- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#369
Jilid 11 [Part 258]
Spoiler for :
SETELAH orang tua itu menarik nafas panjang, ia mulai lagi berkata,
Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba bulu-bulu kuduk Mahesa Jenar meremang. Memang sejak semula ia sama sekali tidak bermimpi untuk mendapat tanda jasa di dadanya. Atau namanya digoreskan di pintu-pintu gerbang kota, serta di jalan-jalan raya. Yang diimpikan adalah kesejahteraan rakyat di bumi tercinta ini. Kesejahteraan lahir dan batin. Jasmaniah dan rohaniah.
Dalam pada itu, terdengar Panembahan Ismaya meneruskan,
Kemudian ruangan itu menjadi hening. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang duduk di dalamnya sambil mengurai gagasan masing-masing. Sehingga kemudian suasana itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya dalam nada yang jauh berbeda dari semula. Katanya,
Mendengar kata-kata itu Paniling seperti orang yang terbangun dari mimpi yang mengasyikkan. Dengan tergagap ia menjawab,
Paniling tidak segera menjawab. Ia tidak tahu, nama apakah yang baik diterapkan pada orang yang menyebut dirinya kakaknya itu.
Demikianlah, untuk sehari-dua Panembahan Ismaya tinggal di rumah muridnya. Ia mencoba memenuhi harapan tetangga-tetangga Paniling, untuk sekali dua kali berkunjung ke rumah mereka berganti-ganti. Dengan penuh kesederhanaan Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bergaul dengan mereka.
Meskipun demikian, apabila malam datang, serta pondok di ujung padukuhan itu telah menutup pintunya, selalu terjadilah pembicaraan-pembicaraan yang jauh berbeda dengan setiap pembicaraan yang sederhana dengan para tetangga mereka. Tetapi di belakang pintu tertutup itu, Panembahan Ismaya selalu memberi kepada keempat orang yang terdekat dari padanya itu berbagai ilmu dan pengetahuan. Lahir dan batin. Bahkan diceriterakan pula bagaimana ia memiliki segala macam kesaktian. Memang sejak masa mudanya, ia selalu berusaha untuk mendapatkan berbagai macam ilmu.
Sebab dalam kekisruhan yang terjadi, pada akhir kejayaan Majapahit, ia selalu mengira bahwa dengan kekuatan jasmaniah kejayaan itu dapat dibina kembali.
Karena itulah ia mencoba untuk mendapatkan kekuatan-kekuatan itu. Setelah ia terpaksa meninggalkan lingkungan kesatriaan, usaha itu semakin diperdalam. Namun jiwanya telah berbeda. Ia ingin menemukan segala bentuk kekuatan untuk mencapai tujuan. Panembahan tua itu mengakui, bahwa mula-mula memang dikandung maksud untuk menunjukkan kebersihan dirinya dengan kekuatan. Ia ingin membuat hal yang aneh-aneh dengan memaksa orang untuk berlutut di hadapannya. Dan kepada orang-orang itu ia akan memaksakan kehendaknya.
Meskipun dasar kehendak itu selalu baik dan bermanfaat bagi beberapa orang, namun cara-cara dan sifat kepahlawanan cengeng itu akhirnya tidak memberinya kepuasan. Dan akhirnya maksud-maksud itu sama sekali diurungkan. Bahkan semakin banyak ilmu yang dihirupnya, semakin jauhlah ia dari sifat-sifat itu.
Dan akhirnya malahan ia membawa dirinya dengan luka-luka di hati untuk mengasingkan diri di lembah yang jauh dari lingkungan manusia. Di situlah ia menerima Umbaran sebagai muridnya, tetapi orang itu kemudian dimintanya meninggalkan tempat itu.
BEBERAPA tahun kemudian datanglah Radite dan Anggara. Sehingga suatu saat, ia merasa bahwa ilmu-ilmu yang pernah dicapainya itu tak akan berarti apa-apa bagi manusia apabila tidak diamalkan. Dengan demikian ia mengharap Radite untuk mewakilinya dengan topeng dan jubah abu-abu. Dengan mempergunakan nama Pasingsingan, mulailah Radite mengamalkan ilmunya. Sedang Anggara untuk sementara dimintainya memelihara pertapaannya selama ia melenyapkan diri dari kedua muridnya untuk menyaksikan hasil pengamalannya dari jarak yang cukup jauh. Tetapi ia menjadi kecewa ketika Radite kemudian tergelincir.
Demikianlah yang mereka lakukan dari hari ke hari. Bergaul dengan para petani disiang hari, dan menambah bekal hidup mereka di malam hari. Sehingga akhirnya, ketika Panembahan Ismaya memandang segala sesuatunya telah cukup, maka setelah ia bermohon diri kepada para tetangga, pergilah ia meninggalkan padukuhan Pudak Pungkuran mendahului Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, setelah ia berpesan kepada Radite.
Mula-mula Radite tidak mengerti maksud pesan itu. Tetapi beberapa waktu kemudian barulah ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak berbuat sesuatu terhadap saudara seperguruannya yang terang-terangan telah melakukan berbagai kejahatan. Yaitu Umbaran. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa gurunya telah memaafkan segala kesalahannya, bahkan mempercayakan kepadanya, untuk menghentikan segala kejahatan yang selalu dilakukan oleh Umbaran dengan nama Pasingsingan. Hidup atau mati. Dengan demikian tiba-tiba beban yang selama ini menghimpit hatinya, seolah-olah berguguran, rontok tanpa bekas. Terasalah kemudian betapa ringan perasaannya kini. Dan dengan penuh tekad ia berjanji, bahwa ia akan melakukan pesan itu sebaik-baiknya.
Beberapa hari kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera mohon diri pula, kembali ke Karang Tumaritis. Kebo Kanigara telah merasa sedemikian rindunya kepada putrinya yang ditinggalkannya beberapa hari, sedang Mahesa Jenar pun ingin segera menemui muridnya untuk mengajaknya memulai dengan suatu tugas yang berat, kembali ke Banyubiru.
Dalam perjalanan pulang, Mahesa Jenar dan kebo Kanigara memerlukan singgah sebentar di kota Banyubiru. Ketika malam turun perlahan-lahan di lereng-lereng bukit Telamaya, mereka berdua menambatkan kuda mereka agak jauh di luar kota. Dengan berjalan kaki mereka menyusuri jalan-jalan kota. Satu-dua masih tampak pintu rumah yang terbuka. Lampu minyak yang suram melemparkan cahanyanya berpencaran menusuk gelap malam. Bahkan di belakang regol halaman yang masih ternganga, masih tampak beberapa orang laki-laki duduk-duduk sambil bercakap-cakap.
Banyubiru dalam penglihatan Mahesa Jenar tidak banyak mengalami perubahan. Jalan-jalan yang itu-itu juga menjalar dari satu ujung ke ujung yang lain. Bangunan-bangunan tidak banyak bertambah, bahkan beberapa banjar tampak tak terpelihara. Tempat-tempat ibadah pun agaknya menjadi bertambah suram. Tetapi ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di ujung jalan kota, mereka terkejut ketika mereka melihat obor terpancang di tengah-tengah lapangan. seperangkat gamelan telah siap pula di tempat itu. Beberapa orang telah mulai ramai mengerumuninya.
Dengan penuh keinginan untuk mengetahui, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendekati lapangan itu. Kepada seorang anak yang lewat di sampingnya, Mahesa Jenar bertanya,
Quote:
”Mahesa Jenar, ternyata kau telah melakukan pekerjaan itu. Bahkan apabila kelak ada seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan, disuyudi oleh para kawula serta berjiwa seperti jiwa lautan, karena memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang akibatnya akan membawa kesejahteraan bagi tanah tumpah darah ini, sebagian adalah karena perjuanganmu. Perjuangan yang telah kau lakukan sejak lama. Perjuangan yang tak dikenal oleh siapapun. Sebab perjuangan yang kau lakukan adalah perjuangan yang khusus. Tetapi aku percaya akan kebesaran jiwamu. Meskipun namamu kelak tidak akan dipahatkan di batu-batu ataupun tertulis di lontar-lontar kitab babad, namun kaulah hakekat dari kemenangan itu.”
Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba bulu-bulu kuduk Mahesa Jenar meremang. Memang sejak semula ia sama sekali tidak bermimpi untuk mendapat tanda jasa di dadanya. Atau namanya digoreskan di pintu-pintu gerbang kota, serta di jalan-jalan raya. Yang diimpikan adalah kesejahteraan rakyat di bumi tercinta ini. Kesejahteraan lahir dan batin. Jasmaniah dan rohaniah.
Dalam pada itu, terdengar Panembahan Ismaya meneruskan,
Quote:
”Karena itu Mahesa Jenar, sebagian besar dari pekerjaanmu itu sudah selesai. Kau tidak perlu lagi bersusah payah mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sebab kedua pusaka itu sudah di tanganku. Sementara itu, kau dapat menyelesaikan pekerjaanmu yang lain. Kau telah berjanji kepada sahabatmu Ki Ageng Gajah Sora untuk menuntun anaknya. Nah, lakukanlah itu baik-baik. Bawalah anak itu pada suatu tugas yang besar. Memperoleh kembali tanah pusaka baginya. Sementara itu biarlah aku berusaha mendapatkan kembali kebebasan Gajah Sora itu.”
Kemudian ruangan itu menjadi hening. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang duduk di dalamnya sambil mengurai gagasan masing-masing. Sehingga kemudian suasana itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya dalam nada yang jauh berbeda dari semula. Katanya,
Quote:
”Nah, Paniling, Darba dan kedua kemanakannya. Aku sudah selesai berceritera. Sekarang berilah aku kesempatan untuk mengenal desamu yang sepi ini.”
Mendengar kata-kata itu Paniling seperti orang yang terbangun dari mimpi yang mengasyikkan. Dengan tergagap ia menjawab,
Quote:
”Baik, baiklah Guru.”
”Jangan panggil aku Guru. Di sini aku adalah kakakmu,” potong Panembahan Ismaya.
”Namaku….” ia berhenti mengingat-ingat, lalu lanjutnya,
”Siapakah kau akan menyebut diriku kalau tetangga-tetanggamu bertanya namaku?”
”Jangan panggil aku Guru. Di sini aku adalah kakakmu,” potong Panembahan Ismaya.
”Namaku….” ia berhenti mengingat-ingat, lalu lanjutnya,
”Siapakah kau akan menyebut diriku kalau tetangga-tetanggamu bertanya namaku?”
Paniling tidak segera menjawab. Ia tidak tahu, nama apakah yang baik diterapkan pada orang yang menyebut dirinya kakaknya itu.
Quote:
Tiba-tiba Kebo Kanigara menyela,
”Among Raga.”
Panembahan Ismaya tertawa, jawabnya,
”Ah, seolah-olah aku hanya mementingkan masalah-mnasalah jasmaniah belaka. Tetapi nama itu baik. Memang kau pandai mencari nama. Baiklah aku pakai nama itu di sini, meskipun isi kata itu sendiri tidak begitu mapan bagiku.”
Kanigara sadar, bahwa memang nama itu tidak begitu menyenangkan, namun ia masih juga membela diri.
”Tetapi Panembahan, bukankah nama itu akan menjadi aling-aling dari keadaan Paman yang sesungguhnya. Bukankah di sini Panembahan ingin menampakkan diri dalam ujud jasmaniahnya saja, tetapi bukan dalam ujud keseluruhan.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
”Baiklah, aku tidak keberatan.”
”Among Raga.”
Panembahan Ismaya tertawa, jawabnya,
”Ah, seolah-olah aku hanya mementingkan masalah-mnasalah jasmaniah belaka. Tetapi nama itu baik. Memang kau pandai mencari nama. Baiklah aku pakai nama itu di sini, meskipun isi kata itu sendiri tidak begitu mapan bagiku.”
Kanigara sadar, bahwa memang nama itu tidak begitu menyenangkan, namun ia masih juga membela diri.
”Tetapi Panembahan, bukankah nama itu akan menjadi aling-aling dari keadaan Paman yang sesungguhnya. Bukankah di sini Panembahan ingin menampakkan diri dalam ujud jasmaniahnya saja, tetapi bukan dalam ujud keseluruhan.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
”Baiklah, aku tidak keberatan.”
Demikianlah, untuk sehari-dua Panembahan Ismaya tinggal di rumah muridnya. Ia mencoba memenuhi harapan tetangga-tetangga Paniling, untuk sekali dua kali berkunjung ke rumah mereka berganti-ganti. Dengan penuh kesederhanaan Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bergaul dengan mereka.
Meskipun demikian, apabila malam datang, serta pondok di ujung padukuhan itu telah menutup pintunya, selalu terjadilah pembicaraan-pembicaraan yang jauh berbeda dengan setiap pembicaraan yang sederhana dengan para tetangga mereka. Tetapi di belakang pintu tertutup itu, Panembahan Ismaya selalu memberi kepada keempat orang yang terdekat dari padanya itu berbagai ilmu dan pengetahuan. Lahir dan batin. Bahkan diceriterakan pula bagaimana ia memiliki segala macam kesaktian. Memang sejak masa mudanya, ia selalu berusaha untuk mendapatkan berbagai macam ilmu.
Sebab dalam kekisruhan yang terjadi, pada akhir kejayaan Majapahit, ia selalu mengira bahwa dengan kekuatan jasmaniah kejayaan itu dapat dibina kembali.
Karena itulah ia mencoba untuk mendapatkan kekuatan-kekuatan itu. Setelah ia terpaksa meninggalkan lingkungan kesatriaan, usaha itu semakin diperdalam. Namun jiwanya telah berbeda. Ia ingin menemukan segala bentuk kekuatan untuk mencapai tujuan. Panembahan tua itu mengakui, bahwa mula-mula memang dikandung maksud untuk menunjukkan kebersihan dirinya dengan kekuatan. Ia ingin membuat hal yang aneh-aneh dengan memaksa orang untuk berlutut di hadapannya. Dan kepada orang-orang itu ia akan memaksakan kehendaknya.
Meskipun dasar kehendak itu selalu baik dan bermanfaat bagi beberapa orang, namun cara-cara dan sifat kepahlawanan cengeng itu akhirnya tidak memberinya kepuasan. Dan akhirnya maksud-maksud itu sama sekali diurungkan. Bahkan semakin banyak ilmu yang dihirupnya, semakin jauhlah ia dari sifat-sifat itu.
Dan akhirnya malahan ia membawa dirinya dengan luka-luka di hati untuk mengasingkan diri di lembah yang jauh dari lingkungan manusia. Di situlah ia menerima Umbaran sebagai muridnya, tetapi orang itu kemudian dimintanya meninggalkan tempat itu.
BEBERAPA tahun kemudian datanglah Radite dan Anggara. Sehingga suatu saat, ia merasa bahwa ilmu-ilmu yang pernah dicapainya itu tak akan berarti apa-apa bagi manusia apabila tidak diamalkan. Dengan demikian ia mengharap Radite untuk mewakilinya dengan topeng dan jubah abu-abu. Dengan mempergunakan nama Pasingsingan, mulailah Radite mengamalkan ilmunya. Sedang Anggara untuk sementara dimintainya memelihara pertapaannya selama ia melenyapkan diri dari kedua muridnya untuk menyaksikan hasil pengamalannya dari jarak yang cukup jauh. Tetapi ia menjadi kecewa ketika Radite kemudian tergelincir.
Quote:
”Bagimu Mahesa Jenar…” akhirnya Panembahan Ismaya minta,
”Jadikanlah semua itu bekal bagimu.”
”Jadikanlah semua itu bekal bagimu.”
Demikianlah yang mereka lakukan dari hari ke hari. Bergaul dengan para petani disiang hari, dan menambah bekal hidup mereka di malam hari. Sehingga akhirnya, ketika Panembahan Ismaya memandang segala sesuatunya telah cukup, maka setelah ia bermohon diri kepada para tetangga, pergilah ia meninggalkan padukuhan Pudak Pungkuran mendahului Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, setelah ia berpesan kepada Radite.
Quote:
”Radite, seseorang yang membiarkan kejahatan berlangsung tanpa berusaha untuk menghalang-halangi maka orang yang demikian itu dapat dianggap telah ikut membantu berlangsungnya kejahatan.”
Mula-mula Radite tidak mengerti maksud pesan itu. Tetapi beberapa waktu kemudian barulah ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak berbuat sesuatu terhadap saudara seperguruannya yang terang-terangan telah melakukan berbagai kejahatan. Yaitu Umbaran. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa gurunya telah memaafkan segala kesalahannya, bahkan mempercayakan kepadanya, untuk menghentikan segala kejahatan yang selalu dilakukan oleh Umbaran dengan nama Pasingsingan. Hidup atau mati. Dengan demikian tiba-tiba beban yang selama ini menghimpit hatinya, seolah-olah berguguran, rontok tanpa bekas. Terasalah kemudian betapa ringan perasaannya kini. Dan dengan penuh tekad ia berjanji, bahwa ia akan melakukan pesan itu sebaik-baiknya.
Beberapa hari kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera mohon diri pula, kembali ke Karang Tumaritis. Kebo Kanigara telah merasa sedemikian rindunya kepada putrinya yang ditinggalkannya beberapa hari, sedang Mahesa Jenar pun ingin segera menemui muridnya untuk mengajaknya memulai dengan suatu tugas yang berat, kembali ke Banyubiru.
Dalam perjalanan pulang, Mahesa Jenar dan kebo Kanigara memerlukan singgah sebentar di kota Banyubiru. Ketika malam turun perlahan-lahan di lereng-lereng bukit Telamaya, mereka berdua menambatkan kuda mereka agak jauh di luar kota. Dengan berjalan kaki mereka menyusuri jalan-jalan kota. Satu-dua masih tampak pintu rumah yang terbuka. Lampu minyak yang suram melemparkan cahanyanya berpencaran menusuk gelap malam. Bahkan di belakang regol halaman yang masih ternganga, masih tampak beberapa orang laki-laki duduk-duduk sambil bercakap-cakap.
Banyubiru dalam penglihatan Mahesa Jenar tidak banyak mengalami perubahan. Jalan-jalan yang itu-itu juga menjalar dari satu ujung ke ujung yang lain. Bangunan-bangunan tidak banyak bertambah, bahkan beberapa banjar tampak tak terpelihara. Tempat-tempat ibadah pun agaknya menjadi bertambah suram. Tetapi ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di ujung jalan kota, mereka terkejut ketika mereka melihat obor terpancang di tengah-tengah lapangan. seperangkat gamelan telah siap pula di tempat itu. Beberapa orang telah mulai ramai mengerumuninya.
Dengan penuh keinginan untuk mengetahui, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendekati lapangan itu. Kepada seorang anak yang lewat di sampingnya, Mahesa Jenar bertanya,
Quote:
”Apakah Banyubiru sedang ada perayaan?”
Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan heran. Kemudian anak itu malah ganti bertanya,
”Apakah Bapak bukan penduduk Banyubiru…?”
Mahesa Jenar ragu sebentar. Tetapi ia harus menjawab agar tidak menimbulkan kecurigaan. Karena itu katanya,
"Bukan, Nak. Aku bukan penduduk Banyubiru. Aku datang dari Pangrantunan.”
”Pangrantunan…?” Anak itu tiba-tiba terkejut.
Kembali Mahesa Jenar ragu. Namun ia mengangguk.
”Ya, kenapa…?”
”Tidak apa-apa,” jawab anak itu.
”Beberapa hari yang lalu beberapa orang Pangrantunan juga datang kemari. Mereka adalah saudara-saudara ibuku. Menurut paman-paman itu, Pangrantunan sekarang kembali kacau. Mereka ketakutan karena Simarodra tua sering mengunjungi pedukuhan itu. Apakah betul demikian…? Dan apakah betul Simarodra tua itu menuntut lebih banyak dari Simarodra dahulu?”
”Betul, Nak…” jawab Mahesa Jenar sekenanya, namun karena itu ia ingin lebih banyak tahu. Karena itu ia bertanya,
”Siapakah pamanmu itu? Dan apakah yang dilakukan di sini…?”
”Pamanku bernama Reksadipa. Ia datang untuk melaporkannya kepada Ki Ageng Lembu Sora,” jawab anak itu.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu sahutnya,
”Hem… jadi kau kemenakan Kakang Reksadipa.” Kemudian Mahesa Jenar berhenti sebentar.
”Lalu apa katanya ketika ia kembali ke Pangrantunan?”
Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan heran. Kemudian anak itu malah ganti bertanya,
”Apakah Bapak bukan penduduk Banyubiru…?”
Mahesa Jenar ragu sebentar. Tetapi ia harus menjawab agar tidak menimbulkan kecurigaan. Karena itu katanya,
"Bukan, Nak. Aku bukan penduduk Banyubiru. Aku datang dari Pangrantunan.”
”Pangrantunan…?” Anak itu tiba-tiba terkejut.
Kembali Mahesa Jenar ragu. Namun ia mengangguk.
”Ya, kenapa…?”
”Tidak apa-apa,” jawab anak itu.
”Beberapa hari yang lalu beberapa orang Pangrantunan juga datang kemari. Mereka adalah saudara-saudara ibuku. Menurut paman-paman itu, Pangrantunan sekarang kembali kacau. Mereka ketakutan karena Simarodra tua sering mengunjungi pedukuhan itu. Apakah betul demikian…? Dan apakah betul Simarodra tua itu menuntut lebih banyak dari Simarodra dahulu?”
”Betul, Nak…” jawab Mahesa Jenar sekenanya, namun karena itu ia ingin lebih banyak tahu. Karena itu ia bertanya,
”Siapakah pamanmu itu? Dan apakah yang dilakukan di sini…?”
”Pamanku bernama Reksadipa. Ia datang untuk melaporkannya kepada Ki Ageng Lembu Sora,” jawab anak itu.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu sahutnya,
”Hem… jadi kau kemenakan Kakang Reksadipa.” Kemudian Mahesa Jenar berhenti sebentar.
”Lalu apa katanya ketika ia kembali ke Pangrantunan?”
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas