- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#341
Jilid 11 [Part 245]
Spoiler for :
DEMIKIANLAH, untuk beberapa hari Arya perlu beristirahat benar-benar untuk menyembuhkan luka-lukanya serta memulihkan tenaganya. Sebab setelah ia bertempur mati-matian, terasa seolah – olah tenaganya telah terhisap habis.
Dalam saat-saat itu, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berusaha menjadikan orang-orang Gedangan lebih masak lagi. Sebab untuk seterusnya tidaklah selalu Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara akan dapat berada di tempat itu. Meskipun menurut perhitungan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, musuh tidak akan datang kembali. Orang-orang yang berkepentingan langsung dengan daerah Gedangan telah binasa. Sedangkan laskar Pamingitpun menurut dugaan Mahesa Jenar tidak akan segera kembali. Mereka pasti harus mempertimbangkan kekuatan yang ada di daerah kecil ini.
Mereka pada saat-saat yang lalu pasti tidak akan menduga bahwa di daerah ini ada orang-orang seperti Kebo Kanigara dan bahkan orang yang berjubah abu-abu, yang tanpa diduga-duga datang menolong.
Setelah Arya sudah pulih kembali kesehatan serta tenaganya, maka mulailah mereka mempertimbangkan apa yang akan dilakukan seterusnya. Menurut pertimbangan Kebo Kanigara, maka yang sebaik baiknya adalah menghadap Panembahan Ismaya dan melaporkan apa yang telah terjadi serta menyatakan keselamatan diri.
Demikianlah kemudian mereka terpaksa minta diri kepada orang-orang Gedangan, setelah mereka mengalami suka duka bersama, berjuang bersama. Tentu saja orang-orang Gedangan menjadi kecewa atas perpisahan itu. Tetapi perpisahan itu harus terjadi, sebagaimana matahari akan tenggelam pada senja hari setelah sehari penuh sinarnya memancari permukaan bumi. Demikianlah pula setiap pertemuan pasti akan diikuti dengan perpisahan. Cepat atau lambat. Karena tak ada sesuatu yang kekal di muka bumi ini. Setiap kali selalu ada perubahan-perubahan dan putaran-putaran peristiwa. Seperti berputarnya bola bumi itu sendiri. Sekali sebagian wajahnya menjadi terang benderang karena cahaya matahari tetapi sekali menjadi gelap oleh bayangannya sendiri.
Kepada orang-orang Gedangan Mahesa Jenar mencoba untuk menjelaskan hal itu. Kemudian katanya mengakhiri karena itu selagi kita berada ditempat yang terang. janganlah kita bersombong diri. Janganlah kita menganggap bahwa di sana ada dunia yang gelap, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berhak menikmati terangnya sinar matari. Tetapi dalam keadaan demikian, kita justru harus mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita masih berkesempatan untuk memandang udara yang cerah. Sebab pada saat yang lain, kitapun akan sampai pada daerah yang kelam. Pada saat yang demikian kita harus berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menerangi hati kita menjelang masa depan yang cerah.
Akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Wanamerta terpaksa dilepas pergi, meskipun dengan berat hati. Meskipun demikian, mereka berkesempatan untuk mengadakan sekedar selamatan perpisahan, meskipun sederhana.
Demikianlah ketika cerahnya matahari pagi sedang memercik di atas dedaunan, berjalanlah sebuah rombongan yang kecil meninggalkan desa Gedangan menuju ke pebukitan Karang Tumaritis. Di sepanjang jalan tidaklah banyak yang mereka percakapkan, sebab kepala mereka masing-masing dipenuhi oleh kenangan-kenangan atas peristiwa yang baru saja terjadi.
Tetapi tidaklah demikian dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Selain kenangan-kenangan yang sekali-sekali membayang di dalam ingatannya, mereka juga berangan-angan tentang masa depan. Tentang Sawung Sariti beserta ayahnya Ki Ageng Lembu Sora. Tentang daerah perdikan Banyubiru. Dan yang tidak kalah pentingnya, tentang pusaka-pusaka Demak, Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan diketemukannya kedua keris itu, maka banyak hal yang sekaligus dapat diurai. Sebab keadaan Ki Ageng Gajah Sora pun sebagian tergantung pada keris-keris itu.
Yang juga terlintas di dalam otak Mahesa Jenar adalah cara penyelesaian yang secepat-cepatnya mengenai Banyubiru. Tidaklah sepantasnya kalau Arya Salaka masih harus menyembunyikan diri terus-menerus. Karena itu bagi Mahesa Jenar, sebaiknya Arya Salaka yang datang ke Banyubiru, dan dengan berterus terang menyatakan diri sebagai pengganti ayahnya, kepala daerah perdikan Banyubiru.
Tetapi pelaksanaan rencana itu haruslah diolah semasak-masaknya. Sebab setiap kesalahan akan dapat menimbulkan akibat yang sama sekali tidak diharapkan.
Demikianlah rombongan kecil itu berjalan menyusur jalan-jalan pegunungan dengan tenangnya. Sekali-kali mereka harus meloncat-loncat di atas batu-batu padas. Dan dengan demikian mereka telah mengejutkan burung-burung liar yang sedang bertengger di atas karang-karang terjal yang menjorok di tebing-tebing pegunungan.
Pada saat rombongan kecil, yang terdiri dari Kebo Kanigara beserta putrinya Endang Widuri. Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Wanamerta sampai di Padepokan Karang Tumaritis, mereka melihat Panembahan Ismaya sedang duduk dikerumuni beberapa orang cantrik. Agaknya Panembahan itu sedang bercakap-cakap atau berceritera tentang suatu hal yang sangat menarik. Sebab tidaklah lazim Panembahan Ismaya memberi wejangan dan pelajaran dengan cara yang demikian.
Ketika salah seorang cantrik melihat kedatangan rombongan itu, serta memberitahukan kepada Panembahan Ismaya, maka dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu berdiri dan menyambut. Dipersilahkannya rombongan itu duduk pula bersama-sama dengan para cantrik.
Yang pertama-tama ditanyakan adalah keselamatan mereka yang baru saja datang menghadap.
Kebo Kanigaralah yang mewakili menjawab setiap pertanyaan Panembahan Ismaya, serta menyampaikan bakti mereka bersama-sama.
PANEMBAHAN Ismaya mendengarkan semua ceritera Kebo Kanigara dengan penuh perhatian. Kata demi kata seolah-olah dicernakan kembali didalam otaknya untuk dapat menangkap saripatinya.
Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Wajahnya yang muram itu menatap dengan tajam ke arah mata Kebo Kanigara yang kemudian menundukkan kepalanya.
Seorang cantrik segera berdiri dan pergi ke belakang untuk menyiapkan minuman bagi rombongan yang memang kehausan itu. Setelah mengucapkan kata-kata itu. Panembahan Ismaya tidak meneruskan kata-katanya. Bahkan kemudian tampaklah ia menundukkan wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya.
Yang melihat hal itu, tak seorangpun yang berani mengucapkan sepatah katapun. Meskipun hati mereka diliputi oleh berbagai pertanyaan namun mulut mereka terkatub rapat.
Baru beberapa saat kemudian Panembahan tua itu berkata,
Panembahan Ismaya berhenti sesaat, seolah-olah hendak menunggu sampai kata-katanya meresap kedalam otak bocah itu. Kemudian ia meneruskan,
Sekali lagi Panembahan Ismaya berhenti untuk sesaat. Arya mendengar ceritera Panembahan Ismaya itu dengan penuh perhatian. Beberapa dari ceritera itu pernah didengarnya dari gurunya. Namun kali ini rasa-rasanya ceritera itu lebih meresap daripada yang pernah didengarnya.
Dalam saat-saat itu, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berusaha menjadikan orang-orang Gedangan lebih masak lagi. Sebab untuk seterusnya tidaklah selalu Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara akan dapat berada di tempat itu. Meskipun menurut perhitungan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, musuh tidak akan datang kembali. Orang-orang yang berkepentingan langsung dengan daerah Gedangan telah binasa. Sedangkan laskar Pamingitpun menurut dugaan Mahesa Jenar tidak akan segera kembali. Mereka pasti harus mempertimbangkan kekuatan yang ada di daerah kecil ini.
Mereka pada saat-saat yang lalu pasti tidak akan menduga bahwa di daerah ini ada orang-orang seperti Kebo Kanigara dan bahkan orang yang berjubah abu-abu, yang tanpa diduga-duga datang menolong.
Setelah Arya sudah pulih kembali kesehatan serta tenaganya, maka mulailah mereka mempertimbangkan apa yang akan dilakukan seterusnya. Menurut pertimbangan Kebo Kanigara, maka yang sebaik baiknya adalah menghadap Panembahan Ismaya dan melaporkan apa yang telah terjadi serta menyatakan keselamatan diri.
Demikianlah kemudian mereka terpaksa minta diri kepada orang-orang Gedangan, setelah mereka mengalami suka duka bersama, berjuang bersama. Tentu saja orang-orang Gedangan menjadi kecewa atas perpisahan itu. Tetapi perpisahan itu harus terjadi, sebagaimana matahari akan tenggelam pada senja hari setelah sehari penuh sinarnya memancari permukaan bumi. Demikianlah pula setiap pertemuan pasti akan diikuti dengan perpisahan. Cepat atau lambat. Karena tak ada sesuatu yang kekal di muka bumi ini. Setiap kali selalu ada perubahan-perubahan dan putaran-putaran peristiwa. Seperti berputarnya bola bumi itu sendiri. Sekali sebagian wajahnya menjadi terang benderang karena cahaya matahari tetapi sekali menjadi gelap oleh bayangannya sendiri.
Kepada orang-orang Gedangan Mahesa Jenar mencoba untuk menjelaskan hal itu. Kemudian katanya mengakhiri karena itu selagi kita berada ditempat yang terang. janganlah kita bersombong diri. Janganlah kita menganggap bahwa di sana ada dunia yang gelap, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berhak menikmati terangnya sinar matari. Tetapi dalam keadaan demikian, kita justru harus mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita masih berkesempatan untuk memandang udara yang cerah. Sebab pada saat yang lain, kitapun akan sampai pada daerah yang kelam. Pada saat yang demikian kita harus berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menerangi hati kita menjelang masa depan yang cerah.
Akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Wanamerta terpaksa dilepas pergi, meskipun dengan berat hati. Meskipun demikian, mereka berkesempatan untuk mengadakan sekedar selamatan perpisahan, meskipun sederhana.
Demikianlah ketika cerahnya matahari pagi sedang memercik di atas dedaunan, berjalanlah sebuah rombongan yang kecil meninggalkan desa Gedangan menuju ke pebukitan Karang Tumaritis. Di sepanjang jalan tidaklah banyak yang mereka percakapkan, sebab kepala mereka masing-masing dipenuhi oleh kenangan-kenangan atas peristiwa yang baru saja terjadi.
Tetapi tidaklah demikian dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Selain kenangan-kenangan yang sekali-sekali membayang di dalam ingatannya, mereka juga berangan-angan tentang masa depan. Tentang Sawung Sariti beserta ayahnya Ki Ageng Lembu Sora. Tentang daerah perdikan Banyubiru. Dan yang tidak kalah pentingnya, tentang pusaka-pusaka Demak, Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan diketemukannya kedua keris itu, maka banyak hal yang sekaligus dapat diurai. Sebab keadaan Ki Ageng Gajah Sora pun sebagian tergantung pada keris-keris itu.
Yang juga terlintas di dalam otak Mahesa Jenar adalah cara penyelesaian yang secepat-cepatnya mengenai Banyubiru. Tidaklah sepantasnya kalau Arya Salaka masih harus menyembunyikan diri terus-menerus. Karena itu bagi Mahesa Jenar, sebaiknya Arya Salaka yang datang ke Banyubiru, dan dengan berterus terang menyatakan diri sebagai pengganti ayahnya, kepala daerah perdikan Banyubiru.
Tetapi pelaksanaan rencana itu haruslah diolah semasak-masaknya. Sebab setiap kesalahan akan dapat menimbulkan akibat yang sama sekali tidak diharapkan.
Demikianlah rombongan kecil itu berjalan menyusur jalan-jalan pegunungan dengan tenangnya. Sekali-kali mereka harus meloncat-loncat di atas batu-batu padas. Dan dengan demikian mereka telah mengejutkan burung-burung liar yang sedang bertengger di atas karang-karang terjal yang menjorok di tebing-tebing pegunungan.
Pada saat rombongan kecil, yang terdiri dari Kebo Kanigara beserta putrinya Endang Widuri. Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Wanamerta sampai di Padepokan Karang Tumaritis, mereka melihat Panembahan Ismaya sedang duduk dikerumuni beberapa orang cantrik. Agaknya Panembahan itu sedang bercakap-cakap atau berceritera tentang suatu hal yang sangat menarik. Sebab tidaklah lazim Panembahan Ismaya memberi wejangan dan pelajaran dengan cara yang demikian.
Ketika salah seorang cantrik melihat kedatangan rombongan itu, serta memberitahukan kepada Panembahan Ismaya, maka dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu berdiri dan menyambut. Dipersilahkannya rombongan itu duduk pula bersama-sama dengan para cantrik.
Yang pertama-tama ditanyakan adalah keselamatan mereka yang baru saja datang menghadap.
Kebo Kanigaralah yang mewakili menjawab setiap pertanyaan Panembahan Ismaya, serta menyampaikan bakti mereka bersama-sama.
PANEMBAHAN Ismaya mendengarkan semua ceritera Kebo Kanigara dengan penuh perhatian. Kata demi kata seolah-olah dicernakan kembali didalam otaknya untuk dapat menangkap saripatinya.
Quote:
“Syukurlah kalau kalian selamat,” katanya kemudian, namun wajahnya tampak muram.
“Karena pangestu Panembahan,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebenarnya aku telah mendengar apa yang terjadi di Gedangan, dari tembang-rawat-rawat bakul sinambi wara. Juga seorang cantrik yang sedang turun untuk menukarkan hasil pertanian kami, mendengar pula ceritera tentang pertempuran yang terjadi di Gedangan.”
“Karena pangestu Panembahan,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebenarnya aku telah mendengar apa yang terjadi di Gedangan, dari tembang-rawat-rawat bakul sinambi wara. Juga seorang cantrik yang sedang turun untuk menukarkan hasil pertanian kami, mendengar pula ceritera tentang pertempuran yang terjadi di Gedangan.”
Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Wajahnya yang muram itu menatap dengan tajam ke arah mata Kebo Kanigara yang kemudian menundukkan kepalanya.
Quote:
“Dan aku mendengar pula…” sambung Panembahan Ismaya,
“Bahwa pada kedua belah pihak jatuh korban.”
“Ya.” jawab Kanigara pendek sambil masih menekurkan kepalanya.
“Dalam setiap perselisihan dan kekerasan akan jatuh korban,” sambung Panembahan Ismaya bergumam seperti kepada dirinya sendiri.
“Besar atau kecil, seperti apa yang baru saja terjadi.”
Sekali lagi Panembahan tua itu berhenti, menelan ludahnya. Lalu kemudian ia berkata kepada salah seorang cantrik,
“Kenapa belum kalian sajikan minuman untuk para tamu ini?”
“Bahwa pada kedua belah pihak jatuh korban.”
“Ya.” jawab Kanigara pendek sambil masih menekurkan kepalanya.
“Dalam setiap perselisihan dan kekerasan akan jatuh korban,” sambung Panembahan Ismaya bergumam seperti kepada dirinya sendiri.
“Besar atau kecil, seperti apa yang baru saja terjadi.”
Sekali lagi Panembahan tua itu berhenti, menelan ludahnya. Lalu kemudian ia berkata kepada salah seorang cantrik,
“Kenapa belum kalian sajikan minuman untuk para tamu ini?”
Seorang cantrik segera berdiri dan pergi ke belakang untuk menyiapkan minuman bagi rombongan yang memang kehausan itu. Setelah mengucapkan kata-kata itu. Panembahan Ismaya tidak meneruskan kata-katanya. Bahkan kemudian tampaklah ia menundukkan wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya.
Yang melihat hal itu, tak seorangpun yang berani mengucapkan sepatah katapun. Meskipun hati mereka diliputi oleh berbagai pertanyaan namun mulut mereka terkatub rapat.
Baru beberapa saat kemudian Panembahan tua itu berkata,
Quote:
“Anak-anakku semua. Baru saja aku memperkatakan angger Arya Salaka. Aku dengar bahwa angger mengalami peristiwa yang hampir menyeretnya kedalam kesulitan.”
Arya Salaka membungkukkan badannya, dan dengan hormatnya ia menjawab,
“Benar Panembahan. Tetapi Tuhan yang Maha Murah telah membebaskan aku dari cengkeraman maut.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lirih,
“Angger, baru saja memperkatakan angger dengan para cantrik. Peristiwa seperti apa yang terjadi atas daerah Perdikan Banyubiru itu telah berulang kali terjadi. Dalam lingkungan yang besar dan dalam lingkungan yang lebih kecil. Pertentangan yang terjadi diantara keluarga sendiri.”
Arya Salaka membungkukkan badannya, dan dengan hormatnya ia menjawab,
“Benar Panembahan. Tetapi Tuhan yang Maha Murah telah membebaskan aku dari cengkeraman maut.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lirih,
“Angger, baru saja memperkatakan angger dengan para cantrik. Peristiwa seperti apa yang terjadi atas daerah Perdikan Banyubiru itu telah berulang kali terjadi. Dalam lingkungan yang besar dan dalam lingkungan yang lebih kecil. Pertentangan yang terjadi diantara keluarga sendiri.”
Panembahan Ismaya berhenti sesaat, seolah-olah hendak menunggu sampai kata-katanya meresap kedalam otak bocah itu. Kemudian ia meneruskan,
Quote:
“Baru saja aku berceritera kepada para cantrik. Ceritera tentang masa-masa lalu, yang pernah aku dengar dari mulut ke mulut, atau yang pernah aku baca dari lontar-lontar. Keretakan demi keretakan, perselisihan demi perselisihan dan pertempuran demi pertempuran telah berulang kali menusuk jantung kita sendiri. Usaha yang telah dikerjakan dengan bekerja keras dan penuh keprihatinan, akhirnya dihancurkan oleh ketamakan dan pemanjaan nafsu.”
“Kisah tentang kebesaran Baginda Erlangga di Jawa Timur adalah satu diantaranya. Dengan susah payah baginda Erlangga berusaha untuk membina persatuan dari seluruh kerajaannya.”
"Dibekali dengan sakit dan lapar. Dengan mesu raga disepanjang bukit dan hutan. Sehingga oleh Empu Kanwa Baginda dipersamakan dengan Arjuna dalam Kakimpoi Arjunawiwaha. Tetapi yang kemudian terpaksa membagi daerah yang dengan susah payah disatukan itu menjadi dua. Itu sebenarnya bukanlah peristiwa yang paling menyedihkan didalam hidupnya. Tetapi lebih daripada itu pewaris-pewarisnya ternyata telah menyobek-nyobek dada sendiri. Terutama Janggala, yang semakin lama menjadi semakin surut. Dan akhirnya lenyap dari percaturan sejarah. Sedang Kediri agaknya masih dapat bertahan lebih lama lagi. Namun negara inipun mengalami peristiwa yang sama.”
“Baginda Jayabaya terpaksa harus berperang melawan kadang sendiri, yaitu Jayasaba. Tetapi apa yang mereka dapatkan dari perselisihan-perselisihan itu? Kediri pun semakin lama semakin surut. Dan hanyutlah Kediri pada jaman Baginda Kertajaya, dilanda oleh kekuatan yang tumbuh dari lingkungan yang tak dapat diketahui.”
“Ken Arok, yang kemudian bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Tetapi kekuatan inipun kemudian terpecah belah. Pertengkaran-pertengkaran timbul. Golongan yang satu melawan golongan yang lain. Pengikut-pengikut Anusapati dari darah Tunggul Ametung melawan golongan Tohjaya dari darah Sang Amurwabhumi dengan isterinya yang kedua Ken Umang. Juga mereka tidak mendapatkan sesuatu dari pertengkaran ini kecuali kelemahan dan mendorong diri sendiri ke tepi jurang keruntuhan. Ketika golongan-golongan itu telah tidak lagi saling berdesak-desakan, datanglah Kertanegara. Tetapi tanpa disangka-sangka, di dalam tubuh kekuasaan Kertanegara terdapatlah Ardaraja, yang membantu kekuatan dari luar untuk menghancurkan Singasari. Juga Singasari kemudian runtuh. Setelah itu lahirlah Majapahit dengan megahnya.”
“Kesatuan dan persatuan dapat dibina dengan cucuran keringat Sang Maha Patih Gajah Mada. Karena itulah Majapahit menjadi mercusuar dari negara-negara yang terserak-serak dari Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik dan banyak daerah-daerah lagi. Juga dengan negara-negara tetangga Syangka, Darmanegari, Campa, Kamboja dan masih banyak lagi.”
“Kisah tentang kebesaran Baginda Erlangga di Jawa Timur adalah satu diantaranya. Dengan susah payah baginda Erlangga berusaha untuk membina persatuan dari seluruh kerajaannya.”
"Dibekali dengan sakit dan lapar. Dengan mesu raga disepanjang bukit dan hutan. Sehingga oleh Empu Kanwa Baginda dipersamakan dengan Arjuna dalam Kakimpoi Arjunawiwaha. Tetapi yang kemudian terpaksa membagi daerah yang dengan susah payah disatukan itu menjadi dua. Itu sebenarnya bukanlah peristiwa yang paling menyedihkan didalam hidupnya. Tetapi lebih daripada itu pewaris-pewarisnya ternyata telah menyobek-nyobek dada sendiri. Terutama Janggala, yang semakin lama menjadi semakin surut. Dan akhirnya lenyap dari percaturan sejarah. Sedang Kediri agaknya masih dapat bertahan lebih lama lagi. Namun negara inipun mengalami peristiwa yang sama.”
“Baginda Jayabaya terpaksa harus berperang melawan kadang sendiri, yaitu Jayasaba. Tetapi apa yang mereka dapatkan dari perselisihan-perselisihan itu? Kediri pun semakin lama semakin surut. Dan hanyutlah Kediri pada jaman Baginda Kertajaya, dilanda oleh kekuatan yang tumbuh dari lingkungan yang tak dapat diketahui.”
“Ken Arok, yang kemudian bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Tetapi kekuatan inipun kemudian terpecah belah. Pertengkaran-pertengkaran timbul. Golongan yang satu melawan golongan yang lain. Pengikut-pengikut Anusapati dari darah Tunggul Ametung melawan golongan Tohjaya dari darah Sang Amurwabhumi dengan isterinya yang kedua Ken Umang. Juga mereka tidak mendapatkan sesuatu dari pertengkaran ini kecuali kelemahan dan mendorong diri sendiri ke tepi jurang keruntuhan. Ketika golongan-golongan itu telah tidak lagi saling berdesak-desakan, datanglah Kertanegara. Tetapi tanpa disangka-sangka, di dalam tubuh kekuasaan Kertanegara terdapatlah Ardaraja, yang membantu kekuatan dari luar untuk menghancurkan Singasari. Juga Singasari kemudian runtuh. Setelah itu lahirlah Majapahit dengan megahnya.”
“Kesatuan dan persatuan dapat dibina dengan cucuran keringat Sang Maha Patih Gajah Mada. Karena itulah Majapahit menjadi mercusuar dari negara-negara yang terserak-serak dari Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik dan banyak daerah-daerah lagi. Juga dengan negara-negara tetangga Syangka, Darmanegari, Campa, Kamboja dan masih banyak lagi.”
Sekali lagi Panembahan Ismaya berhenti untuk sesaat. Arya mendengar ceritera Panembahan Ismaya itu dengan penuh perhatian. Beberapa dari ceritera itu pernah didengarnya dari gurunya. Namun kali ini rasa-rasanya ceritera itu lebih meresap daripada yang pernah didengarnya.
fakhrie... dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas