- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#353
Jilid 11 [Part 249]
Spoiler for :
BAGAIMANAPUN jernihnya hati yang tersimpan di dalam dada Paniling dan Darba, namun mereka adalah manusia juga. Manusia yang memiliki kesadaran diri atas derajadnya sebagai manusia. Karena itu, ketika mereka mendengar kata-kata hinaan tamunya, dada mereka terasa bergetar juga.
Dalam pada itu agaknya Darba yang lebih muda daripada Paniling, yang mula-mula merasa bahwa kelakuan tamu mereka sudah berlebihan. Dengan nafas yang semakin cepat beredar, beberapa kali ia menelan ludahnya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menahan diri supaya ia tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori diri mereka.
Baru beberapa saat kemudian, sambil membungkuk hormat Darba berkata,
Paniling yang berdada luas lautan pun kemudian menjadi tidak senang. Bahkan Mahesa Jenar sendiri menganggap bahwa Kebo Kanigara sudah agak terlalu jauh. Namun Mahesa Jenar sadar, kalau tidak demikian maka kedua orang itu pasti tidak akan dapat marah.
Sekarang Darba sudah tidak dapat membiarkan dirinya dihina lebih jauh. Apalagi ketika disebut sebutnya nama Radite dan Anggara. Namun yang selama ini disembunyikan untuk tidak dilekati oleh noda. Karena itu tiba-tiba matanya menjadi bercahaya kembali. Cahaya yang memancar kemerah-merahan karena marah yang terpendam di dalam dada. Kemudian katanya,
Wajah Kebo Kanigara tampak benar-benar menjadi merah. Dengan garangnya ia melangkah ke arah Paniling yang duduk di hadapannya. Sambil menunjuk kepada Darba yang berada di depan pintu, ia berteriak,
Perlahan-lahan Paniling menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih namun terasa betapa getaran kemarahan melontar hampir tak terkendali.
Kata-kata Kanigara itu langsung menyentuh luka yang paling dalam. Karena tajamnya lebih daripada segala macam kata hinaan. Tiba-tiba tanpa disengaja Paniling telah tegak berdiri. Matanya memancar merah serta nafasnya berkejar-kejaran melalui lubang hidungnya yang besar. Kemudian terdengarlah kata-katanya bergetar. Kata-kata seorang jantan yang pernah bergelar Pasingsingan. Yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain untuk mengamalkan kebajikan. Karena itulah maka kata kata-kata itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa atas Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar.
Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar kata-kata itu. Apalagi ketika mereka melihat sikap Paniling dan Darba yang tiba-tiba telah berubah. Sikapnya kemudian benar-benar meyakinkan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti yang jarang dicari bandingannya.
Namun Kebo Kanigara adalah seorang sakti pula. Seorang yang masih cukup muda untuk berkembang terus, namun yang telah melampaui kesaktian ayahnya sendiri, Ki Ageng Pengging Sepuh. Sedangkan Mahesa Jenar telah menemukan inti ilmu Perguruan Pengging. Apalagi mereka telah melakukan semuanya itu dengan sengaja. Sengaja memancing pertengkaran dan pertempuran dengan orang yang bernama Radite dan Darba, murid terpercaya dari Pasingsingan Sepuh.
Demikianlah kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah tegak pula. Dengan bentakan-bentakan marah, Kebo Kanigara berkata,
KEBO Kanigara tidak menunggu Paniling menjawab kata-katanya. Cepat ia mendahului melangkah keluar pintu, diikuti oleh Mahesa Jenar. Sementara itu Paniling menjadi ragu pula ketika dilihatnya kedua tamunya lenyap dibalik pintu, terjun ke dalam gelapnya malam. Sekali lagi tangannya menekan dadanya untuk mencoba mencari kembali pikirannya yang bening. Namun akhirnya ketika dilihatnya Darba telah meloncat pula keluar pintu, dengan ragu iapun keluar.
Di luar ia melihat Kanigara telah bersiap. Bahkan demikian ia melangkah keluar, terdengarlah Kebo Kanigara berteriak,
Demikian suara itu lenyap ditelan angin malam, tampaklah tubuh Kanigara dengan garangnya melayang menyerang Ki Paniling.
Paniling yang sebenarnya bernama Radite terkejut sekali mendapat serangan yang demikian tiba-tiba, cepat dan luar biasa kuatnya. Dengan demikian dapat mengukur betapa sakti lawannya. Dalam pada itu timbul pula pertanyaan dalam dirinya, tentang orang yang mengaku bernama Tumenggung Surajaya.
Tetapi ia tak sempat banyak berpikir. Lawannya bergerak demikian cepat dan berbahaya. Karena itu iapun segera harus melayaninya.
Maka segera terjadilah perkelahian yang dahsyat. Perkelahian antara dua orang sakti yang sukar dicari bandingnya. Dalam pada itu segera terasa oleh Kebo Kanigara bahwa Radite benar-benar seorang yang benar-benar sakti. Seorang yang telah mencapai tingkatan yang sangat tinggi dalam meresapi ilmunya.
Meskipun orangtua itu tidak tampak terlalu banyak bergerak, namun setiap gerakannya mengandung unsur-unsur yang sangat berbahaya.
Sebaliknya setelah mereka bertempur beberapa saat, Radite pun menjadi heran atas lawannya yang masih muda itu. Dalam usia yang baru menjelang pertengahan abad telah memiliki ilmu yang sedemikian sempurna. Bahkan kadang-kadang sangat membingungkan. Apalagi ketika Radite melihat beberapa unsur gerak yang dikenalnya dengan baik. Unsur-unsur gerak dari sahabatnya almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun dalam beberapa hal telah banyak mengalami perubahan, namun unsur-unsur pokok masih jelas sebagaimana pernah dilihatnya dahulu.
Demikianlah kemudian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Dua orang yang sakti, yang dengan ilmu-ilmunya sedang berjuang untuk menguasai lawannya. Karena Kanigara masih belum berkenalan sebelumnya maka ia dapat bertempur dengan baik tanpa segan-segan. Dan karena itu pula, pertempuran itu pun menjadi seru sekali.
Darba dan Mahesa Jenar melihat pertempuran itu dengan kagumnya. Bahkan Darba pun akhirnya melihat pula persamaan antara orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itu dengan Ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu ia bertanya dalam otaknya, siapakah orang itu dan apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh serta Mahesa Jenar. Tetapi disamping itu ia menjadi sangat heran, bahwa Mahesa Jenar berkeras hati menyangka bahwa keris-keris pusaka Demak berada di tempat mereka. Bahkan akhirnya Darba menyangka bahwa orang itu pasti mempunyai garis keturunan ilmu dengan Mahesa Jenar, dan orang itu sengaja diajaknya untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Dalam pada itu Mahesa Jenar tidak mau untuk menjadi penonton saja. Ia pun harus ikut dalam persoalan yang diharapkan akan memecahkan beberapa persoalan yang penting dalam hidupnya dan masa depannya. Karena itu ketika Darba sedang asik memperhatikan pertempuran antara Radite dan Kebo Kanigara, berteriaklah Mahesa Jenar,
Anggara yang sehari-hari menamakan dirinya Darba, terkejut. Apakah yang dikehendaki Mahesa Jenar…?Dan ketika ia melihat Mahesa Jenar bersiap untuk menyerangnya, ia menjadi bertambah heran. Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan orang itu. Ilmunya tak lebih dari tingkatan seorang murid dibandingkan dengan ilmunya. Meskipun Anggara tak pernah merendahkan orang lain, namun terhadap Mahesa Jenar tidaklah sewajarnya kalau ia terpaksa bertempur.
Mendengar jawaban Anggara, Mahesa Jenar menjadi ragu. tetapi ketika ia melihat pertempuran antara kebo Kanigara dan Radite menjadi bertambah seru dan berbahaya, ia tidak mau tinggal diam. Dengan ikut sertanya dalam pertempuran itu ia mengharap segala sesuatunya akan menjadi jelas pula. Apakah ia telah menempuh jalan yang benar atau tidak. Karena itu sekali lagi ia berteriak,
Selesai dengan kata-katanya, segera Mahesa Jenar meloncat dan langsung menyerang dada Anggara dengan kecepatan luar biasa. Melihat serangan Mahesa Jenar, Anggara mau tidak mau secara naluriah terpaksa meloncat mengelak.
Sebenarnya Anggara masih ingin memperingatkan Mahesa Jenar. Tetapi demikian Mahesa Jenar gagal dengan serangan pertamanya, langsung ia berputar dan meluncurkan kakinya ke arah lambung Anggara dengan dahsyatnya. Serangan kedua ini benar-benar tidak disangka-sangka. Sedang Mahesa pun bergerak dengan kecepatan penuh. Sebenarnya maksudnya hanya untuk meyakinkan Anggara bahwa dalam tingkatannya yang sekarang, ia telah cukup dewasa untuk bertempur melawannya. Tetapi tanpa disengaja, serangannya itu benar-benar telah membahayakan lawannya, sehingga ia menjadi terkejut sendiri ketika melihat Anggara benar-benar tidak sempat menghindar.
Dalam pada itu agaknya Darba yang lebih muda daripada Paniling, yang mula-mula merasa bahwa kelakuan tamu mereka sudah berlebihan. Dengan nafas yang semakin cepat beredar, beberapa kali ia menelan ludahnya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menahan diri supaya ia tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori diri mereka.
Baru beberapa saat kemudian, sambil membungkuk hormat Darba berkata,
Quote:
”Tuan… maafkanlah kami. Kalau kami tidak mengetahui sebelumnya bahwa yang sudi datang ke pondok kami adalah seorang tumenggung. Karena itu terimalah sembah bekti kami berdua.”
Kebo Kanigara tertawa masam. Jawabnya,
”Aku sama sekali tidak membutuhkan segala macam upacara yang tak berarti itu. Kedatanganku adalah untuk kepentingan yang jauh lebih besar daripada salam yang akan menyenangkan hatiku.”
”Bukan itulah maksud kami,” potong Darba yang nafasnya semakin berdesakan di dalam rongga dadanya.
”Tetapi memang seharusnyalah kami menghormati Tuan. Hanya sayanglah bahwa Tuan telah menjalankan pekerjaan agak kurang bijaksana.”
”Apa…?” bentak Kebo Kanigara sambil membelalakkan mata.
”Kau bilang aku kurang bijaksana…? Hai orang-orang yang tak berarti, berjongkoklah dan cium telapak kakiku sambil mengucapkan permohonan maaf atas kelancangan mulutmu.”
Kebo Kanigara tertawa masam. Jawabnya,
”Aku sama sekali tidak membutuhkan segala macam upacara yang tak berarti itu. Kedatanganku adalah untuk kepentingan yang jauh lebih besar daripada salam yang akan menyenangkan hatiku.”
”Bukan itulah maksud kami,” potong Darba yang nafasnya semakin berdesakan di dalam rongga dadanya.
”Tetapi memang seharusnyalah kami menghormati Tuan. Hanya sayanglah bahwa Tuan telah menjalankan pekerjaan agak kurang bijaksana.”
”Apa…?” bentak Kebo Kanigara sambil membelalakkan mata.
”Kau bilang aku kurang bijaksana…? Hai orang-orang yang tak berarti, berjongkoklah dan cium telapak kakiku sambil mengucapkan permohonan maaf atas kelancangan mulutmu.”
Paniling yang berdada luas lautan pun kemudian menjadi tidak senang. Bahkan Mahesa Jenar sendiri menganggap bahwa Kebo Kanigara sudah agak terlalu jauh. Namun Mahesa Jenar sadar, kalau tidak demikian maka kedua orang itu pasti tidak akan dapat marah.
Quote:
”Baiklah, aku mohon maaf,” sahut Darba,
”Namun biarlah aku tidak usah berjongkok dan mencium telapak kaki Tuan. Sebab barangkali aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu.”
Mata Kebo Kanigara menjadi semakin terbelalak.
”Patuhi perintah, hai orang tua yang tak malu,” teriaknya.
”Sekarang aku menjadi tidak percaya bahwa kalianlah yang bernama Radite dan Anggara. Sebab kalian tidak lebih daripada sisa-sisa orang paria yang berkeliaran sejak zaman pemerintahan Majapahit. Kalian tidak pantas mendapat pelayanan sebagaimana aku menjadi manusia yang paling hina sekalipun dari sisa-sisa golongan sudra.”
”Namun biarlah aku tidak usah berjongkok dan mencium telapak kaki Tuan. Sebab barangkali aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu.”
Mata Kebo Kanigara menjadi semakin terbelalak.
”Patuhi perintah, hai orang tua yang tak malu,” teriaknya.
”Sekarang aku menjadi tidak percaya bahwa kalianlah yang bernama Radite dan Anggara. Sebab kalian tidak lebih daripada sisa-sisa orang paria yang berkeliaran sejak zaman pemerintahan Majapahit. Kalian tidak pantas mendapat pelayanan sebagaimana aku menjadi manusia yang paling hina sekalipun dari sisa-sisa golongan sudra.”
Sekarang Darba sudah tidak dapat membiarkan dirinya dihina lebih jauh. Apalagi ketika disebut sebutnya nama Radite dan Anggara. Namun yang selama ini disembunyikan untuk tidak dilekati oleh noda. Karena itu tiba-tiba matanya menjadi bercahaya kembali. Cahaya yang memancar kemerah-merahan karena marah yang terpendam di dalam dada. Kemudian katanya,
Quote:
”Terserahlah kepada Tuan. Namun sayang bahwa aku tidak ingin berbuat seperti yang Tuan maksudkan.”
Wajah Kebo Kanigara tampak benar-benar menjadi merah. Dengan garangnya ia melangkah ke arah Paniling yang duduk di hadapannya. Sambil menunjuk kepada Darba yang berada di depan pintu, ia berteriak,
Quote:
”Hai kau tua bangka, suruh adikmu melakukan perintahku.”
Perlahan-lahan Paniling menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih namun terasa betapa getaran kemarahan melontar hampir tak terkendali.
Quote:
”Tidak, Tuan. Aku tidak dapat menyuruhnya berbuat demikian.”
”Lakukan perintahku,” ulang Kebo Kanigara.
”Atau aku harus datang kepadamu dengan membawa seorang perempuan seperti yang dilakukan Umbaran untuk memaksamu?”
”Lakukan perintahku,” ulang Kebo Kanigara.
”Atau aku harus datang kepadamu dengan membawa seorang perempuan seperti yang dilakukan Umbaran untuk memaksamu?”
Kata-kata Kanigara itu langsung menyentuh luka yang paling dalam. Karena tajamnya lebih daripada segala macam kata hinaan. Tiba-tiba tanpa disengaja Paniling telah tegak berdiri. Matanya memancar merah serta nafasnya berkejar-kejaran melalui lubang hidungnya yang besar. Kemudian terdengarlah kata-katanya bergetar. Kata-kata seorang jantan yang pernah bergelar Pasingsingan. Yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain untuk mengamalkan kebajikan. Karena itulah maka kata kata-kata itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa atas Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar.
Quote:
”Angger berdua… aku sudah mengatakan apa yang aku ketahui dan apa yang iklaskan. Tetapi Angger berdua minta terlalu banyak dariku. Karena itu biarlah aku berikan yang paling berharga yang ada padaku, yaitu namaku Radite. Tetapi nama itu agak berbeda dengan nama Paniling, seorang petani yang tidak berharga. Tuan boleh berbuat sekehendak Tuan atas seorang petani yang bernama Paniling dan Darba. Tetapi tidak demikian atas nama Radite dan Anggara. Nah, Tuan… apakah yang tuan-tuan kehendaki sekarang, ambillah. Tetapi jangan mengharap Tuan dapat mengambilnya begitu saja. Nama itu adalah sama berharganya dengan nyawa kami.”
Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar kata-kata itu. Apalagi ketika mereka melihat sikap Paniling dan Darba yang tiba-tiba telah berubah. Sikapnya kemudian benar-benar meyakinkan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti yang jarang dicari bandingannya.
Namun Kebo Kanigara adalah seorang sakti pula. Seorang yang masih cukup muda untuk berkembang terus, namun yang telah melampaui kesaktian ayahnya sendiri, Ki Ageng Pengging Sepuh. Sedangkan Mahesa Jenar telah menemukan inti ilmu Perguruan Pengging. Apalagi mereka telah melakukan semuanya itu dengan sengaja. Sengaja memancing pertengkaran dan pertempuran dengan orang yang bernama Radite dan Darba, murid terpercaya dari Pasingsingan Sepuh.
Demikianlah kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah tegak pula. Dengan bentakan-bentakan marah, Kebo Kanigara berkata,
Quote:
”Bagus… bagus…. Begitulah seharusnya orang yang bernama Radite berkata. Aku, Tumenggung Surajaya, kepercayaan Sultan Demak, serta Adi Rangga Tohjaya pasti akan melakukan tugasnya dengan baik. Nah, keluarlah. Biar aku renggut nama kebanggaanmu dengan usaha seorang laki-laki.”
KEBO Kanigara tidak menunggu Paniling menjawab kata-katanya. Cepat ia mendahului melangkah keluar pintu, diikuti oleh Mahesa Jenar. Sementara itu Paniling menjadi ragu pula ketika dilihatnya kedua tamunya lenyap dibalik pintu, terjun ke dalam gelapnya malam. Sekali lagi tangannya menekan dadanya untuk mencoba mencari kembali pikirannya yang bening. Namun akhirnya ketika dilihatnya Darba telah meloncat pula keluar pintu, dengan ragu iapun keluar.
Di luar ia melihat Kanigara telah bersiap. Bahkan demikian ia melangkah keluar, terdengarlah Kebo Kanigara berteriak,
Quote:
”Hati-hatilah, hai orang yang bernama Radite. Aku datang untuk membunuhmu.”
Demikian suara itu lenyap ditelan angin malam, tampaklah tubuh Kanigara dengan garangnya melayang menyerang Ki Paniling.
Paniling yang sebenarnya bernama Radite terkejut sekali mendapat serangan yang demikian tiba-tiba, cepat dan luar biasa kuatnya. Dengan demikian dapat mengukur betapa sakti lawannya. Dalam pada itu timbul pula pertanyaan dalam dirinya, tentang orang yang mengaku bernama Tumenggung Surajaya.
Tetapi ia tak sempat banyak berpikir. Lawannya bergerak demikian cepat dan berbahaya. Karena itu iapun segera harus melayaninya.
Maka segera terjadilah perkelahian yang dahsyat. Perkelahian antara dua orang sakti yang sukar dicari bandingnya. Dalam pada itu segera terasa oleh Kebo Kanigara bahwa Radite benar-benar seorang yang benar-benar sakti. Seorang yang telah mencapai tingkatan yang sangat tinggi dalam meresapi ilmunya.
Meskipun orangtua itu tidak tampak terlalu banyak bergerak, namun setiap gerakannya mengandung unsur-unsur yang sangat berbahaya.
Sebaliknya setelah mereka bertempur beberapa saat, Radite pun menjadi heran atas lawannya yang masih muda itu. Dalam usia yang baru menjelang pertengahan abad telah memiliki ilmu yang sedemikian sempurna. Bahkan kadang-kadang sangat membingungkan. Apalagi ketika Radite melihat beberapa unsur gerak yang dikenalnya dengan baik. Unsur-unsur gerak dari sahabatnya almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun dalam beberapa hal telah banyak mengalami perubahan, namun unsur-unsur pokok masih jelas sebagaimana pernah dilihatnya dahulu.
Demikianlah kemudian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Dua orang yang sakti, yang dengan ilmu-ilmunya sedang berjuang untuk menguasai lawannya. Karena Kanigara masih belum berkenalan sebelumnya maka ia dapat bertempur dengan baik tanpa segan-segan. Dan karena itu pula, pertempuran itu pun menjadi seru sekali.
Darba dan Mahesa Jenar melihat pertempuran itu dengan kagumnya. Bahkan Darba pun akhirnya melihat pula persamaan antara orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itu dengan Ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu ia bertanya dalam otaknya, siapakah orang itu dan apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh serta Mahesa Jenar. Tetapi disamping itu ia menjadi sangat heran, bahwa Mahesa Jenar berkeras hati menyangka bahwa keris-keris pusaka Demak berada di tempat mereka. Bahkan akhirnya Darba menyangka bahwa orang itu pasti mempunyai garis keturunan ilmu dengan Mahesa Jenar, dan orang itu sengaja diajaknya untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Dalam pada itu Mahesa Jenar tidak mau untuk menjadi penonton saja. Ia pun harus ikut dalam persoalan yang diharapkan akan memecahkan beberapa persoalan yang penting dalam hidupnya dan masa depannya. Karena itu ketika Darba sedang asik memperhatikan pertempuran antara Radite dan Kebo Kanigara, berteriaklah Mahesa Jenar,
Quote:
”Paman Anggara… karena Paman Anggara ikut pula dalam usaha menyembunyikan pusaka-pusaka Istana itu, maka Paman pun harus menerima hukumannya.”
Anggara yang sehari-hari menamakan dirinya Darba, terkejut. Apakah yang dikehendaki Mahesa Jenar…?Dan ketika ia melihat Mahesa Jenar bersiap untuk menyerangnya, ia menjadi bertambah heran. Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan orang itu. Ilmunya tak lebih dari tingkatan seorang murid dibandingkan dengan ilmunya. Meskipun Anggara tak pernah merendahkan orang lain, namun terhadap Mahesa Jenar tidaklah sewajarnya kalau ia terpaksa bertempur.
Quote:
Karena itu Darba pun menjawab,
”Angger Mahesa Jenar… biarlah pamanmu Radite mempertahankan nama baiknya sekaligus namaku. Sebaiknya kita tidak usah ikut serta dalam perselisihan ini. Meskipun barangkali kau juga mengemban tugas sebagai seorang prajurit seperti Tumenggung Surajaya itu pula, Mahesa Jenar… namun biarlah pertempuran mereka itu yang menentukan nasibmu. Kalau Kakang Radite binasa karena benar-benar berdosa terhadap negara, biarlah nanti aku kau binasakan pula. Tetapi kalau ternyata Kakang Radite tidak bersalah, aku harap kau menerima pula kenyataan itu. Dan untuk seterusnya kau tidak lagi menganggap kami menyembunyikan pusaka-pusaka itu.”
”Angger Mahesa Jenar… biarlah pamanmu Radite mempertahankan nama baiknya sekaligus namaku. Sebaiknya kita tidak usah ikut serta dalam perselisihan ini. Meskipun barangkali kau juga mengemban tugas sebagai seorang prajurit seperti Tumenggung Surajaya itu pula, Mahesa Jenar… namun biarlah pertempuran mereka itu yang menentukan nasibmu. Kalau Kakang Radite binasa karena benar-benar berdosa terhadap negara, biarlah nanti aku kau binasakan pula. Tetapi kalau ternyata Kakang Radite tidak bersalah, aku harap kau menerima pula kenyataan itu. Dan untuk seterusnya kau tidak lagi menganggap kami menyembunyikan pusaka-pusaka itu.”
Mendengar jawaban Anggara, Mahesa Jenar menjadi ragu. tetapi ketika ia melihat pertempuran antara kebo Kanigara dan Radite menjadi bertambah seru dan berbahaya, ia tidak mau tinggal diam. Dengan ikut sertanya dalam pertempuran itu ia mengharap segala sesuatunya akan menjadi jelas pula. Apakah ia telah menempuh jalan yang benar atau tidak. Karena itu sekali lagi ia berteriak,
Quote:
”Paman Anggara terserahlah kepadamu. tetapi Rangga Tohjaya wajib melakukan kewajibannya.”
Selesai dengan kata-katanya, segera Mahesa Jenar meloncat dan langsung menyerang dada Anggara dengan kecepatan luar biasa. Melihat serangan Mahesa Jenar, Anggara mau tidak mau secara naluriah terpaksa meloncat mengelak.
Sebenarnya Anggara masih ingin memperingatkan Mahesa Jenar. Tetapi demikian Mahesa Jenar gagal dengan serangan pertamanya, langsung ia berputar dan meluncurkan kakinya ke arah lambung Anggara dengan dahsyatnya. Serangan kedua ini benar-benar tidak disangka-sangka. Sedang Mahesa pun bergerak dengan kecepatan penuh. Sebenarnya maksudnya hanya untuk meyakinkan Anggara bahwa dalam tingkatannya yang sekarang, ia telah cukup dewasa untuk bertempur melawannya. Tetapi tanpa disengaja, serangannya itu benar-benar telah membahayakan lawannya, sehingga ia menjadi terkejut sendiri ketika melihat Anggara benar-benar tidak sempat menghindar.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas