- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#338
Jilid 11 [Part 242]
Spoiler for :
TERNYATA kedua orang itu benar-benar luar biasa. Untunglah bahwa pada saat itu, ia telah banyak menerima tuntunan langsung atau tidak langsung, sehingga dengan demikian ia dapat melawan Uling Putih dengan sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ternyata bahwa ia berhasil mendesaknya. Apalagi setelah ia mengalami pijatan-pijatan di seluruh permukaan tubuhnya, terasa sekali betapa ia bertambah segar, kuat dan lincah. Tenaganya dapat melontar bebas tanpa sesuatu rintangan.
Uling Putih kemudian mengumpat-umpat di dalam hati. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Arya Salaka memiliki keteguhan serta ketangguhan yang sedemikian besarnya. Karena itu ia menjadi bertambah marah. Dikerahkannya segenap ilmunya. Tetapi ia harus menghadapi suatu kenyataan, bahwa setelah ia memeras diri, ia tetap tidak mampu untuk menundukkan lawannya.
Akhirnya ia menjadi gelisah. Bahkan ia mengharap agar adiknya melihat kesulitannya. Ia tidak dapat berteriak memintanya ikut bertempur sebab ia masih memperhatikan harga dirinya. Namun apabila keadaan memaksa, ia tidak akan pedulikan lagi, apalagi dengan demikian ia dianggap licik atau apapun.
Tetapi sebelum ia benar-benar minta adiknya menolongnya, dalam sekilas ia melihat Uling Kuning perlahan-lahan mendekati gadis kecil yang sedang asik melihat perkelahian itu. Dalam pada itu timbulah suatu harapan padanya. Mudah-mudahan gadis itu ditangkap oleh adiknya. Kalau gadis itu kemudian menjerit, saatnya tiba, Arya Salaka pasti akan lengah. Dan pada saat itu saat yang sebaik-baiknya untuk menghancurkannya.
Pada saat itu, malam telah turun perlahan-lahan. Warna-warna merah di langit telah lenyap disapu oleh warna-warna kelam. Bulan telah mulai menampakkan dirinya kembali diantara taburan bintang-bintang. Awan yang tipis bertebaran disana-sini menghias langit.
Perhatian Endang Widuri sebenarnya memang sedang tertumpah pada perkelahian yang sengit antara Arya Salaka melawan Uling Putih. Dengan keheran-heranan ia melihat Arya Salaka melontarkan diri, membelit dan kemudian meloncat dengan garangnya menghantam lawannya.
Tetapi ia mengerti pula bahwa Uling Putih pun mempunyai kekuatan yang cukup untuk dapat mempertahankan dirinya. Ia bergerak setapak-setapak, bergeser, meloncat dan berputar untuk menjaga agar ia tetap dapat menghadapi Arya Salaka yang seperti bayangan saja. Sekali muncul di sana, kemudian muncul di tempat lain. Kalau saja lawannya bukan orang yang cukup kuat, maka ia pasti akan menjadi pening dan kebingungan.
Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin seru. Arya Salaka semakin mendesak lawannya pula. Melihat peristiwa itu Endang Widuri menjadi gembira, sehingga gadis itu tersenyum-senyum sendiri. Bahkan ia kadang-kadang bergerak pula seperti anak-anak mendengar gamelan. Sekali ia bergeser maju, sekali ke samping. Bahkan kadang-kadang ia meremas-remas tangannya sendiri dengan kuatnya.
Tetapi ketika Uling Putih telah benar-benar terdesak, tiba-tiba tangannya menarik tali yang membelit pinggangnya. Demikian tali yang besar itu terurai, tampaklah bahwa sebenarnya yang membelit pinggangnya itu adalah sebuah cemeti. Arya Salaka tertegun melihat cambuk yang lemas di tangan Uling Putih. Ia tahu benar bahwa cambuk itulah senjata andalannya. Dengan demikian ia harus berhati-hati menghadapinya.
Ketika itulah Uling Putih itu menyerang dengan garangnya. Cambuknya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Sebuah sambaran mendatar mengarah ke dada Arya Salaka.
Dengan tangkasnya Arya membungkuk dalam-dalam, serta dengan sekali berputar, kakinya menyambar perut Uling Putih. Namun Uling Putih sempat menarik dirinya setapak mundur. Bersamaan dengan itu, ia telah sempat menarik cambuknya mendatar pula. Kali ini Arya tidak dapat membungkuk lebih rendah lagi.
Tetapi ia harus meloncat mundur. Uling Putih tidak mau memberinya kesempatan. Dengan loncatan yang panjang ia memburu Arya sambil mengayunkan cambuknya sendhal pancing. Arya yang mengetahui betapa bahaya yang mengancam apabila ia sampai terkena pukulan itu, segera meloncat kesamping.
Ketika ujung cemeti itu berdesing disamping telinganya, ia melontar dengan cepatnya maju dekat sekali dengan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia menghantam dada lawannya. Uling Putih terkejut melihat gerakan yang cepat dan tak terduga-duga itu.
Dengan tangan kirinya ia mencoba menahan tangan Arya, sedang tangan kanan memutar cambuknya cepat-cepat untuk menyerang dalam jarak yang pendek itu.
Demikianlah dengan kerasnya tangan Arya menghantam tangan kiri Uling Putih yang mencoba melindungi dadanya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga terdengarlah Uling Putih mengaduh tertahan. Tangan kirinya ternyata tidak mampu menahan tekanan tangan lawannya, sehingga bagaimanapun juga, terasa sesuatu mendesak dadanya. Desakan itu demikian kuatnya, sehingga ia terlontar mundur dan kemudian jatuh terguling.
Tetapi dalam pada itu, Uling Putih agaknya memang ahli memainkan senjatanya. Meskipun pada saat itu Arya berdiri hampir melekat tubuhnya, ujung cambuknya berhasil juga menyentuh pundaknya, sehingga terasalah betapa nyerinya, dan bahkan terasa bahwa kulitnya terkelupas.
Arya menyeringai menahan pedih. Tanpa disengaja tangannya meraba tempat yang terluka itu. Terasa betapa darahnya yang hangat mengalir. Dalam pada itu Uling Putih segera melenting berdiri. Namun terasa betapa dadanya semakin sesak.
Baik Uling Putih maupun Arya Salaka telah mencapai puncak kemarahannya. Mereka masing-masing telah merasakan betapa tubuh mereka telah berhasil disakiti oleh lawannya. Maka terdengarlah Uling Putih menggeram penuh dendam. Matanya yang menyala merah menjadi semakin liar. Arya Salaka pun kemudian menggigil karena kemarahan. Jantungnya berdebar keras, sedang tangannya bergetaran, siap untuk menghancurkan lawannya.
Uling Putih yang telah dapat menguasai dirinya kembali, segera melangkah maju. Ia telah melihat hasil serangannya pada lengan lawannya. Dengan demikian ia menjadi sedikit berbesar hati. Mudah-mudahan luka ditangan Arya itu dapat mempengaruhi keteguhan hatinya. Tetapi ia salah harap.Karena luka itu Arya malah menjadi semakin garang. Bahkan tiba-tiba tangannya yang gemetar telah menggenggam pusaka kebesaran tanah perdikan Banyubiru, Kyai Bancak.
Demikianlah pertempuran itu berkobar kembali. Cambuk Uling Putih berputar seperti baling-baling.
Bergulung-gulung seolah-olah ingin melibas lawannya dan membenamkan kedalamnya. Demikian dahsyatnya Uling Putih memainkan senjatanya sehingga terdengarlah angin mendesing-desing
menggoyang daun-daun pepohonan di sekitarnya serta merontokkan daun-daun kering yang sudah tidak mampu lagi berpegangan di batang-batangnya lebih erat lagi. Tetapi ia berhadapan dengan murid keturunan dari perguruan Pengging yang telah mengalami pembajaan diri yang luar biasa beratnya.
Bahkan telah mendapat pertolongan dari seorang ahli tata nadi memperbaiki letak otot-otot serta syaraf-syarafnya. Sehingga Arya Salaka dapat mempergunakan segenap tenaganya dalam lontaran-lontaran kekuatan tanpa dipengaruhi oleh penggunaan tenaga cadangan di dalam tubuhsendiri. Apalagi kini di tangannya telah tergenggam tombak sipat kandel yang dapat melipatgandakan kemampuannya melawan Uling Putih itu.
Dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah gulungan sinar keputih-putihan melingkar-lingkar mengerikan yang seolah-olah sedang berusaha untuk melanda sinar yang menyala kebiru-biruan. Itulah cahaya tombak Kyai Bancak. Namun sinar yang kebiru-biruan itu selalu berhasil menghindarkan dirinya, dan bahkan sekali-sekali dengan dahsyatnya menyusup langsung ke pusat gulungan sinar putih itu. Dengan demikian maka tampaklah betapa Arya Salaka dapat mengimbangi lawannya dengan baik.
Bahkan kemudian Uling Putih terpaksa memeras keringat habis-habisan untuk dapat mengimbangi permainan tombak bertangkai pendek, sependek tangkai pedang, yang digerakkan oleh tangan yang kokoh kuat dan terlatih baik.
Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin sengit. Dan sejalan dengan itu perhatian Endang Widuri pun menjadi semakin terikat. Ia menjadi semakin kagum atas ketangkasan Arya Salaka. Kalau beberapa saat yang lalu, ia pernah berlatih bersama-sama dengan anak muda itu, maka sekarang dengan penuh keheranan ia melihat Arya Salaka telah melangkah jauh kedepan. Pada waktu Arya bertempur melawan Sawung Sariti pun, tenaganya masih belum sedahsyat sekarang ini. Tetapi ia tidak tahu bahwa di dalam tubuh Arya, baru saja terdapat beberapa perubahan tata nadi yang sangat menguntungkannya.
Tetapi karena keasyikannya melihat pertempuran itulah maka ia sama sekali tidak menduga bahwa Uling Kuning telah menjadi semakin dekat, semakin dekat di belakangnya.
Maka, tiba-tiba saja dirasanya sepasang tangan yang kuat telah memegang kedua belah lengannya. Dengan demikian Endang Widuri menjadi terkejut sekali, sehingga tanpa disengaja ia Cumiik kecil.
Saat itulah yang memang ditunggu-tunggu oleh kedua Uling bersaudara itu. Sebab dengan demikian mereka mengharap Arya akan menjadi lengah. Dan apa yang mereka harapkan itu benar-benar terjadi. Arya terkejut mendengar suara Widuri. Tetapi ia tidak menjadi lengah karenanya. Untuk dapat mengetahui keadaan gadis itu. Arya Salak meloncat jauh-jauh ke belakang.
Meskipun demikian, karena perhatiannya sebagian terampas oleh peristiwa lain, maka terasalah sebuah sengatan pedih di pinggangnya. Ternyata sekali lagi Uling Putih berhasil mengenainya dengan cambuknya yang sangat berbahaya. Terdengarlah Arya berdesis menahan sakit. Meskipun demikian ketika jaraknya telah menjadi agak jauh dari lawannya, ia sempat juga memandang kearah Widuri yang berdiri tidak begitu jauh dari titik perkelahian itu.
Tetapi yang terjadi kemudian, sama sekali tidak seperti yang diharapkan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening itu. Luka di pinggang Arya itu ternyata telah membakar semangat Arya lebih dahsyat lagi. Dengan menyeringai menahan pedih, ia menggeram penuh kemarahan.
Meskipun demikian otaknya masih dapat bekerja dengan baik. Ia tidak mau terlibat dalam pertempuran yang liar.
Uling Kuning, yang berhasil menangkap Widuri tanpa diketahui sebelumnya, agaknya menjadi menyesal sekali. Ketika ia memegang lengan gadis itu, ia terlalu berhati-hati, seperti seorang yang memegang sebuah permainan ringkih, sehingga ia takut kalau merusakkannya.
Tetapi ia sama sekali tidak menduga, bahwa gadis kecil itu tidak ubahnya sebagai seekor lebah kuning yang manis namun sengatnya sangat berbahaya.
Demikian Endang Widuri merasa tangkapan pada lengannya, ia menjadi sadar bahwa Uling Kuning telah menyerangnya. Tetapi otaknya yang cerdas merasakan betapa tangan Uling Kuning itu terlalu hati-hati meraba kulitnya. Itulah sebabnya, maka dengan satu gerakan merendah, sambil memutar tubuhnya setengah lingkaran, kakinya dengan cepatnya telah berhasil mengenai perut Uling Kuning bagian bawah.
Uling Kuning sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian dapat terjadi, sehingga ia sama sekali tidak bersiaga. Karena itu terdengarlah ia mengaduh kesakitan. Bahkan kekuatan Endang Widuri cukup melemparkannya beberapa langkah dan kemudian membantingnya jatuh ke tanah.
Untunglah Uling Kuning telah mempunyai cukup pengalaman. Dengan cepatnya ia meloncat berdiri dan mencoba menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Namun demikian, kaki gadis kecil, puteri Ki Kebo Kanigara, yang telah dibekali dengan pengetahuan yang cukup, terasa telah menggoncangkan isi perutnya. Perasaan mual berputar-putar mengganggu sekali, seolah-olah isi perutnya diaduk dengan hebatnya.
Uling Putih kemudian mengumpat-umpat di dalam hati. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Arya Salaka memiliki keteguhan serta ketangguhan yang sedemikian besarnya. Karena itu ia menjadi bertambah marah. Dikerahkannya segenap ilmunya. Tetapi ia harus menghadapi suatu kenyataan, bahwa setelah ia memeras diri, ia tetap tidak mampu untuk menundukkan lawannya.
Akhirnya ia menjadi gelisah. Bahkan ia mengharap agar adiknya melihat kesulitannya. Ia tidak dapat berteriak memintanya ikut bertempur sebab ia masih memperhatikan harga dirinya. Namun apabila keadaan memaksa, ia tidak akan pedulikan lagi, apalagi dengan demikian ia dianggap licik atau apapun.
Tetapi sebelum ia benar-benar minta adiknya menolongnya, dalam sekilas ia melihat Uling Kuning perlahan-lahan mendekati gadis kecil yang sedang asik melihat perkelahian itu. Dalam pada itu timbulah suatu harapan padanya. Mudah-mudahan gadis itu ditangkap oleh adiknya. Kalau gadis itu kemudian menjerit, saatnya tiba, Arya Salaka pasti akan lengah. Dan pada saat itu saat yang sebaik-baiknya untuk menghancurkannya.
Pada saat itu, malam telah turun perlahan-lahan. Warna-warna merah di langit telah lenyap disapu oleh warna-warna kelam. Bulan telah mulai menampakkan dirinya kembali diantara taburan bintang-bintang. Awan yang tipis bertebaran disana-sini menghias langit.
Perhatian Endang Widuri sebenarnya memang sedang tertumpah pada perkelahian yang sengit antara Arya Salaka melawan Uling Putih. Dengan keheran-heranan ia melihat Arya Salaka melontarkan diri, membelit dan kemudian meloncat dengan garangnya menghantam lawannya.
Tetapi ia mengerti pula bahwa Uling Putih pun mempunyai kekuatan yang cukup untuk dapat mempertahankan dirinya. Ia bergerak setapak-setapak, bergeser, meloncat dan berputar untuk menjaga agar ia tetap dapat menghadapi Arya Salaka yang seperti bayangan saja. Sekali muncul di sana, kemudian muncul di tempat lain. Kalau saja lawannya bukan orang yang cukup kuat, maka ia pasti akan menjadi pening dan kebingungan.
Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin seru. Arya Salaka semakin mendesak lawannya pula. Melihat peristiwa itu Endang Widuri menjadi gembira, sehingga gadis itu tersenyum-senyum sendiri. Bahkan ia kadang-kadang bergerak pula seperti anak-anak mendengar gamelan. Sekali ia bergeser maju, sekali ke samping. Bahkan kadang-kadang ia meremas-remas tangannya sendiri dengan kuatnya.
Tetapi ketika Uling Putih telah benar-benar terdesak, tiba-tiba tangannya menarik tali yang membelit pinggangnya. Demikian tali yang besar itu terurai, tampaklah bahwa sebenarnya yang membelit pinggangnya itu adalah sebuah cemeti. Arya Salaka tertegun melihat cambuk yang lemas di tangan Uling Putih. Ia tahu benar bahwa cambuk itulah senjata andalannya. Dengan demikian ia harus berhati-hati menghadapinya.
Ketika itulah Uling Putih itu menyerang dengan garangnya. Cambuknya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Sebuah sambaran mendatar mengarah ke dada Arya Salaka.
Dengan tangkasnya Arya membungkuk dalam-dalam, serta dengan sekali berputar, kakinya menyambar perut Uling Putih. Namun Uling Putih sempat menarik dirinya setapak mundur. Bersamaan dengan itu, ia telah sempat menarik cambuknya mendatar pula. Kali ini Arya tidak dapat membungkuk lebih rendah lagi.
Tetapi ia harus meloncat mundur. Uling Putih tidak mau memberinya kesempatan. Dengan loncatan yang panjang ia memburu Arya sambil mengayunkan cambuknya sendhal pancing. Arya yang mengetahui betapa bahaya yang mengancam apabila ia sampai terkena pukulan itu, segera meloncat kesamping.
Ketika ujung cemeti itu berdesing disamping telinganya, ia melontar dengan cepatnya maju dekat sekali dengan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia menghantam dada lawannya. Uling Putih terkejut melihat gerakan yang cepat dan tak terduga-duga itu.
Dengan tangan kirinya ia mencoba menahan tangan Arya, sedang tangan kanan memutar cambuknya cepat-cepat untuk menyerang dalam jarak yang pendek itu.
Demikianlah dengan kerasnya tangan Arya menghantam tangan kiri Uling Putih yang mencoba melindungi dadanya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga terdengarlah Uling Putih mengaduh tertahan. Tangan kirinya ternyata tidak mampu menahan tekanan tangan lawannya, sehingga bagaimanapun juga, terasa sesuatu mendesak dadanya. Desakan itu demikian kuatnya, sehingga ia terlontar mundur dan kemudian jatuh terguling.
Tetapi dalam pada itu, Uling Putih agaknya memang ahli memainkan senjatanya. Meskipun pada saat itu Arya berdiri hampir melekat tubuhnya, ujung cambuknya berhasil juga menyentuh pundaknya, sehingga terasalah betapa nyerinya, dan bahkan terasa bahwa kulitnya terkelupas.
Arya menyeringai menahan pedih. Tanpa disengaja tangannya meraba tempat yang terluka itu. Terasa betapa darahnya yang hangat mengalir. Dalam pada itu Uling Putih segera melenting berdiri. Namun terasa betapa dadanya semakin sesak.
Baik Uling Putih maupun Arya Salaka telah mencapai puncak kemarahannya. Mereka masing-masing telah merasakan betapa tubuh mereka telah berhasil disakiti oleh lawannya. Maka terdengarlah Uling Putih menggeram penuh dendam. Matanya yang menyala merah menjadi semakin liar. Arya Salaka pun kemudian menggigil karena kemarahan. Jantungnya berdebar keras, sedang tangannya bergetaran, siap untuk menghancurkan lawannya.
Uling Putih yang telah dapat menguasai dirinya kembali, segera melangkah maju. Ia telah melihat hasil serangannya pada lengan lawannya. Dengan demikian ia menjadi sedikit berbesar hati. Mudah-mudahan luka ditangan Arya itu dapat mempengaruhi keteguhan hatinya. Tetapi ia salah harap.Karena luka itu Arya malah menjadi semakin garang. Bahkan tiba-tiba tangannya yang gemetar telah menggenggam pusaka kebesaran tanah perdikan Banyubiru, Kyai Bancak.
Demikianlah pertempuran itu berkobar kembali. Cambuk Uling Putih berputar seperti baling-baling.
Bergulung-gulung seolah-olah ingin melibas lawannya dan membenamkan kedalamnya. Demikian dahsyatnya Uling Putih memainkan senjatanya sehingga terdengarlah angin mendesing-desing
menggoyang daun-daun pepohonan di sekitarnya serta merontokkan daun-daun kering yang sudah tidak mampu lagi berpegangan di batang-batangnya lebih erat lagi. Tetapi ia berhadapan dengan murid keturunan dari perguruan Pengging yang telah mengalami pembajaan diri yang luar biasa beratnya.
Bahkan telah mendapat pertolongan dari seorang ahli tata nadi memperbaiki letak otot-otot serta syaraf-syarafnya. Sehingga Arya Salaka dapat mempergunakan segenap tenaganya dalam lontaran-lontaran kekuatan tanpa dipengaruhi oleh penggunaan tenaga cadangan di dalam tubuhsendiri. Apalagi kini di tangannya telah tergenggam tombak sipat kandel yang dapat melipatgandakan kemampuannya melawan Uling Putih itu.
Dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah gulungan sinar keputih-putihan melingkar-lingkar mengerikan yang seolah-olah sedang berusaha untuk melanda sinar yang menyala kebiru-biruan. Itulah cahaya tombak Kyai Bancak. Namun sinar yang kebiru-biruan itu selalu berhasil menghindarkan dirinya, dan bahkan sekali-sekali dengan dahsyatnya menyusup langsung ke pusat gulungan sinar putih itu. Dengan demikian maka tampaklah betapa Arya Salaka dapat mengimbangi lawannya dengan baik.
Bahkan kemudian Uling Putih terpaksa memeras keringat habis-habisan untuk dapat mengimbangi permainan tombak bertangkai pendek, sependek tangkai pedang, yang digerakkan oleh tangan yang kokoh kuat dan terlatih baik.
Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin sengit. Dan sejalan dengan itu perhatian Endang Widuri pun menjadi semakin terikat. Ia menjadi semakin kagum atas ketangkasan Arya Salaka. Kalau beberapa saat yang lalu, ia pernah berlatih bersama-sama dengan anak muda itu, maka sekarang dengan penuh keheranan ia melihat Arya Salaka telah melangkah jauh kedepan. Pada waktu Arya bertempur melawan Sawung Sariti pun, tenaganya masih belum sedahsyat sekarang ini. Tetapi ia tidak tahu bahwa di dalam tubuh Arya, baru saja terdapat beberapa perubahan tata nadi yang sangat menguntungkannya.
Tetapi karena keasyikannya melihat pertempuran itulah maka ia sama sekali tidak menduga bahwa Uling Kuning telah menjadi semakin dekat, semakin dekat di belakangnya.
Maka, tiba-tiba saja dirasanya sepasang tangan yang kuat telah memegang kedua belah lengannya. Dengan demikian Endang Widuri menjadi terkejut sekali, sehingga tanpa disengaja ia Cumiik kecil.
Saat itulah yang memang ditunggu-tunggu oleh kedua Uling bersaudara itu. Sebab dengan demikian mereka mengharap Arya akan menjadi lengah. Dan apa yang mereka harapkan itu benar-benar terjadi. Arya terkejut mendengar suara Widuri. Tetapi ia tidak menjadi lengah karenanya. Untuk dapat mengetahui keadaan gadis itu. Arya Salak meloncat jauh-jauh ke belakang.
Meskipun demikian, karena perhatiannya sebagian terampas oleh peristiwa lain, maka terasalah sebuah sengatan pedih di pinggangnya. Ternyata sekali lagi Uling Putih berhasil mengenainya dengan cambuknya yang sangat berbahaya. Terdengarlah Arya berdesis menahan sakit. Meskipun demikian ketika jaraknya telah menjadi agak jauh dari lawannya, ia sempat juga memandang kearah Widuri yang berdiri tidak begitu jauh dari titik perkelahian itu.
Tetapi yang terjadi kemudian, sama sekali tidak seperti yang diharapkan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening itu. Luka di pinggang Arya itu ternyata telah membakar semangat Arya lebih dahsyat lagi. Dengan menyeringai menahan pedih, ia menggeram penuh kemarahan.
Meskipun demikian otaknya masih dapat bekerja dengan baik. Ia tidak mau terlibat dalam pertempuran yang liar.
Uling Kuning, yang berhasil menangkap Widuri tanpa diketahui sebelumnya, agaknya menjadi menyesal sekali. Ketika ia memegang lengan gadis itu, ia terlalu berhati-hati, seperti seorang yang memegang sebuah permainan ringkih, sehingga ia takut kalau merusakkannya.
Tetapi ia sama sekali tidak menduga, bahwa gadis kecil itu tidak ubahnya sebagai seekor lebah kuning yang manis namun sengatnya sangat berbahaya.
Demikian Endang Widuri merasa tangkapan pada lengannya, ia menjadi sadar bahwa Uling Kuning telah menyerangnya. Tetapi otaknya yang cerdas merasakan betapa tangan Uling Kuning itu terlalu hati-hati meraba kulitnya. Itulah sebabnya, maka dengan satu gerakan merendah, sambil memutar tubuhnya setengah lingkaran, kakinya dengan cepatnya telah berhasil mengenai perut Uling Kuning bagian bawah.
Uling Kuning sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian dapat terjadi, sehingga ia sama sekali tidak bersiaga. Karena itu terdengarlah ia mengaduh kesakitan. Bahkan kekuatan Endang Widuri cukup melemparkannya beberapa langkah dan kemudian membantingnya jatuh ke tanah.
Untunglah Uling Kuning telah mempunyai cukup pengalaman. Dengan cepatnya ia meloncat berdiri dan mencoba menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Namun demikian, kaki gadis kecil, puteri Ki Kebo Kanigara, yang telah dibekali dengan pengetahuan yang cukup, terasa telah menggoncangkan isi perutnya. Perasaan mual berputar-putar mengganggu sekali, seolah-olah isi perutnya diaduk dengan hebatnya.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas