- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#335
Jilid 11 [Part 240]
Spoiler for :
DEMIKIANLAH dengan tidak merasakan lelah, mereka berjalan terus. Meskipun sejak pagi Arya Salaka telah memeras keringat membantu orang-orang Gedangan membuat lubang-lubang kubur.
Namun dalam kesejukan angin senja, ia lebih senang berjalan-jalan bersama Widuri daripada beristirahat dan bercakap-cakap dengan orang-orang yang tidak sebayanya.
Karena itulah maka dengan tidak terasa, mereka telah melewati ladang persawahan beberapa tonggak dari pedukuhan. Bahkan mereka telah menyusur jalan-jalan sempit yang membujur ke dalam daerah-daerah hutan-hutan kecil. Jalan setapak yang selalu dilewati oleh orang-orang yang pergi mencari kayu ke dalam hutan itu, tanpa prasangka dan raga-ragu.
Bahkan dengan wajah yang berseri-seri mereka memandang ujung-ujung daun-daun muda yang bergoyang-goyang ditiup angin. Cahaya matahari yang tersangkut di pucuk-pucuk dahan kayu tampak berkilau-kilau dengan riangnya, seriang suara burung yang berkicau mengantar datangnya senja. Selembar awan yang menggantung di langit bergerak perlahan-lahan dihanyutkan angin dari selatan.
Ketika kemudian dari arah barat membayang warna merah kekuning-kuningan, Widuri memejamkan matanya sambil bergumam,
Kemudian terdengarlah mereka tertawa bersama-sama.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Dari balik semak-semak hutan yang tidak begitu lebat, mereka mendengar suara berdesir. Telinga mereka yang sudah terlatih baik segera dapat mengetahui bahwa suara itu suara langkah orang. Karena itu mereka tidak bergurau lagi. Perhatian mereka tertuju kepada telapak kaki yang terdengar semakin lama semakin dekat. Bahkan suara langkah itu sama sekali tidak tertahan-tahan, sehingga mereka menduga bahwa orang yang datang itu sengaja akan menjumpainya tanpa bersembunyi-sembunyi.
Ketika mereka menoleh ke dalam semak-semak di belakang mereka masih belum ada seseorangpun yang tampak. Suara langkah itu masih berada di dalam semak-semak yang sudah mulai suram.
Tiba-tiba dari balik daun-daun yang lebat itu terdengar suara orang tertawa. Mirip dengan ringkik kuda liar yang kehausan. Widuri bukanlah seorang gadis penakut, namun mendengar suara tertawa yang mengerikan itu ia bergeser setapak mendekati Arya Salaka. Kecuali itu, sekaligus Arya Salaka dan Widuri dapat mengetahui bahwa orang yang berada di dalam semak-semak itu tidaklah hanya seorang, tetapi sedikitnya dua orang, yang tertawa bersama-sama.
Dalam pada itu perasaan Arya Salaka menjadi tidak enak. Seolah-olah ia mendapat suatu firasat yang kurang baik. Karena itu iapun segera bersiap-siap untuk menanti, apakah yang bakal terjadi.
Sesaat kemudian tampaklah daun-daun semak-semak itu tersibak. Yang mula-mula tampak adalah tangan-tangan kasar yang menyisihkan daun-daun yang lebat itu. Kemudian muncullah di hadapan kedua anak muda itu dua orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, berwajah runcing, dengan tepi mata yang terangkat tinggi.
Demikian mereka berdiri tegak di luar semak-semak, kembali terdengar suara tertawa mereka yang mengerikan, seperti ringkik kuda-kuda liar.
Melihat kedua orang itu hati Arya Salaka berdebar-debar. Ia sudah mengenal keduanya. Beberapa kali ia pernah melihat. Bahkan sejak ia masih tinggal di Banyubiru. Dua orang itu tidak lain sepasang Uling dari Rawa Pening, dengan ikat pinggang yang lebar, bergambar dua ekor Uling yang saling berlilitan.
Kedua orang itu masih beberapa langkah lagi maju mendekati Arya Salaka dan Endang Widuri.
Endang Widuri masih belum mengenal keduanya. Tetapi dalam pertempuran yang terjadi kemarin, sepintas lalu ia melihat kedua orang yang menyerang dari belakang itu, dan kemudian dapat diusir oleh Mahesa Jenar. Dengan demikian iapun segera merasa bahwa ia kini berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh.
Karena itu bagaimanapun juga, Widuri harus memperhitungkan kemampuan diri. Dirinya sendiri dan Arya Salaka, satu-satunya kawan yang ada di tempat itu.
Tetapi karena di dalam tubuh Widuri mengalir darah keturunan Pengging, maka ia tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Yang justru menggoncangkan dadanya, bukanlah kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya, apabila ia benar-benar harus bertempur melawan sepasang Uling itu.
Dalam hal yang demikian, sedikit banyak ia telah menerima latihan-latihan yang berat dari ayahnya. Setidak-tidaknya ia akan dapat bertempur sambil menarik diri mendekati pedukuhan Gedangan. Apalagi di dekatnya ada Arya Salaka, meskipun ia masih belum dapat mengukur kekuatan tenaga anak muda itu dibandingkan dengan orang-orang yang tak dikenalnya itu.
Tetapi yang lebih mengerikan baginya adalah cara kedua orang itu mengamat-amati dirinya. Seolah-olah tubuhnya itu bulat-bulat akan ditelan mereka. Lebih-lebih lagi ketika tampak di bibir kedua orang itu membayang senyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba bulu kuduk Endang Widuri berdiri serentak, meskipun ia tidak tahu maksud yang terkandung dalam senyuman yang aneh itu.
Apalagi ketika kemudian terdengar salah seorang dari mereka berkata,
Suara yang terdengar adalah suara yang serak parau.
ARYA SALAKA memandang kedua orang itu dengan seksama. Ia sudah pasti bahwa hal yang tak diinginkan akan terjadi. Maka dengan tidak melepaskan pandangannya kepada sepasang Uling itu ia menjawab,
Seterusnya kembali terdengar suara tertawa sepasang Uling yang mengerikan itu.
Dada Arya Salaka terguncang oleh kata-kata itu. Namun ia tidak ingin segera bertindak, sebab ia tahu betapa perkasanya kedua Uling itu.
Sesaat kemudian terdengar Uling itu berkata lagi,
Jantung Arya Salaka terasa seperti diguncang-guncang mendengar kata-kata Uling Putih itu. Karena itu dengan suara gemetar karena marah ia menjawab,
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Agaknya Uling Rawa Pening itu telah benar-benar menyusun kekuatan untuk dapat sampai kekedudukan yang diinginkan.
Dalam pada itu ia sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada menghadapi sepasang Uling itu dengan kekerasan. Seperti juga Widuri yang selama ini berdiam diri mendengarkan percakapannya dengan sepasang Uling itu, maka iapun harus memperhitungkan kekuatan diri. Untunglah bahwa Widuri telah memiliki bekal untuk membela dirinya sendiri.
Namun sekarang bagaimanakah imbangan kekuatan dari mereka berdua dengan kekuatan Uling itu sepasang…?
Widuri menjadi muak mendengar perkataan itu. Apalagi ketika kemudian disusul dengan suara tertawa mereka yang mirip ringkik kuda yang sudah hampir gila. Namun Widuri masih dapat menahan dirinya ia menyerahkan segenap persoalan kepada Arya Salaka.
Namun Arya Salaka pun menjadi marah mendengar perkataan-perkataan yang menyakitkan hati itu. Maka dengan lantang iapun menjawab,
Sepasang Uling itu terkejut mendengar jawaban Arya Salaka. Sindiran itu sudah jelas bagi mereka, bahwa Arya Salaka sama sekali tidak gentar menghadapinya. Meskipun mereka telah memperhitungkan bahwa anak itu pasti tidak akan menyerahkan lehernya begitu saja, namun mereka sama sekali tidak menduga bahwa anak itu berani merendahkannya. Karena itu dengan suara yang keras parau Uling Putih menjawab,
Namun dalam kesejukan angin senja, ia lebih senang berjalan-jalan bersama Widuri daripada beristirahat dan bercakap-cakap dengan orang-orang yang tidak sebayanya.
Karena itulah maka dengan tidak terasa, mereka telah melewati ladang persawahan beberapa tonggak dari pedukuhan. Bahkan mereka telah menyusur jalan-jalan sempit yang membujur ke dalam daerah-daerah hutan-hutan kecil. Jalan setapak yang selalu dilewati oleh orang-orang yang pergi mencari kayu ke dalam hutan itu, tanpa prasangka dan raga-ragu.
Bahkan dengan wajah yang berseri-seri mereka memandang ujung-ujung daun-daun muda yang bergoyang-goyang ditiup angin. Cahaya matahari yang tersangkut di pucuk-pucuk dahan kayu tampak berkilau-kilau dengan riangnya, seriang suara burung yang berkicau mengantar datangnya senja. Selembar awan yang menggantung di langit bergerak perlahan-lahan dihanyutkan angin dari selatan.
Ketika kemudian dari arah barat membayang warna merah kekuning-kuningan, Widuri memejamkan matanya sambil bergumam,
Quote:
“Layung…, layung senja, jangan kau pancarkan penyakit ke mataku, pancarkan kepada anak nakal di sampingku.”
Arya Salaka tertawa mendengarnya, sahutnya,
“Layung-layung senja selalu baik kepadaku. Karena itu aku tidak pernah sakit mata.”
Kemudian Arya Salaka berdiri menatap langit-langit yang berwarna merah itu, sambil seolah-olah berkata kepadanya,
“Layung…, layung senja yang baik. Simpanlah segala macam penyakit. Berikanlah kepada kami sejahtera dan sentosa.”
“Tidak bisa,” potong Widuri sambil tertawa.
“Candhik ala tidak bisa memberi sejahtera dan sentosa. Ia hanya punya benih penyakit mata.”
“Penyakit matapun tidak,” sahut Arya Salaka.
Arya Salaka tertawa mendengarnya, sahutnya,
“Layung-layung senja selalu baik kepadaku. Karena itu aku tidak pernah sakit mata.”
Kemudian Arya Salaka berdiri menatap langit-langit yang berwarna merah itu, sambil seolah-olah berkata kepadanya,
“Layung…, layung senja yang baik. Simpanlah segala macam penyakit. Berikanlah kepada kami sejahtera dan sentosa.”
“Tidak bisa,” potong Widuri sambil tertawa.
“Candhik ala tidak bisa memberi sejahtera dan sentosa. Ia hanya punya benih penyakit mata.”
“Penyakit matapun tidak,” sahut Arya Salaka.
Kemudian terdengarlah mereka tertawa bersama-sama.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Dari balik semak-semak hutan yang tidak begitu lebat, mereka mendengar suara berdesir. Telinga mereka yang sudah terlatih baik segera dapat mengetahui bahwa suara itu suara langkah orang. Karena itu mereka tidak bergurau lagi. Perhatian mereka tertuju kepada telapak kaki yang terdengar semakin lama semakin dekat. Bahkan suara langkah itu sama sekali tidak tertahan-tahan, sehingga mereka menduga bahwa orang yang datang itu sengaja akan menjumpainya tanpa bersembunyi-sembunyi.
Ketika mereka menoleh ke dalam semak-semak di belakang mereka masih belum ada seseorangpun yang tampak. Suara langkah itu masih berada di dalam semak-semak yang sudah mulai suram.
Tiba-tiba dari balik daun-daun yang lebat itu terdengar suara orang tertawa. Mirip dengan ringkik kuda liar yang kehausan. Widuri bukanlah seorang gadis penakut, namun mendengar suara tertawa yang mengerikan itu ia bergeser setapak mendekati Arya Salaka. Kecuali itu, sekaligus Arya Salaka dan Widuri dapat mengetahui bahwa orang yang berada di dalam semak-semak itu tidaklah hanya seorang, tetapi sedikitnya dua orang, yang tertawa bersama-sama.
Dalam pada itu perasaan Arya Salaka menjadi tidak enak. Seolah-olah ia mendapat suatu firasat yang kurang baik. Karena itu iapun segera bersiap-siap untuk menanti, apakah yang bakal terjadi.
Sesaat kemudian tampaklah daun-daun semak-semak itu tersibak. Yang mula-mula tampak adalah tangan-tangan kasar yang menyisihkan daun-daun yang lebat itu. Kemudian muncullah di hadapan kedua anak muda itu dua orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, berwajah runcing, dengan tepi mata yang terangkat tinggi.
Demikian mereka berdiri tegak di luar semak-semak, kembali terdengar suara tertawa mereka yang mengerikan, seperti ringkik kuda-kuda liar.
Melihat kedua orang itu hati Arya Salaka berdebar-debar. Ia sudah mengenal keduanya. Beberapa kali ia pernah melihat. Bahkan sejak ia masih tinggal di Banyubiru. Dua orang itu tidak lain sepasang Uling dari Rawa Pening, dengan ikat pinggang yang lebar, bergambar dua ekor Uling yang saling berlilitan.
Kedua orang itu masih beberapa langkah lagi maju mendekati Arya Salaka dan Endang Widuri.
Endang Widuri masih belum mengenal keduanya. Tetapi dalam pertempuran yang terjadi kemarin, sepintas lalu ia melihat kedua orang yang menyerang dari belakang itu, dan kemudian dapat diusir oleh Mahesa Jenar. Dengan demikian iapun segera merasa bahwa ia kini berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh.
Karena itu bagaimanapun juga, Widuri harus memperhitungkan kemampuan diri. Dirinya sendiri dan Arya Salaka, satu-satunya kawan yang ada di tempat itu.
Tetapi karena di dalam tubuh Widuri mengalir darah keturunan Pengging, maka ia tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Yang justru menggoncangkan dadanya, bukanlah kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya, apabila ia benar-benar harus bertempur melawan sepasang Uling itu.
Dalam hal yang demikian, sedikit banyak ia telah menerima latihan-latihan yang berat dari ayahnya. Setidak-tidaknya ia akan dapat bertempur sambil menarik diri mendekati pedukuhan Gedangan. Apalagi di dekatnya ada Arya Salaka, meskipun ia masih belum dapat mengukur kekuatan tenaga anak muda itu dibandingkan dengan orang-orang yang tak dikenalnya itu.
Tetapi yang lebih mengerikan baginya adalah cara kedua orang itu mengamat-amati dirinya. Seolah-olah tubuhnya itu bulat-bulat akan ditelan mereka. Lebih-lebih lagi ketika tampak di bibir kedua orang itu membayang senyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba bulu kuduk Endang Widuri berdiri serentak, meskipun ia tidak tahu maksud yang terkandung dalam senyuman yang aneh itu.
Apalagi ketika kemudian terdengar salah seorang dari mereka berkata,
Quote:
“Selamat bertemu putera Ki Ageng Gajah Sora.”
Suara yang terdengar adalah suara yang serak parau.
ARYA SALAKA memandang kedua orang itu dengan seksama. Ia sudah pasti bahwa hal yang tak diinginkan akan terjadi. Maka dengan tidak melepaskan pandangannya kepada sepasang Uling itu ia menjawab,
Quote:
“Selamat bertemu sahabat. Adakah kau akan menyampaikan kabar tentang daerahku…?”
Terdengar Uling Putih tertawa berderai.
“Ya… ya… Tuan muda. Aku membawa kabar untuk Tuan. Ketahuilah bahwa di daerah Tuan kini terjadi malapetaka yang hebat. Adik Tuan, Sawung Sariti dengan leluasa dapat membunuh setiap orang yang dikehendaki. Bahkan akhirnya Tuan sendiri. Sesudah itu, tahukah Tuan apa yang akan terjadi…? Banyubiru akan sepenuhnya jatuh ke tangan Sawung Sariti. Tetapi itu bukanlah peristiwa yang terakhir yang terjadi atas daerah Tuan itu. Sebab akhirnya Sawung Sariti, maupun ayahnya Ki Ageng Lembu Sora itu akan mati juga. Kau ingin tahu siapakah yang akan membunuhnya…?”
Uling Putih berhenti sejenak, seolah-olah ia menunggu kata-katanya itu meresap ke dalam dada Arya Salaka. Kemudian ia meneruskan,
“Yang membunuh mereka beserta para pengikutnya adalah aku dan adikku. Uling Kuning.”
Terdengar Uling Putih tertawa berderai.
“Ya… ya… Tuan muda. Aku membawa kabar untuk Tuan. Ketahuilah bahwa di daerah Tuan kini terjadi malapetaka yang hebat. Adik Tuan, Sawung Sariti dengan leluasa dapat membunuh setiap orang yang dikehendaki. Bahkan akhirnya Tuan sendiri. Sesudah itu, tahukah Tuan apa yang akan terjadi…? Banyubiru akan sepenuhnya jatuh ke tangan Sawung Sariti. Tetapi itu bukanlah peristiwa yang terakhir yang terjadi atas daerah Tuan itu. Sebab akhirnya Sawung Sariti, maupun ayahnya Ki Ageng Lembu Sora itu akan mati juga. Kau ingin tahu siapakah yang akan membunuhnya…?”
Uling Putih berhenti sejenak, seolah-olah ia menunggu kata-katanya itu meresap ke dalam dada Arya Salaka. Kemudian ia meneruskan,
“Yang membunuh mereka beserta para pengikutnya adalah aku dan adikku. Uling Kuning.”
Seterusnya kembali terdengar suara tertawa sepasang Uling yang mengerikan itu.
Dada Arya Salaka terguncang oleh kata-kata itu. Namun ia tidak ingin segera bertindak, sebab ia tahu betapa perkasanya kedua Uling itu.
Sesaat kemudian terdengar Uling itu berkata lagi,
Quote:
“Tetapi Tuan muda, aku sudah terlalu lama menunggu. Sawung Sariti tidak juga berhasil membunuh Tuan. Nah sekarang aku akan menolong mempercepat rencana itu, supaya aku lebih cepat menguasai daerah Banyubiru itu sebagai kepala daerah perdikan yang dihormati, tidak sebagai sepasang perampok seperti sekarang itu.”
Jantung Arya Salaka terasa seperti diguncang-guncang mendengar kata-kata Uling Putih itu. Karena itu dengan suara gemetar karena marah ia menjawab,
Quote:
“Sepasang Uling yang perkasa… aku adalah ahli waris yang sah atas daerah itu. Dengan demikian aku tidak harus menuntut atas hak saja, tetapi aku harus bertanggungjawab pula atas daerah itu dengan menunaikan kewajiban-kewajibanku sebaik-baiknya. Salah satu dari kewajibanku adalah menyelamatkan daerah Banyubiru.”
Mendengar jawaban Arya Salaka, Uling Kuning tertawa keras-keras. Katanya,
“Tuan adalah seorang yang mengagumkan. Seorang yang sudah terusir dari kedudukannya, namun masih merasa bertanggungjawab. Tetapi Tuan tidak usah menunggu lama. Sebab sebentar lagi Tuan harus sudah benar-benar melupakan impian Tuan untuk kembali ke Banyubiru. Sesudah itu, jalan yang akan kami lalui menjadi bertambah lapang. Apalagi sepeninggal Kakang Sima Rodra suami istri, maka jalan ke Pamingit telah terbuka pula.”
Kemudian terdengar Uling Putih menyambung,
“Apalagi dengan kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Jangankan Banyubiru dan Pamingit. Bahkan Demak pun akan dapat kami gulung.”
“Impian yang indah,” sahut Arya Salaka,
“Tetapi kau lupa bahwa di Banyubiru ada Eyang Sora Dipayana. Seandainya kau dapat membunuh aku dan kemudian Adi Sawung Sariti, bahkan Paman Lembu Sora sekalipun, apa yang akan dapat kau lakukan atas Eyang Sora Dipayana itu?”
Kembali terdengar Uling Putih tertawa. Jawabnya,
“Adakah kau mengira bahwa umur kakekmu itu akan dapat mencapai puluhan tahun lagi? Kalau semuanya sudah dapat aku bereskan, maka orang tua itu pasti akan mati kesedihan dan putus asa. Kalau tidak, seandainya orang tua itu tidak takut melihat kenyataan hari depannya yang patah, maka akupun dapat mempertemukannya dengan orang sebayanya, yang datang ke Rawa Pening, khusus untuk keperluan itu.”
“Gurumu…?” tanya Arya Salaka.
Kedua Uling itu mengangguk bersama-sama. Jawab Uling Putih,
“Ya, guruku Sura Sarunggi.”
Mendengar jawaban Arya Salaka, Uling Kuning tertawa keras-keras. Katanya,
“Tuan adalah seorang yang mengagumkan. Seorang yang sudah terusir dari kedudukannya, namun masih merasa bertanggungjawab. Tetapi Tuan tidak usah menunggu lama. Sebab sebentar lagi Tuan harus sudah benar-benar melupakan impian Tuan untuk kembali ke Banyubiru. Sesudah itu, jalan yang akan kami lalui menjadi bertambah lapang. Apalagi sepeninggal Kakang Sima Rodra suami istri, maka jalan ke Pamingit telah terbuka pula.”
Kemudian terdengar Uling Putih menyambung,
“Apalagi dengan kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Jangankan Banyubiru dan Pamingit. Bahkan Demak pun akan dapat kami gulung.”
“Impian yang indah,” sahut Arya Salaka,
“Tetapi kau lupa bahwa di Banyubiru ada Eyang Sora Dipayana. Seandainya kau dapat membunuh aku dan kemudian Adi Sawung Sariti, bahkan Paman Lembu Sora sekalipun, apa yang akan dapat kau lakukan atas Eyang Sora Dipayana itu?”
Kembali terdengar Uling Putih tertawa. Jawabnya,
“Adakah kau mengira bahwa umur kakekmu itu akan dapat mencapai puluhan tahun lagi? Kalau semuanya sudah dapat aku bereskan, maka orang tua itu pasti akan mati kesedihan dan putus asa. Kalau tidak, seandainya orang tua itu tidak takut melihat kenyataan hari depannya yang patah, maka akupun dapat mempertemukannya dengan orang sebayanya, yang datang ke Rawa Pening, khusus untuk keperluan itu.”
“Gurumu…?” tanya Arya Salaka.
Kedua Uling itu mengangguk bersama-sama. Jawab Uling Putih,
“Ya, guruku Sura Sarunggi.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Agaknya Uling Rawa Pening itu telah benar-benar menyusun kekuatan untuk dapat sampai kekedudukan yang diinginkan.
Dalam pada itu ia sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada menghadapi sepasang Uling itu dengan kekerasan. Seperti juga Widuri yang selama ini berdiam diri mendengarkan percakapannya dengan sepasang Uling itu, maka iapun harus memperhitungkan kekuatan diri. Untunglah bahwa Widuri telah memiliki bekal untuk membela dirinya sendiri.
Namun sekarang bagaimanakah imbangan kekuatan dari mereka berdua dengan kekuatan Uling itu sepasang…?
Quote:
“Tuan muda…” tiba-tiba Uling Kuning masih meneruskan,
“Sepeninggal Tuan jangan Tuan cemaskan gadis Tuan itu. Meskipun kami sudah tidak semuda Tuan, namun kami akan berusaha untuk memeliharanya baik-baik.”
“Sepeninggal Tuan jangan Tuan cemaskan gadis Tuan itu. Meskipun kami sudah tidak semuda Tuan, namun kami akan berusaha untuk memeliharanya baik-baik.”
Widuri menjadi muak mendengar perkataan itu. Apalagi ketika kemudian disusul dengan suara tertawa mereka yang mirip ringkik kuda yang sudah hampir gila. Namun Widuri masih dapat menahan dirinya ia menyerahkan segenap persoalan kepada Arya Salaka.
Namun Arya Salaka pun menjadi marah mendengar perkataan-perkataan yang menyakitkan hati itu. Maka dengan lantang iapun menjawab,
Quote:
“Sepasang Uling yang baik. Terima kasih atas berita yang telah kau sampaikan kepadaku. Dan terima kasih pula atas perhatianmu terhadap diriku sehingga untuk seorang anak-anak, kau berdua telah memberikan waktu yang cukup banyak serta tenaga yang besar sekali. Dengan demikian aku merasa mendapat kehormatan dari sepasang orang perkasa. Meskipun demikian sebaiknya kau mempertimbangkan sekali lagi, apakah kau ingin meneruskan rencanamu itu, ataukah lebih baik kau tetap menjadi perampok kecil-kecilan yang bersarang di Rawa Pening.”
Sepasang Uling itu terkejut mendengar jawaban Arya Salaka. Sindiran itu sudah jelas bagi mereka, bahwa Arya Salaka sama sekali tidak gentar menghadapinya. Meskipun mereka telah memperhitungkan bahwa anak itu pasti tidak akan menyerahkan lehernya begitu saja, namun mereka sama sekali tidak menduga bahwa anak itu berani merendahkannya. Karena itu dengan suara yang keras parau Uling Putih menjawab,
Quote:
“Hati-hatilah kau berbicara anak muda. Supaya aku tidak membiarkan kau menderita pada saat ajalmu datang.”
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas