Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

devarisma04Avatar border
TS
devarisma04
Panggilan Terakhir Dari Sang Mantan
Setelah lelah bergelut di kantor seharian. Rasanya aku ingin sekali meluruskan punggungku pada benda yang empuk. Kamarku, dengan furniture sederhana, tertata seunik mungkin.

Ada rak buku dari kayu jati yang seakan menempel di dinding. Sejumlah buku terpajang indah di kamarku. Banyak orang bilang kamarku bagai pustaka. Mungkin alasan ini, aku sangat betah di kamar. Karena bisa mengintip dunia lewat jendela yang kupunya.

Aku melemparkan tubuh keatas kasur. Sedikit memejamkan mata, setengah menit. Gawai diatas nakas berdering. Memaksaku untuk bangkit dari peraduan.

Sebuah nomor yang tidak asing. Meskipun sudah lama terhapus dari list kontak telpon seluler. Namun, nomor ini sudah terhafal baik oleh mata dan hati ini. Seketika menatap nomor yang sedang memanggil itu. Lalu terputus,tiga detik kemudian nomor itu kembali mengeluarkan bunyi di benda pipih itu.

“Hallo!”

“ Hai dek apakabar?”

“Baik, Abang apakabar?”

“Baik juga,”

Aku tidak ingin berpura-pura tidak kenal. Pun, dia yakin aku tidak mungkin lupa nomornya. Dia yang pernah meneleponku setahun yang lalu.

Dia yang pernah mengatakan aku patut diperjuangkan. Ya, dia sudah memperjuangkan aku dengan sepenuhnya.Namun, Tuhan tidak mentakdirkan kami bersama.

Kala itu, dengan berat. Aku berujar.

“Lupakan aku, pergilah ada wanita lain di luar sana yang akan mencintaimu lebih dariku.”

Perlahan dia pergi, dengan segala kekecewaannya. Dengan terlihat baik-baik saja. Seperti saat pertama kalinya bertemu. Kami saling menjauh, tak berkhabar. Saling mehindar, untuk memperkecil level perasaan yang telah tumbuh dalam waktu yang tidak sebentar. Dan juga, kami tidak saling membenci apalagi mencaci.

Jikapun tak sengaja berpapasan. Masih juga, say hello saling melempar senyum. Hal ini, membuat kami tidak disandera oleh sakit hati walau dirundung kecewa.

Kami terus melangkah pada jalan masing-masing. Konon, aku punya mimpi. Tapi dia pernah bilang akan selalu setia menunggu. Aku terus bergelut dengan mimpiku. Hingga lupa soal pasangan.

Sedangkan dia terus bergelut dengan pencariannya, untuk menggantiku. Aku sangat yakin, akan ada yang tulus menerimanya.

Setengah tahun lamanya. Ya, aku mendapatkan khabar. Bahwa dia telah menemukan seorang perempuan yang sangat mencintainya.

Lamaranpun telah dilakukan. Dalam tempo beberapa hari lagi dia juga akan melakukan ijab kabul. Segala keperluan telah dipersiapkan untuk memulai kehidupan baru.

Aku, tentu bahagia. Aku pernah berdoa untuk dia. Agar segera mendapat wanita yang tulus menerimanya.

Sedikitpun, aku tidak menyesal karena telah meminta dia pergi dariku. Karena itu semua berdasarkan jawaban dari istikharahku di penghujung malam.

**

Lantas, malam ini untuk apa dia kembali mehubungiku. Ah, aku sedikit berpikir enteng. Kalau dia hanya ingin mengundangku di acara pestanya yang tinggal mehitung hari.

Sedikit berbasa-basi. Aku menanyakan tentang persiapannya menuju hari H. Aku memposisikan sebagai adiknya yang sedikit peduli terhadap kehidupan dia. Sontak dia marah dengan pertanyaanku.

“Aku mehubungimu, bukan untuk membicarakan itu. Kalau kamu hanya membuat moodku drop. Akhiri saja panggilan ini,” bentaknya.

Terdiam, aku tahu sebenarnya rada malu dan tersinggung. Namun, entahlah aku tidak bisa menebak banyak hal dari hentakan suaranya di balik telpon. Bisa saja dulu dengan sekarang telah berbeda.

Lalu, apa motivasinya menelponku. Melepaskan rindu untuk yang terakhir kalinya kah? Tolong, aku sedang tidak ingin berpikir lagi tentang hatinya yang masih berpihak padaku.

Hening, tak ada suara di seberang sana. Aku kembali mencairkan suasana. Dengan berdehem, bahwa aku baik-baik saja. Kebiasaan dulu, dia menyesali jika sampai aku sedih karena dibentak.

Namun, keheningan masih mencekam hingga menit ke delapan. Entah aku juga tidak ingin mematikan panggilan yang hanya menyuguhkan kesunyian dan delema. Tiba-tiba, suaranya serak rada menelan sakit yang mencekam.

“Untuk terakhir kalinya. Aku tidak mengerti sejauh ini melangkah meninggalkanmu. Tapi aku belum bisa mehapus jejakmu dari lubuk hati yang terdalam ini. Aku juga tidak tahu, apakah kedepan aku bisa melupakanmu.

Ada banyak hal yang tak kutemui dari wanita lain. Aku juga tidak paham. Kenapa perasaan ini cenderung mengingatmu yang jelas bukan takdirku.” Lirihnya sendu dari balik telpon pintar itu.

Aku terpaku, menatap keluar jendela yang temaram. Berharap sebutir bintang melintas dihadapanku. Aku tidak tahu menjawab apa. Aku tidak ingin mengatakan. Jika aku juga belum menemukan lelaki setulusnya padaku. Bukan ego atau munafik. Tapi aku tidak ingin membuatnya semakin susah melupakanku.

Aku telah banyak divonis bodoh. Telah menyia-nyiakan dia. Seorang lelaki atletis dengan segenap ketulusan mencintaiku. Namun, bagiku menikah bukan hanya perkara rasa tulus atau sebagainya. Tapi, berdasarkan pilihan hati yang telah dimantap dengan jalan Istikharah.

Kedua pelupukku terasa berat. Ada gumpalan besar mengganjal di relung hati. Ada sesuatu yang menahan aliran nafas yang berhembus secara kontinyu.

Luapan asa meluber keseluruh permukaan wajah.aku menjauhkan telpon pintarku dariku. Berharap dia tidak tahu tentang tangisku disini.

Aku juga tidak tahu. Entah apa yang terjadi padanya di sebarang sana. Entah pun menahan luapan rasa sehingga menyuguhkan diam hingga bermenit-menit.

Setelah aku merasa tenang. Kembali menjamah telpon pintarku yang tadi tergeletak di atas kasur. Aku kembali mencoba memecahkan suasana.

“Kamu mau kado apa dari aku?”

“Tidak usah mentel. Sok mau bawa kado lagi.”

“Loh, kan aku tamu spesial.”

“Kamu engga boleh datang para hari pestaku. Karena kamu akan merusak gurat wajahku menjadi sendu.”

“Apaan sih. Sampai segitunya. Aku juga pengen lihat kamu bersanding,”

“Kalau kamu mau datang. Kamu bukan tamu tapi jadi pengantinnya.”

“Lah kekmana. Aku datang ya sebagai tamu. Mau foto bareng, kali aja viral wkwkkw.”

“Tidakkk, kamu tidak usah datang.
Doakan saja abangmu ini bahagia.”

“Oke, aku tidak akan datang.”

“Baiklah. Aku hanya ingin menyampaikan ini padamu.”

“Hah itu saja?”

“Ya. Dan pesan aku kalau boleh kamu jangan menikah dengan orang yang aku kenal.”

“Loh kamu kenapa boleh?”

“Kamu tidak minta padaku jangan menikah dengan orang yang kamu kenal.”

“Kenapa juga aku tidak boleh menikah dengan orang yang kamu kenal?”

“Karena itu akan membuat hatiku tersandera. Dan lebih baik lagi aku tidak pernah melihatmu setelah ini.”

“Jadi kamu meminta aku mati sekarang.”

“Bukan, aku sangat berharap kamu bahagia dengan duniamu tanpa harus aku melihatnya."

“Kamu benci kepadaku?”

“Benci yang ditujukan padamu. Tidak akan pernah dikenal oleh hatiku.”

“Bye.”

Panggilan berakhir di menit ke-55. Hatiku semakin bergemuruh, entah badai apa melandaku di kesunyian ini. Aku kembali mengingat memori lama ketika masa sekolah dulu.

Hatiku seperti kehilangan, kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari apapun. Bahkan terasa perih. Mungkinkah dia adalah bagian dari jiwaku selama ini.

Selamat menunggu hari bahagia, mantan.



Diubah oleh devarisma04 28-08-2020 11:17
fiksyau
satyagilang
HinaAbdi
HinaAbdi dan 11 lainnya memberi reputasi
10
1.8K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
zaenal3Avatar border
zaenal3
#2
godaannya orang mau nikah itu mah 😁
mendekati hari H jadi ragu, inget mantan, kangen mantan
fahrymuhammad69
fiksyau
fiksyau dan fahrymuhammad69 memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.