- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#339
Jilid 11 [Part 243]
Spoiler for :
BELUM lagi Uling Kuning benar-benar sadar atas apa yang terjadi, dilihatnya gadis kecil itu melayang dengan lincahnya, menyerang seperti semburan air hujan yang datang ke segenap bagian tubuhnya. Uling Kuning terpaksa surut beberapa langkah. Namun demikian ia mempunyai cukup kesempatan untuk membetengi dirinya dengan tangkisan-tangkisan yang rapat. Tetapi Endang Widuri cukup lincah dan cekatan untuk membingungkannya.
Ketika Arya Salaka melihat bahwa Endang Widuri ternyata telah berhasil menolong dirinya sendiri, ia menjadi berbesar hati. Ia percaya bahwa gadis itu akan mampu untuk menahan serangan Uling Kuning dalam waktu yang cukup lama. Ia mengharap bahwa keadaan akan memungkinkannya untuk membantu.
Apalagi ketika dilihatnya Uling Kuning menjadi gelisah karena serangan pertama kaki Widuri yang tepat mengenai bagian bawah perutnya. Ternyata bahwa akibat dari serangan itu sangat menguntungkan. Sebab untuk seterusnya tenaga Uling Kuning sangat terpengaruh oleh perasaan muak dan sakit yang melilit-lilit di dalam rongga perutnya.
Tetapi Arya tidak mempunyai kesempatan lebih lama lagi untuk menilai pertempuran antara Widuri dan Uling Kuning. Sebab pada saat itu Uling Putih telah menyerangnya pula, bagaikan badai yang datang bergulung-gulung. Tetapi agaknya badai itu menghantam gunung yang tegak dengan perkasanya, serta tak setapakpun bergeser dari tempatnya.
Demikianlah di tempat yang sepi itu telah terjadi dua lingkaran pertempuran. Uling Putih yang menyesal, bahwa ia tak berhasil mempergunakan saat yang ditunggu-tunggu menjadi semakin marah. Cambuknya berputar-putar semakin cepat. Tetapi lawannya menjadi semakin garang pula. Luka di lengan dan lambung Arya telah menambahnya semakin teguh.
Ujung tombaknya yang bercahaya kebiru-biruan, mematuk-matuk ke segenap bagian tubuh lawan seolah-olah menjadi beribu-ribu mata tombak yang datang dari segala arah. Sejalan dengan itu, dada Uling Putih terasa menjadi semakin sesak. Beberapa kali ia meloncat menjauhi lawannya untuk mendapat kesempatan menarik nafas dalam-dalam. Namun lawannya bukan pula seorang yang tidak mengetahui keadaannya. Karena setiap ia berusaha untuk mendapat kesempatan itu, Arya Salaka selalu dengan garangnya mendesak maju.
Kepada lawannya yang sangat berbahaya itu, Arya sama sekali tidak mau memberi kesempatan sama sekali. Bahkan kemudian, tiba-tiba ia teringat pada suatu pagi yang cerah di Banyubiru. Pada saat ia berhasil menangkap seekor Uling dari Rawa Pening.
Pada saat itu Mahesa Jenar berkata kepadanya, bahwa bukan Uling seperti yang ditangkapnya itulah yang berbahaya di daerah sekitar Rawa Pening, tetapi sepasang Uling yang sekarang berhadapan melawannya itulah yang dicemaskan. Diingatnya pada saat itu, ia seolah-olah berjanji kepada Mahesa Jenar, bahwa sepasang Uling itupun kelak akan dibunuhnya.
Sepasang Uling yang selalu membayangi kekuasaan ayahnya di Banyubiru.
Bahkan telah berterus terang kepadanya, bahwa sepasang Uling itupun sekarang sedang dalam perjuangan untuk dapat merebut kedudukan ayahnya itu lewat segala macam lekuk-liku dan cara-cara yang licik. Karena itu, dada Arya Salaka menjadi semakin menggelegak. Baginya tidak ada pilihan lain daripada berusaha untuk memenuhi harapannya, membinasakan sepasang Uling yang berhati hitam itu.
Dengan demikian, kebulatan tekadnya itu seolah-olah telah mempengaruhi tenaganya. Ia seolah-olah telah mendapat tenaga yang maha besar mengalir lewat pembuluh-pembuluh darahnya ke segenap bagian tubuhnya.
Karena itu, maka apa yang terjadi kemudian sangat mengejutkan lawannya. Dengan penuh keyakinan di dalam dadanya, Arya melanda lawannya seperti ombak lautan yang digoncangkan badai. Dengan garangnya, segulung demi segulung, berturut-turut menghantam tebing, yang akhirnya akan runtuh berguguran.
Demikianlah Uling Putih akhirnya merasakan, bahwa tekanan serangan Arya Salaka menjadi semakin dahsyat. Bahkan tiba-tiba ketika ia sedang mati-matian mempertahankan dirinya, terasa tangannya yang memegang cambuk itu bergetar. Dan apa yang dilihatnya sangat mengejutkannya.
Ternyata ujung cambuknya telah terpotong oleh ketajaman tombak Arya Salaka. Dengan demikian, Uling Putih menjadi cemas. Satu-satunya senjata yang selama ini dibangga-banggakannya telah terpotong. Ia menjadi bertambah cemas lagi ketika ia melirik ke arah adiknya.
Dalam sekilas Arya menyaksikan gadis itu dapat melawan Uling Kuning dengan baiknya setelah UlingKuning dikenainya lebih dahulu. Dengan demikian ia tidak dapat mengharap Uling Kuning akan dapat membantunya. Tetapi Uling Putih adalah seorang yang berhati batu. Meskipun pertempuan yang telah berlangsung itu mengatakan kepadanya bahwa Arya Salaka bukanlah anak-anak yang hanya dapat bermain loncat-loncatan, namun ia telah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dan membunuhnya. Karena itu ia menjadi semakin buas. Geraknya semakin lama menjadi semakin liar.
Dalam keadan yang demikian itulah Arya benar-benar berusaha menguasai keadaan. Ia bertempur dengan hati-hati. Ia tidak saja mempergunakan tenaganya, tetapi ia memperhitungkan pula setiap keadaan dan kemungkinan.
Demikianlah, ketika bulan muda telah membenamkan dirinya di balik punggung pegunungan, terdengarlah suatu jeritan ngeri mengumandang membentur dinding-dinding bukit. Jerit ngeri yang patah. Dan kemudian disusul dengan suara tubuh yang jatuh terbanting.
Sesaat kemudian kembali malam terlempar ke dalam suasana yang sepi, Arya Salaka tampak tegak berdiri dengan tangan yang gemetar memegang Kiai Bancak yang berlumuran darah. Darah Uling Putih yang kini terbaring tak bernafas di hadapannya. Yang terdengar pada saat itu hanya dengus nafas Arya Salaka yang melonjak-lonjak.
TETAPI Arya Salaka tidak mendapat kesempatan untuk menyaksikan tubuh lawannya itu lebih lama lagi. Sebab tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan yang meloncat lari. Itulah Uling Kuning yang setelah tertegun sejenak bersama lawannya, Endang Widuri, yang seperti terpesona, menjadi sadar bahwa bahaya maut telah mengancamnya. Karena itu ia akan berusaha untuk menghindarkan dirinya. Tetapi Arya telah melihat bayangannya.
Dengan secepat kilat dikejarnya Uling Kuning itu. Terhadap orang-orang yang demikian itu Arya tidak dapat berbuat lain kecuali membinasakan. Itulah sebabnya maka Arya sama sekali tidak mau lagi memberi kesempatan kepada Uling Kuning untuk meloloskan diri.
Demikian pula Endang Widuri. Ia tidak mau pula ketinggalan. Maka segera iapun berlari mengejar kedua bayangan yang berlari berkejar-kejaran. Namun kedua bayangan itu kemudian lenyap menyusup ke dalam semak-semak. Untuk seterusnya Endang Widuri kehilangan jejak. Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak tahu kemana ia harus pergi. Sedang jalan kembalipun tak diketahuinya pula. Untuk beberapa saat Endang Widuri berdiri termangu-mangu.
Tiba-tiba, ketika ia sedang mencari-cari jalan terdengarlah gemersik daun di belakangnya. Cepat ia meloncat memutar tubuhnya, dan berdiri dengan teguhnya diatas kedua kakinya yang renggang setengah langkah serta tangannya yang disilangkan di muka dadanya, siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Dalam sepi malam, terdengar langkah itu semakin jelas. Bahkan kemudian dilihatnya dalam gelap malam dua bayangan yang berjalan dengan tetap ke arahnya.
Endang Widuri yang baru saja bertempur melawan Uling Kuning, masih saja merasa dipengaruhi oleh suasana perkelahian. Karena itu ia menyambut kedatangan dua bayangan itu dengan sikap yang garang, siap untuk bertempur. Tetapi kemudian ia terkejut ketika didengarnya sebuah tawa yang lunak, yang sudah terlalu sering didengarnya.
Kebo Kanigara memandang wajah Mahesa Jenar, kawannya berjalan dengan wajah yang berkerut. Ia ingin mengetahui bagaimanakah pendapatnya mengenai muridnya.
Mereka tidak berkata-kata lagi. Tetapi segera mereka melangkah menyibak daun-daun yang pekat, yang menghadang di hadapan mereka. Dengan matanya yang tajam, Mahesa Jenar dapat melihat bekas-bekas ranting yang tersibak patah-patah oleh injakan dan sentuhan tubuh Uling Kuning dan Arya Salaka, yang berkejar-kejaran. Dengan demikian meskipun agak sulit dan perlahan-lahan, Mahesa Jenar dapat mencari jejak mereka berdua.
Ternyata perjalanan itu cukup panjang. Ketika mereka telah hampir tidak sabar lagi, tiba-tiba kaki mereka menginjak tanah yang gembur basah. Semakin lama semakin dalam. Dan sejalan dengan itu, semak-semaknya pun menjadi bertambah tipis.
Apa yang mereka perkirakan adalah benar. Sesaat kemudian mereka sampai ke daerah yang ditumbuhi batang-batang ilalang, dan kemudian di hadapan mereka terbentang telaga yang tidak terlampau luas. Agaknya Uling Kuning berusaha melarikan diri dengan bersembunyi di telaga itu.
Ketika mereka sudah berdiri di tepi telaga, serta melayangkan pandangan berkeliling, tiba-tiba terlihatlah sesuatu yang bergerak-gerak di dalam telaga itu.
Ketika Arya Salaka melihat bahwa Endang Widuri ternyata telah berhasil menolong dirinya sendiri, ia menjadi berbesar hati. Ia percaya bahwa gadis itu akan mampu untuk menahan serangan Uling Kuning dalam waktu yang cukup lama. Ia mengharap bahwa keadaan akan memungkinkannya untuk membantu.
Apalagi ketika dilihatnya Uling Kuning menjadi gelisah karena serangan pertama kaki Widuri yang tepat mengenai bagian bawah perutnya. Ternyata bahwa akibat dari serangan itu sangat menguntungkan. Sebab untuk seterusnya tenaga Uling Kuning sangat terpengaruh oleh perasaan muak dan sakit yang melilit-lilit di dalam rongga perutnya.
Tetapi Arya tidak mempunyai kesempatan lebih lama lagi untuk menilai pertempuran antara Widuri dan Uling Kuning. Sebab pada saat itu Uling Putih telah menyerangnya pula, bagaikan badai yang datang bergulung-gulung. Tetapi agaknya badai itu menghantam gunung yang tegak dengan perkasanya, serta tak setapakpun bergeser dari tempatnya.
Demikianlah di tempat yang sepi itu telah terjadi dua lingkaran pertempuran. Uling Putih yang menyesal, bahwa ia tak berhasil mempergunakan saat yang ditunggu-tunggu menjadi semakin marah. Cambuknya berputar-putar semakin cepat. Tetapi lawannya menjadi semakin garang pula. Luka di lengan dan lambung Arya telah menambahnya semakin teguh.
Ujung tombaknya yang bercahaya kebiru-biruan, mematuk-matuk ke segenap bagian tubuh lawan seolah-olah menjadi beribu-ribu mata tombak yang datang dari segala arah. Sejalan dengan itu, dada Uling Putih terasa menjadi semakin sesak. Beberapa kali ia meloncat menjauhi lawannya untuk mendapat kesempatan menarik nafas dalam-dalam. Namun lawannya bukan pula seorang yang tidak mengetahui keadaannya. Karena setiap ia berusaha untuk mendapat kesempatan itu, Arya Salaka selalu dengan garangnya mendesak maju.
Kepada lawannya yang sangat berbahaya itu, Arya sama sekali tidak mau memberi kesempatan sama sekali. Bahkan kemudian, tiba-tiba ia teringat pada suatu pagi yang cerah di Banyubiru. Pada saat ia berhasil menangkap seekor Uling dari Rawa Pening.
Pada saat itu Mahesa Jenar berkata kepadanya, bahwa bukan Uling seperti yang ditangkapnya itulah yang berbahaya di daerah sekitar Rawa Pening, tetapi sepasang Uling yang sekarang berhadapan melawannya itulah yang dicemaskan. Diingatnya pada saat itu, ia seolah-olah berjanji kepada Mahesa Jenar, bahwa sepasang Uling itupun kelak akan dibunuhnya.
Sepasang Uling yang selalu membayangi kekuasaan ayahnya di Banyubiru.
Bahkan telah berterus terang kepadanya, bahwa sepasang Uling itupun sekarang sedang dalam perjuangan untuk dapat merebut kedudukan ayahnya itu lewat segala macam lekuk-liku dan cara-cara yang licik. Karena itu, dada Arya Salaka menjadi semakin menggelegak. Baginya tidak ada pilihan lain daripada berusaha untuk memenuhi harapannya, membinasakan sepasang Uling yang berhati hitam itu.
Dengan demikian, kebulatan tekadnya itu seolah-olah telah mempengaruhi tenaganya. Ia seolah-olah telah mendapat tenaga yang maha besar mengalir lewat pembuluh-pembuluh darahnya ke segenap bagian tubuhnya.
Karena itu, maka apa yang terjadi kemudian sangat mengejutkan lawannya. Dengan penuh keyakinan di dalam dadanya, Arya melanda lawannya seperti ombak lautan yang digoncangkan badai. Dengan garangnya, segulung demi segulung, berturut-turut menghantam tebing, yang akhirnya akan runtuh berguguran.
Demikianlah Uling Putih akhirnya merasakan, bahwa tekanan serangan Arya Salaka menjadi semakin dahsyat. Bahkan tiba-tiba ketika ia sedang mati-matian mempertahankan dirinya, terasa tangannya yang memegang cambuk itu bergetar. Dan apa yang dilihatnya sangat mengejutkannya.
Ternyata ujung cambuknya telah terpotong oleh ketajaman tombak Arya Salaka. Dengan demikian, Uling Putih menjadi cemas. Satu-satunya senjata yang selama ini dibangga-banggakannya telah terpotong. Ia menjadi bertambah cemas lagi ketika ia melirik ke arah adiknya.
Dalam sekilas Arya menyaksikan gadis itu dapat melawan Uling Kuning dengan baiknya setelah UlingKuning dikenainya lebih dahulu. Dengan demikian ia tidak dapat mengharap Uling Kuning akan dapat membantunya. Tetapi Uling Putih adalah seorang yang berhati batu. Meskipun pertempuan yang telah berlangsung itu mengatakan kepadanya bahwa Arya Salaka bukanlah anak-anak yang hanya dapat bermain loncat-loncatan, namun ia telah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dan membunuhnya. Karena itu ia menjadi semakin buas. Geraknya semakin lama menjadi semakin liar.
Dalam keadan yang demikian itulah Arya benar-benar berusaha menguasai keadaan. Ia bertempur dengan hati-hati. Ia tidak saja mempergunakan tenaganya, tetapi ia memperhitungkan pula setiap keadaan dan kemungkinan.
Demikianlah, ketika bulan muda telah membenamkan dirinya di balik punggung pegunungan, terdengarlah suatu jeritan ngeri mengumandang membentur dinding-dinding bukit. Jerit ngeri yang patah. Dan kemudian disusul dengan suara tubuh yang jatuh terbanting.
Sesaat kemudian kembali malam terlempar ke dalam suasana yang sepi, Arya Salaka tampak tegak berdiri dengan tangan yang gemetar memegang Kiai Bancak yang berlumuran darah. Darah Uling Putih yang kini terbaring tak bernafas di hadapannya. Yang terdengar pada saat itu hanya dengus nafas Arya Salaka yang melonjak-lonjak.
TETAPI Arya Salaka tidak mendapat kesempatan untuk menyaksikan tubuh lawannya itu lebih lama lagi. Sebab tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan yang meloncat lari. Itulah Uling Kuning yang setelah tertegun sejenak bersama lawannya, Endang Widuri, yang seperti terpesona, menjadi sadar bahwa bahaya maut telah mengancamnya. Karena itu ia akan berusaha untuk menghindarkan dirinya. Tetapi Arya telah melihat bayangannya.
Dengan secepat kilat dikejarnya Uling Kuning itu. Terhadap orang-orang yang demikian itu Arya tidak dapat berbuat lain kecuali membinasakan. Itulah sebabnya maka Arya sama sekali tidak mau lagi memberi kesempatan kepada Uling Kuning untuk meloloskan diri.
Demikian pula Endang Widuri. Ia tidak mau pula ketinggalan. Maka segera iapun berlari mengejar kedua bayangan yang berlari berkejar-kejaran. Namun kedua bayangan itu kemudian lenyap menyusup ke dalam semak-semak. Untuk seterusnya Endang Widuri kehilangan jejak. Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak tahu kemana ia harus pergi. Sedang jalan kembalipun tak diketahuinya pula. Untuk beberapa saat Endang Widuri berdiri termangu-mangu.
Tiba-tiba, ketika ia sedang mencari-cari jalan terdengarlah gemersik daun di belakangnya. Cepat ia meloncat memutar tubuhnya, dan berdiri dengan teguhnya diatas kedua kakinya yang renggang setengah langkah serta tangannya yang disilangkan di muka dadanya, siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Dalam sepi malam, terdengar langkah itu semakin jelas. Bahkan kemudian dilihatnya dalam gelap malam dua bayangan yang berjalan dengan tetap ke arahnya.
Endang Widuri yang baru saja bertempur melawan Uling Kuning, masih saja merasa dipengaruhi oleh suasana perkelahian. Karena itu ia menyambut kedatangan dua bayangan itu dengan sikap yang garang, siap untuk bertempur. Tetapi kemudian ia terkejut ketika didengarnya sebuah tawa yang lunak, yang sudah terlalu sering didengarnya.
Quote:
“Ayah…!” teriaknya sambil berlari menyambut kedatangan bayangan yang sudah semakin dekat.
“Apa yang kau kerjakan di sini?” tanya Kebo Kanigara.
“Berkelahi,” jawab gadis itu.
“Hem…" desis ayahnya.
"Aku memang sudah mengira. Apalagi ketika aku jumpai sesosok mayat dibalik semak-semak di sebelah.”
“Kakang Arya telah membunuhnya,” jawab Widuri.
“Apa yang kau kerjakan di sini?” tanya Kebo Kanigara.
“Berkelahi,” jawab gadis itu.
“Hem…" desis ayahnya.
"Aku memang sudah mengira. Apalagi ketika aku jumpai sesosok mayat dibalik semak-semak di sebelah.”
“Kakang Arya telah membunuhnya,” jawab Widuri.
Kebo Kanigara memandang wajah Mahesa Jenar, kawannya berjalan dengan wajah yang berkerut. Ia ingin mengetahui bagaimanakah pendapatnya mengenai muridnya.
Quote:
“Aku sudah menduga pula, bahwa anak itu akan membunuhnya pada suatu saat. Dan sekarang hal itu sudah dilakukannya,” gumam Mahesa Jenar seperti kepada dirinya sendiri.
“Darimana ayah dan Paman Mahesa Jenar tahu bahwa kami berada di sini?” tanya Widuri.
“Ketika hari sudah gelap, dan kau berdua tidak juga datang, aku menjadi cemas. Seseorang telah melihat kau berjalan ke arah ini sore tadi. Dan yang terakhir teriakan seseorang, yang mungkin adalah teriakan Uling Putih pada saat dadanya disobek oleh tombak Arya, telah menuntun aku kemari. Tepat pada saat kami datang, kami melihat kau berlari-lari. Karena itulah maka aku dapat menemukan kau di sini,” jawab ayahnya.
“Tetapi aku kehilangan jejak Kakang Arya Salaka,” sahut Widuri.
“Marilah kita cari. Agaknya ia akan terlibat pula dalam pertempuran melawan Uling Kuning. Padahal tenaganya sudah jauh susut karena kelelahan,” potong Mahesa Jenar.
“Darimana ayah dan Paman Mahesa Jenar tahu bahwa kami berada di sini?” tanya Widuri.
“Ketika hari sudah gelap, dan kau berdua tidak juga datang, aku menjadi cemas. Seseorang telah melihat kau berjalan ke arah ini sore tadi. Dan yang terakhir teriakan seseorang, yang mungkin adalah teriakan Uling Putih pada saat dadanya disobek oleh tombak Arya, telah menuntun aku kemari. Tepat pada saat kami datang, kami melihat kau berlari-lari. Karena itulah maka aku dapat menemukan kau di sini,” jawab ayahnya.
“Tetapi aku kehilangan jejak Kakang Arya Salaka,” sahut Widuri.
“Marilah kita cari. Agaknya ia akan terlibat pula dalam pertempuran melawan Uling Kuning. Padahal tenaganya sudah jauh susut karena kelelahan,” potong Mahesa Jenar.
Mereka tidak berkata-kata lagi. Tetapi segera mereka melangkah menyibak daun-daun yang pekat, yang menghadang di hadapan mereka. Dengan matanya yang tajam, Mahesa Jenar dapat melihat bekas-bekas ranting yang tersibak patah-patah oleh injakan dan sentuhan tubuh Uling Kuning dan Arya Salaka, yang berkejar-kejaran. Dengan demikian meskipun agak sulit dan perlahan-lahan, Mahesa Jenar dapat mencari jejak mereka berdua.
Ternyata perjalanan itu cukup panjang. Ketika mereka telah hampir tidak sabar lagi, tiba-tiba kaki mereka menginjak tanah yang gembur basah. Semakin lama semakin dalam. Dan sejalan dengan itu, semak-semaknya pun menjadi bertambah tipis.
Quote:
“Tanahnya mengandung air,” desis Mahesa Jenar.
“Aku kira kita sampai ke rawa atau telaga,” sahut Kebo Kanigara.
“Aku kira kita sampai ke rawa atau telaga,” sahut Kebo Kanigara.
Apa yang mereka perkirakan adalah benar. Sesaat kemudian mereka sampai ke daerah yang ditumbuhi batang-batang ilalang, dan kemudian di hadapan mereka terbentang telaga yang tidak terlampau luas. Agaknya Uling Kuning berusaha melarikan diri dengan bersembunyi di telaga itu.
Ketika mereka sudah berdiri di tepi telaga, serta melayangkan pandangan berkeliling, tiba-tiba terlihatlah sesuatu yang bergerak-gerak di dalam telaga itu.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas