- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#375
Jilid 12 [Part 263]
Spoiler for :
USAHA Mahesa Jenar itu tidaklah terlalu sukar. Dalam puncak kekacauan, kelima orang berkuda yang berusaha mengawasi orang-orang di tanah lapang itu ternyata tidak dapat menguasai keadaan. Ditambah dengan usaha Kebo Kanigara menyeret titik pertempuran itu semakin ke tengah, sehingga keadaan menjadi semakin kacau. Akhirnya beberapa orang berbondong-bondong berlarian meninggalkan lapangan itu tanpa menghiraukan apapun juga.
Meskipun kelima orang Pamingit itu berusaha untuk tetap menahan orang-orang itu di lapangan, namun usaha mereka tidak berhasil. Bahkan akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-orang berlarian kesana kemari, karena kuda-kuda mereka seolah-olah menjadi gila di kejutkan oleh teriakan-teriakan orang-orang yang ketakutan.
Sesaat kemudian, lapangan itu telah menjadi kosong, kecuali Kebo Kanigara yang masih harus bertempur melawan orang-orang berkuda dari Pamingit itu. Apalagi kini kelima orang yang lain, yang tidak berhasil menahan orang-orang Banyubiru di lapangan, ingin menumpahkan kemarahan mereka kepada orang yang menamakan dirinya Bantaran. Sebab orang itulah sumber dari kekacauan dan kegagalan mereka menangkap Bantaran.
Dalam pada itu, Kebo Kanigara merasa bahwa tugasnya telah selesai. Ia yakin bahwa Bantaran dan Mahesa Jenar telah berhasil menyelamatkan Nyi Penjawi. Karena itu ia harus segera mengakhiri pertempuran.
Demikianlah Kebo Kanigara mulai bertempur dengan sepenuh tenaga. Ia tidak saja menghindari serangan-serangan orang Pamingit itu, tetapi iapun telah mulai menyerang mereka. Ketika seekor kuda dengan penunggangnya yang garang bersenjata sebilah pedang yang gemerlapan menyerangnya, Kebo Kanigara tidak saja menghindari serangannya, tetapi tiba-tiba iapun meloncat keatas punggung kuda itu. Lawan-lawannya yang menyaksikan perbuatannya menjadi heran, bahkan menjadi kebingungan untuk beberapa saat, lebih-lebih penunggang itu sendiri. Ketika ia masih belum sadar, terasalah sebuah pukulan yang dahsat mengenai tengkuknya. Sesudah itu, tubuhnya dengan kerasnya terlempar dari punggung kudanya dan seterusnya tak sadarkan diri. Sedang pedangnya yang gemerlapan kini telah berada di tangan Kebo Kanigara.
Maka mulailah Kebo Kanigara bertempur melawan delapan orang, tetapi kini dengan pedang ditangan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, maka Kebo Kanigara selalu dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang menguntungkan. Dengan tangan kiri memegang kendali kuda, sedang dengan tangan kanan ia mengayun-ayunkan pedangnya berputar-putar dahsyat. Ia dapat mempergunakan hampir seluruh tanah lapang itu sebaik-baiknya. Sekali-sekali ia melarikan kudanya menjauhi lawan-lawannya. Kemudian dengan tangkasnya ia memutar kudanya cepat-cepat untuk menghadapi lawannya yang paling depan.
Dengan demikian ia dapat memancing pertempuran melawan orang-orang Pamingit itu hampir satu persatu. Dan satu persatu pula mereka dapat dirobohkan. Pedang ditangannya itu seolah-olah merupakan patuk seekor burung garuda yang bertempur melawan delapan ekor serigala.
Sekali-sekali garuda itu terbang tinggi, kemudian menukik cepat, dan dengan paruhnya yang runcing tajam, dibinasakannya serigala itu satu persatu. Demikianlah akhirnya pedang Kanigara itu telah berhasil melukai orang kelima dipundak kanannya. Demikian hebat luka itu, sehingga akhirnya seperti keempat orang yang lain, orang itu jatuh tersungkur ditanah, dengan tubuh lemas tak berdaya.
Kini tinggallah tiga orang lagi. Tentu saja ketiga orang itu mengerti bahwa lawannya bukanlah manusia setingkat mereka. Kalau semula mereka, delapan orang, tidak mampu mengalahkannya, apalagi kini tinggal 3 orang lagi. Bagaimanapun juga beraninya orang-orang Pamingit itu, namun mereka harus melihat suatu kenyataan, bahwa mereka bertiga tidak akan mungkin memenangkan pertempuran itu.
Karena itu selagi nyawa mereka masih tinggal didalam tubuh, serta selagi darah mereka masih belum tertumpah, maka tidak ada cara lain yang lebih baik daripada menghindarkan diri dari tanah lapang itu secepat-cepatnya.
Untunglah kalau mereka sempat datang kembali dengan membawa bantuan. Syukurlah kalau Sawung Sariti atau lebih-lebih Ki Ageng Lembu Sora sendiri, yang kebetulan sedang berada di Banyubiru dapat menyaksikan ketangkasan orang itu.
Maka setelah mereka masing-masing berpikir dan mengambil suatu keputusan, yang seolah-olah diatur bersama, maka ketika salah seorang daripadanya memutar kudanya dari tanah lapang itu sambil memperingatkan kawan-kawannya, bahwa lebih baik menyelamatkan diri serta membawa bantuan lebih banyak lagi, segera menghamburlah ketiga ekor kuda itu dengan penunggangnya meninggalkan Kebo Kanigara secepat mungkin.
Kebo Kanigara memandang ketiga orang yang meninggalkan gelanggang itu sambil mengusap peluhnya. Kemudian matanya berkisar dari satu tubuh ketubuh yang lain, yang masih terkapar ditanah lapang itu. Ia mengharap agar kemudian kawan-kawan mereka segera datang dan merawat luka-luka mereka. Sebab Kebo Kanigara sama sekali tidak bermaksud membunuh mereka semua. Kalau diantara terpaksa ada yang menghembuskan napas penghabisan, itu adalah diluar kemauannya. Sebab dalam bermain dengan air, pastilah ada diantaranya yang terpercik dan menjadi basah karenanya.
Setelah itu, segera Kebo Kanigara teringat kepada Mahesa Jenar dan Bantaran. Dengan Mahesa Jenar ia berjanji untuk segera kembali ketempat kuda-kuda mereka tertambat. Karena itu sebelum keadaan menjadi lebih buruk, segera Kebo Kanigara meloncat dari kudanya, dan berlari lewat jalan semula, pergi ke Sendang Putih. Ia terpaksa menyusur jalan-jalan sempit dan halaman-halaman kosong seperti yang dilaluinya semula, karena ia tidak mengenal daerah dan jalan-jalan lain di Banyubiru.
Tetapi dengan demikian, beruntunglah ia, karena sesaat kemudian lamat-lamat ia mendengar derap kuda, jauh lebih banyak dari semula, menuju ketanah lapang dimana ia baru saja bertempur. Karena itulah ia segera mempercepat larinya supaya tidak terkejar oleh orang-orang yang pasti akan mencarinya.
KANIGARA menyusup ke semak-semak, mengambil jalan yang memotong. Ia menjadi agak lega dan memperlambat larinya. Apalagi ia terpaksa berusaha mengenal kembali jalan setapak yang dilaluinya itu, supaya ia tidak tersesat. Beberapa lama kemudian sampailah ia di tempat mereka berjanji untuk bertemu.
Di situ telah menanti Mahesa Jenar, Bantaran, Nyi Penjawi dan seorang kakek tua ayah Nyi Penjawi.
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menyambut kedatangan Kebo Kanigara, katanya,
Mahesa Jenar sama sekali tidak menyahut. Ia tahu betul perasaan Kebo Kanigara, bahwa bukanlah pada tempatnya, dalam keadaan yang demikian, dimana ia tidak mempunyai persoalan langsung dengan orang-orang Pamingit itu, tangannya terpaksa menumpahkan darah. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tak seorangpun yang akan dapat menyalahkannya. Apalagi Bantaran.
Sebagai seorang pemimpin laskar Banyubiru, ia menjadi keheran-heranan, bahwa dalam pertempuran yang berlangsung itu, dimana seorang harus melawan 10 orang bersama-sama, masih juga menyesal kalau ia terpaksa membunuh lawannya.
Sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi. Masing-masing membiarkan angan-angannya mengembara ke daerah yang berbeda-beda.
Kemudian terdengarlah kembali Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran,
Bantaran menjadi heran mendengar jawaban itu. Sawung Sariti pada saat-saat terakhir telah menjadi seorang pemuda yang tangguh, berkat tuntunan kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun seandainya Arya Salaka mendapat tuntunan dari Mahesa Jenar, apakah anak itu akan dapat menyamai ketangguhan Sawung Sariti. Sebab Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang sukar dicari tandingnya. Tetapi Bantaran tidak mau menanyakannya. Ia takut kalau-kalau dengan demikian akan dapat menyinggung perasaan Mahesa Jenar.
Dalam pada itu Mahesa Jenar meneruskan,
Meskipun kelima orang Pamingit itu berusaha untuk tetap menahan orang-orang itu di lapangan, namun usaha mereka tidak berhasil. Bahkan akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-orang berlarian kesana kemari, karena kuda-kuda mereka seolah-olah menjadi gila di kejutkan oleh teriakan-teriakan orang-orang yang ketakutan.
Sesaat kemudian, lapangan itu telah menjadi kosong, kecuali Kebo Kanigara yang masih harus bertempur melawan orang-orang berkuda dari Pamingit itu. Apalagi kini kelima orang yang lain, yang tidak berhasil menahan orang-orang Banyubiru di lapangan, ingin menumpahkan kemarahan mereka kepada orang yang menamakan dirinya Bantaran. Sebab orang itulah sumber dari kekacauan dan kegagalan mereka menangkap Bantaran.
Dalam pada itu, Kebo Kanigara merasa bahwa tugasnya telah selesai. Ia yakin bahwa Bantaran dan Mahesa Jenar telah berhasil menyelamatkan Nyi Penjawi. Karena itu ia harus segera mengakhiri pertempuran.
Demikianlah Kebo Kanigara mulai bertempur dengan sepenuh tenaga. Ia tidak saja menghindari serangan-serangan orang Pamingit itu, tetapi iapun telah mulai menyerang mereka. Ketika seekor kuda dengan penunggangnya yang garang bersenjata sebilah pedang yang gemerlapan menyerangnya, Kebo Kanigara tidak saja menghindari serangannya, tetapi tiba-tiba iapun meloncat keatas punggung kuda itu. Lawan-lawannya yang menyaksikan perbuatannya menjadi heran, bahkan menjadi kebingungan untuk beberapa saat, lebih-lebih penunggang itu sendiri. Ketika ia masih belum sadar, terasalah sebuah pukulan yang dahsat mengenai tengkuknya. Sesudah itu, tubuhnya dengan kerasnya terlempar dari punggung kudanya dan seterusnya tak sadarkan diri. Sedang pedangnya yang gemerlapan kini telah berada di tangan Kebo Kanigara.
Maka mulailah Kebo Kanigara bertempur melawan delapan orang, tetapi kini dengan pedang ditangan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, maka Kebo Kanigara selalu dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang menguntungkan. Dengan tangan kiri memegang kendali kuda, sedang dengan tangan kanan ia mengayun-ayunkan pedangnya berputar-putar dahsyat. Ia dapat mempergunakan hampir seluruh tanah lapang itu sebaik-baiknya. Sekali-sekali ia melarikan kudanya menjauhi lawan-lawannya. Kemudian dengan tangkasnya ia memutar kudanya cepat-cepat untuk menghadapi lawannya yang paling depan.
Dengan demikian ia dapat memancing pertempuran melawan orang-orang Pamingit itu hampir satu persatu. Dan satu persatu pula mereka dapat dirobohkan. Pedang ditangannya itu seolah-olah merupakan patuk seekor burung garuda yang bertempur melawan delapan ekor serigala.
Sekali-sekali garuda itu terbang tinggi, kemudian menukik cepat, dan dengan paruhnya yang runcing tajam, dibinasakannya serigala itu satu persatu. Demikianlah akhirnya pedang Kanigara itu telah berhasil melukai orang kelima dipundak kanannya. Demikian hebat luka itu, sehingga akhirnya seperti keempat orang yang lain, orang itu jatuh tersungkur ditanah, dengan tubuh lemas tak berdaya.
Kini tinggallah tiga orang lagi. Tentu saja ketiga orang itu mengerti bahwa lawannya bukanlah manusia setingkat mereka. Kalau semula mereka, delapan orang, tidak mampu mengalahkannya, apalagi kini tinggal 3 orang lagi. Bagaimanapun juga beraninya orang-orang Pamingit itu, namun mereka harus melihat suatu kenyataan, bahwa mereka bertiga tidak akan mungkin memenangkan pertempuran itu.
Karena itu selagi nyawa mereka masih tinggal didalam tubuh, serta selagi darah mereka masih belum tertumpah, maka tidak ada cara lain yang lebih baik daripada menghindarkan diri dari tanah lapang itu secepat-cepatnya.
Untunglah kalau mereka sempat datang kembali dengan membawa bantuan. Syukurlah kalau Sawung Sariti atau lebih-lebih Ki Ageng Lembu Sora sendiri, yang kebetulan sedang berada di Banyubiru dapat menyaksikan ketangkasan orang itu.
Maka setelah mereka masing-masing berpikir dan mengambil suatu keputusan, yang seolah-olah diatur bersama, maka ketika salah seorang daripadanya memutar kudanya dari tanah lapang itu sambil memperingatkan kawan-kawannya, bahwa lebih baik menyelamatkan diri serta membawa bantuan lebih banyak lagi, segera menghamburlah ketiga ekor kuda itu dengan penunggangnya meninggalkan Kebo Kanigara secepat mungkin.
Kebo Kanigara memandang ketiga orang yang meninggalkan gelanggang itu sambil mengusap peluhnya. Kemudian matanya berkisar dari satu tubuh ketubuh yang lain, yang masih terkapar ditanah lapang itu. Ia mengharap agar kemudian kawan-kawan mereka segera datang dan merawat luka-luka mereka. Sebab Kebo Kanigara sama sekali tidak bermaksud membunuh mereka semua. Kalau diantara terpaksa ada yang menghembuskan napas penghabisan, itu adalah diluar kemauannya. Sebab dalam bermain dengan air, pastilah ada diantaranya yang terpercik dan menjadi basah karenanya.
Setelah itu, segera Kebo Kanigara teringat kepada Mahesa Jenar dan Bantaran. Dengan Mahesa Jenar ia berjanji untuk segera kembali ketempat kuda-kuda mereka tertambat. Karena itu sebelum keadaan menjadi lebih buruk, segera Kebo Kanigara meloncat dari kudanya, dan berlari lewat jalan semula, pergi ke Sendang Putih. Ia terpaksa menyusur jalan-jalan sempit dan halaman-halaman kosong seperti yang dilaluinya semula, karena ia tidak mengenal daerah dan jalan-jalan lain di Banyubiru.
Tetapi dengan demikian, beruntunglah ia, karena sesaat kemudian lamat-lamat ia mendengar derap kuda, jauh lebih banyak dari semula, menuju ketanah lapang dimana ia baru saja bertempur. Karena itulah ia segera mempercepat larinya supaya tidak terkejar oleh orang-orang yang pasti akan mencarinya.
KANIGARA menyusup ke semak-semak, mengambil jalan yang memotong. Ia menjadi agak lega dan memperlambat larinya. Apalagi ia terpaksa berusaha mengenal kembali jalan setapak yang dilaluinya itu, supaya ia tidak tersesat. Beberapa lama kemudian sampailah ia di tempat mereka berjanji untuk bertemu.
Di situ telah menanti Mahesa Jenar, Bantaran, Nyi Penjawi dan seorang kakek tua ayah Nyi Penjawi.
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menyambut kedatangan Kebo Kanigara, katanya,
Quote:
“Sudah puaskah Kakang bermain-main dengan orang Pamingit?”
Sambil duduk di samping Mahesa Jenar, Kanigara menjawab sambil tersenyum pula,
“Mereka adalah kawan bermain yang baik. Orang-orang Pamingit itu ternyata ahli menunggang kuda.”
Dengan tersenyum pula Mahesa Jenar menjawab,
“Sayang mereka tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik mereka naik kuda.”
Kemudian dengan lesu Kanigara berkata seperti kepada diri sendiri,
“Aku terpaksa melukai beberapa orang diantaranya. Sebab aku tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik diantara mereka yang terbunuh.”
Sambil duduk di samping Mahesa Jenar, Kanigara menjawab sambil tersenyum pula,
“Mereka adalah kawan bermain yang baik. Orang-orang Pamingit itu ternyata ahli menunggang kuda.”
Dengan tersenyum pula Mahesa Jenar menjawab,
“Sayang mereka tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik mereka naik kuda.”
Kemudian dengan lesu Kanigara berkata seperti kepada diri sendiri,
“Aku terpaksa melukai beberapa orang diantaranya. Sebab aku tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik diantara mereka yang terbunuh.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menyahut. Ia tahu betul perasaan Kebo Kanigara, bahwa bukanlah pada tempatnya, dalam keadaan yang demikian, dimana ia tidak mempunyai persoalan langsung dengan orang-orang Pamingit itu, tangannya terpaksa menumpahkan darah. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tak seorangpun yang akan dapat menyalahkannya. Apalagi Bantaran.
Sebagai seorang pemimpin laskar Banyubiru, ia menjadi keheran-heranan, bahwa dalam pertempuran yang berlangsung itu, dimana seorang harus melawan 10 orang bersama-sama, masih juga menyesal kalau ia terpaksa membunuh lawannya.
Sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi. Masing-masing membiarkan angan-angannya mengembara ke daerah yang berbeda-beda.
Kemudian terdengarlah kembali Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran,
Quote:
“Bantaran… aku masih ingin mendapat beberapa keterangan tentang laskarmu dan laskar Penjawi. Sebab mau tidak mau, apabila Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti tetap pada pendiriannya, kita akan memerlukannya.”
Bantaran menggeser duduknya, kemudian menjawabnya,
“Laskar kami sebenarnya tidaklah begitu banyak, Tuan. Apalagi sampai saat ini kami sama sekali tidak mendapat bimbingan yang baik. Apakah artinya kami berdua. Aku dan Penjawi. Sedang yang kami hadapi adalah Ki Ageng Lembu Sora dan putranya, Sawung Sariti. Sedangkan tingkat keterampilan kami tidaklah lebih daripada pengawal-pengawal Lembu Sora itu.”
“Tetapi bagaimanakah dengan tekad mereka…?” sela Mahesa Jenar.
“Itulah yang mendorong kami untuk tetap berjuang. Mereka ternyata bersedia menunggu pemimpin mereka. Ki Ageng Gajah Sora atau putranya, Arya Salaka yang hilang itu.”
“Bagaimanakah dengan Wanamerta?” Mahesa Jenar mencoba bertanya.
“Orang tua itupun telah meninggalkan Banyubiru.” jawab Bantaran.
“Tetapi kami belum mengetahuinya, di mana ia berada.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, “Bantaran, agaknya Wanamerta benar-benar belum berhasil mencari hubungan dengan kalian. Ketahuilah bahwa Wanamerta telah berhasil menyusul putra Ki Ageng Gajah Sora.”
“Arya Salaka…?” potong Bantaran terkejut.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar,
“Dan selama ini Arya salaka dalam keadaan selamat.”
“Syukurlah,” sahut Bantaran.
“Memang demikianlah berita yang pernah aku dengar, meskipun aku belum meyakini sebelumnya. Sekarang karena Tuan yang mengatakannya, maka aku dapat mempercayainya.”
“Dari mana kau dengar berita itu?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak jelas sumbernya,” jawab Bantaran.
“Tetapi aku kira dari orang-orang Pamingit. Sebab aku dengar mereka sedang mencari untuk membunuhnya. Bahkan yang kami dengar Arya Salaka selalu bersama-sama dengan Tuan.”
“Berita itu benar. Hampir seluruhnya. Bahkan Sawung Sariti sendiri sudah untuk kedua kalinya berusaha membunuh Arya Salaka dengan tangannya.”
Mendengar keterangan itu, Bantaran mengangkat kepalanya. Bagaimanapun ia merasa tersinggung atas kelakuan Sawung Sariti. Maka katanya, “Untunglah bahwa Arya Salaka dapat Tuan selamatkan.”
“Ia telah dapat menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.
Bantaran menggeser duduknya, kemudian menjawabnya,
“Laskar kami sebenarnya tidaklah begitu banyak, Tuan. Apalagi sampai saat ini kami sama sekali tidak mendapat bimbingan yang baik. Apakah artinya kami berdua. Aku dan Penjawi. Sedang yang kami hadapi adalah Ki Ageng Lembu Sora dan putranya, Sawung Sariti. Sedangkan tingkat keterampilan kami tidaklah lebih daripada pengawal-pengawal Lembu Sora itu.”
“Tetapi bagaimanakah dengan tekad mereka…?” sela Mahesa Jenar.
“Itulah yang mendorong kami untuk tetap berjuang. Mereka ternyata bersedia menunggu pemimpin mereka. Ki Ageng Gajah Sora atau putranya, Arya Salaka yang hilang itu.”
“Bagaimanakah dengan Wanamerta?” Mahesa Jenar mencoba bertanya.
“Orang tua itupun telah meninggalkan Banyubiru.” jawab Bantaran.
“Tetapi kami belum mengetahuinya, di mana ia berada.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, “Bantaran, agaknya Wanamerta benar-benar belum berhasil mencari hubungan dengan kalian. Ketahuilah bahwa Wanamerta telah berhasil menyusul putra Ki Ageng Gajah Sora.”
“Arya Salaka…?” potong Bantaran terkejut.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar,
“Dan selama ini Arya salaka dalam keadaan selamat.”
“Syukurlah,” sahut Bantaran.
“Memang demikianlah berita yang pernah aku dengar, meskipun aku belum meyakini sebelumnya. Sekarang karena Tuan yang mengatakannya, maka aku dapat mempercayainya.”
“Dari mana kau dengar berita itu?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak jelas sumbernya,” jawab Bantaran.
“Tetapi aku kira dari orang-orang Pamingit. Sebab aku dengar mereka sedang mencari untuk membunuhnya. Bahkan yang kami dengar Arya Salaka selalu bersama-sama dengan Tuan.”
“Berita itu benar. Hampir seluruhnya. Bahkan Sawung Sariti sendiri sudah untuk kedua kalinya berusaha membunuh Arya Salaka dengan tangannya.”
Mendengar keterangan itu, Bantaran mengangkat kepalanya. Bagaimanapun ia merasa tersinggung atas kelakuan Sawung Sariti. Maka katanya, “Untunglah bahwa Arya Salaka dapat Tuan selamatkan.”
“Ia telah dapat menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.
Bantaran menjadi heran mendengar jawaban itu. Sawung Sariti pada saat-saat terakhir telah menjadi seorang pemuda yang tangguh, berkat tuntunan kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun seandainya Arya Salaka mendapat tuntunan dari Mahesa Jenar, apakah anak itu akan dapat menyamai ketangguhan Sawung Sariti. Sebab Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang sukar dicari tandingnya. Tetapi Bantaran tidak mau menanyakannya. Ia takut kalau-kalau dengan demikian akan dapat menyinggung perasaan Mahesa Jenar.
Dalam pada itu Mahesa Jenar meneruskan,
Quote:
“Yang penting bagimu Bantaran, peliharalah tekad dan kesetiaan laskarmu terhadap perjuangan yang telah dirintisnya. Dalam waktu yang singkat aku akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.”
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas