- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#389
Jilid 12 [Part 270]
Spoiler for :
ENDANG WIDURI menjadi jengkel pada pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab pula,
Karena pertanyaan-pertanyaan itu agaknya masih panjang, Widuri kemudian menjatuhkan dirinya di samping Rara Wilis. Dan dengan malasnya ia menjawab panjang, sebab ia tahu bahwa kemudian pertanyaan-pertanyaan masih akan mengalir seperti banjir. Katanya,
Mau tidak mau ia harus tersenyum. Namun berita itu bagi Arya Salaka dan Rara Wilis merupakan berita yang cukup penting. Karena itu ia ingin kelanjutan cerita Widuri, meskipun ia tidak sabar mendengar cara Widuri berkisah.
Endang Widuri mengerutkan keningnya. Agaknya baru sekarang ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh orang itu adalah jauh lebih berbahaya daripada seorang pemilik anggrek yang kehilangan bunganya. Karena itu tiba-tiba ia bercerita dengan penuh minat.
Kemudian tiba-tiba Endang Widuri tegak berdiri. Sambil menirukan beberapa gerak yang lincah, ia bercerita tentang perkelahiannya. Widuri sebenarnya seorang gadis yang memiliki ilmu tata beladiri jauh lebih dewasa dari sifat-sifatnya yang kekanak-kanakan. Dalam persoalan tata beladiri, Widuri telah dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang cukup mempunyai nama cemerlang. Tetapi karena ia tidak pernah meninggalkan padepokan, maka hampir tak seorang pun yang mengenalnya. Ditambah lagi dengan sifatnya sebagai gadis tanggung yang selalu dimanja oleh ayahnya. Dengan demikian perkelahian yang baru saja terjadi itu pun baginya seolah-olah hanya permainan yang tidak menyenangkan.
Lalu dengan bersungut-sungut ia menunjukkan kain panjangnya yang sobek lebih dari dua cengkang di bagian belakang.
Endang Widuri kemudian duduk kembali di samping Rara Wilis. sedang Arya Salaka dan Rara Wilis terpaksa menggelengkan kepala. Kemudian bertanyalah Arya Salaka,
Berita itu bagi Rara Wilis dan Arya Salaka sangat penting artinya. Karena itu kemudian Arya minta diri untuk menemui Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang selama Mahesa Jenar bersama-sama beberapa orang pergi ke Banyubiru, merekalah yang diserahi pimpinan atas anak-anak Banyubiru.
Tiba-tiba Arya Salaka menjadi bangga atas pujian itu. Pujian untuk Endang Widuri. Karena itu tanpa dikehendakinya sendiri ia telah ikut serta memuji gadis tanggung itu.
MANTINGAN tertawa lirih. Umurnya yang telah menjangkau lebih dari setengah abad itu telah menjadikannya orang yang cukup mengenal perasaan seseorang. Apalagi berhubungan dengan pekerjaannya sebagai seorang dalang. Karena itu ia tidak melanjutkan gurauannya. Apalagi persoalan yang dihadapinya cukup penting. Sehingga segera ia kembali pada persoalan berita yang dibawa oleh Endang Widuri.
Jaladri segera melaksanakan tugas itu. Dipanggilnya beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru dan diberinya mereka petunjuk-petunjuk. Mereka sejak saat itu harus sudah siaga tempur. Setiap saat bahaya dapat datang.
Maka sibuklah daerah perkemahan itu dengan berbagai persiapan. Beberapa orang menyiapkan perlengkapan-perlengkapan, beberapa orang lagi mengasah senjata-senjata mereka. Dengan demikian maka perkemahan itu diliputi oleh suasana yang tegang.
Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan, seolah-olah tersembul dari hutan di sekitar perkemahan itu, anak-anak Banyubiru menjadi semakin siaga. Penjagaan mereka menjadi semakin rapat. Apalagi penjagaan atas pondok Rara Wilis dan Widuri. Sebab mereka mengira bahwa kedua gadis itu sangat memerlukan penjagaan. Kecuali Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang kecuali sudah mendengar berita perkelahian antara Widuri dan orang yang mengandung rahasia itu, sebenarnya dari gerak-gerik kedua gadis itu mereka sudah menduga bahwa mereka bukanlah gadis seperti kebanyakan gadis-gadis yang lain.
Sementara itu orang-orang Banyubiru telah dikejutkan oleh kedatangan sebuah rombongan kecil orang-orang berkuda. Dua orang yang di depan mempunyai perawakan yang sedang, tegap dan kuat. Seorang memakai baju hijau gadung, kain lurik hijau gadung pula. Di atas kuping kanannya terselip sekuntum bunga melati hutan. Sedang di sebelahnya, yang seorang lagi berbaju lurik bergaris-garis tebal berwarna coklat dan berkain lurik merah soga berikat kepala biru gelap.
Dengan wajah tengadah mereka memegangi kendali kuda-kuda mereka, yang dengan tegap berjalan ke arah pusat kota. Beberapa orang yang menyaksikan mereka berdua terpaksa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun mereka seolah-olah melihat dua ekor burung rajawali yang dengan megahnya terbang di udara. Sedang bagi mereka yang pernah mengenalnya lima tahun yang lalu, segera bergumam di dalam mulutnya, dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Tetapi segera mereka menjadi semakin heran, ketika mereka kemudian memandang tiga orang berkuda di belakang sepasang rajawali itu. Dan mereka segera meneruskan gumam mereka,
Mula-mula orang-orang Banyubiru itu hanya saling memandang diantara mereka. Tetapi ketika seorang diantara mereka tanpa disengaja menyebut nama Mahesa Jenar agak keras, terdengarlah mereka menjawab bersahutan,
Tak seorangpun yang menyahut. Malahan mereka tiba-tiba menjadi bingung. Sebab Bantaran dan Penjawi bagi penduduk Banyubiru yang tetap tinggal di kampung halaman mereka serta tidak terlalu banyak mengerti tentang seluk-beluk tanah mereka sendiri, merupakan tokoh-tokoh yang membingungkan. Kadang-kadang penduduk Banyubiru itu mengharap-harap kedatangan mereka, namun kadang-kadang mereka tiba-tiba membencinya sebagai orang-orang yang selalu membawa bencana.
Daerah-daerah, desa-desa dan pedukuhan-pedukuhan yang disinggahi oleh Bantaran dan Penjawi dalam saat-saat terakhir ini, merupakan tanda tidak baik bagi penduduknya. Sebab sesaat kemudian akan datanglah pasukan-pasukan dari Pamingit dan Banyubiru sendiri untuk mengadu dan menangkapi beberapa orang untuk diperiksa.
Sekarang penduduk Banyubiru itu melihat Bantaran dan Penjawi datang bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Seorang yang dapat disejajarkan dengan pepunden mereka, Ki Ageng Gajah Sora. Malahan bagi orang-orang Banyubiru itu tampaklah Mahesa Jenar seperti Ki Ageng Gajah Sora itu sendiri, yang datang kembali ke kampung halamannya.
Tetapi sedemikian jauh, mereka hanya dapat saling berbisik diantara mereka sendiri. Tak seorangpun diantara mereka yang berani maju ke depan dan bertanya tentang teka-teki yang berputar-putar didalam benaknya.
Quote:
“Aku katakan kepadanya, bahwa aku ingin bunga anggrek ini.”
“Tidakkah ia bertanya tentang kau…?” tanya Wilis pula.
“Tidakkah ia bertanya tentang kau…?” tanya Wilis pula.
Karena pertanyaan-pertanyaan itu agaknya masih panjang, Widuri kemudian menjatuhkan dirinya di samping Rara Wilis. Dan dengan malasnya ia menjawab panjang, sebab ia tahu bahwa kemudian pertanyaan-pertanyaan masih akan mengalir seperti banjir. Katanya,
Quote:
“Ya, ia bertanya tentang aku. Ia bertanya siapakah namaku dan dari manakah aku datang. Aku datang bersama siapa dan untuk apa.”
Ketika Arya akan mengajukan pertanyaan lagi, Widuri sudah mendahului,
“Aku jawab semuanya. Aku bernama Endang Widuri. Aku datang dari Karang Tumaritis. Aku datang bersama sahabatku yang bernama Arya Salaka putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang datang untuk mengambil haknya kembali dari tangan pamannya yang jahat.”
“Kau katakan itu semua?” sela Wilis dengan cemas.
“Ya, aku katakan semua itu. Aku katakan bahwa bersama-sama dengan kami datang pula ayah, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar yang perkasa bersama Bibi Rara Wilis yang cantik.”
“Ssst…” potong Rara Wilis.
“Jangan nakal,” bisiknya.
Ketika Arya akan mengajukan pertanyaan lagi, Widuri sudah mendahului,
“Aku jawab semuanya. Aku bernama Endang Widuri. Aku datang dari Karang Tumaritis. Aku datang bersama sahabatku yang bernama Arya Salaka putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang datang untuk mengambil haknya kembali dari tangan pamannya yang jahat.”
“Kau katakan itu semua?” sela Wilis dengan cemas.
“Ya, aku katakan semua itu. Aku katakan bahwa bersama-sama dengan kami datang pula ayah, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar yang perkasa bersama Bibi Rara Wilis yang cantik.”
“Ssst…” potong Rara Wilis.
“Jangan nakal,” bisiknya.
Mau tidak mau ia harus tersenyum. Namun berita itu bagi Arya Salaka dan Rara Wilis merupakan berita yang cukup penting. Karena itu ia ingin kelanjutan cerita Widuri, meskipun ia tidak sabar mendengar cara Widuri berkisah.
Quote:
“Lalu, apakah yang dilakukannya?” tanya Arya Salaka.
“Orang itu tiba-tiba menjadi sangat menakutkan. Matanya terbelalak dan dengan marah ia memaksa aku untuk ikut serta bersamanya,” jawab Widuri.
Wilis menarik nafas sekali lagi. Pasti ada hal-hal yang sama sekali tidak pada tempatnya.
“Apakah orang itu bukan orang diantara kita di sini?” tanya Wilis.
Mendengar pertanyaan Rara Wilis, Endang Widuri tertawa, lalu jawabnya,
“Pasti bukan, Bibi. Kalau orang itu salah seorang diantara kita pasti ia tidak akan bertanya tentang aku.”
Sekali lagi Rara Wilis terpaksa tersenyum. Katanya,
“Maksudku adalah untuk menguatkan dugaanku bahwa orang itu pasti mempunyai kepentingan yang rahasia terhadap kita di sini. Terhadap seluruh kekuatan anak-anak Banyubiru.”
“Orang itu tiba-tiba menjadi sangat menakutkan. Matanya terbelalak dan dengan marah ia memaksa aku untuk ikut serta bersamanya,” jawab Widuri.
Wilis menarik nafas sekali lagi. Pasti ada hal-hal yang sama sekali tidak pada tempatnya.
“Apakah orang itu bukan orang diantara kita di sini?” tanya Wilis.
Mendengar pertanyaan Rara Wilis, Endang Widuri tertawa, lalu jawabnya,
“Pasti bukan, Bibi. Kalau orang itu salah seorang diantara kita pasti ia tidak akan bertanya tentang aku.”
Sekali lagi Rara Wilis terpaksa tersenyum. Katanya,
“Maksudku adalah untuk menguatkan dugaanku bahwa orang itu pasti mempunyai kepentingan yang rahasia terhadap kita di sini. Terhadap seluruh kekuatan anak-anak Banyubiru.”
Endang Widuri mengerutkan keningnya. Agaknya baru sekarang ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh orang itu adalah jauh lebih berbahaya daripada seorang pemilik anggrek yang kehilangan bunganya. Karena itu tiba-tiba ia bercerita dengan penuh minat.
Quote:
“Bibi, memang agaknya orang itu sangat aneh. Ketika ia marah kepadaku, aku minta maaf bahwa aku memetik bunganya sebelum aku minta izin kepadanya. tetapi agaknya ia sama sekali tidak memperhatikan.”
Endang Widuri berhenti sejenak untuk mengingat apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia meneruskan,
“Bahkan kemudian ia berusaha untuk menangkap aku. Tentu saja aku tidak mau. Maka ketika ia memaksa, aku terpaksa melawannya.”
Endang Widuri berhenti sejenak untuk mengingat apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia meneruskan,
“Bahkan kemudian ia berusaha untuk menangkap aku. Tentu saja aku tidak mau. Maka ketika ia memaksa, aku terpaksa melawannya.”
Kemudian tiba-tiba Endang Widuri tegak berdiri. Sambil menirukan beberapa gerak yang lincah, ia bercerita tentang perkelahiannya. Widuri sebenarnya seorang gadis yang memiliki ilmu tata beladiri jauh lebih dewasa dari sifat-sifatnya yang kekanak-kanakan. Dalam persoalan tata beladiri, Widuri telah dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang cukup mempunyai nama cemerlang. Tetapi karena ia tidak pernah meninggalkan padepokan, maka hampir tak seorang pun yang mengenalnya. Ditambah lagi dengan sifatnya sebagai gadis tanggung yang selalu dimanja oleh ayahnya. Dengan demikian perkelahian yang baru saja terjadi itu pun baginya seolah-olah hanya permainan yang tidak menyenangkan.
Quote:
“Tetapi ternyata orang itu hanya besar kepala saja. Tenaganya tidak lebih dari seekor kelinci. Meskipun demikian, karena aku tidak bersedia untuk berkelahi, maka aku mengenakan kain panjang ini. Dan ketika aku lupa, dan menyerangnya dengan kaki, kainku jadi sobek karenanya,”kata Endang Widuri mengakhiri ceritanya.
Lalu dengan bersungut-sungut ia menunjukkan kain panjangnya yang sobek lebih dari dua cengkang di bagian belakang.
Endang Widuri kemudian duduk kembali di samping Rara Wilis. sedang Arya Salaka dan Rara Wilis terpaksa menggelengkan kepala. Kemudian bertanyalah Arya Salaka,
Quote:
“Kau apakan kemudian orang itu…?”
“Ia kemudian melarikan diri, dan lenyap di dalam gerumbul-gerumbul liar di lembah itu,” jawab Endang Widuri.
“Ia kemudian melarikan diri, dan lenyap di dalam gerumbul-gerumbul liar di lembah itu,” jawab Endang Widuri.
Berita itu bagi Rara Wilis dan Arya Salaka sangat penting artinya. Karena itu kemudian Arya minta diri untuk menemui Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang selama Mahesa Jenar bersama-sama beberapa orang pergi ke Banyubiru, merekalah yang diserahi pimpinan atas anak-anak Banyubiru.
Quote:
“Berita itu sangat penting, Angger,” kata Mantingan setelah dengan seksama mendengarkan cerita Arya Salaka tentang Endang Widuri.
“Bagaimana mungkin penjagaan kita yang kuat dapat diterobos, kalau bukan oleh orang yang cukup tangguh. Meskipun demikian aku heran juga, bahwa Endang Widuri dapat mengalahkannya,” lanjut Mantingan.
“Bagaimana mungkin penjagaan kita yang kuat dapat diterobos, kalau bukan oleh orang yang cukup tangguh. Meskipun demikian aku heran juga, bahwa Endang Widuri dapat mengalahkannya,” lanjut Mantingan.
Tiba-tiba Arya Salaka menjadi bangga atas pujian itu. Pujian untuk Endang Widuri. Karena itu tanpa dikehendakinya sendiri ia telah ikut serta memuji gadis tanggung itu.
Quote:
Mantingan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Pantaslah kalau ia putri Kakang Kebo Kanigara. Apalagi selama ini Endang Widuri berada dalam lingkungan yang menguntungkan. Bersama-sama dengan Angger, gadis itu merupakan pasangan berlatih yang mengagumkan,” gumamnya kepada Arya Salaka.
Terasa wajah Arya Salaka menjadi panas. Maka berusahalah ia menjawab,
“Apakah Paman pernah melihat aku atau Widuri berlatih?”
“Pantaslah kalau ia putri Kakang Kebo Kanigara. Apalagi selama ini Endang Widuri berada dalam lingkungan yang menguntungkan. Bersama-sama dengan Angger, gadis itu merupakan pasangan berlatih yang mengagumkan,” gumamnya kepada Arya Salaka.
Terasa wajah Arya Salaka menjadi panas. Maka berusahalah ia menjawab,
“Apakah Paman pernah melihat aku atau Widuri berlatih?”
MANTINGAN tertawa lirih. Umurnya yang telah menjangkau lebih dari setengah abad itu telah menjadikannya orang yang cukup mengenal perasaan seseorang. Apalagi berhubungan dengan pekerjaannya sebagai seorang dalang. Karena itu ia tidak melanjutkan gurauannya. Apalagi persoalan yang dihadapinya cukup penting. Sehingga segera ia kembali pada persoalan berita yang dibawa oleh Endang Widuri.
Quote:
“Apakah yang sebaiknya kami lakukan?” Mantingan mencoba untuk mendapat pertimbangan dari Wirasaba, Arya Salaka dan Jaladri.
Sesudah berpikir sejenak, berkatalah Wirasaba,
“Satu hal yang patut menjadi pertimbangan adalah, orang itu telah mengetahui bahwa di sini ada Adi Mahesa Jenar, Kakang Kebo Kanigara, Angger Arya Salaka, dan yang dikenalnya langsung adalah Angger Widuri sendiri. Orang itu pasti akan mengatakan bahwa di sini ada seorang gadis kecil yang sangat berbahaya. Kalau gadis itu telah dapat mengalahkannya, apalagi orang-orang yang bernama Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka.”
Mantingan mengangguk membenarkan. Padahal Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan beberapa orang lain sedang berada di perjalanan ke Banyubiru.
“Kalau demikian…” sambung Jaladri,
“Tempat kita ini berada dalam bahaya. Kalau mereka mengetahui bahwa orang-orang yang bernama Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sedang berada di perjalanan, mungkin sekali mereka akan mempergunakan kesempatan itu. Mencegat mereka atau menyerang tempat ini.”
“Baiklah adi Jaladri,” sahut Mantingan.
“Apakah jeleknya kalau kita berhati-hati. Siapkan orang-orangmu dan perkuatlah penjagaan di sekitar tempat ini. Mungkin ada sesuatu yang tidak kita harapkan bisa terjadi.”
Sesudah berpikir sejenak, berkatalah Wirasaba,
“Satu hal yang patut menjadi pertimbangan adalah, orang itu telah mengetahui bahwa di sini ada Adi Mahesa Jenar, Kakang Kebo Kanigara, Angger Arya Salaka, dan yang dikenalnya langsung adalah Angger Widuri sendiri. Orang itu pasti akan mengatakan bahwa di sini ada seorang gadis kecil yang sangat berbahaya. Kalau gadis itu telah dapat mengalahkannya, apalagi orang-orang yang bernama Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka.”
Mantingan mengangguk membenarkan. Padahal Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan beberapa orang lain sedang berada di perjalanan ke Banyubiru.
“Kalau demikian…” sambung Jaladri,
“Tempat kita ini berada dalam bahaya. Kalau mereka mengetahui bahwa orang-orang yang bernama Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sedang berada di perjalanan, mungkin sekali mereka akan mempergunakan kesempatan itu. Mencegat mereka atau menyerang tempat ini.”
“Baiklah adi Jaladri,” sahut Mantingan.
“Apakah jeleknya kalau kita berhati-hati. Siapkan orang-orangmu dan perkuatlah penjagaan di sekitar tempat ini. Mungkin ada sesuatu yang tidak kita harapkan bisa terjadi.”
Jaladri segera melaksanakan tugas itu. Dipanggilnya beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru dan diberinya mereka petunjuk-petunjuk. Mereka sejak saat itu harus sudah siaga tempur. Setiap saat bahaya dapat datang.
Maka sibuklah daerah perkemahan itu dengan berbagai persiapan. Beberapa orang menyiapkan perlengkapan-perlengkapan, beberapa orang lagi mengasah senjata-senjata mereka. Dengan demikian maka perkemahan itu diliputi oleh suasana yang tegang.
Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan, seolah-olah tersembul dari hutan di sekitar perkemahan itu, anak-anak Banyubiru menjadi semakin siaga. Penjagaan mereka menjadi semakin rapat. Apalagi penjagaan atas pondok Rara Wilis dan Widuri. Sebab mereka mengira bahwa kedua gadis itu sangat memerlukan penjagaan. Kecuali Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang kecuali sudah mendengar berita perkelahian antara Widuri dan orang yang mengandung rahasia itu, sebenarnya dari gerak-gerik kedua gadis itu mereka sudah menduga bahwa mereka bukanlah gadis seperti kebanyakan gadis-gadis yang lain.
Sementara itu orang-orang Banyubiru telah dikejutkan oleh kedatangan sebuah rombongan kecil orang-orang berkuda. Dua orang yang di depan mempunyai perawakan yang sedang, tegap dan kuat. Seorang memakai baju hijau gadung, kain lurik hijau gadung pula. Di atas kuping kanannya terselip sekuntum bunga melati hutan. Sedang di sebelahnya, yang seorang lagi berbaju lurik bergaris-garis tebal berwarna coklat dan berkain lurik merah soga berikat kepala biru gelap.
Dengan wajah tengadah mereka memegangi kendali kuda-kuda mereka, yang dengan tegap berjalan ke arah pusat kota. Beberapa orang yang menyaksikan mereka berdua terpaksa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun mereka seolah-olah melihat dua ekor burung rajawali yang dengan megahnya terbang di udara. Sedang bagi mereka yang pernah mengenalnya lima tahun yang lalu, segera bergumam di dalam mulutnya, dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Quote:
“Bukankah yang menyelipkan bunga di telinga kanannya itu pernah tinggal di Banyubiru beberapa tahun yang lalu, dan bernama Mahesa Jenar…?”
Tetapi segera mereka menjadi semakin heran, ketika mereka kemudian memandang tiga orang berkuda di belakang sepasang rajawali itu. Dan mereka segera meneruskan gumam mereka,
Quote:
“Dan bukankah mereka itu Ki Wanamerta, Penjawi dan Bantaran…?”
Mula-mula orang-orang Banyubiru itu hanya saling memandang diantara mereka. Tetapi ketika seorang diantara mereka tanpa disengaja menyebut nama Mahesa Jenar agak keras, terdengarlah mereka menjawab bersahutan,
Quote:
“Ya, orang itulah Mahesa Jenar.”
“Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia datang bersama Bantaran dan Penjawi, bahkan dengan Ki Wanamerta?” terdengar suara yang lain.
“Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia datang bersama Bantaran dan Penjawi, bahkan dengan Ki Wanamerta?” terdengar suara yang lain.
Tak seorangpun yang menyahut. Malahan mereka tiba-tiba menjadi bingung. Sebab Bantaran dan Penjawi bagi penduduk Banyubiru yang tetap tinggal di kampung halaman mereka serta tidak terlalu banyak mengerti tentang seluk-beluk tanah mereka sendiri, merupakan tokoh-tokoh yang membingungkan. Kadang-kadang penduduk Banyubiru itu mengharap-harap kedatangan mereka, namun kadang-kadang mereka tiba-tiba membencinya sebagai orang-orang yang selalu membawa bencana.
Daerah-daerah, desa-desa dan pedukuhan-pedukuhan yang disinggahi oleh Bantaran dan Penjawi dalam saat-saat terakhir ini, merupakan tanda tidak baik bagi penduduknya. Sebab sesaat kemudian akan datanglah pasukan-pasukan dari Pamingit dan Banyubiru sendiri untuk mengadu dan menangkapi beberapa orang untuk diperiksa.
Sekarang penduduk Banyubiru itu melihat Bantaran dan Penjawi datang bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Seorang yang dapat disejajarkan dengan pepunden mereka, Ki Ageng Gajah Sora. Malahan bagi orang-orang Banyubiru itu tampaklah Mahesa Jenar seperti Ki Ageng Gajah Sora itu sendiri, yang datang kembali ke kampung halamannya.
Tetapi sedemikian jauh, mereka hanya dapat saling berbisik diantara mereka sendiri. Tak seorangpun diantara mereka yang berani maju ke depan dan bertanya tentang teka-teki yang berputar-putar didalam benaknya.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas