- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#379
Jilid 12 [Part 264]
Spoiler for :
TIBA-TIBA dada Bantaran terasa seolah-olah mengembang karena kegembiraan. Kalau Arya Salaka berada di tengah-tengah mereka maka laskarnya akan menjadi laskar yang bertekad baja, yang tidak lagi memperhitungkan hidup dan mati yang memang diluar kekuasaan manusia.
Demikianlah, mereka mengakhiri pembicaraan.
Setelah sekali lagi Mahesa Jenar berjanji akan membawa Arya ke Candi Gedong Sanga, maka bersama dengan Kebo Kanigara ia minta diri untuk segera kembali ke Karang Tumaritis, dimana Arya Salaka pasti telah menunggunya.
Bersamaan dengan itu, berangkat jugalah Bantaran lewat jalan-jalan hutan membawa istri Penjawi beserta ayahnya untuk berkumpul kembali dengan laskarnya, setelah beberapa hari ia berkeliaran di daerah sekitar Banyubiru untuk melihat perkembangan daerah itu.
Namun kali ini dengan bangga ia akan dapat berkata kepada laskarnya tentang apa yang disaksikannya di Banyubiru, pertemuannya dengan Mahesa Jenar yang tanpa diduga-duganya. Serta yang terakhir bahwa mereka boleh mengharap, dalam waktu singkat Mahesa Jenar akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.
Dalam perjalanan kembali ke Karang Tumaritis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tak henti-hentinya memperbincangkan kemunduran-kemunduran yang terjadi di Banyubiru. Kemunduran dalam segala bidang. Namun mereka masih menduga-duga apakah sebabnya Ki Ageng Sora Dipayana masih berdiam diri. Demikianlah mereka menempuh perjalanan, melintasi padang-padang rumput, hutan hutan yang tidak begitu lebat, mendaki lambung-lambung bukit, serta menuruni lereng-lerengnya, untuk kemudian sampai ke daerah persawahan yang membentang luas di hadapan mereka, setelah mereka bermalam di bawah bentangan langit biru.
Pedukuhan yang tampak di hadapan mereka, seperti pulau-pulau yang tersembul dari lautan, adalah pedukuhan Gedangan. Oleh hembusan angin yang cepat-cepat lambat, butir-butir padi yang sudah mulai menguning tampak seperti wajah lautan yang berombak-ombak. Jauh di ujung desa tampaklah beberapa puluh orang perempuan seperti semut yang terapung-apung, sudah mulai menuai padi.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat semuanya itu dengan wajah yang cerah. Mereka ikut bersama-sama dengan para petani Gedangan, merasa gembira bahwa hasil jerih payah mereka selama beberapa bulan kini sudah dapat dipetik hasilnya.
Lebih daripada itu, Mahesa Jenar melihat benar-benar kemajuan yang telah dicapai oleh pedukuhan kecil ini dalam bidang pertanian. Setelah puas memandang sawah yang terbentang di hadapan mereka itu,
segera mereka menarik kekang kuda masing-masing, dan berjalanlah kuda-kuda mereka seenaknya. Burung-burung liar yang terkejut karena suara telapak kaki kuda itu, beterbangan terpencar-pencar. Sedang butiran-butiran padi yang penuh berisi, seolah-olah merundukkan batang-batang mereka kepada kedua orang yang baru datang itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bagi orang-orang Gedangan adalah orang-orang yang sangat dihormati. Karena mereka berdua telah banyak memberikan jasa mereka kepada pedukuhan kecil itu. Karena itu ketika seseorang melihat kehadiran mereka, ia segera berlari-lari melaporkannya kepada pejabat-pejabat pedukuhan, sehingga sesaat kemudian ributlah pendapa kelurahan Gedangan. Mereka segera bersiap-siap untuk menyambut kedatangan tamu-tamu mereka.
Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di halaman kelurahan, bahkan mereka menjadi terkejut. Mula-mula mereka heran, apakah yang terjadi di kelurahan itu sehingga banyak orang hilir-mudik kesana kemari. Tetapi ketika akhirnya mereka mengetahui duduk perkaranya, mereka menjadi geli. Hal yang sedemikian itu sebenarnya sama sekali tak mereka kehendaki.
Sebab apa yang mereka lakukan tidak lebih dan tidak kurang daripada melakukan kewajiban mereka, sebagai manusia yang mengabdikan diri pada sumbernya serta hasil pancaran dari sumber itu.
Tetapi rakyat Gedangan itu menjadi kecewa ketika mereka mengetahui bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak dapat terlalu lama tinggal di pedukuhan mereka, sebab suatu kewajiban yang penting telah menanti.
Mereka hanya dapat bermalam satu malam saja, untuk seterusnya mereka minta diri meneruskan perjalanan ke Karang Tumaritis. Sedangkan kuda-kuda yang dipinjamnya, masih belum mereka kembalikan, bahkan Mahesa Jenar telah berpesan apabila diperlukan mereka masih akan meminjamnya lebih banyak lagi nanti.
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara segera berangkat ke bukit kecil yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis. Ketika matahari telah sampai di atas kepala mereka, sampailah mereka di atas bukit kecil itu. Perjalanan mereka di atas punggung kuda seakan-akan merupakan tamasya yang menyenangkan.
Kedatangan mereka disambut dengan meriah oleh penghuni bukit kecil itu.
Para cantrik dan endang. Lebih-lebih lagi, betapa gembira hati Endang Widuri yang telah beberapa lama ditinggalkan oleh ayahnya. Untunglah bahwa saat itu ia sudah mempunyai kawan bermain yang dapat melayaninya, yaitu Rara Wilis. Arya Salaka pun menjadi sangat gembira. Sebab hanya dialah yang mengetahui, walaupun hanya sedikit, bahwa apa yang dilakukan oleh gurunya beserta Kebo Kanigara adalah tugas yang berbahaya. Ketika mereka sudah beristirahat beberapa lama, bertanyalah Kebo Kanigara kepada anaknya,
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tahulah ia, dan juga Mahesa Jenar tahu, bahwa sebenarnya Panembahan Ismaya pada saat itu sedang pergi meninggalkan padepokan untuk menyusulnya ke Pudak Pungkuran, dimana ia bersama-sama dengan Mahesa Jenar sedang menemui Radite dan Anggara.
Arya Salaka mengangguk, tetapi hatinya masih juga gelisah. Jangan-jangan Panembahan masih tetap kecewa terhadap gurunya serta Kebo Kanigara.tetapi ia sudah tidak berani bertanya lagi.
Ketika Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sampai di rumah kediaman Panembahan Ismaya, Panembahan tua itu ternyata sedang duduk dihadap beberapa orang cantrik tertua. Agaknya ada sesuatu yang sedang mereka perbincangkan. Ketika dilihatnya kedatangan Kabo Kanigara dan Mahesa Jenar, maka dengan perasaan gembira mereka berdua disambutnya serta segera dipersilakan masuk.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengangguk hormat, sebagai pernyataan bakti mereka kepada Panembahan tua itu.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tidak menjawab. Mereka hanya menundukkan muka mereka. Sebab tak ada yang akan mereka katakan, karena Panembahan Ismaya telah mengetahui seluruhnya.
Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik,
Maka mundurlah para cantrik dari ruangan itu, untuk mempersiapkan makan siang Panembahan Ismaya.
Sepeninggal para cantrik, barulah Panembahan bertanya segala sesuatu mengenai perjalanan kembali Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dan kepada Panembahan itu diceritakan pula bagaimana keadaan Banyubiru sekarang. Kemunduran dalam segala bidang, terutama kemunduran akhlak.
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa ditagih janji, sebab merasa berkesanggupan untuk membebaskan Gajah Sora. Tetapi untuk melaksanakan kesanggupan itu agaknya tidak terlalu mudah.
Mahesa Jenar masih merenungkan masalah-masalah yang akan dihadapinya. Kalau saja tidak ada persoalan yang lebih besar, yang akan langsung mempengaruhi pemerintahan Demak, maka cara yang semudah-mudahnya untuk membebaskan Ki Ageng Gajah Sora adalah menyerahkan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Tetapi ternyata cara itu tidak dapat ditempuhnya. Sebab Banyubiru bagi Demak hanyalah merupakan sebagian saja dari seluruh persoalan. Namun ia percaya kepada Panembahan Ismaya. Panembahan itu pasti akan menemukan suatu cara untuk membebaskan Gajah Sora. Dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Quote:
“Karena itu…” Mahesa Jenar meneruskan,
“Bersiaplah menghadapi masa yang menentukan.”
“Baiklah Tuan,” jawab Bantaran mantap.
“Akan kami kabarkan hal ini kepada mereka supaya mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan itumempunyai arti bagi tanah perdikan mereka.”
“Kalau demikian, ke manakah aku harus membawa Arya Salaka…?” sahut Mahesa Jenar.
“Ke Gedong Sanga, Tuan,” jawab Bantaran cepat.
“Di sekitar candi itu kami menempatkan laskar kami.”
“Baiklah. Dan beruntunglah aku dapat bertemu dengan kau di sini, sehingga aku mendapat banyak bahan untuk saat-saat terakhir.”
“Bersiaplah menghadapi masa yang menentukan.”
“Baiklah Tuan,” jawab Bantaran mantap.
“Akan kami kabarkan hal ini kepada mereka supaya mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan itumempunyai arti bagi tanah perdikan mereka.”
“Kalau demikian, ke manakah aku harus membawa Arya Salaka…?” sahut Mahesa Jenar.
“Ke Gedong Sanga, Tuan,” jawab Bantaran cepat.
“Di sekitar candi itu kami menempatkan laskar kami.”
“Baiklah. Dan beruntunglah aku dapat bertemu dengan kau di sini, sehingga aku mendapat banyak bahan untuk saat-saat terakhir.”
Demikianlah, mereka mengakhiri pembicaraan.
Setelah sekali lagi Mahesa Jenar berjanji akan membawa Arya ke Candi Gedong Sanga, maka bersama dengan Kebo Kanigara ia minta diri untuk segera kembali ke Karang Tumaritis, dimana Arya Salaka pasti telah menunggunya.
Bersamaan dengan itu, berangkat jugalah Bantaran lewat jalan-jalan hutan membawa istri Penjawi beserta ayahnya untuk berkumpul kembali dengan laskarnya, setelah beberapa hari ia berkeliaran di daerah sekitar Banyubiru untuk melihat perkembangan daerah itu.
Namun kali ini dengan bangga ia akan dapat berkata kepada laskarnya tentang apa yang disaksikannya di Banyubiru, pertemuannya dengan Mahesa Jenar yang tanpa diduga-duganya. Serta yang terakhir bahwa mereka boleh mengharap, dalam waktu singkat Mahesa Jenar akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.
Dalam perjalanan kembali ke Karang Tumaritis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tak henti-hentinya memperbincangkan kemunduran-kemunduran yang terjadi di Banyubiru. Kemunduran dalam segala bidang. Namun mereka masih menduga-duga apakah sebabnya Ki Ageng Sora Dipayana masih berdiam diri. Demikianlah mereka menempuh perjalanan, melintasi padang-padang rumput, hutan hutan yang tidak begitu lebat, mendaki lambung-lambung bukit, serta menuruni lereng-lerengnya, untuk kemudian sampai ke daerah persawahan yang membentang luas di hadapan mereka, setelah mereka bermalam di bawah bentangan langit biru.
Pedukuhan yang tampak di hadapan mereka, seperti pulau-pulau yang tersembul dari lautan, adalah pedukuhan Gedangan. Oleh hembusan angin yang cepat-cepat lambat, butir-butir padi yang sudah mulai menguning tampak seperti wajah lautan yang berombak-ombak. Jauh di ujung desa tampaklah beberapa puluh orang perempuan seperti semut yang terapung-apung, sudah mulai menuai padi.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat semuanya itu dengan wajah yang cerah. Mereka ikut bersama-sama dengan para petani Gedangan, merasa gembira bahwa hasil jerih payah mereka selama beberapa bulan kini sudah dapat dipetik hasilnya.
Lebih daripada itu, Mahesa Jenar melihat benar-benar kemajuan yang telah dicapai oleh pedukuhan kecil ini dalam bidang pertanian. Setelah puas memandang sawah yang terbentang di hadapan mereka itu,
segera mereka menarik kekang kuda masing-masing, dan berjalanlah kuda-kuda mereka seenaknya. Burung-burung liar yang terkejut karena suara telapak kaki kuda itu, beterbangan terpencar-pencar. Sedang butiran-butiran padi yang penuh berisi, seolah-olah merundukkan batang-batang mereka kepada kedua orang yang baru datang itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bagi orang-orang Gedangan adalah orang-orang yang sangat dihormati. Karena mereka berdua telah banyak memberikan jasa mereka kepada pedukuhan kecil itu. Karena itu ketika seseorang melihat kehadiran mereka, ia segera berlari-lari melaporkannya kepada pejabat-pejabat pedukuhan, sehingga sesaat kemudian ributlah pendapa kelurahan Gedangan. Mereka segera bersiap-siap untuk menyambut kedatangan tamu-tamu mereka.
Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di halaman kelurahan, bahkan mereka menjadi terkejut. Mula-mula mereka heran, apakah yang terjadi di kelurahan itu sehingga banyak orang hilir-mudik kesana kemari. Tetapi ketika akhirnya mereka mengetahui duduk perkaranya, mereka menjadi geli. Hal yang sedemikian itu sebenarnya sama sekali tak mereka kehendaki.
Sebab apa yang mereka lakukan tidak lebih dan tidak kurang daripada melakukan kewajiban mereka, sebagai manusia yang mengabdikan diri pada sumbernya serta hasil pancaran dari sumber itu.
Tetapi rakyat Gedangan itu menjadi kecewa ketika mereka mengetahui bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak dapat terlalu lama tinggal di pedukuhan mereka, sebab suatu kewajiban yang penting telah menanti.
Mereka hanya dapat bermalam satu malam saja, untuk seterusnya mereka minta diri meneruskan perjalanan ke Karang Tumaritis. Sedangkan kuda-kuda yang dipinjamnya, masih belum mereka kembalikan, bahkan Mahesa Jenar telah berpesan apabila diperlukan mereka masih akan meminjamnya lebih banyak lagi nanti.
Quote:
“Berapa ekor lagi yang akan Tuan perlukan…?” tanya Wiradapa.
“Lima atau enam ekor,” jawab Mahesa Jenar kepada Lurah Gedangan itu.
“Baiklah Tuan, kuda-kuda itu akan kami sediakan sejak hari ini,” sahut Wiradapa, dan seterusnya ia berkata,
“Kecuali itu, perkenankan kami mengundang Tuan berdua beserta sahabat dan putra-putra Tuan untuk mengunjungi pedukuhan kami ini pada akhir bulan.”
“Apakah keperluan kalian…?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami akan mengadakan upacara bersih desa. Sebagai pernyataan terimakasih dan kegembiraan kami atas karunia Tuhan yang telah menjadikan sawah-sawah kami bertambah subur serta tanaman-tanaman kami selamat dari gangguan hama.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum.
“Baiklah,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Lima atau enam ekor,” jawab Mahesa Jenar kepada Lurah Gedangan itu.
“Baiklah Tuan, kuda-kuda itu akan kami sediakan sejak hari ini,” sahut Wiradapa, dan seterusnya ia berkata,
“Kecuali itu, perkenankan kami mengundang Tuan berdua beserta sahabat dan putra-putra Tuan untuk mengunjungi pedukuhan kami ini pada akhir bulan.”
“Apakah keperluan kalian…?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami akan mengadakan upacara bersih desa. Sebagai pernyataan terimakasih dan kegembiraan kami atas karunia Tuhan yang telah menjadikan sawah-sawah kami bertambah subur serta tanaman-tanaman kami selamat dari gangguan hama.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum.
“Baiklah,” jawab mereka hampir bersamaan.
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara segera berangkat ke bukit kecil yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis. Ketika matahari telah sampai di atas kepala mereka, sampailah mereka di atas bukit kecil itu. Perjalanan mereka di atas punggung kuda seakan-akan merupakan tamasya yang menyenangkan.
Kedatangan mereka disambut dengan meriah oleh penghuni bukit kecil itu.
Para cantrik dan endang. Lebih-lebih lagi, betapa gembira hati Endang Widuri yang telah beberapa lama ditinggalkan oleh ayahnya. Untunglah bahwa saat itu ia sudah mempunyai kawan bermain yang dapat melayaninya, yaitu Rara Wilis. Arya Salaka pun menjadi sangat gembira. Sebab hanya dialah yang mengetahui, walaupun hanya sedikit, bahwa apa yang dilakukan oleh gurunya beserta Kebo Kanigara adalah tugas yang berbahaya. Ketika mereka sudah beristirahat beberapa lama, bertanyalah Kebo Kanigara kepada anaknya,
Quote:
“Widuri, apakah Panembahan dalam keadaan sehat…?”
Dengan manjanya Widuri menjawab,
“Yang aku ketahui, sepeninggal ayah, Panembahan mengurung dirinya di dalam sanggar sampai berhari-hari. Tak seorang pun yang diperkenankan ikut serta. Bahkan makanan pun telah dibawanya sendiri sejak Panembahan mulai dengan samadinya.”
Dengan manjanya Widuri menjawab,
“Yang aku ketahui, sepeninggal ayah, Panembahan mengurung dirinya di dalam sanggar sampai berhari-hari. Tak seorang pun yang diperkenankan ikut serta. Bahkan makanan pun telah dibawanya sendiri sejak Panembahan mulai dengan samadinya.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tahulah ia, dan juga Mahesa Jenar tahu, bahwa sebenarnya Panembahan Ismaya pada saat itu sedang pergi meninggalkan padepokan untuk menyusulnya ke Pudak Pungkuran, dimana ia bersama-sama dengan Mahesa Jenar sedang menemui Radite dan Anggara.
Quote:
“Apakah beliau sekarang masih berada di dalam sanggar?” tanya Kanigara kemudian.
Widuri menggeleng. Jawabnya,
“Sudah hampir seminggu Panembahan wudhar dari samadinya.”
Sambil memandang kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara berkata,
“Kalau demikian, baiklah kita menghadap.”
Mahesa Jenar menyetujuinya pula. Dan ketika mereka sudah melangkah sampai luar pintu pondok, menyusullah Arya Salaka sambil berbisik,
“Paman, Panembahan agak menyesal ketika aku katakan tentang kepergian Paman berdua.”
Kanigara dan Mahesa Jenar terhenti. Tetapi kemudian mereka berdua tersenyum.
Jawab Kanigara,
“Kami akan mencoba menjelaskan kepada Panembahan.”
“Mudah-mudahan Panembahan dapat mengerti,” sahut Arya Salaka.
“Aku kira demikian,” sahut Mahesa Jenar.
“Nanti sesudah kami menghadap, aku beritahukan kepadamu.”
Widuri menggeleng. Jawabnya,
“Sudah hampir seminggu Panembahan wudhar dari samadinya.”
Sambil memandang kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara berkata,
“Kalau demikian, baiklah kita menghadap.”
Mahesa Jenar menyetujuinya pula. Dan ketika mereka sudah melangkah sampai luar pintu pondok, menyusullah Arya Salaka sambil berbisik,
“Paman, Panembahan agak menyesal ketika aku katakan tentang kepergian Paman berdua.”
Kanigara dan Mahesa Jenar terhenti. Tetapi kemudian mereka berdua tersenyum.
Jawab Kanigara,
“Kami akan mencoba menjelaskan kepada Panembahan.”
“Mudah-mudahan Panembahan dapat mengerti,” sahut Arya Salaka.
“Aku kira demikian,” sahut Mahesa Jenar.
“Nanti sesudah kami menghadap, aku beritahukan kepadamu.”
Arya Salaka mengangguk, tetapi hatinya masih juga gelisah. Jangan-jangan Panembahan masih tetap kecewa terhadap gurunya serta Kebo Kanigara.tetapi ia sudah tidak berani bertanya lagi.
Ketika Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sampai di rumah kediaman Panembahan Ismaya, Panembahan tua itu ternyata sedang duduk dihadap beberapa orang cantrik tertua. Agaknya ada sesuatu yang sedang mereka perbincangkan. Ketika dilihatnya kedatangan Kabo Kanigara dan Mahesa Jenar, maka dengan perasaan gembira mereka berdua disambutnya serta segera dipersilakan masuk.
Quote:
“Marilah Angger berdua… beberapa hari aku menjadi gelisah atas kepergianmu berdua. Syukurlah kalau kau berdua tidak menemui halangan sesuatu.”
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengangguk hormat, sebagai pernyataan bakti mereka kepada Panembahan tua itu.
Quote:
“Agaknya kalian berdua menjadi gembira karena perjalanan itu…? Ternyata wajah kalian bertambah segar,” sambung Panembahan Ismaya.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tidak menjawab. Mereka hanya menundukkan muka mereka. Sebab tak ada yang akan mereka katakan, karena Panembahan Ismaya telah mengetahui seluruhnya.
Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik,
Quote:
“Cantrik-cantrik sekalian… aku perkenankan kalian meninggalkan ruangan ini. Sediakanlah makan siangku. Aku ingin setelah ini makan bersama-sama dengan Kanigara dan Mahesa Jenar.”
Maka mundurlah para cantrik dari ruangan itu, untuk mempersiapkan makan siang Panembahan Ismaya.
Sepeninggal para cantrik, barulah Panembahan bertanya segala sesuatu mengenai perjalanan kembali Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dan kepada Panembahan itu diceritakan pula bagaimana keadaan Banyubiru sekarang. Kemunduran dalam segala bidang, terutama kemunduran akhlak.
Quote:
“Panembahan…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Menurut pertimbanganku, segala sesuatu yang terjadi di Banyubiru itu harus segera dihentikan, dengan mengembalikan Arya Salaka ke sana. Atau lebih-lebih kalau mungkin Kakang Gajah Sora.”
“Menurut pertimbanganku, segala sesuatu yang terjadi di Banyubiru itu harus segera dihentikan, dengan mengembalikan Arya Salaka ke sana. Atau lebih-lebih kalau mungkin Kakang Gajah Sora.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa ditagih janji, sebab merasa berkesanggupan untuk membebaskan Gajah Sora. Tetapi untuk melaksanakan kesanggupan itu agaknya tidak terlalu mudah.
Quote:
Karena itu ia menjawab,
“Kau benar Mahesa Jenar. Bawalah Arya Salaka lebih dahulu. Aku masih belum dapat membebaskan ayahnya. Aku harap hal itu segera terjadi. Dan bukankah akan sangat menggembirakan kalau Gajah Sora nanti dapat kembali ke Banyubiru setelah Banyubiru dapat dipulihkan…? Dan apa yang terjadi sebelum itu, seolah-olah hanya suatu peristiwa dalam mimpi, meskipun mimpi yang menyedihkan.”
“Kau benar Mahesa Jenar. Bawalah Arya Salaka lebih dahulu. Aku masih belum dapat membebaskan ayahnya. Aku harap hal itu segera terjadi. Dan bukankah akan sangat menggembirakan kalau Gajah Sora nanti dapat kembali ke Banyubiru setelah Banyubiru dapat dipulihkan…? Dan apa yang terjadi sebelum itu, seolah-olah hanya suatu peristiwa dalam mimpi, meskipun mimpi yang menyedihkan.”
Mahesa Jenar masih merenungkan masalah-masalah yang akan dihadapinya. Kalau saja tidak ada persoalan yang lebih besar, yang akan langsung mempengaruhi pemerintahan Demak, maka cara yang semudah-mudahnya untuk membebaskan Ki Ageng Gajah Sora adalah menyerahkan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Tetapi ternyata cara itu tidak dapat ditempuhnya. Sebab Banyubiru bagi Demak hanyalah merupakan sebagian saja dari seluruh persoalan. Namun ia percaya kepada Panembahan Ismaya. Panembahan itu pasti akan menemukan suatu cara untuk membebaskan Gajah Sora. Dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas