nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Senandung Black n Blue
Ini bukan tentang pembuktian
Bukan juga tentang sebuah sesal
Ini tentang aku dan perasaan
Hanya satu dan penuh tambal

Ini bukan tentang akumulasi kemarahan
Bukan juga hitung-hitungan pengorbanan
Hanya aku dan keegoisan
Bergeming dalam kesendirian

Aku bukan pujangga
Aku tak mahir merangkai kata
Aku hanya durjana
Menunggu mati di ujung cahaya

Aku bukan belati
Bukan juga melati
Aku hanya seorang budak hati
Sekarat, termakan nafsu duniawi

Sampai di sini aku berdiri
Memandang sayup mereka pergi
Salah ku biarkan ini
Menjadi luka yang membekas di hati





Nama gue Nata, 26 tahun. Seorang yang egois, naif, dan super cuek. Setidaknya itu kata sahabat-sahabat gue. Tidak salah, tapi juga tidak benar. Mungkin jika gue bertanya pada diri gue sendiri tentang bagaimana gue. Jawabanya cuma satu kata. IDEALIS TITIK. Oke itu udah 2 kata. Mungkin karena itu, hampir semua sahabat gue menilai gue egois, yang pada kenyataanya gue hanya tidak mau melakukan hal apapun. APAPUN. Yang tidak gue sukai. Bahkan dalam pekerjaan, jika menurut gue tidak menyenangkan, gue akan langsung resign.

Menulis buat gue bukanlah sebuah hobi, bukan juga sebuah kebiasaan yang akhirnya menjadi hobi, bukan juga keahlian diri, bukan juga sesuatu bakat terpendam yang akhirnya muncul karena hobi. Apaa sihh !!? Menulis buat gue adalah cara terbaik meluapkan emosi. Di kala telinga orang enggan mendengar, dan lidah sulit untuk berucap tapi terlalu penuh isi kepala. Menulis adalah cara gue menumpahkan segala penat yang ada di kepala, cara gue bermasturbasi, meng-orgasme hati dengan segala minim lirik yang gue miliki.

Kali ini berbeda, gue tidak menuliskan apa yang ingin gue lawan. Tidak juga menuliskan opini gue tentang suatu hal. Ini tentang diri gue seorang. Tidak indah, tidak juga bermakna, hanya kumpulan kata sederhana yang terangkai menjadi sebuah kisah. Angkuh gue berharap, semoga ini bisa menjadi (setidaknya) hikmah untuk setiap jiwa yang mengikuti ejaan huruf tertata.

.


Quote:


.


Jakarta, 22 Desember 2018.

Senja telah berganti malam saat mobil yang gue kendarai tiba di kawasan kemayoran. Gue masuk ke areal JI Expo Kemayoran. Saat masuk gue melihat banyak banner dan papan iklan yang menunjukan bahwa di area ini sedang dilaksanakan sebuah acara akhir tahun dengan Tag line "pameran cuci gudang dan festival musik akhir tahun". Gue tidak mengerti kenapa sahabat gue mengajak gue bertemu di sini.

Sesampainya di areal parkir, gue memarkirkan mobil. Tidak terlalu sulit mencari tempat kosong, tidak seperti saat diselenggarakan Pekan Raya Jakarta, yang penuh sesak. Sepertinya acara ini tidak terlalu ramai, atau mungkin belum ramai karena gue melihat jam masih pukul 18.35.

"Whatever lah mau rame mau sepi."Ucap gue dalam hati.

Gue memarkirkan mobil, setelahnya gue sedikit merapihkan rambut, berkaca pada kaca spion, lalu memakai hoodie berwarna hitam yang sedari tadi gue letakan di kursi penumpang, kemudian keluar mobil sambil membawa tas selempang berisi laptop.

Perlahan gue berjalan, sesekali melihat ke kiri dan ke kanan, mencari letak loket pembelian tiket berada. Akan lebih mudah sebenarnya jika gue bertanya pada petugas yang berjaga. Tapi biarlah gue mencarinya sendiri.Toh sahabat gue juga sepertinya belum datang.

Di loket, gue melihat banyak orang menggunakan kaos yang bertema sama. Banyak yang memakai kaos bertema OutSIDers, Ladyrose, dan juga Bali Tolak Reklamasi. Gue sedikit memicingkan mata, dalam hati berkata."Sial gue dijebak."

Setelah membeli tiket, gue masuk ke areal acara, melihat banyak stand dari berbagai brand. Penempatan stand-stand menurut gue menarik, benar atau tidak, sepertinya pihak penyelenggara menaruh stand brand-brand besar mengelilingi brand kecil. It's so fair menurut gue. Karena banyak acara semacam ini yang gue lihat justru menaruh brand UKM yang notabenenya belum terlalu di kenal di posisi yang tidak strategis. Dan untuk acara ini gue memberi apresiasi tersendiri untuk tata letak tiap brandnya. Walau sejujurnya butuh konfirmasi langsung oleh pihak penyelenggara tentang kebenaranya.

Gue masuk lebih dalam, mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk gue menunggu sahabat gue yang belum datang. Sesekali berpapasan dengan SPG yang menawarkan barang dagangnya, gue tersenyum tiap kali ada SPG yang menawarkan gue rokok, kopi, dan lainnya. Dalam hati gue teringat tentang bagian hidup gue yang pernah bersinggungan langsung dengan hal semacam ini. Terus melanjutkan langkah, Gue tertarik melihat salah satu stand makanan jepang, lebih tepatnya gue lapar mata. Terlebih gue belum makan. Tapi saat gue ingin menuju ke stand itu, gue melihat ada stand sebuah merek bir lokal asal Bali. Gue mengurungkan niat untuk ke stand makanan jepang itu, dan lebih memilih untuk menunggu sahabat gue di stand bir.

Gue memesan satu paket yang di sediakan, yang isinya terdapat 4 botol bir, ukuran sedang. Gue mengeluarkan laptop gue, kemudian mengirim email kepada sahabat gue. Memang sudah beberapa hari ini gue selalu berhubungan dengan siapapun via email. Karena handphone gue hilang dicopet di stasiun Lempuyangan beberapa hari yang lalu.

"Fuck you Jon ! Gue di stand Albens, depan panggung yak. Jangan bikin gue jadi orang bego diem sendiri di tempat kek gini sendirian. Kecuali lo bajingan laknat yang ga peduli sama sahabat lo." Email gue pada Jono, sahabat gue.

Dari tempat gue duduk, gue dapat melihat panggung utama. Sepertinya dugaan gue tidaklah salah. Kalau guest star malam ini adalah Superman Is dead. Group band punk rock asal Bali. Pantas saja Jono mengajak gue bertemu di sini. Dia memang sangat menyukai musik bergenre punk rock macam green day, blink 182, SID, dan lainya.

Jujur saja, gue sebenarnya pernah menjadi Outsiders sebutan untuk fans superman is dead. Gue pernah menjadi OSD militan, yang selalu datang ke acara yang di dalamnya terdapat Superman Is Dead sebagai bintang tamunya. Tapi itu dulu, lebih dari sedekade lalu. Saat gue masih duduk di bangku SMA.

Dan malam ini, semua ingatan tentang itu semua membuncah. Berpendar hebat dalam bayang imajiner yang membuat mata gue seolah menembus ruang dan putaran waktu. Melihat semua apa yang seharusnya tidak perlu gue lihat, dan mengenang apa yang harusnya tidak perlu gue kenang. Sampai di titik tertentu gue sadar kalau gue sudah dipermainkan.

"JON, I know you so well, please please don't play with a dangerous thing. Comon Jhon I'm done. Gue balik" Gue kembali mengetik email untuk gue kirim pada Jono. Gue sadar gue sudah masuk dalam permainan berbahayanya. Dan gue tidak ingin mengambil resiko lebih.

Namun belum sempat email gue kirim. Gue melihat seorang perempuan berdiri tegak tepat di depan gue. Dan saat itu juga gue sadar gue terjebak dalam permainan konyol sahabat gue yang "luar biasa jahat".

"Haii Nat." Sapa perempuan itu.

"Fuck you Jhon, what do you think. Bitch !!" Gerutu gue dalam hati kesal.

Spoiler for opening sound:
Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 12:21
efti108
aftzack
sargopip
sargopip dan 65 lainnya memberi reputasi
62
131.7K
723
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#591
Part Terakhir Bag.3
Quote:


---


Tidak ada kerlip gemintang malam ini, awan pekat menjadi atap yang menghiasi kota ini. Tapi siapa peduli, rasanya bintang Jakarta bukanlah kerlipan gemintang di angkasa namun gemerlapnya lampu-lampu gedung yang seperti ingin mencakar angkasa. Mungkin musabab itu aku dan 10 juta penduduk Ibu Kota lebih menyukai meninggalkan kota ini saat kami memiliki waktu jeda.

Namun ada kalanya deretan lampu pencakar langit di ujung cakrawala mampu meredam semua gejolak yang ada. Seperti saat itu, saat-saat waktu dalam ingatanku bersamanya; hanya berdua memandangi lampu-lampu kota di ujung cakrawala.

“Haaah.”Aku menghela nafas dan memprotes diriku mengapa aku harus mengingat masa-masa itu.

Sudah pukul 00.21 saat aku melihat jam yang ada di ponselku. “sudah sangat larut.” Pikirku. Namun mataku seolah berkonsolidasi dengan pikiranku yang sedikit semrawut.

Aku terus memikirkan permintaan Nina untuk menemaninya ke bandara saat dia akan meninggalkan negeri ini untuk melanjutkan pendidikannya. Bukan keinginannya membuatku enggan, tapi kemungkinan aku bertemu dengan Nata yang membuatku berdalih tidak bisa. Walau pada akhirnya alasan Nina memintaku menemaninya yang membuatku berjanji untuk mengusahakannya.

“Please Karina. Natalia pasti nanti sedih saat aku tinggal dia. Natalia butuh sosok yang nenangin dia, aku engga tau kemana Daddy-nya. Cuma kamu yang saat ini bisa nenangin Natalia. Please… Aku mohon sama kamu.” Ucapan Nina terus terngiang-ngiang dalam kepalaku.

“Tapi bagaimana jika aku bertemu Nata? walaupun sebenarnya ingin. Tapi bagaimana jika Nata sudah membenciku? Bagaimana jika Nata benar-benar ingin membalas dendam? Bagaimana jika Nata benar-benar melakukan? Bagaimana jika Nata… (aku sedikit menelan ludah)... membunuhku?” Risauku dalam hati yang membuat malam ini seolah siang hari.

“Ahh…” Kesalku dalam hati, lalu mencari obat pereda sakit kepala karena semua ini rasanya membuat kepalaku ingin pecah.

Sehabis minum obat aku memejamkan mata sejenak; beristirahat sebentar agar sakit di kepalaku mereda sebelum nanti aku berangkat ke bandara untuk mengantar Nina. Iya, pada akhirnya aku memutuskan untuk mengantar Nina DENGAN PERTIMBANGAN NATALIA.

Pukul 04.00 waktu di ponselku, aku terbangun. Aku lalu bersiap-siap, merias diri dengan cepat, tanpa mandi karena aku sedikit terlambat. 20 menit kemudian aku sudah memasuki Gerbang TOL Taman Mini 1. Nina terus menghubungi, namun aku tidak menjawab panggilannya karena aku tidak bisa membagi konsentrasi saat aku sedang berkendara dalam kecepatan yang tinggi.

Kurang dari satu jam aku sudah rapih memarkirkan mobil di area parkir terminal 2 Bandara Soekarno Hatta. Aku memuji diriku sendiri karena ini rekor tercepatku berkendara selama ini. Aku bergegas menuju area keberangkatan, aku tahu Nina pasti di sana. Namun saat aku hendak tiba di pintu keberangkatan, langkahku terhenti karena melihat Nata. Aku lalu sedikit bersembunyi di salah satu pilar yang ada kemudian menghubungi Nina.

“Hey kamu di mana!?” Tanya Nina menjawab panggilanku.

“...” Aku melihat Nata seperti mencari sesuatu, seolah dia tahu dan sedang mencari keberadaanku. “Kamu bohong, Nin.” Ucapku pada Nina karena dia mengatakan sebelumnya jika dia tidak mengetahui keberadaan Nata. Namun saat ini justru Nina sedang bersama Nata.

“Aku engga boh…”

Aku mengakhiri panggilan telepon karena Nata melihatku, dia menemukan keberadaanku.

Aku memandangi Nata yang sedang menatap tajam ke arahku; tatapan matanya tajam dan penuh kebencian, terlihat sekali menunjukan dendam; tatapan matanya membuatku takut, membuat nyaliku berangsur ciut.

Melihat sorot matanya, aku ingin segera berlari. Namun entah mengapa tak mampu aku menggerakan kaki. Bahkan, rasanya aku seperti kehilangan kontrol diri. Melihat sorot matanya, aku ingin berteriak. Namun entah mengapa tenggorokanku mendadak serak.

“Hay Karina…” Seseorang berbisik di telingaku sambil mencengkram pundakku kuat sekali.

“Aaaa… Abdul…” Sahutku sedikit menelan ludah melihat Abdul yang tanpa ekspresi namun senyumnya begitu menakuti.

“Lo ngapain disini?” Tanya Abdul.

“Aaaa…”

“Yah nganter Nina lah, Dul.” Sambar Nata. Entah sejak kapan dia berada di sebelahku. Nata lalu membentangkan tangannya seperti mempersilahkanku menghampiri Nina. Tapi entah mengapa aku merasa ada banyak kejanggalan.

Aku melihat Ayah dan Mamah Nata, mereka diam seribu bahasa. Lalu aku menghampiri Nina, entah mengapa juga senyum Nina membuatku curiga. “Haa… Haaaiii… Nin… Na…” Sapaku.

“Hay Karina. How are you?”

“Gugugugu…”
Belum sempat aku menjawab sebuah announcement terdengar dan memecah keheningan.

Nina lalu bergegas, entah mengapa Nina seperti mengabaikan kehadiranku. Nina lalu pamit pada satu persatu orang yang mengantarnya sambil menggendong Natalia. Terakhir Nina menghampiriku, menyerahkan Natalia lalu memelukku. “Kamu jangan tinggalin Natalia, yah. Karina.” Ucap Nina lalu berjalan menuju pintu masuk keberangkatan.

“Hay cantik, are you ok?” Aku bertanya pada Natalia. Dia mengangguk lalu melepas kedua tangannya yang sebelumnya melingkari leherku. “Be Careful, Mommy…”

“Mommy?” Aku sedikit terkejut; entah terkejut senang atau… ahh, aku tidak menemukan kemungkinan lain selain aku senang Natalia memanggilku Mommy; Itu melepas semua cemas.

Tetiba Nata merebut Natalia. “Ok, let's go back to home.” Ucap Nata pada Natalia.

“Tututut… tunggu…” Ucapku namun Nata tidak menghiraukanku. Bahkan Ayah dan Mamah juga tidak menghiraukanku mereka benar-benar diam seribu bahasa.

“Sebenci itukah kalian padaku?” Ucapku dalam hati.

Aku hanya bergeming melihat Ayah dan Mamah masuk ke dalam mobilnya, begitu juga aku hanya bisa diam dan menitikan air mata melihat Nata dan Natalia masuk ke dalam mobil sedan mewahnya.

Lalu aku berjalan gontai kembali ke mobilku, sepanjang perjalanan aku hanya menangis. Aku tidak menyangka jika Nata dan keluarganya akan sebenci ini padaku. Sepanjang perjalan, aku juga mempertanyakan sendiri maksud Nina memintaku mengantarnya. Apakah ini maksud Nina? untuk menunjukan padaku jika Nata dan keluarganya sudah tak lagi menerimaku dengan ramah.

“Jahat sekali kamu, Nina.”

Aku menambah kecepatan laju mobilku hingga tanpa sadar aku sudah akan sampai Gerbang Tol Taman Mini 1. Aku langsung mengambil jalur kiri lalu keluar gerbang Tol itu kemudian mengambil jalan ke arah rumahku. Namun tepat di persimpangan lampu merah dekat Kantor Jasa Marga Kramat Jati tiba-tiba sebuah sedan mewah menghadangku. Sedan mewah yang sama yang aku lihat di Jogja dan baru saja di Bandara.

“Nata?”

Aku melihat Nata keluar dari kursi penumpang, pakaiannya sudah berganti serba hitam dan dia menggunakan kain untuk menutupi wajahnya; Mungkin jika bukan karena aku sudah sangat mengenal gesturnya, aku tidak akan mengenali jika itu adalah Nata.

“Natt…” Aku menyadari jika sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku langsung menginjak pedal gas, tapi sialnya aku lupa memindahkan persneling. Bukannya mundur untuk menghindari mobil Nata yang menghadang. Mobilku justru menabrak mobil Nata dengan sangat keras hingga airbag mengembang yang membuat gerakku terhadang.

“Craaang!” Nata memecahkan kaca mobilku, membuka pintunya lalu menarikku keluar secara paksa.

“NATA KAMU MAU APA?” Teriakku. “TOLONG! TOLONG! TOLONG!” Teriakku lagi, tapi sialnya tak ada satupun pengendara lain atau orang yang melintas.

“NATA… NATA… AKU MINTA MAAF NATA… AKU SUNGGU ENGGA BERMAKSUD MEMBUATMU CELAKA, NATA AKU SUMPAH… NATA PLEASE… INI BUKAN SEPERTI KAMU YANG AKU KENAL.” Aku memohon sambil bersujud memegangi kaki Nata.

“Kenal? lo pikir lo kenal gue? Nata yang lo kenal udah mati.” Ucap Nata begitu dinginnya..

Aku menengok ke atas, ke arah wajahnya yang tertutup kain berwarna hitam. Aku hanya dapat melihat kedua bola matanya dan sedikit kilauan pantulan cahaya; Nata mengeluarkan sebilah pisau.

“Nata… NATA” Aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Namun Nata benar-benar tidak peduli.

Hingga aku merasakan sesuatu yang dingin menembus ke dalam perut dan seketika kedinginan itu berubah menjadi sangat panas. Namun bersamaan itu aku juga merasakan sesuatu yang dingin yang lainnya mengalir ke sekujur kulitku. “Natt...aaa” Suaraku menghilang seiring kesadaranku yang secepat-cepatnya melayang.

Seperti inikah rasanya; yang dulu kamu rasakan. Berada diambang pintu kematian?
seperti inikah rasanya titik sempurna dari sebuah keheningan?
Inikah yang kamu katakan tentang sebuah tempat tanpa kebisingan?
Inikah dimensi hening yang kamu ceritakan? Kita jauh sekali dari kehidupan namun dekat sekali pada Tuhan.


Perlahan aku membuka mata, penglihatanku tidak sempurna. Apa yang aku lihat nampak samar. Pendengaranku tidak kalah bedanya, aku tidak mendengar apa-apa. Tetiba sebuah bayangan menghampiri (pandanganku masih buram) seraya itu pandanganku perlahan mulai pulih, samar-samar aku melihat sosok bayangan itu hingga aku mulai mengenalinya.

“Nattt… taa...:”

Walau masih sama tapi aku masih bisa mengenalinya dengan jelas jika itu adalah Nata. Lalu dia berlari; pandanganku mengikuti. Dia menuju ke arah sebuah pintu berwarna putih. Aku ingin berteriak, aku ingin dia tidak lari, aku ingin Nata mempertanggung jawabkan perbuatannya yang telah mencelakaiku; Aku sadar jika saat ini aku sedang terkapar di rumah sakit.

Namun apa daya, aku tidak sanggup untuk berteriak. Justru luka di perutku terasa tetiba menyentak hingga aku kembali tidak sadarkan diri.
“Nata, kamu jahat sekali!.”Ucapku lirih di dalam hati.
Diubah oleh nyunwie 27-08-2020 20:04
mmuji1575
Congormiring
khodzimzz
khodzimzz dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.