, Gajah Sora pernah marah kepadanya, adalah wajar. Sebagai seorang kakak yang ingin melihat adiknya tidak berbuat kesalahan-kesalahan.
Mahesa Jenar berusaha untuk tetap memelihara suasana pertemuan itu agar tidak bertambah kusut, meskipun dadanya sendiri seperti hendak meledak. Maka berkatalah ia dengan setenang-tenangnya, seolah-olah tidak terjadi ketegangan sama sekali di dalam pertemuan itu.
Quote:
“Kakang Lembu Sora, baiklah kita berbicara mengenai beberapa soal yang penting. Biarlah kita singkirkan masalah-masalah kecil yang tidak berarti.”
Lembu Sora menelan ludahnya serta menggigit bibirnya. Ia kagum juga kepada Mahesa Jenar yang dapat menguasai perasaannya dengan baik. Tetapi ia sudah bertekad untuk menganggap bahwa Arya Salaka sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Karena itu Lembu Sora menjawab,
Quote:
“Baiklah Adi, aku tidak pernah menolak berbicara dengan siapa saja, selama pembicaraan itu akan berguna. Berguna bagi Pamingit, bagi Banyubiru, dan berguna bagi kita semua.”
“Demikianlah harapan kami,” sahut Mahesa Jenar.
“Kedatangan kami ini pun pada kepentingan Banyubiru. Bukan kepentingan kami sendiri.”
Lembu Sora tersenyum. Dengan penuh kesadaran akan kebesaran dirinya, ia menjawab,
“Nah, katakanlah apa yang berguna bagi Banyubiru itu?”
“Aku membawa tugas dari Angger Arya Salaka, untuk menyampaikan baktinya kepada Kakang Lembu Sora,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab,
“Adi Mahesa Jenar, jangan mengada-ada. Kau bagiku adalah seorang yang pantas dihormati seperti Kakang Gajah Sora dahulu menghormatimu. Namun demikian hormat kami pun mengenal batas. Sebagai kepala daerah perdikan yang besar, yang terbentang dari Pamingit sampai Banyubiru, aku harus bersikap baik, namun tegas dalam garis kepemimpinan. Karena itu aku minta kepada Adi untuk tidak menyebut-nyebut nama Arya Salaka, seorang yang telah tidak ada lagi.”
“Demikianlah harapan kami,” sahut Mahesa Jenar.
“Kedatangan kami ini pun pada kepentingan Banyubiru. Bukan kepentingan kami sendiri.”
Lembu Sora tersenyum. Dengan penuh kesadaran akan kebesaran dirinya, ia menjawab,
“Nah, katakanlah apa yang berguna bagi Banyubiru itu?”
“Aku membawa tugas dari Angger Arya Salaka, untuk menyampaikan baktinya kepada Kakang Lembu Sora,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab,
“Adi Mahesa Jenar, jangan mengada-ada. Kau bagiku adalah seorang yang pantas dihormati seperti Kakang Gajah Sora dahulu menghormatimu. Namun demikian hormat kami pun mengenal batas. Sebagai kepala daerah perdikan yang besar, yang terbentang dari Pamingit sampai Banyubiru, aku harus bersikap baik, namun tegas dalam garis kepemimpinan. Karena itu aku minta kepada Adi untuk tidak menyebut-nyebut nama Arya Salaka, seorang yang telah tidak ada lagi.”
MAHESA JENAR mengangkat dadanya seolah-olah ada sesuatu yang menyilang di dalamnya. Dengan sudut matanya ia melihat betapa wajah Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sudah menjadi merah padam. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih berkata,
Quote:
“Bukankah Kakang Lembu Sora tidak melihat sendiri, seorang anak muda yang disebut bernama Arya Salaka itu terbujur di tanah tak bernafas lagi?”
Perasaan tidak senang yang tajam terpercik di wajah Lembu Sora. Kemudian terdengarlah ia menjawab,
“Aku tidak sempat untuk mengurusi masalah-masalah tetek bengek yang tidak berarti. Bukankah aku mempunyai petugas-petugas untuk keperluan itu…?”
“Kalau benar Kakang berbuat demikian, maka agaknya Kakang Lembu Sora telah berbuat suatu kesalahan. Persoalan Arya Salaka bukanlah persoalan tetek bengek yang tak berarti. Arya Salaka adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang berhak untuk menggantikan kedudukan itu apabila ayahnya berhalangan melakukan tugasnya,” sahut Mahesa Jenar yang sudah mulai kehilangan kesabarannya.
“Hemmm…” dengus Lembu Sora. Wajahnya pun telah mulai semburat merah.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan kepada Adi, bahwa aku tidak dapat mempercayaimu sejak perjumpaan kita yang pertama-tama. Sejak hilangnya pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.”
Perasaan tidak senang yang tajam terpercik di wajah Lembu Sora. Kemudian terdengarlah ia menjawab,
“Aku tidak sempat untuk mengurusi masalah-masalah tetek bengek yang tidak berarti. Bukankah aku mempunyai petugas-petugas untuk keperluan itu…?”
“Kalau benar Kakang berbuat demikian, maka agaknya Kakang Lembu Sora telah berbuat suatu kesalahan. Persoalan Arya Salaka bukanlah persoalan tetek bengek yang tak berarti. Arya Salaka adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang berhak untuk menggantikan kedudukan itu apabila ayahnya berhalangan melakukan tugasnya,” sahut Mahesa Jenar yang sudah mulai kehilangan kesabarannya.
“Hemmm…” dengus Lembu Sora. Wajahnya pun telah mulai semburat merah.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan kepada Adi, bahwa aku tidak dapat mempercayaimu sejak perjumpaan kita yang pertama-tama. Sejak hilangnya pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.”
Dada Mahesa Jenar benar-benar seperti dihantam linggis, mendengar kata-kata itu. Sehingga tidak sesadarnya ia menggeretakkan giginya. Namun bagaimanapun juga dengan susah payah ia masih menahan diri, dan berkata,
Quote:
“Kakang, aku tidak keberatan terhadap sikapmu kepadaku. Tetapi bagaimanakah seandainya anak muda yang aku namakan Arya Salaka itu mendapat kesaksian dari segenap penduduk daerah perdikan ini, dan mereka menerimanya sebagai Arya Salaka yang sebenarnya?”
Pertanyaan ini sekali lagi menggelisahkan Lembu Sora. Sawung Sariti pun tidak tahan lagi untuk membiarkan pembicaraan yang tak disukainya itu berlarut-larut. Maka ia pun kemudian menyela,
Quote:
“Ayah, apakah gunanya pembicaraan ini kita layani? Sebaiknya biarlah tamu-tamu kita ini kita persilakan berdiam diri. Dengan rendah hati atau kalau perlu kita terpaksa memaksa mereka dengan cara kita.”
Mahesa Jenar memandang Sawung Sariti dengan sudut matanya. Sekali lagi ia merasa muak melihat wajah itu. Wajah yang tampan dan bersih namun di belakang wajah itu tersirat kelicikan hatinya. Tiba-tiba ia teringat kepada Jaka Soka dari Nusa Kambangan.
Quote:
“Angger…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Biarlah kami berbicara secara orang tua. Sebaiknya Angger bermain-main saja di halaman, daripada mencampuri urusan ini.”
“Biarlah kami berbicara secara orang tua. Sebaiknya Angger bermain-main saja di halaman, daripada mencampuri urusan ini.”
Bara yang mula-mula berkobar di dada Sawung Sariti masih belum padam, ditambah dengan kata-kata Mahesa Jenar yang cukup tajam itu. Maka semakin menyalalah hatinya. Tetapi sebelum ia menjawab, Lembu Sora telah mendahuluinya,
Quote:
“Adi Mahesa Jenar, aku tidak mau membicarakannya lagi. Aku sudah memutuskan untuk menganggap Arya Salaka telah mati, dan Kakang Gajah Sora pun telah dihukum mati di Demak, sebagai akibat dari pengkhianatannya, meskipun aku telah berusaha untuk mencegahnya.”
“Maaf Kakang,” potong Mahesa Jenar,
“Aku datang untuk membicarakannya. Bukan untuk sekadar menghadap yang dipertuan di Banyubiru sekarang.”
“Cukup…!” potong Lembu Sora,
“Tidak ada yang aku bicarakan.”
“Maaf Kakang,” potong Mahesa Jenar,
“Aku datang untuk membicarakannya. Bukan untuk sekadar menghadap yang dipertuan di Banyubiru sekarang.”
“Cukup…!” potong Lembu Sora,
“Tidak ada yang aku bicarakan.”
Mahesa Jenar benar-benar tersinggung karenanya, ditambah dengan perasaan muaknya sejak bertemu dengan orang itu untuk pertama kalinya. Karena itu ia menjawab lantang,
Quote:
“Kalau kau tidak mau berbicara, aku akan berbicara dengan rakyat Banyubiru, dan membuktikan kepada mereka bahwa Arya Salaka akan berada di tengah-tengah mereka.”
Mendengar ancaman Mahesa Jenar itu, Lembu Sora terperanjat. Tetapi kemudian ia pun menjadi marah dan menjawab,
“Adi Mahesa Jenar, akulah kepala daerah perdikan ini. Akulah yang berwenang atas rakyat dan daerah ini. Tak seorang pun aku perkenankan melanggar wewenangku. Apalagi kau. Ayah Sora Dipayana pun tidak.”
Mendengar ancaman Mahesa Jenar itu, Lembu Sora terperanjat. Tetapi kemudian ia pun menjadi marah dan menjawab,
“Adi Mahesa Jenar, akulah kepala daerah perdikan ini. Akulah yang berwenang atas rakyat dan daerah ini. Tak seorang pun aku perkenankan melanggar wewenangku. Apalagi kau. Ayah Sora Dipayana pun tidak.”
Wanamerta mendengar kata-kata itu dengan dada yang berdentam-dentam. Telinganya serasa tersentuh api. Maka katanya lantang, meskipun ia langsung berhadapan dengan bahaya yang dapat saja merenggut jiwanya,
Quote:
“Anakmas Lembu Sora, akulah yang mula-mula minta kepada Anakmas untuk mengawasi daerah perdikan ini sepeninggal Anakmas Gajah Sora. Tetapi cerita tentang Anakmas Lembu Sora tak dapat ditutup-tutupi lagi. Cerita tentang hilangnya Anakmas Arya Salaka, yang untung dapat diselamatkan oleh Anakmas Mahesa Jenar. Cerita tentang laskar yang Anakmas namakan Laskar Pamingit dan Banyubiru yang ingin membebaskan Anakmas Gajah Sora dengan menyerang pasukan dari Demak. Seterusnya cerita tentang hilangnya Pandan Kuning dan Sawung Rana.”
“Cukup!” teriak Lembu Sora.
“Ternyata rambutmu yang telah memutih itu sama sekali tidak mencerminkan hatimu yang putih. Kau ingin melihat darah mengalir di Banyubiru. Kalau dengan demikian kau akan dapat mengambil keuntungan, maka kaulah orang yang pertama-tama aku lenyapkan sekarang ini.”
“Tak seorang pun yang dapat melenyapkan kenyataan yang telah terjadi. Betapapun orang berusaha menutupi kebenaran dan menghapuskan. Namun kebenaran itu tak akan lenyap,” sanggah Wanamerta dengan berani.
“Jangan menggurui aku,” bentak Lembu Sora.
“Aku tahu, kau sudah berusia lanjut. Tetapi jangan berlagak lebih pandai daripada orang-orang muda. Bagiku tidak ada tempat bagi kalian di Banyubiru.”
Mahesa Jenar sekali lagi mencoba untuk yang terakhir kalinya menempuh cara yang sebaik-baiknya bagi penyelesaian Banyubiru. Katanya,
“Ki Ageng Lembu Sora, mumpung segala sesuatu belum telanjur, marilah kita tenangkan hati kita. Berilah aku kesempatan untuk menunjukkan kemauan kami yang sebenarnya. Bahwa tak ada artinya pertentangan antara kita sama kita. Biarlah kita cari jalan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah kita.”
“Cukup!” teriak Lembu Sora.
“Ternyata rambutmu yang telah memutih itu sama sekali tidak mencerminkan hatimu yang putih. Kau ingin melihat darah mengalir di Banyubiru. Kalau dengan demikian kau akan dapat mengambil keuntungan, maka kaulah orang yang pertama-tama aku lenyapkan sekarang ini.”
“Tak seorang pun yang dapat melenyapkan kenyataan yang telah terjadi. Betapapun orang berusaha menutupi kebenaran dan menghapuskan. Namun kebenaran itu tak akan lenyap,” sanggah Wanamerta dengan berani.
“Jangan menggurui aku,” bentak Lembu Sora.
“Aku tahu, kau sudah berusia lanjut. Tetapi jangan berlagak lebih pandai daripada orang-orang muda. Bagiku tidak ada tempat bagi kalian di Banyubiru.”
Mahesa Jenar sekali lagi mencoba untuk yang terakhir kalinya menempuh cara yang sebaik-baiknya bagi penyelesaian Banyubiru. Katanya,
“Ki Ageng Lembu Sora, mumpung segala sesuatu belum telanjur, marilah kita tenangkan hati kita. Berilah aku kesempatan untuk menunjukkan kemauan kami yang sebenarnya. Bahwa tak ada artinya pertentangan antara kita sama kita. Biarlah kita cari jalan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah kita.”
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas