- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#380
Jilid 12 [Part 265]
Spoiler for :
SYUKURLAH kalau kalau nanti Gajah Sora dapat menjumpai tanah perdikan sudah pulih kembali, meskipun belum seluruhnya. Tetapi setidak-tidaknya Gajah Sora merasa bahwa ia kembali ke tanahnya sendiri, seperti pada saat ditinggalkan.
Kemudian diceritakan pula oleh Mahesa Jenar pertemuannya dengan Bantaran, salah seorang pemimpin laskar Banyubiru, serta pasukannya di sekitar Candi Gedong Sanga.
Akhirnya Panembahan Ismaya menyetujui permintaan Mahesa Jenar untuk mengajak Kanigara serta dalam usahanya mengembalikan Banyubiru ke dalam tangan Arya Salaka. Sebab tanpa orang-orang yang lebih tua itu, Arya Salaka tidak akan mampu melakukan pekerjaan berat itu.
Demikianlah Mahesa Jenar mendapat banyak sekali bekal yang perlu baginya untuk memenuhi kesanggupannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, pada saat orang itu pergi meninggalkan Banyubiru, dan menitipkan anaknya kepadanya.
Setelah makan siang bersama-sama dengan Panembahan Ismaya dan Kebo Kanigara, maka segera Mahesa Jenar minta diri untuk beristirahat. Namun demikian ia tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang selalu membelit hatinya, persoalan Banyubiru.
Agaknya Arya Salaka pun hampir tidak sabar menanti Mahesa Jenar. Ketika ia melihat gurunya itu datang, segera ia bertanya, apakah Panembahan Ismaya marah kepadanya.
Sejak saat itu Mahesa Jenar mencoba untuk memberi penjelasan kepada Arya Salaka untuk melengkapi pengetahuannya tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di Banyubiru. Karena Arya Salaka sekarang menurut anggapan Mahesa Jenar telah cukup siap untuk mengetahui segala-galanya, maka Mahesa Jenar kini tidak lagi menyembunyikan sesuatu.
Juga dijelaskan apa yang sekarang terjadi kalau keadaan yang demikian dibiarkan berlarut-larut.
Arya Salaka mendengarkan semua penjelasan itu dengan menekan dada. Ia telah dapat merasakan betapa jeleknya keadaan Banyubiru sepeninggal ayahnya.
Hampir setiap malam ia duduk bercakap-cakap dengan Mahesa Jenar, yang kadang-kadang ditemani Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Apa yang mereka percakapkan selalu berkisar pada masalah Banyubiru. Apalagi kalau Wanamerta berkesempatan untuk ikut serta berbicara. Banyak sekali cerita yang dapat membakar dada Arya Salaka.
Sebagai orang tertua, yang pada saat Gajah Sora meninggalkan Banyubiru menerima tanda pemerintahan Pusaka Kyai Bancak, dan yang selajutnya kehadirannya di Banyubiru oleh Ki Ageng Lembu Sora sama sekali tidak diperhitungkan, bahkan disingkirkan dengan satu cara yang keji, ia benar-benar sakit hati.
Disamping semua penjelasan, untuk mempersiapkan Arya Salaka menghadapi keadaan-keadaan di Tanah Perdikan yang sudah kira-kira lima tahun ditinggalkan, ia selalu menerima pula tuntunan-tuntunan lahiriah. Setiap hari ia masih harus berlatih sekeras-kerasnya. Menambah pengetahuan tata pertempuran dan olah senjata.
Dalam keadaan yang demikian, terasalah betapa perkembangan jasmaniah Arya Salaka menjadi bertambah cepat setelah orang aneh yang mengenakan jubah memijiti hampir seluruh tubuhnya pada suatu malam, setelah ia bertempur melawan Sawung Sariti.
Untunglah bahwa di bukit kecil itu ia mempunyai banyak kawan berlatih.
Endang Widuri yang memiliki cabang keturunan ilmu yang sama dengan ilmunya. Rara Wilis dari Perguruan Pandan Alas. Serta Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Meskipun sebenarnya Arya Salaka kadang-kadang bertanya di dalam hati tentang persamaan yang sedemikian dekatnya antara Kebo Kanigara dengan gurunya, Mahesa Jenar, namun pertanyaan itu tetap disimpannya. Sejalan dengan itu, kadang-kadang ia menjadi heran pula, bahwa ilmu gurunya sendiri agaknya menjadi jauh berkembang, seolah-olah berkembang dengan sendirinya. tetapi juga keheranan ini disimpannya di dalam hati.
Sudah tentu bahwa dalam keadaan demikian tidak saja Arya Salaka sendiri yang berhasil memperkuat dirinya lahir-batin, tetapi juga kawan-kawannya berlatih. Mereka ternyata saling menerima dan memberi. Ilmu pedang yang luar biasa lincahnya, dari perguruan Pandan Alas, dalam keserasiannya dengan ilmunya. Sebaliknya, keteguhan serta gerak-geraknya yang kuat dapat mempengaruhi keterampilan Rara Wilis. Sedangkan kenakalan Endang Widuri pun kadang-kadang dapat memberi banyak ilham kepada Arya, sehingga dalam ilmunya kadang-kadang sifat itu terungkap dalam gerak-gerak yang tampaknya tidak masuk akal dan kurang berhati-hati, namun sebenarnya mempunyai segi-segi yang mengelabuhi lawan.
KETIKA segala sesuatunya telah dirasa cukup, sampailah Mahesa Jenar pada taraf terakhir dari pekerjaannya menjelang keberangkatan mereka ke Banyubiru, yaitu mematangkan jiwa Arya Salaka menghadapi segala macam kemungkinan. Kemungkinan yang paling menyenangkan sampai kemungkinan terakhir yang dapat saja terjadi. Yaitu gugur dalam menunaikan kewajiban sucinya.
Tetapi jiwa Arya memang sudah mendapat tempaan yang luar biasa sejak bertahun-tahun terakhir. Kesulitan hidup yang hampir setiap hari dijalani, sulit lahir-batin, adalah bekal yang baik dalam pekerjaannya itu. Disamping itu, Mahesa Jenar tidak pula lupa menunjukkan, bahwa apa yang akan dilakukan itu adalah suatu usaha. Usaha yang wajib diperjuangkan oleh manusia untuk mencapai cita-citanya, namun segala keputusan terakhir dari semua masalah, terletak ditangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar menyampaikan segala macam persiapan dan anggapannya, bahwa segala sesuatunya sudah cukup, kepada Panembahan Ismaya. Bersamaan dengan itu, ia mohon diri bersama muridnya untuk menunaikan kewajibannya, serta sekali lagi ia mohon kepada Panembahan untuk mengizinkan Kebo Kanigara pergi bersamanya.
Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar dengan hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling rumit, yang selalu tumbuh hampir setiap saat. Alangkah menyedihkan, bahwa seseorang melakukan persiapan sampai seteliti-telitinya untuk melakukan tindakan kekerasan.
Padahal, seharusnya setiap bentuk kekerasan pasti harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa diantara anak manusia di dunia ini masih saja ada yang sama sekali tidak menghiraukan kemanusiaannya, yang dengan segala macam cara, menindas manusia-manusia yang lain.
Dan terhadap manusia-manusia yang demikian itu, wajarlah bahwa ada usaha-usaha untuk mencegahnya. Usaha terakhir pencegahan itu adalah dengan cara yang sama sekali menyimpang dari tuntutan cinta kasih manusia. Sebab kadang-kadang yang harus dilakukan adalah nampaknya berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu sendiri. Yaitu kekerasan, perkelahian dan bahkan kadang-kadang persoalan hidup dan mati.
Karena persoalan-persoalan yang sedemikian itulah, maka selalu timbul pertentangan di dalam diri. Pertentangan antara hakekat dari pengabdian diri terhadap manusia sebagai tempat untuk meletakkan pengabdian yang tertinggi dengan penuh cinta kasih sebagaimana Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada manusia, serta kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah menodainya.
Di sinilah kadang-kadang dijumpainya persimpangan jalan antara tujuan dengan cara pengabdian. Namun demikian bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk mencapai tujuan. Sebab dalam hal yang demikian kaburlah batas antara tujuan yang hendak dicapai dengan mengorbankan tujuan itu sendiri, sebagai puncak pengabdian. Dalam hal yang demikian itu, apabila segala macam cara dapat dibenarkan, maka akan timbullah fitnah, kebiadaban, kekejaman dan kesewenang-wenangan, yang justru menghilangkan nilai tertinggi dan tujuannya, yaitu manusia.
Terhadap Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya tidak tedheng aling-aling. Dan karena itulah maka Panembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk selama ini. Orang berjubah abu-abu yang sakti dan seorang Panembahan yang menjauhkan diri dari daerah keduniawian.
Mendengar uraian itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajah mereka dengan takzimnya. Namun didalam dada mereka bergolaklah pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan. Pertanyaan tentang diri mereka, tentang Arya Salaka yang terusir dari Banyubiru, dan tentang hak yang sudah terampas dari tangannya.
Namun meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, agaknya Panembahan Ismaya dapat mengertinya. Karena itu katanya,
Kemudian diceritakan pula oleh Mahesa Jenar pertemuannya dengan Bantaran, salah seorang pemimpin laskar Banyubiru, serta pasukannya di sekitar Candi Gedong Sanga.
Akhirnya Panembahan Ismaya menyetujui permintaan Mahesa Jenar untuk mengajak Kanigara serta dalam usahanya mengembalikan Banyubiru ke dalam tangan Arya Salaka. Sebab tanpa orang-orang yang lebih tua itu, Arya Salaka tidak akan mampu melakukan pekerjaan berat itu.
Quote:
“Tetapi kau jangan terlalu tergesa-gesa, Mahesa Jenar…” Panembahan Ismaya menasihati,
“Sebab apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka adalah pekerjaan yang sulit. Mula-mula kau harus berusaha untuk menjelaskan masalahnya tanpa pertumpahan darah. Kau dapat membawa laskar yang dipimpin Bantaran hanya untuk membuat keadaan seimbang, supaya keseimbangan itu diperhitungkan pula oleh Lembu Sora. Sebab apabila ia hanya berhadapan dengan kalian berdua beserta Arya Salaka, maka mereka pasti akan berkeras kepala.
Selain daripada itu, kau harus mempersiapkan Arya Salaka untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Lahir dan batin. Supaya dalam setiap keadaan hatinya tidak terguncang dan kehilangan keseimbangan.”
“Sebab apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka adalah pekerjaan yang sulit. Mula-mula kau harus berusaha untuk menjelaskan masalahnya tanpa pertumpahan darah. Kau dapat membawa laskar yang dipimpin Bantaran hanya untuk membuat keadaan seimbang, supaya keseimbangan itu diperhitungkan pula oleh Lembu Sora. Sebab apabila ia hanya berhadapan dengan kalian berdua beserta Arya Salaka, maka mereka pasti akan berkeras kepala.
Selain daripada itu, kau harus mempersiapkan Arya Salaka untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Lahir dan batin. Supaya dalam setiap keadaan hatinya tidak terguncang dan kehilangan keseimbangan.”
Demikianlah Mahesa Jenar mendapat banyak sekali bekal yang perlu baginya untuk memenuhi kesanggupannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, pada saat orang itu pergi meninggalkan Banyubiru, dan menitipkan anaknya kepadanya.
Setelah makan siang bersama-sama dengan Panembahan Ismaya dan Kebo Kanigara, maka segera Mahesa Jenar minta diri untuk beristirahat. Namun demikian ia tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang selalu membelit hatinya, persoalan Banyubiru.
Agaknya Arya Salaka pun hampir tidak sabar menanti Mahesa Jenar. Ketika ia melihat gurunya itu datang, segera ia bertanya, apakah Panembahan Ismaya marah kepadanya.
Quote:
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menjawab,
“Panembahan bukanlah orang yang dapat marah. Apakah kau pernah melihat Panembahan marah?”
Arya menggeleng, tetapi ia menjawab,
“Aku selalu cemas bahwa Panembahan akan marah untuk pertama kalinya kepada Paman dan Paman Kanigara.”
Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian sahutnya,
“Tidak. Panembahan tidak marah. Ia hanya memberi aku dan Kakang Kanigara nasihat. Dan nasihat-nasihat itu akan sangat berguna bagiku dan Kakang Kanigara.”
“Panembahan bukanlah orang yang dapat marah. Apakah kau pernah melihat Panembahan marah?”
Arya menggeleng, tetapi ia menjawab,
“Aku selalu cemas bahwa Panembahan akan marah untuk pertama kalinya kepada Paman dan Paman Kanigara.”
Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian sahutnya,
“Tidak. Panembahan tidak marah. Ia hanya memberi aku dan Kakang Kanigara nasihat. Dan nasihat-nasihat itu akan sangat berguna bagiku dan Kakang Kanigara.”
Sejak saat itu Mahesa Jenar mencoba untuk memberi penjelasan kepada Arya Salaka untuk melengkapi pengetahuannya tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di Banyubiru. Karena Arya Salaka sekarang menurut anggapan Mahesa Jenar telah cukup siap untuk mengetahui segala-galanya, maka Mahesa Jenar kini tidak lagi menyembunyikan sesuatu.
Juga dijelaskan apa yang sekarang terjadi kalau keadaan yang demikian dibiarkan berlarut-larut.
Arya Salaka mendengarkan semua penjelasan itu dengan menekan dada. Ia telah dapat merasakan betapa jeleknya keadaan Banyubiru sepeninggal ayahnya.
Hampir setiap malam ia duduk bercakap-cakap dengan Mahesa Jenar, yang kadang-kadang ditemani Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Apa yang mereka percakapkan selalu berkisar pada masalah Banyubiru. Apalagi kalau Wanamerta berkesempatan untuk ikut serta berbicara. Banyak sekali cerita yang dapat membakar dada Arya Salaka.
Sebagai orang tertua, yang pada saat Gajah Sora meninggalkan Banyubiru menerima tanda pemerintahan Pusaka Kyai Bancak, dan yang selajutnya kehadirannya di Banyubiru oleh Ki Ageng Lembu Sora sama sekali tidak diperhitungkan, bahkan disingkirkan dengan satu cara yang keji, ia benar-benar sakit hati.
Disamping semua penjelasan, untuk mempersiapkan Arya Salaka menghadapi keadaan-keadaan di Tanah Perdikan yang sudah kira-kira lima tahun ditinggalkan, ia selalu menerima pula tuntunan-tuntunan lahiriah. Setiap hari ia masih harus berlatih sekeras-kerasnya. Menambah pengetahuan tata pertempuran dan olah senjata.
Dalam keadaan yang demikian, terasalah betapa perkembangan jasmaniah Arya Salaka menjadi bertambah cepat setelah orang aneh yang mengenakan jubah memijiti hampir seluruh tubuhnya pada suatu malam, setelah ia bertempur melawan Sawung Sariti.
Untunglah bahwa di bukit kecil itu ia mempunyai banyak kawan berlatih.
Endang Widuri yang memiliki cabang keturunan ilmu yang sama dengan ilmunya. Rara Wilis dari Perguruan Pandan Alas. Serta Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Meskipun sebenarnya Arya Salaka kadang-kadang bertanya di dalam hati tentang persamaan yang sedemikian dekatnya antara Kebo Kanigara dengan gurunya, Mahesa Jenar, namun pertanyaan itu tetap disimpannya. Sejalan dengan itu, kadang-kadang ia menjadi heran pula, bahwa ilmu gurunya sendiri agaknya menjadi jauh berkembang, seolah-olah berkembang dengan sendirinya. tetapi juga keheranan ini disimpannya di dalam hati.
Sudah tentu bahwa dalam keadaan demikian tidak saja Arya Salaka sendiri yang berhasil memperkuat dirinya lahir-batin, tetapi juga kawan-kawannya berlatih. Mereka ternyata saling menerima dan memberi. Ilmu pedang yang luar biasa lincahnya, dari perguruan Pandan Alas, dalam keserasiannya dengan ilmunya. Sebaliknya, keteguhan serta gerak-geraknya yang kuat dapat mempengaruhi keterampilan Rara Wilis. Sedangkan kenakalan Endang Widuri pun kadang-kadang dapat memberi banyak ilham kepada Arya, sehingga dalam ilmunya kadang-kadang sifat itu terungkap dalam gerak-gerak yang tampaknya tidak masuk akal dan kurang berhati-hati, namun sebenarnya mempunyai segi-segi yang mengelabuhi lawan.
KETIKA segala sesuatunya telah dirasa cukup, sampailah Mahesa Jenar pada taraf terakhir dari pekerjaannya menjelang keberangkatan mereka ke Banyubiru, yaitu mematangkan jiwa Arya Salaka menghadapi segala macam kemungkinan. Kemungkinan yang paling menyenangkan sampai kemungkinan terakhir yang dapat saja terjadi. Yaitu gugur dalam menunaikan kewajiban sucinya.
Tetapi jiwa Arya memang sudah mendapat tempaan yang luar biasa sejak bertahun-tahun terakhir. Kesulitan hidup yang hampir setiap hari dijalani, sulit lahir-batin, adalah bekal yang baik dalam pekerjaannya itu. Disamping itu, Mahesa Jenar tidak pula lupa menunjukkan, bahwa apa yang akan dilakukan itu adalah suatu usaha. Usaha yang wajib diperjuangkan oleh manusia untuk mencapai cita-citanya, namun segala keputusan terakhir dari semua masalah, terletak ditangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar menyampaikan segala macam persiapan dan anggapannya, bahwa segala sesuatunya sudah cukup, kepada Panembahan Ismaya. Bersamaan dengan itu, ia mohon diri bersama muridnya untuk menunaikan kewajibannya, serta sekali lagi ia mohon kepada Panembahan untuk mengizinkan Kebo Kanigara pergi bersamanya.
Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar dengan hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling rumit, yang selalu tumbuh hampir setiap saat. Alangkah menyedihkan, bahwa seseorang melakukan persiapan sampai seteliti-telitinya untuk melakukan tindakan kekerasan.
Padahal, seharusnya setiap bentuk kekerasan pasti harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa diantara anak manusia di dunia ini masih saja ada yang sama sekali tidak menghiraukan kemanusiaannya, yang dengan segala macam cara, menindas manusia-manusia yang lain.
Dan terhadap manusia-manusia yang demikian itu, wajarlah bahwa ada usaha-usaha untuk mencegahnya. Usaha terakhir pencegahan itu adalah dengan cara yang sama sekali menyimpang dari tuntutan cinta kasih manusia. Sebab kadang-kadang yang harus dilakukan adalah nampaknya berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu sendiri. Yaitu kekerasan, perkelahian dan bahkan kadang-kadang persoalan hidup dan mati.
Karena persoalan-persoalan yang sedemikian itulah, maka selalu timbul pertentangan di dalam diri. Pertentangan antara hakekat dari pengabdian diri terhadap manusia sebagai tempat untuk meletakkan pengabdian yang tertinggi dengan penuh cinta kasih sebagaimana Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada manusia, serta kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah menodainya.
Di sinilah kadang-kadang dijumpainya persimpangan jalan antara tujuan dengan cara pengabdian. Namun demikian bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk mencapai tujuan. Sebab dalam hal yang demikian kaburlah batas antara tujuan yang hendak dicapai dengan mengorbankan tujuan itu sendiri, sebagai puncak pengabdian. Dalam hal yang demikian itu, apabila segala macam cara dapat dibenarkan, maka akan timbullah fitnah, kebiadaban, kekejaman dan kesewenang-wenangan, yang justru menghilangkan nilai tertinggi dan tujuannya, yaitu manusia.
Terhadap Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya tidak tedheng aling-aling. Dan karena itulah maka Panembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk selama ini. Orang berjubah abu-abu yang sakti dan seorang Panembahan yang menjauhkan diri dari daerah keduniawian.
Mendengar uraian itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajah mereka dengan takzimnya. Namun didalam dada mereka bergolaklah pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan. Pertanyaan tentang diri mereka, tentang Arya Salaka yang terusir dari Banyubiru, dan tentang hak yang sudah terampas dari tangannya.
Namun meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, agaknya Panembahan Ismaya dapat mengertinya. Karena itu katanya,
Quote:
“Karena itu Mahesa Jenar, kau harus dapat mencari keserasian dari cara dan tujuan pengabdian. Dan dari sinilah nanti akan tampak, bahwa seseorang memiliki ketinggian budi yang tidak sama. Ada orang yang berbudi luhur dan berjiwa besar dan ada orang yang berbudi rendah dan berjiwa kecil."
"Ada orang yang mengumandangkan nilai-nilai kemanusiaan, namun akan seribu satu macam semboyan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu tercermin dalam tindak tanduknya sehari-hari. Seorang yang menganggap dirinya pendukung nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ia mengorbankan manusia untuk mempertahankan kepentingan diri sendiri yang dipancangkannya di atas tumpukan bangkai-bangkai."
"Namun sebaliknya ada orang yang dengan berdiam diri membangun nilai-nilai itu dalam lingkungan yang jauh dari pamrih untuk mencemerlangkan diri."
"Ada orang yang mengumandangkan nilai-nilai kemanusiaan, namun akan seribu satu macam semboyan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu tercermin dalam tindak tanduknya sehari-hari. Seorang yang menganggap dirinya pendukung nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ia mengorbankan manusia untuk mempertahankan kepentingan diri sendiri yang dipancangkannya di atas tumpukan bangkai-bangkai."
"Namun sebaliknya ada orang yang dengan berdiam diri membangun nilai-nilai itu dalam lingkungan yang jauh dari pamrih untuk mencemerlangkan diri."
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas