- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#390
Jilid 12 [Part 271]
Spoiler for :
ROMBONGAN Mahesa Jenar itu pun merasakan, bahwa setiap orang yang melihat kedatangan mereka menjadi heran dan bertanya-tanya diantara mereka. Tetapi rombongan itu pun tetap berdiam diri seperti sama sekali tak ada orang yang melihat mereka.
Demikianlah rombongan itu dengan tenangnya terus berjalan, lewat jalan-jalan sempit diantara daerah-daerah persawahan, menembus jalan-jalan desa dan melintasi jembatan-jembatan bambu di atas parit-parit yang mengalirkan airnya yang jernih.
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih sibuk menduga-duga orang aneh yang dijumpainya sesaat sebelum mereka memasuki tlatah Banyubiru. Seorang berkuda, yang seolah-olah membayangi perjalanan mereka dari punggung-punggung perbukitan. Tetapi ketika rombongan itu memasuki daerah Banyubiru, segera orang itu lenyap di seberang bukit.
Tiba-tiba Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta segenap orang dalam rombongan itu terkejut, ketika mereka mendengar derap beberapa ekor kuda yang berlari kencang ke arah mereka. Dan belum lagi mereka mengucapkan kata-kata, dari balik tikungan di depan mereka muncullah sebuah rombongan orang berkuda pula. Lebih dari limabelas orang.
Mahesa Jenar mengendorkan lari kudanya, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka masih belum mengetahui, apakah tujuan orang-orang berkuda itu. Maka ketika rombongan itu menjadi semakin dekat, dan tidak mengurangi kecepatan mereka, Mahesa Jenar beserta keempat kawannya segera menepi. Agaknya orang-orang berkuda itu tergesa-gesa. Demikianlah rombongan itu dengan cepatnya berlari melintas. Beberapa orang menoleh kepada Mahesa Jear, tetapi beberapa orang yang lain agaknya tidak peduli. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara segera menutup hidung mereka, supaya tidak dimasuki debu yang berhambur-hamburan dibelakang rombongan itu. Tetapi ketika rombongan itu telah melampauinya, tiba-tiba terdengarlah sebuah aba-aba dari antara mereka. Dan dengan tiba-tiba pula rombongan itu berhenti bersama-sama, sehingga kuda-kuda mereka meringkik dan berputar-putar.
Kemudian beberapa orang diantara mereka tiba-tiba memutar kuda mereka, dan berlari ke arah rombongan Mahesa Jenar.
Ketika Mahesa Jenar memandang Kanigara, Kanigara pun sedang memandangnya. Dengan kedipan mata, Kanigara memberi isyarat kepada Mahesa Jenar dan ketiga kawannya yang lain. Sebab bagaimanapun juga, sesuatu yang tak diharapkan dapat terjadi karena orang-orang itu masih belum mereka kenal sama sekali.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera mempersiapkan diri. Sebagi utusan yang bermaksud menempuh penyelesaian yang baik, mereka tak bersenjata, kecuali di punggung mereka terselip sebilah keris sebagai suatu kelengkapan yang lazim. Karena itu, ketika mereka melihat keadaan yang tidak menentu, segera mereka memutar keris mereka di lambung kiri.
Beberapa orang itu menjadi semakin dekat, dan ternyata yang lainpun mengikuti mereka pula. Dan semakin dekat mereka itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiap pula untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Seorang yang bertubuh besar berkulit hitam mengkilap dan bermata tajam seperti mata serigala mengendarai kudanya paling depan dan langsung mengarah kepada Kebo Kanigara.
Melihat orang itu datang kepadanya, Kanigara pun segera menyambutnya. Mula-mula orang itu menghentikan kudanya beberapa langkah dari Kebo Kanigara, kemudian memandangnya dengan tajam. Baru beberapa saat kemudian ia bertanya,
Kanigara tidak segera menjawab. Tetapi dengan matanya ia minta pertimbangan kepada Mahesa Jenar yang sedikit banyak sudah mengenal daerah Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar menggeleng kecil, tahulah Kebo kanigara, bahwa orang-orang itu bukanlah orang-orang Banyubiru. Karena itu segera ia menjawab,
Orang itu mengerenyitkan keningnya. Ia tidak senang pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. Karena itu dengan kasar ia mengulangi pertanyaannya,
Orang itu memandang Kebo Kanigara dengan penuh kecurigaan. Kemudian dipandanginya Mahesa Jenar, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi berganti-ganti.
Tiba-tiba orang itu terdiam. Lalu ia mendorong kudanya beberapa tapak maju mendekati Kebo Kanigara. Dengan perlahan-lahan hampir berbisik ia bertanya,
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta ketiga kawannya terkejut mendengar pertanyaan itu. Untunglah bahwa mereka segera dapat menguasai diri, sehingga perasaan itu tidak terlalu membekas di wajah mereka. Tetapi pertanyaan itu merupakan penegasan dari berita-berita yang mengatakan bahwa di Banyubiru tersebar desas-desus, yang menyatakan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di tempat itu.
Karena itu tiba-tiba Kanigara ingin mengetahui dengan pasti, siapakah orang-orang itu. Demikian juga agaknya Mahesa Jenar dan bahkan ketiga kawan-kawannya. Maka bertanyalah kemudian Kebo Kanigara,
Pandangan orang bermata serigala itu menjadi semakin tajam. Sekali dua kali ia menengok kepada kawan-kawannya yang berada di belakangnya, seolah-olah ia ingin mengetahui kesiapsiagaan mereka.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya semakin menunjukkan ketidakpuasannya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menyabarkan diri dan berkata ditahan-tahan.
Orang berkulit hitam itu sekali lagi menengok kepada kawan-kawannya dan seperti orang minta pertimbangan ia berkata,
Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Apalagi Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sebagai orang-orang Banyubiru yang sebenarnya. Penjawi, yang paling muda diantara mereka, adalah orang yang berdarah paling panas. Ia segera mendesak maju. Sebenarnya ia dapat membiarkan saja hal itu berlaku di Banyubiru. Sebab itu adalah tanggungjawab Lembu Sora pada saat ini. Sedang mereka sendiri pada saat itu agaknya mungkin sekali untuk menyelamatkan diri. Tetapi sebagai seorang yang berangan-angan masa depan yang gemilang bagi rakyat Banyubiru, ia tidak dapat berpangku tangan.
Demikianlah rombongan itu dengan tenangnya terus berjalan, lewat jalan-jalan sempit diantara daerah-daerah persawahan, menembus jalan-jalan desa dan melintasi jembatan-jembatan bambu di atas parit-parit yang mengalirkan airnya yang jernih.
Quote:
“Kakang Kanigara…” tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berbisik.
“Adakah Kakang melihat sesuatu yang tidak sewajarnya?”
“Ya” jawab Kanigara.
“Tetapi itu sudah agak jauh lewat.”
Mahesa Jenar mengangguk. Katanya,
“Kalau demikian apa yang Kakang lihat, aku lihat pula.”
“Adakah Kakang melihat sesuatu yang tidak sewajarnya?”
“Ya” jawab Kanigara.
“Tetapi itu sudah agak jauh lewat.”
Mahesa Jenar mengangguk. Katanya,
“Kalau demikian apa yang Kakang lihat, aku lihat pula.”
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih sibuk menduga-duga orang aneh yang dijumpainya sesaat sebelum mereka memasuki tlatah Banyubiru. Seorang berkuda, yang seolah-olah membayangi perjalanan mereka dari punggung-punggung perbukitan. Tetapi ketika rombongan itu memasuki daerah Banyubiru, segera orang itu lenyap di seberang bukit.
Tiba-tiba Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta segenap orang dalam rombongan itu terkejut, ketika mereka mendengar derap beberapa ekor kuda yang berlari kencang ke arah mereka. Dan belum lagi mereka mengucapkan kata-kata, dari balik tikungan di depan mereka muncullah sebuah rombongan orang berkuda pula. Lebih dari limabelas orang.
Mahesa Jenar mengendorkan lari kudanya, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka masih belum mengetahui, apakah tujuan orang-orang berkuda itu. Maka ketika rombongan itu menjadi semakin dekat, dan tidak mengurangi kecepatan mereka, Mahesa Jenar beserta keempat kawannya segera menepi. Agaknya orang-orang berkuda itu tergesa-gesa. Demikianlah rombongan itu dengan cepatnya berlari melintas. Beberapa orang menoleh kepada Mahesa Jear, tetapi beberapa orang yang lain agaknya tidak peduli. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara segera menutup hidung mereka, supaya tidak dimasuki debu yang berhambur-hamburan dibelakang rombongan itu. Tetapi ketika rombongan itu telah melampauinya, tiba-tiba terdengarlah sebuah aba-aba dari antara mereka. Dan dengan tiba-tiba pula rombongan itu berhenti bersama-sama, sehingga kuda-kuda mereka meringkik dan berputar-putar.
Kemudian beberapa orang diantara mereka tiba-tiba memutar kuda mereka, dan berlari ke arah rombongan Mahesa Jenar.
Ketika Mahesa Jenar memandang Kanigara, Kanigara pun sedang memandangnya. Dengan kedipan mata, Kanigara memberi isyarat kepada Mahesa Jenar dan ketiga kawannya yang lain. Sebab bagaimanapun juga, sesuatu yang tak diharapkan dapat terjadi karena orang-orang itu masih belum mereka kenal sama sekali.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera mempersiapkan diri. Sebagi utusan yang bermaksud menempuh penyelesaian yang baik, mereka tak bersenjata, kecuali di punggung mereka terselip sebilah keris sebagai suatu kelengkapan yang lazim. Karena itu, ketika mereka melihat keadaan yang tidak menentu, segera mereka memutar keris mereka di lambung kiri.
Beberapa orang itu menjadi semakin dekat, dan ternyata yang lainpun mengikuti mereka pula. Dan semakin dekat mereka itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiap pula untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Seorang yang bertubuh besar berkulit hitam mengkilap dan bermata tajam seperti mata serigala mengendarai kudanya paling depan dan langsung mengarah kepada Kebo Kanigara.
Melihat orang itu datang kepadanya, Kanigara pun segera menyambutnya. Mula-mula orang itu menghentikan kudanya beberapa langkah dari Kebo Kanigara, kemudian memandangnya dengan tajam. Baru beberapa saat kemudian ia bertanya,
Quote:
“Ki Sanak, siapakah kalian ini, dan apakah keperluan kalian?”
Kanigara tidak segera menjawab. Tetapi dengan matanya ia minta pertimbangan kepada Mahesa Jenar yang sedikit banyak sudah mengenal daerah Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar menggeleng kecil, tahulah Kebo kanigara, bahwa orang-orang itu bukanlah orang-orang Banyubiru. Karena itu segera ia menjawab,
Quote:
“Apakah Ki Sanak bukan orang Banyubiru?”
Orang itu mengerenyitkan keningnya. Ia tidak senang pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. Karena itu dengan kasar ia mengulangi pertanyaannya,
Quote:
“Aku bertanya kepadamu, siapakah kalian ini?”
Kebo Kanigara tidak ingin bertengkar. Karena itu ia menjawab,
“Kalau kalian belum mengenal kami, pastilah kalian bukan orang Banyubiru, sebab kami adalah penduduk daerah ini.”
Kebo Kanigara tidak ingin bertengkar. Karena itu ia menjawab,
“Kalau kalian belum mengenal kami, pastilah kalian bukan orang Banyubiru, sebab kami adalah penduduk daerah ini.”
Orang itu memandang Kebo Kanigara dengan penuh kecurigaan. Kemudian dipandanginya Mahesa Jenar, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi berganti-ganti.
Quote:
“Benarkah kalian penduduk Banyubiru…?” desaknya.
WANAMERTA mendesak maju. Kemudian ia menyahut,
“Sejak lahir aku tinggal di daerah ini. Kau curiga…?”
Tiba-tiba orang itu tertawa. Jawabnya,
“Tidak kakek tua. Aku percaya kalau kau orang Banyubiru. Sebab bentuk kalian mengingatkan aku kepada bentuk-bentuk batu padas yang berbongkah-bongkah keras dan kasar.”
Wanamerta tersinggung oleh jawaban itu. Tetapi ia didahului oleh Kebo Kanigara yang mengenal gelagat. Katanya,
“Sesudah kalian tahu bahwa kami adalah orang-orang Banyubiru, maka kamipun ingin mengetahui, siapakah kalian dan dari manakah kalian?”
Sekali lagi orang itu tertawa. Jawabnya,
“Aku baru saja menemui kepala daerah perdikan kalian. Tetapi orang itu ternyata keras kepala.”
“Kau benar,” sahut Mahesa Jenar.
“Orang itu memang keras kepala. Tetapi apakah keperluan kalian?”
WANAMERTA mendesak maju. Kemudian ia menyahut,
“Sejak lahir aku tinggal di daerah ini. Kau curiga…?”
Tiba-tiba orang itu tertawa. Jawabnya,
“Tidak kakek tua. Aku percaya kalau kau orang Banyubiru. Sebab bentuk kalian mengingatkan aku kepada bentuk-bentuk batu padas yang berbongkah-bongkah keras dan kasar.”
Wanamerta tersinggung oleh jawaban itu. Tetapi ia didahului oleh Kebo Kanigara yang mengenal gelagat. Katanya,
“Sesudah kalian tahu bahwa kami adalah orang-orang Banyubiru, maka kamipun ingin mengetahui, siapakah kalian dan dari manakah kalian?”
Sekali lagi orang itu tertawa. Jawabnya,
“Aku baru saja menemui kepala daerah perdikan kalian. Tetapi orang itu ternyata keras kepala.”
“Kau benar,” sahut Mahesa Jenar.
“Orang itu memang keras kepala. Tetapi apakah keperluan kalian?”
Tiba-tiba orang itu terdiam. Lalu ia mendorong kudanya beberapa tapak maju mendekati Kebo Kanigara. Dengan perlahan-lahan hampir berbisik ia bertanya,
Quote:
“Ki Sanak, aku lihat kalian bukanlah orang kebanyakan. Karena itu kalian pasti sudah tahu bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di Banyubiru. Nah katakan kepadaku, siapakah yang menyimpan kedua keris itu.”
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta ketiga kawannya terkejut mendengar pertanyaan itu. Untunglah bahwa mereka segera dapat menguasai diri, sehingga perasaan itu tidak terlalu membekas di wajah mereka. Tetapi pertanyaan itu merupakan penegasan dari berita-berita yang mengatakan bahwa di Banyubiru tersebar desas-desus, yang menyatakan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di tempat itu.
Karena itu tiba-tiba Kanigara ingin mengetahui dengan pasti, siapakah orang-orang itu. Demikian juga agaknya Mahesa Jenar dan bahkan ketiga kawan-kawannya. Maka bertanyalah kemudian Kebo Kanigara,
Quote:
“Dari manakah kalian mendengar berita tentang kedua keris itu?”
Orang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa.
“Apakah untungmu mengetahui dari mana aku mendengarnya?”
Kanigara menyahut,
“Sayang, kau mimpi di siang hari. Tak ada keris di tanah perdikan Banyubiru, kecuali kerisku sendiri serta keris kawan-kawanku ini.”
“Jangan begitu, Ki Sanak,” potong orang itu.
“Kalau kau mau menunjukkan kepadaku, kau akan menerima hadiah cukup.”
“Apakah hadiah itu?” sela Mahesa Jenar.
“Apa saja yang kau kehendaki. Uang? Emas atau permata?” jawab orang itu.
“Sayang kami tidak mengetahuinya,” desis Mahesa Jenar.
Orang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa.
“Apakah untungmu mengetahui dari mana aku mendengarnya?”
Kanigara menyahut,
“Sayang, kau mimpi di siang hari. Tak ada keris di tanah perdikan Banyubiru, kecuali kerisku sendiri serta keris kawan-kawanku ini.”
“Jangan begitu, Ki Sanak,” potong orang itu.
“Kalau kau mau menunjukkan kepadaku, kau akan menerima hadiah cukup.”
“Apakah hadiah itu?” sela Mahesa Jenar.
“Apa saja yang kau kehendaki. Uang? Emas atau permata?” jawab orang itu.
“Sayang kami tidak mengetahuinya,” desis Mahesa Jenar.
Pandangan orang bermata serigala itu menjadi semakin tajam. Sekali dua kali ia menengok kepada kawan-kawannya yang berada di belakangnya, seolah-olah ia ingin mengetahui kesiapsiagaan mereka.
Quote:
“Memang orang-orang Banyubiru keras kepala,” gumam orang itu.
“Seperti kepala daerah perdikannya.”
“Ki Sanak…” kata Kebo Kanigara kemudian,
“Yang paling mengetahui segala sesuatu di Banyubiru ini adalah Ki Ageng Lembu Sora. Kalau kau tadi telah menemuinya, maka kenapa tidak kau tanyakan kepadanya? Atau barangkali kalau kau sudah menanyakannya dan dijawabnya kedua keris itu tidak berada di Banyubiru, maka jawaban itu pastilah benar.”
“Seperti kepala daerah perdikannya.”
“Ki Sanak…” kata Kebo Kanigara kemudian,
“Yang paling mengetahui segala sesuatu di Banyubiru ini adalah Ki Ageng Lembu Sora. Kalau kau tadi telah menemuinya, maka kenapa tidak kau tanyakan kepadanya? Atau barangkali kalau kau sudah menanyakannya dan dijawabnya kedua keris itu tidak berada di Banyubiru, maka jawaban itu pastilah benar.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya semakin menunjukkan ketidakpuasannya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menyabarkan diri dan berkata ditahan-tahan.
Quote:
“Kalian tinggal memilih. Menunjukkan di mana keris itu berada dan menerima hadiah atau tidak mau menjawab, tetapi kalian binasa."
Kanigara masih tetap berkata dengan sabarnya,
“Ki Sanak. Apakah yang akan kami katakan tentang kedua keris itu, kalau kami benar-benar tidak mengetahuinya?”
Kanigara masih tetap berkata dengan sabarnya,
“Ki Sanak. Apakah yang akan kami katakan tentang kedua keris itu, kalau kami benar-benar tidak mengetahuinya?”
Orang berkulit hitam itu sekali lagi menengok kepada kawan-kawannya dan seperti orang minta pertimbangan ia berkata,
Quote:
“Apakah yang sebaiknya kami lakukan atas orang-orang ini?”
“Terserah Ki Lurah,” jawab salah seorang diantara mereka.
“Hem….” ia menarik nafas.
“Ki sanak, kami merasa perlu untuk memberi pelajaran kepada kalian, sekaligus memberi peringatan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Kalau ia akan tetap berkeras kepala, nasib rakyatnya akan tidak menyenangkan. Sekali lagi aku memberi kesempatan kepada kalian untuk menunjukkan kepada kami di mana kedua keris itu disimpan. Menilik sikap, pakaian dan keadaan kalian, kalian adalah orang-orang penting di Banyubiru ini. Tetapi kalau kalian tetap tidak mau bicara, maka kalian akan menjadi orang pertama yang akan kami jadikan korban. Kalian akan kami bunuh dengan cara yang mengerikan. Mata kalian akan kami copot dari batok kepala kalian. Dada kalian akan kami silang dengan pisau dan isi perut kalian akan kami tumpahkan keluar. Nah, bukankah itu mengerikan? Setiap hari akan kami lakukan hal yang serupa sampai kepala daerahmu atau seseorang mau mengatakan kepada kami, baik karena ketakutan maupun karena ia ingin hadiah, di mana kedua keris itu berada.”
“Terserah Ki Lurah,” jawab salah seorang diantara mereka.
“Hem….” ia menarik nafas.
“Ki sanak, kami merasa perlu untuk memberi pelajaran kepada kalian, sekaligus memberi peringatan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Kalau ia akan tetap berkeras kepala, nasib rakyatnya akan tidak menyenangkan. Sekali lagi aku memberi kesempatan kepada kalian untuk menunjukkan kepada kami di mana kedua keris itu disimpan. Menilik sikap, pakaian dan keadaan kalian, kalian adalah orang-orang penting di Banyubiru ini. Tetapi kalau kalian tetap tidak mau bicara, maka kalian akan menjadi orang pertama yang akan kami jadikan korban. Kalian akan kami bunuh dengan cara yang mengerikan. Mata kalian akan kami copot dari batok kepala kalian. Dada kalian akan kami silang dengan pisau dan isi perut kalian akan kami tumpahkan keluar. Nah, bukankah itu mengerikan? Setiap hari akan kami lakukan hal yang serupa sampai kepala daerahmu atau seseorang mau mengatakan kepada kami, baik karena ketakutan maupun karena ia ingin hadiah, di mana kedua keris itu berada.”
Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Apalagi Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sebagai orang-orang Banyubiru yang sebenarnya. Penjawi, yang paling muda diantara mereka, adalah orang yang berdarah paling panas. Ia segera mendesak maju. Sebenarnya ia dapat membiarkan saja hal itu berlaku di Banyubiru. Sebab itu adalah tanggungjawab Lembu Sora pada saat ini. Sedang mereka sendiri pada saat itu agaknya mungkin sekali untuk menyelamatkan diri. Tetapi sebagai seorang yang berangan-angan masa depan yang gemilang bagi rakyat Banyubiru, ia tidak dapat berpangku tangan.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas
Tutup