- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#373
Jilid 12 [Part 261]
Spoiler for :
SEKALI lagi tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya Saraban melihat arah sambaran tangan lawannya. Dengan sisa tenaganya ia menghindar ke samping. Dengan demikian serangan Bantaran tidak mengenai sasarannya. Bahkan tubuhnya terbawa beberapa langkah maju, terseret oleh ayunan tangannya. Saraban melihat kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia memukul tengkuk Bantaran.
Namun Bantaran yang masih segar ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau kepala Saraban dari atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas. Kemudian dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.
Semua orang yang menyaksikan kesudahan dari perkelahian itu menahan nafasnya. Meskipun orang-orang Banyubiru menjadi cemas atas peristiwa itu, namun mereka di dalam hatinya bangga juga atas keunggulan orang Banyubiru atas orang Pamingit.
Bantaran yang telah berhasil menjatuhkan lawannya, berdiri dengan tegap di depan tubuh Saraban yang sudah tak berdaya lagi untuk bangkit. Sekali lagi ia memandang berkeliling, ke arah wajah-wajah orang Banyubiru yang berdiri di sekitar tempat perkelahian itu. Dan sekali lagi wajah-wajah orang Banyubiru itu terbanting di tanah yang ditumbuhi rumput dengan suburnya.
Dalam pada itu terdengarlah suara Bantaran parau,
Tak seorangpun yang menyatakan pendapatnya. Dan memang demikianlah perasaan mereka yang mendengar kata-kata Bantaran. Sebagian diantara mereka menjadi malu atas kelakuan mereka, tetapi memang ada juga diantaranya yang di dalam hatinya mengumpati Bantaran. Sebab dengan perbuatannya itu, pastilah akan terjadi hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Orang-orang Pamingit pasti akan datang ke tempat itu dan mengaduknya. Menangkapi orang-orang yang dicurigainya, memukuli mereka tanpa alasan untuk melampiaskan dendam mereka.
Belum lagi gema suara Bantaran itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda dengan kencangnya menuju ke tanah lapang itu. Mendengar derap yang berdatangan Bantaran tampak terkejut. Segera ia tahu apakah yang sebentar lagi akan terjadi. Meskipun demikian ia tetap tenang. Dan dengan tenang pula ia berkata lantang,
Orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu segera menjadi gelisah. Beberapa orang telah bersiap untuk melarikan diri. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan. Sebab dalam waktu yang sangat singkat, beberapa orang berkuda telah datang dan langsung mengepung tanah lapang itu di empat penjuru.
Bantaran masih dalam sikapnya yang tenang, memandang berkeliling. Kepada kira-kira sepuluh-duabelas orang yang masih berada di atas punggung kuda mereka. Wajah para penunggang kuda itu tampak garang-garang, sedang di tangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Ada yang berupa tombak, pedang atau macam-macam senjata yang lain.
Dua orang diantara mereka, mendorong kuda mereka agak ke depan. Rupa-rupanya dua orang itu adalah pemimpin rombongan. Salah seorang daripadanya terdengar berteriak dengan suara yang nyaring,
Bantaran masih tegak di tempatnya. Tetapi karena kekacauan yang timbul, karena beberapa orang yang ingin melarikan diri, maka di sekitarnyapun telah berdiri beberapa orang dengan tubuh gemetar sehingga orang-orang berkuda itu tidak segera dapat melihat tubuh Saraban yang terkapar di tanah.
Suara pemimpin rombongan berkuda yang bergeletar memenuhi tanah lapang itu untuk beberapa lama tidak mendapat jawaban. Karena itu ia mengulangi,
Bantaran menarik nafas dalam-dalam sambil menekan dadanya. Sudah tentu ia tidak menghendaki sekian banyak orang menjadi korban untuk dirinya. Meskipun demikian sekali dua kali tampaklah ia menoleh ke arah Nyi Penjawi yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
AGAKNYA, Nyi Penjawi itulah yang memberati hati Bantaran. Sebagai seorang sahabat Penjawi, ia tidak akan tega melihat nama perempuan itu dinodai.
Sebelum Bantaran mengambil suatu sikap, tiba-tiba seorang diantara dua orang berkuda itu meloncat turun dan menyambar baju orang yang bertubuh sedang tetapi tampak otot-ototnya menonjol seperti orang hutan. Sambil membentak-bentak orang itu bertanya,
Untuk beberapa saat Gonjang berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengarlah jawabannya di luar dugaan. Orang yang suka mabok dan berbuat tidak sepantasnya itu ternyata memiliki kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang Banyubiru ia merasa berkewajiban melindungi Bantaran. Karena itu jawabnya,
Tiba-tiba mata orang Pamingit itu seolah-olah akan meloncat dari batok kepalanya. Ternyata jawaban itu sama sekali tidak diduganya. Karena itu ia menjadi marah sekali. Ketika tangannya yang memegang baju Gonjang diguncang-guncangkan, Gonjang pun ikut terguncang seperti sebatang pohon yang diputar-putar badai. Sambil membentak-bentak lebih kasar orang Pamingit itu sekali lagi bertanya,
Orang Pamingit itu tidak menjawab lagi. Tetapi sebuah pukulan yang keras melayang ke wajah Gonjang. Dengan kerasnya orang itu terdorong ke belakang, dan kemudian terjatuh dengan kerasnya. Terdengarlah ia mengerang kesakitan. Namun meskipun demikian ia tidak juga menunjukkan siapakah diantara mereka yang bernama Bantaran.
Tetapi dalam pada itu, ternyata Gonjang adalah orang yang cerdik. Ia telah mencoba memancing orang Pamingit itu untuk menunjukkan kepada orang-orang Banyubiru, siapakah yang sebenarnya tidak berkhianat. Namun agaknya orang Pamingit itu pun telah berjanji untuk melindungi pengkhianat itu, sehingga orang itu tidak dibawanya serta.
Bantaran yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia menjadi bimbang, justru karena ia sedang berusaha untuk melindungi istri Penjawi. Kalau saat itu ia dapat ditangkap, maka bila Saraban nanti sadar kembali, nasib istri Penjawi itupun sudah dapat dibayangkan. Sebab untuk melawan sepuluh orang berkuda itu agaknya di luar kemampuannya.
Bantaran hampir mengenal satu demi satu orang-orang Pamingit yang akan menangkapnya. Temu Ireng, Talang Semut, Dadahan, dan orang-orang setingkatnya. Seandainya tak seorang diantara orang Banyubiru yang mau menunjukkannya, namun kalau orang-orang Pamingit itu meneliti satu demi satu orang yang berada di tanah lapang itu, meskipun makan waktu lama, akhirnya dirinya akan diketemukan juga. Sebab orang-orang Pamingit itu pun telah mengenalnya seperti ia mengenal mereka.
Belum lagi Bantaran mendapat suatu cara yang sebaik-baiknya, orang Pamingit itu telah menangkap seorang lagi. Seorang muda yang berwajah tampan, berkumis sebesar lidi. Pakaiannya terbuat dari kain lurik yang mahal. Tetapi demikian ia diseret ke depan, tubuhnya tiba-tiba serasa lumpuh. Dan ketika orang Pamingit itu membentaknya, ia menjadi pingsan.
Akhirnya Bantaran mengambil suatu ketetapan untuk menyatakan dirinya di hadapan orang-orang Pamingit itu sebelum jatuh korban lebih banyak lagi. Ia akan mencoba melawan dan menimbulkan kekacauan, sementara itu ia berharap Nyi Penjawi sempat melarikan diri.
Tetapi ketika Bantaran bermaksud membisiki Nyi Penjawi tentang maksudnya itu, tiba-tiba diantara sekian banyak orang yang berdiri di tanah lapang itu muncullah seseorang yang bertubuh sedang, tegap dan berdada bidang. dengan suara yang berat namun penuh wibawa ia berkata nyaring,
Semua yang berada di tanah lapang terkejut mendengar pengakuan itu. Untuk sesaat kembali tanah lapang itu menjadi hening sunyi. Sesunyi tanah pekuburan.
Tetapi dalam pada itu semua mata bergerak ke arah seorang yang berjalan perlahan-lahan namun pasti, menyibak orang-orang yang berada di depannya, menuju ke arah dua orang yang agaknya memimpin rombongan orang-orang Pamingit itu.
Ketika mereka melihat orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Dan yang lebih terkejut adalah Bantaran sendiri. Orang-orang Banyubiru menjadi bertanya-tanya di dalam hati, siapakah orang yang telah dengan beraninya menamakan dirinya Bantaran di hadapan sepuluh orang Pamingit yang garang-garang itu…?
Sesaat kemudian Bantaran menjadi sadar, bahwa seseorang telah mencoba melindunginya. Namun orang itu belum pernah dilihatnya.
Namun Bantaran yang masih segar ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau kepala Saraban dari atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas. Kemudian dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.
Semua orang yang menyaksikan kesudahan dari perkelahian itu menahan nafasnya. Meskipun orang-orang Banyubiru menjadi cemas atas peristiwa itu, namun mereka di dalam hatinya bangga juga atas keunggulan orang Banyubiru atas orang Pamingit.
Bantaran yang telah berhasil menjatuhkan lawannya, berdiri dengan tegap di depan tubuh Saraban yang sudah tak berdaya lagi untuk bangkit. Sekali lagi ia memandang berkeliling, ke arah wajah-wajah orang Banyubiru yang berdiri di sekitar tempat perkelahian itu. Dan sekali lagi wajah-wajah orang Banyubiru itu terbanting di tanah yang ditumbuhi rumput dengan suburnya.
Dalam pada itu terdengarlah suara Bantaran parau,
Quote:
“Saudara-saudaraku, rakyat Banyubiru. Aku menyesal atas semua yang telah terjadi di tanah perdikan ini. Kalian ternyata telah terbius oleh pemanjaan nafsu yang tak terkendali. Tetapi dengan peristiwa ini, kalian tidak akan dapat untuk seterusnya berpangku tangan. Sebab kawan-kawan orang Pamingit itu tidak akan tinggal diam. Dan akibatnya akan dapat kalian rasakan. Untuk seterusnya kalian hanya dapat memilih, menangkap aku, lalu menyerahkan kepada Lembu Sora, yang dengan demikian kalian akan bebas dari pembalasan dendam, atau bangkit melawan kekuasaan Pamingit atas tanah kita sambil menunggu kehadiran pemimpin kita Ki Ageng Gajah Sora atau putranya Arya Salaka.”
Tak seorangpun yang menyatakan pendapatnya. Dan memang demikianlah perasaan mereka yang mendengar kata-kata Bantaran. Sebagian diantara mereka menjadi malu atas kelakuan mereka, tetapi memang ada juga diantaranya yang di dalam hatinya mengumpati Bantaran. Sebab dengan perbuatannya itu, pastilah akan terjadi hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Orang-orang Pamingit pasti akan datang ke tempat itu dan mengaduknya. Menangkapi orang-orang yang dicurigainya, memukuli mereka tanpa alasan untuk melampiaskan dendam mereka.
Belum lagi gema suara Bantaran itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda dengan kencangnya menuju ke tanah lapang itu. Mendengar derap yang berdatangan Bantaran tampak terkejut. Segera ia tahu apakah yang sebentar lagi akan terjadi. Meskipun demikian ia tetap tenang. Dan dengan tenang pula ia berkata lantang,
Quote:
“Rupa-rupanya ada juga pengkhianat-pengkhianat di Banyubiru ini. Dan agaknya mereka telah melaporkan kehadiranku.”
Orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu segera menjadi gelisah. Beberapa orang telah bersiap untuk melarikan diri. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan. Sebab dalam waktu yang sangat singkat, beberapa orang berkuda telah datang dan langsung mengepung tanah lapang itu di empat penjuru.
Bantaran masih dalam sikapnya yang tenang, memandang berkeliling. Kepada kira-kira sepuluh-duabelas orang yang masih berada di atas punggung kuda mereka. Wajah para penunggang kuda itu tampak garang-garang, sedang di tangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Ada yang berupa tombak, pedang atau macam-macam senjata yang lain.
Dua orang diantara mereka, mendorong kuda mereka agak ke depan. Rupa-rupanya dua orang itu adalah pemimpin rombongan. Salah seorang daripadanya terdengar berteriak dengan suara yang nyaring,
Quote:
“Hai orang-orang Banyubiru yang tak tahu diri. Katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran.”
Bantaran masih tegak di tempatnya. Tetapi karena kekacauan yang timbul, karena beberapa orang yang ingin melarikan diri, maka di sekitarnyapun telah berdiri beberapa orang dengan tubuh gemetar sehingga orang-orang berkuda itu tidak segera dapat melihat tubuh Saraban yang terkapar di tanah.
Suara pemimpin rombongan berkuda yang bergeletar memenuhi tanah lapang itu untuk beberapa lama tidak mendapat jawaban. Karena itu ia mengulangi,
Quote:
“Ayo… katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran. Kalau tidak ada diantara kalian yang mau menunjuk batang hidungnya, maka semuanya yang berada di tanah lapang ini akan kami bawa. Sesudah itu janganlah kalian mengharap untuk bertemu kembali dengan anak istri kalian.”
Bantaran menarik nafas dalam-dalam sambil menekan dadanya. Sudah tentu ia tidak menghendaki sekian banyak orang menjadi korban untuk dirinya. Meskipun demikian sekali dua kali tampaklah ia menoleh ke arah Nyi Penjawi yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
AGAKNYA, Nyi Penjawi itulah yang memberati hati Bantaran. Sebagai seorang sahabat Penjawi, ia tidak akan tega melihat nama perempuan itu dinodai.
Sebelum Bantaran mengambil suatu sikap, tiba-tiba seorang diantara dua orang berkuda itu meloncat turun dan menyambar baju orang yang bertubuh sedang tetapi tampak otot-ototnya menonjol seperti orang hutan. Sambil membentak-bentak orang itu bertanya,
Quote:
“Siapa namamu…?”
Dengan tergagap orang yang masih agak mabok itu menjawab,
“Gonjang, Tuan.”
“Kenalkah kau dengan orang yang bernama Bantaran?” tanya orang Pamingit seterusnya.
Dengan tergagap orang yang masih agak mabok itu menjawab,
“Gonjang, Tuan.”
“Kenalkah kau dengan orang yang bernama Bantaran?” tanya orang Pamingit seterusnya.
Untuk beberapa saat Gonjang berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengarlah jawabannya di luar dugaan. Orang yang suka mabok dan berbuat tidak sepantasnya itu ternyata memiliki kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang Banyubiru ia merasa berkewajiban melindungi Bantaran. Karena itu jawabnya,
Quote:
“Kenal Tuan. Aku kenal betul dengan orang itu.”
“Nah kalau begitu tunjukkanlah orangnya kepada kami,” desak orang Pamingit itu.
Kemudian terdengarlah jawabnya yang mengejutkan hati orang-orang di tanah lapang itu.
“Sudah sejak berbulan-bulan ia tidak pernah menampakkan dirinya, Tuan. Karena itu aku tidak dapat menunjukkannya kepada Tuan.”
“Nah kalau begitu tunjukkanlah orangnya kepada kami,” desak orang Pamingit itu.
Kemudian terdengarlah jawabnya yang mengejutkan hati orang-orang di tanah lapang itu.
“Sudah sejak berbulan-bulan ia tidak pernah menampakkan dirinya, Tuan. Karena itu aku tidak dapat menunjukkannya kepada Tuan.”
Tiba-tiba mata orang Pamingit itu seolah-olah akan meloncat dari batok kepalanya. Ternyata jawaban itu sama sekali tidak diduganya. Karena itu ia menjadi marah sekali. Ketika tangannya yang memegang baju Gonjang diguncang-guncangkan, Gonjang pun ikut terguncang seperti sebatang pohon yang diputar-putar badai. Sambil membentak-bentak lebih kasar orang Pamingit itu sekali lagi bertanya,
Quote:
“Ayo katakanlah kepada kami, yang mana diantara kalian yang bernama Bantaran.”
“Betul Tuan… ia tidak berada di sini sekarang,” jawab Gonjang tergagap.
“Bohong!” bentak orang Pamingit itu.
“Aku mendapat laporan bahwa ia berada di tanah lapang ini sekarang.”
“Nah, kenapa Tuan tidak bertanya kepada orang yang melaporkan itu saja…?” sahut Gonjang.
“Betul Tuan… ia tidak berada di sini sekarang,” jawab Gonjang tergagap.
“Bohong!” bentak orang Pamingit itu.
“Aku mendapat laporan bahwa ia berada di tanah lapang ini sekarang.”
“Nah, kenapa Tuan tidak bertanya kepada orang yang melaporkan itu saja…?” sahut Gonjang.
Orang Pamingit itu tidak menjawab lagi. Tetapi sebuah pukulan yang keras melayang ke wajah Gonjang. Dengan kerasnya orang itu terdorong ke belakang, dan kemudian terjatuh dengan kerasnya. Terdengarlah ia mengerang kesakitan. Namun meskipun demikian ia tidak juga menunjukkan siapakah diantara mereka yang bernama Bantaran.
Tetapi dalam pada itu, ternyata Gonjang adalah orang yang cerdik. Ia telah mencoba memancing orang Pamingit itu untuk menunjukkan kepada orang-orang Banyubiru, siapakah yang sebenarnya tidak berkhianat. Namun agaknya orang Pamingit itu pun telah berjanji untuk melindungi pengkhianat itu, sehingga orang itu tidak dibawanya serta.
Bantaran yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia menjadi bimbang, justru karena ia sedang berusaha untuk melindungi istri Penjawi. Kalau saat itu ia dapat ditangkap, maka bila Saraban nanti sadar kembali, nasib istri Penjawi itupun sudah dapat dibayangkan. Sebab untuk melawan sepuluh orang berkuda itu agaknya di luar kemampuannya.
Bantaran hampir mengenal satu demi satu orang-orang Pamingit yang akan menangkapnya. Temu Ireng, Talang Semut, Dadahan, dan orang-orang setingkatnya. Seandainya tak seorang diantara orang Banyubiru yang mau menunjukkannya, namun kalau orang-orang Pamingit itu meneliti satu demi satu orang yang berada di tanah lapang itu, meskipun makan waktu lama, akhirnya dirinya akan diketemukan juga. Sebab orang-orang Pamingit itu pun telah mengenalnya seperti ia mengenal mereka.
Belum lagi Bantaran mendapat suatu cara yang sebaik-baiknya, orang Pamingit itu telah menangkap seorang lagi. Seorang muda yang berwajah tampan, berkumis sebesar lidi. Pakaiannya terbuat dari kain lurik yang mahal. Tetapi demikian ia diseret ke depan, tubuhnya tiba-tiba serasa lumpuh. Dan ketika orang Pamingit itu membentaknya, ia menjadi pingsan.
Akhirnya Bantaran mengambil suatu ketetapan untuk menyatakan dirinya di hadapan orang-orang Pamingit itu sebelum jatuh korban lebih banyak lagi. Ia akan mencoba melawan dan menimbulkan kekacauan, sementara itu ia berharap Nyi Penjawi sempat melarikan diri.
Tetapi ketika Bantaran bermaksud membisiki Nyi Penjawi tentang maksudnya itu, tiba-tiba diantara sekian banyak orang yang berdiri di tanah lapang itu muncullah seseorang yang bertubuh sedang, tegap dan berdada bidang. dengan suara yang berat namun penuh wibawa ia berkata nyaring,
Quote:
“Hai, orang-orang Pamingit…. Inilah Bantaran.”
Semua yang berada di tanah lapang terkejut mendengar pengakuan itu. Untuk sesaat kembali tanah lapang itu menjadi hening sunyi. Sesunyi tanah pekuburan.
Tetapi dalam pada itu semua mata bergerak ke arah seorang yang berjalan perlahan-lahan namun pasti, menyibak orang-orang yang berada di depannya, menuju ke arah dua orang yang agaknya memimpin rombongan orang-orang Pamingit itu.
Ketika mereka melihat orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Dan yang lebih terkejut adalah Bantaran sendiri. Orang-orang Banyubiru menjadi bertanya-tanya di dalam hati, siapakah orang yang telah dengan beraninya menamakan dirinya Bantaran di hadapan sepuluh orang Pamingit yang garang-garang itu…?
Sesaat kemudian Bantaran menjadi sadar, bahwa seseorang telah mencoba melindunginya. Namun orang itu belum pernah dilihatnya.
Quote:
“Nyai…” bisik Bantaran kepada Nyi Penjawi,
“Adakah ia orang baru…?”
Nyai Penjawi menggelengkan kepalanya.
“Aku belum pernah melihatnya, Kakang.”
“Adakah ia orang baru…?”
Nyai Penjawi menggelengkan kepalanya.
“Aku belum pernah melihatnya, Kakang.”
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas