- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#388
Jilid 12 [Part 269]
Spoiler for :
SETELAH Mahesa Jenar berunding dengan Kebo Kanigara, ia memutuskan untuk segera membawa Arya Salaka ke Banyubiru. Sudah barang tentu Mahesa Jenar bertindak menurut caranya, yang merupakan pancaran dari wataknya. Ia tidak segera membawa pasukannya ke Banyubiru sekaligus dalam persiapan tempur dengan mempergunakan gelar perang, tetapi ia mengharap bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan menurut cara yang baik.
Mula-mula Bantaran, Penjawi, bahkan Wanamerta heran melihat kelunakan sikap Mahesa Jenar itu. Bahkan mereka menduga bahwa di dalam hati Mahesa Jenar meragukan kekuatan laskarnya. Karena itulah maka mereka mengajukan pertimbangan lain. Mereka mendesak agar Mahesa Jenar memaksa dengan kekuatan untuk mengusir Lembu Sora dari Banyubiru. Sebab mereka tidak melihat cara lain yang dapat dipergunakan selain cara itu.
Mahesa Jenar memahami sepenuhnya perasaan yang bergolak di dalam dada Bantaran, Penjawi dan anak-anak Banyubiru, yang terpaksa menyingkir dari kampung halaman mereka sendiri. Mereka telah mengalami tekanan lahir batin. Kepahitan yang selama ini harus mereka telan, telah menyebabkan mereka menjadi dendam. Apalagi mereka merasa bahwa mereka telah melakukan tindakan kebenaran. Mempertahankan hak atas tanah mereka.
Mereka dikejar-kejar, dimusuhi, ditangkap dan segala macam usaha yang lain untuk menakut-nakuti agar mereka melepaskan kesetiaan mereka kepada tanah mereka. Tetapi ternyata lebih baik bagi mereka menyingkirkan diri, meninggalkan kampung halaman, untuk tetap mempertahankan pendirian mereka.
Mempertahankan kesetiaan mereka terhadap tanah pusaka mereka, terhadap tanah tercinta.
Karena itu Mahesa Jenar harus bersikap hati-hati terhadap mereka. Ia tidak dapat demikian saja memaksa mereka untuk melepaskan dendam mereka. Tetapi ia harus berusaha menumbuhkan dari dalam diri mereka masing-masing, pengertian tentang apa yang akan mereka lakukan.
Dengan penuh kebijaksanaan berkatalah Mahesa Jenar kepada Bantaran, Penjawi beserta para pemimpin laskar Banyubiru,
Bantaran, Penjawi, Wanamerta beserta para pemimpin laskar Banyubiru menundukkan kepala mereka. Mereka mengerti sepenuhnya apa yang baru saja didengarnya. Di dalam hati mereka terbersitlah pengakuan atas kebenaran kata-kata itu.
Tiba-tiba mereka menjadi sadar bahwa orang-orang Pamingit, lebih-lebih orang Banyubiru itu sendiri, adalah saudara-saudara mereka. Ada diantara mereka yang berkakak, beradik, berkemenakan dan bersepupu dengan orang-orang Pamingit.
Pemimpin-pemimpin Banyubiru itu masih tetap berdiam diri, namun tanpa mereka sadari, mereka telah mengangguk-anggukkan kepala mereka sebagai suatu pernyataan setuju atas segala uraian Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Mahesa Jenar megakhiri pertemuan itu. Dengan minta doa restu kepada segenap laskar Banyubiru, ia minta diri untuk pergi ke Banyubiru. Beberapa orang dimintanya ikut serta untuk menyaksikan apa yang akan mereka bicarakan. Diantaranya adalah Wanamerta, Bantaran, Penjawi, dan Kebo Kanigara.
Kali ini Mahesa Jenar menganggap belum waktunya membawa serta Arya Salaka. Rombongan ini tidak lebih daripada sebuah rombongan utusan dari Arya Salaka selaku orang yang berhak atas daerah perdikan Banyubiru, mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai hari kemudian Banyubiru.
MAHESA JENAR masih menyangsikan apakah keselamatan Arya Salaka tidak terancam bila ia dibawanya serta bersama-sama dengan rombongan itu. Sebab ia masih belum dapat menggambarkan bagaimanakah tanggapan Lembu Sora, terutama Ki Ageng Sora Dipayana atas kehadiran Arya Salaka.
Demikianlah rombongan utusan itu dilepas dengan debaran hati segenap laskar Banyubiru yang terpaksa menyingkir ke daerah Candi Gedong Sanga. Meskipun ada diantara mereka yang meragukan keberhasilan pembicaraan mereka, namun cara itu merupakan cara yang terhormat sebelum cara-cara yang lain harus ditempuh.
Arya Salaka sendiri sangat kecewa ketika Mahesa Jenar memintanya untuk tinggal di Candi Gedong Sanga. Sebenarnya ia ingin sekali untuk segera dapat melihat Banyubiru. Tanah tempat ia dilahirkan, tempat ia menerima kasih sayang ayah bunda.
Ketika rombongan Mahesa Jenar lenyap di balik batang-batang liar di daerah hutan itu, tiba-tiba terasalah hatinya seperti tergores oleh sembilu. Tiba-tiba ia teringat kepada ayah dan bundanya. Kepada ayahnya yang terpaksa terpisah darinya karena pokal pamannya. Demikian juga ibunya. Terbayanglah di dalam otaknya, apakah yang kira-kira terjadi atas ibunya selama ini.
Selama ia tidak pernah mencium pipinya seperti pada masa kanak-kanaknya. Karena itulah tiba-tiba hatinya meronta. Kenapa ia tidak berlari menyusul rombongan itu.
Tetapi dalam pada itu terasalah tangan halus menyentuh pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Rara Wilis berdiri di belakangnya. Arya Salaka mengetahui hubungan apakah yang terjalin antara gadis itu dengan gurunya. Karena itu ia menghormati Rara Wilis seperti ia menghormati gurunya. Dengan demikian ia tidak membantah ketika Rara Wilis mengajaknya dengan penuh pengertian untuk kembali ke dalam pondoknya.
Sebagai seorang gadis, hati Rara Wilis mulai tersentuh. Demikian juga ketika ia melihat betapa kecewa hati Arya Salaka, karena ia tidak diperkenankan ikut serta bersama gurunya. Hatinya menjadi iba.
Arya menundukkan mukanya. Ia tahu benar alasan itu, tetapi perasaannya amatlah susah dikendalikan. Karena Rara Wilis bagi Arya tidak ubahnya dengan gurunya, dan orang tuanya sendiri.
Maka kepadanya Arya Salaka pun berkata terus terang,
Dalam pada itu, betapa Arya Salaka berusaha sekeras-kerasnya, namun di kedua belah matanya mengembanglah air matanya yang bening, sebening hatinya.
Mendengar pernyataan Arya Salaka, Rara Wilis terdiam. Bahkan tiba-tiba iapun teringat kepada ibunya. Ibunya yang sudah tidak akan dapat dijumpainya lagi. Maka iapun menjadi berduka pula. Namun demikian ia masih mencoba untuk menghibur hati Arya.
Kemudian keduanya terdiam. Masing-masing hanyut ke dalam dunia angan-angan. Kepada kerinduan yang menyentuh-nyentuh perasaan masing-masing. Sehingga ruangan itu kemudian menjadi hening sepi.
Tetapi keheningan itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara Endang Widuri yang berlari-lari masuk.
Katanya berderai dengan penuh kegembiraan.
Rara Wilis menarik nafas. Lembah di sebelah adalah lembah yang terjal dan berbahaya. Agaknya Widuri memang anak yang benar-benar nakal.
Mula-mula Bantaran, Penjawi, bahkan Wanamerta heran melihat kelunakan sikap Mahesa Jenar itu. Bahkan mereka menduga bahwa di dalam hati Mahesa Jenar meragukan kekuatan laskarnya. Karena itulah maka mereka mengajukan pertimbangan lain. Mereka mendesak agar Mahesa Jenar memaksa dengan kekuatan untuk mengusir Lembu Sora dari Banyubiru. Sebab mereka tidak melihat cara lain yang dapat dipergunakan selain cara itu.
Mahesa Jenar memahami sepenuhnya perasaan yang bergolak di dalam dada Bantaran, Penjawi dan anak-anak Banyubiru, yang terpaksa menyingkir dari kampung halaman mereka sendiri. Mereka telah mengalami tekanan lahir batin. Kepahitan yang selama ini harus mereka telan, telah menyebabkan mereka menjadi dendam. Apalagi mereka merasa bahwa mereka telah melakukan tindakan kebenaran. Mempertahankan hak atas tanah mereka.
Mereka dikejar-kejar, dimusuhi, ditangkap dan segala macam usaha yang lain untuk menakut-nakuti agar mereka melepaskan kesetiaan mereka kepada tanah mereka. Tetapi ternyata lebih baik bagi mereka menyingkirkan diri, meninggalkan kampung halaman, untuk tetap mempertahankan pendirian mereka.
Mempertahankan kesetiaan mereka terhadap tanah pusaka mereka, terhadap tanah tercinta.
Karena itu Mahesa Jenar harus bersikap hati-hati terhadap mereka. Ia tidak dapat demikian saja memaksa mereka untuk melepaskan dendam mereka. Tetapi ia harus berusaha menumbuhkan dari dalam diri mereka masing-masing, pengertian tentang apa yang akan mereka lakukan.
Dengan penuh kebijaksanaan berkatalah Mahesa Jenar kepada Bantaran, Penjawi beserta para pemimpin laskar Banyubiru,
Quote:
“Saudara-saudaraku… kalau kalian gagal untuk menginjakkan kaki kalian beserta Arya Salaka kembali ke Banyubiru, akulah orang yang pertama-tama akan menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya. Dan akulah orangnya yang akan menerjunkan diri, mengorbankan segala yang ada padaku untuk kepentingan kalian. Sebab aku telah menerima penyerahan dari kakang Gajah Sora atas putranya, Arya Salaka, beserta segala kelengkapan atas dirinya. Diantaranya kedudukan kepala daerah perdikan Banyubiru. Karena itu percayalah bahwa aku akan bekerja keras untuk melaksanakan pekerjaan itu.”
Setelah menarik nafas sejenak, Mahesa Jenar meneruskan,
“Tetapi berilah aku kesempatan menyelesaikan menurut cara yang akan aku tempuh. Pertama-tama aku akan berusaha untuk menempuh jalan yang sebaik-baiknya. Lembu Sora adalah adik Gajah Sora. Aku masih ingin melihat bahwa masih ada hubungan dari mereka berdua. Hubungan yang sangat dekat. Mereka dialiri darah dari sumber yang sama. Apabila cara ini tidak berhasil, barulah aku akan mempergunakan cara lain. Membawa kalian serta. Tetapi ingat, bahwa apa yang kalian lakukan bukanlah pembalasan dendam. Yang akan kalian lakukan adalah mengambil hak kalian kembali. Hak atas tanah kalian dan hak atas pimpinan daerah kalian. Karena itu maka yang harus kalian lakukan adalah sesuai dengan tujuan itu. Jangan ada diantara kalian yang mempergunakan kesempatan ini untuk kepentingan diri sendiri. Melepaskan dendam pribadi kepada orang-orang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kalian mengambil kembali kampung halaman kalian. Kesetiaan kalian.”
Selanjutnya Mahesa Jenar mengatakan,
“Aku percaya bahwa kalian akan dapat menunjukkan kebesaran jiwa kalian, yang dengan demikian akan menunjukkan pula perbedaan antara kalian dengan orang-orang yang berjiwa kerdil, yang hanya mengenal kepentingan diri daripada kepentingan bersama. Dengan demikian pekerjaan kalian hanya terbatas sampai hak atas tanah perdikan itu kembali. Seterusnya kalian tidak perlu berbuat apa-apa lagi, yang barangkali malah akan menyuramkan nama kalian. Yang harus kalian ingat pula, bahwa kecuali kalian dan orang-orang Pamingit itu masih ada orang-orang yang termasuk di dalam barisan golongan hitam."
"Tidak mustahil kalau mereka akan mengambil setiap kesempatan, mengail di air keruh. Kalau kalian kemudian terlibat dalam permusuhan yang berlarut-larut, maka dengan senangnya mereka akan datang dan membangun istana kemenangan dia atas bangkai-bangkai kalian tanpa bersusah-payah lagi.”
Setelah menarik nafas sejenak, Mahesa Jenar meneruskan,
“Tetapi berilah aku kesempatan menyelesaikan menurut cara yang akan aku tempuh. Pertama-tama aku akan berusaha untuk menempuh jalan yang sebaik-baiknya. Lembu Sora adalah adik Gajah Sora. Aku masih ingin melihat bahwa masih ada hubungan dari mereka berdua. Hubungan yang sangat dekat. Mereka dialiri darah dari sumber yang sama. Apabila cara ini tidak berhasil, barulah aku akan mempergunakan cara lain. Membawa kalian serta. Tetapi ingat, bahwa apa yang kalian lakukan bukanlah pembalasan dendam. Yang akan kalian lakukan adalah mengambil hak kalian kembali. Hak atas tanah kalian dan hak atas pimpinan daerah kalian. Karena itu maka yang harus kalian lakukan adalah sesuai dengan tujuan itu. Jangan ada diantara kalian yang mempergunakan kesempatan ini untuk kepentingan diri sendiri. Melepaskan dendam pribadi kepada orang-orang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kalian mengambil kembali kampung halaman kalian. Kesetiaan kalian.”
Selanjutnya Mahesa Jenar mengatakan,
“Aku percaya bahwa kalian akan dapat menunjukkan kebesaran jiwa kalian, yang dengan demikian akan menunjukkan pula perbedaan antara kalian dengan orang-orang yang berjiwa kerdil, yang hanya mengenal kepentingan diri daripada kepentingan bersama. Dengan demikian pekerjaan kalian hanya terbatas sampai hak atas tanah perdikan itu kembali. Seterusnya kalian tidak perlu berbuat apa-apa lagi, yang barangkali malah akan menyuramkan nama kalian. Yang harus kalian ingat pula, bahwa kecuali kalian dan orang-orang Pamingit itu masih ada orang-orang yang termasuk di dalam barisan golongan hitam."
"Tidak mustahil kalau mereka akan mengambil setiap kesempatan, mengail di air keruh. Kalau kalian kemudian terlibat dalam permusuhan yang berlarut-larut, maka dengan senangnya mereka akan datang dan membangun istana kemenangan dia atas bangkai-bangkai kalian tanpa bersusah-payah lagi.”
Bantaran, Penjawi, Wanamerta beserta para pemimpin laskar Banyubiru menundukkan kepala mereka. Mereka mengerti sepenuhnya apa yang baru saja didengarnya. Di dalam hati mereka terbersitlah pengakuan atas kebenaran kata-kata itu.
Tiba-tiba mereka menjadi sadar bahwa orang-orang Pamingit, lebih-lebih orang Banyubiru itu sendiri, adalah saudara-saudara mereka. Ada diantara mereka yang berkakak, beradik, berkemenakan dan bersepupu dengan orang-orang Pamingit.
Quote:
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,
“Saudara-saudaraku… kalian harus dapat menempatkan diri kalian dalam tindakan kalian kali ini. Sekali lagi aku ingatkan, marilah kita ambil hak kita, milik kita sendiri. Selebihnya tidak. Apalagi apa yang dinamakan pembalasan dendam.”
“Saudara-saudaraku… kalian harus dapat menempatkan diri kalian dalam tindakan kalian kali ini. Sekali lagi aku ingatkan, marilah kita ambil hak kita, milik kita sendiri. Selebihnya tidak. Apalagi apa yang dinamakan pembalasan dendam.”
Pemimpin-pemimpin Banyubiru itu masih tetap berdiam diri, namun tanpa mereka sadari, mereka telah mengangguk-anggukkan kepala mereka sebagai suatu pernyataan setuju atas segala uraian Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Mahesa Jenar megakhiri pertemuan itu. Dengan minta doa restu kepada segenap laskar Banyubiru, ia minta diri untuk pergi ke Banyubiru. Beberapa orang dimintanya ikut serta untuk menyaksikan apa yang akan mereka bicarakan. Diantaranya adalah Wanamerta, Bantaran, Penjawi, dan Kebo Kanigara.
Kali ini Mahesa Jenar menganggap belum waktunya membawa serta Arya Salaka. Rombongan ini tidak lebih daripada sebuah rombongan utusan dari Arya Salaka selaku orang yang berhak atas daerah perdikan Banyubiru, mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai hari kemudian Banyubiru.
MAHESA JENAR masih menyangsikan apakah keselamatan Arya Salaka tidak terancam bila ia dibawanya serta bersama-sama dengan rombongan itu. Sebab ia masih belum dapat menggambarkan bagaimanakah tanggapan Lembu Sora, terutama Ki Ageng Sora Dipayana atas kehadiran Arya Salaka.
Demikianlah rombongan utusan itu dilepas dengan debaran hati segenap laskar Banyubiru yang terpaksa menyingkir ke daerah Candi Gedong Sanga. Meskipun ada diantara mereka yang meragukan keberhasilan pembicaraan mereka, namun cara itu merupakan cara yang terhormat sebelum cara-cara yang lain harus ditempuh.
Arya Salaka sendiri sangat kecewa ketika Mahesa Jenar memintanya untuk tinggal di Candi Gedong Sanga. Sebenarnya ia ingin sekali untuk segera dapat melihat Banyubiru. Tanah tempat ia dilahirkan, tempat ia menerima kasih sayang ayah bunda.
Ketika rombongan Mahesa Jenar lenyap di balik batang-batang liar di daerah hutan itu, tiba-tiba terasalah hatinya seperti tergores oleh sembilu. Tiba-tiba ia teringat kepada ayah dan bundanya. Kepada ayahnya yang terpaksa terpisah darinya karena pokal pamannya. Demikian juga ibunya. Terbayanglah di dalam otaknya, apakah yang kira-kira terjadi atas ibunya selama ini.
Selama ia tidak pernah mencium pipinya seperti pada masa kanak-kanaknya. Karena itulah tiba-tiba hatinya meronta. Kenapa ia tidak berlari menyusul rombongan itu.
Tetapi dalam pada itu terasalah tangan halus menyentuh pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Rara Wilis berdiri di belakangnya. Arya Salaka mengetahui hubungan apakah yang terjalin antara gadis itu dengan gurunya. Karena itu ia menghormati Rara Wilis seperti ia menghormati gurunya. Dengan demikian ia tidak membantah ketika Rara Wilis mengajaknya dengan penuh pengertian untuk kembali ke dalam pondoknya.
Sebagai seorang gadis, hati Rara Wilis mulai tersentuh. Demikian juga ketika ia melihat betapa kecewa hati Arya Salaka, karena ia tidak diperkenankan ikut serta bersama gurunya. Hatinya menjadi iba.
Quote:
“Jangan berduka, Arya…” nasihat Rara Wilis,
“Besok atau lusa kau akan pergi juga ke sana. Kalau saat ini pamanmu tidak membawamu adalah semata-mata karena pertimbangan keselamatanmu.”
“Besok atau lusa kau akan pergi juga ke sana. Kalau saat ini pamanmu tidak membawamu adalah semata-mata karena pertimbangan keselamatanmu.”
Arya menundukkan mukanya. Ia tahu benar alasan itu, tetapi perasaannya amatlah susah dikendalikan. Karena Rara Wilis bagi Arya tidak ubahnya dengan gurunya, dan orang tuanya sendiri.
Maka kepadanya Arya Salaka pun berkata terus terang,
Quote:
“Bibi, aku dapat mengerti sepenuhnya kenapa Paman tidak membawa aku serta. Tetapi tiba-tiba saja perasaan rinduku kepada tanah kelahiran itu tak dapat aku kendalikan lagi. Lebih dari itu, betapa rinduku kepada Bunda, yang sejak lima tahun lalu tak pernah aku dengar kabar beritanya.”
Dalam pada itu, betapa Arya Salaka berusaha sekeras-kerasnya, namun di kedua belah matanya mengembanglah air matanya yang bening, sebening hatinya.
Mendengar pernyataan Arya Salaka, Rara Wilis terdiam. Bahkan tiba-tiba iapun teringat kepada ibunya. Ibunya yang sudah tidak akan dapat dijumpainya lagi. Maka iapun menjadi berduka pula. Namun demikian ia masih mencoba untuk menghibur hati Arya.
Quote:
“Arya… meskipun tertunda beberapa waktu namun kau akhirnya akan dapat bertemu dengan bunda tersayang. Tetapi tidaklah demikian dengan aku, Arya. Kau masih harus mengucapkan terimakasih, bahwa kau masih menyimpan harapan di dalam dadamu. Sedang aku, sama sekali harapan itu telah padam sejak lama. Aku tidak akan bertemu lagi, sekarang, besok, lusa atau kapanpun dengan ayah bundaku.”
Kemudian keduanya terdiam. Masing-masing hanyut ke dalam dunia angan-angan. Kepada kerinduan yang menyentuh-nyentuh perasaan masing-masing. Sehingga ruangan itu kemudian menjadi hening sepi.
Tetapi keheningan itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara Endang Widuri yang berlari-lari masuk.
Katanya berderai dengan penuh kegembiraan.
Quote:
“Bibi… alangkah banyaknya bunga anggrek di hutan ini.”
Wilis tersadar dari angan-angannya. Dengan tersenyum kecil yang dipaksakan ia menjawab,
“Adakah kau mendapatkannya, Widuri…?”
“Inilah, Bibi…” sahut Widuri sambil menyerahkan setangkai bunga anggrek yang berbentuk seekor kala.
“Dari manakah kau dapatkan bunga ini?” tanya Wilis.
“Di lembah sebelah itu, Bibi…” jawab Widuri.
Wilis tersadar dari angan-angannya. Dengan tersenyum kecil yang dipaksakan ia menjawab,
“Adakah kau mendapatkannya, Widuri…?”
“Inilah, Bibi…” sahut Widuri sambil menyerahkan setangkai bunga anggrek yang berbentuk seekor kala.
“Dari manakah kau dapatkan bunga ini?” tanya Wilis.
“Di lembah sebelah itu, Bibi…” jawab Widuri.
Rara Wilis menarik nafas. Lembah di sebelah adalah lembah yang terjal dan berbahaya. Agaknya Widuri memang anak yang benar-benar nakal.
Quote:
Katanya kemudian,
“Jangan bermain-main di tempat yang berbahaya, Widuri. Di sana banyak ular-ular berbisa. Mungkin juga ada harimau yang buas.”
“Tidak Bibi,” sahut Widuri dengan nakalnya.
“Tidak ada ular dan tidak ada harimau yang mengganggu. Tetapi tadi memang ada orang yang mencoba menangkap aku.”
Rara Wilis dan Arya Salaka terkejut seperti disengat kala.
Dengan penuh perhatian Rara Wilis bertanya,
“Ada orang yang akan menangkap kau…?”
Widuri mengangguk seenaknya, seolah-olah peristiwa itu sama sekali tidak penting baginya.
“Tahukah kau sebabnya…?” tanya Rara Wilis.
“Entah,” jawab Widuri.
“Mungkin orang itulah yang menanam anggrek ini.”
“Mustahil,” sahut Arya Salaka.
“Anggrek yang tumbuh di lembah itu tak seorangpun yang menanamnya.”
Widuri kemudian menjadi heran. Katanya,
“Lalu kenapa ia akan menangkap aku?”
“Itulah yang ingin kami ketahui,” sela Rara Wilis.
“Apakah katanya padamu mula-mula…?”
Widuri mengingat-ingat sebentar, lalu jawabnya,
“Ia bertanya, kenapa aku berada di lembah itu.”
“Bagaimana kau menjawab?” selidik Arya.
“Jangan bermain-main di tempat yang berbahaya, Widuri. Di sana banyak ular-ular berbisa. Mungkin juga ada harimau yang buas.”
“Tidak Bibi,” sahut Widuri dengan nakalnya.
“Tidak ada ular dan tidak ada harimau yang mengganggu. Tetapi tadi memang ada orang yang mencoba menangkap aku.”
Rara Wilis dan Arya Salaka terkejut seperti disengat kala.
Dengan penuh perhatian Rara Wilis bertanya,
“Ada orang yang akan menangkap kau…?”
Widuri mengangguk seenaknya, seolah-olah peristiwa itu sama sekali tidak penting baginya.
“Tahukah kau sebabnya…?” tanya Rara Wilis.
“Entah,” jawab Widuri.
“Mungkin orang itulah yang menanam anggrek ini.”
“Mustahil,” sahut Arya Salaka.
“Anggrek yang tumbuh di lembah itu tak seorangpun yang menanamnya.”
Widuri kemudian menjadi heran. Katanya,
“Lalu kenapa ia akan menangkap aku?”
“Itulah yang ingin kami ketahui,” sela Rara Wilis.
“Apakah katanya padamu mula-mula…?”
Widuri mengingat-ingat sebentar, lalu jawabnya,
“Ia bertanya, kenapa aku berada di lembah itu.”
“Bagaimana kau menjawab?” selidik Arya.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas