- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#334
Jilid 11 [Part 239]
Spoiler for :
Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera Arya. Ia memang pernah mendengar suatu ilmu yang dapat dipergunakan memperkokoh tubuh seseorang serta memperbesar tenaganya denga membuka segenap saluran yang ada di dalam tubuh. Memperlancar jalan darah serta memperbaiki letak otot – ototnya sehingga pada orang itu tidak lagi diperlukan tenaga untuk mengatasi kesulitan – kesulitan di dalam tubuh sendiri. Dengan demikian segenap cadangan tenaga apabila diperlukan dapat dipergunakan seluruhnya dan disalurkan lewat bagian-bagian tubuh yang dikehendaki.
Tetapi masih belum jelas, apakah orang itu telah memperlakukan Arya demikian atau sebaliknya, membuat beberapa rintangan di dalam tubuhnya sehingga dalam pelontaran tenaga akan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Karena itu segera ia bertanya,
Tanpa sadar Arya mengamat-mati tubuhnya sendiri. Kakinya, tangannya, lengannya dan jari-jarinya. Semula ia sama sekali tidak memperhatikan, apakah ada perubahan – perubahan di dalam dirinya.
Tetapi ketika Mahesa Jenar bertanya kepadanya, terpaksa ia memperhatikan setiap perasaan yang lain di dalam dirinya.
Tentang peredaran darahnya, detak jantungnya serta sendi – sendi anggota badannya. Tiba-tiba saja ia merasa betapa segar darah yang mengalir di dalam tubuhnya, merambat sampai kesegenap ujung rambut di seluruh badannya. Setiap anggota badannya terasa menjadi betapa ringannya. Dan dengan demikian ia dapat bergerak bertambah cepat dan lincah. Detak jantungnya yang lunak teratur serta sendi-sendi anggota badannya yang licin, namun seakan-akan bertambah kokoh. Demikianlah akhirnya ia berkesimpulan bahwa kini ia telah mendapat suatu perasaan yang luar biasa. Yang bahkan ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan. Sehingga yang dapat diucapkan hanyalah beberapa kata saja.
Jawaban itu sendiri tidak begitu meyakinkan bagi Mahesa Jenar. Tetapi wajah Arya yang berseri, caranya menggerakkan tangan dan kakinya, serta betapa tampak anak itu keheran-heranan sendiri, adalah jawaban yang cukup jelas. Jawaban yang telah mengandung suatu ceritera bahwa tubuh Arya kini telah berbeda dengan tubuh Arya beberapa saat yang lalu.
Anak itu agaknya kini telah memiliki kesempurnaan tata nadi dalam tubuhnya. Mahesa Jenar sendiri meras bahwa selama ini ia telah memaksa anak itu bekerja keras, berlatih, berkelahi, berjalan dan berlari setiap hari. Namun ia tidak dapat melakukan hal yang lain bagi tata nadi anak itu.
Meskipun ia sendiri dahulu pernah juga mempelajari beberapa pengetahuan mengenai urat dan jalan darah, namun apa yang dapat dilakukan tidak lebih dari daripada saling memijit sesama prajurit apabila mereka sedang kelelahan. Baik didalam latihan-latihan maupun didalam pertempuran-pertempuran yang sebenarnya.
Tetapi tidaklah demikian yang terjadi atas Arya. Orang yang berjubah itu tidak sekadar memijit Arya supaya Arya tidak lagi merasa lelah. Lebih daripada itu. Orang itu telah menolong Arya untuk dapat mengerahkan segenap tenaga yang tersimpan didalam tubuhnya yang tegap kekar itu. Meskipun mula-mula Mahesa Jenar merasa cemas bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, namun terhadap orang yang berjubah abu-abu yang belum dikenalnya itu, ia telah menumpahkan kepercayaan bahwa tidaklah mungkin ia akan berbuat jahat terhadap Arya.
Bersamaan dengan itu, makin kuatlah dugaan yang telah tumbuh di dalam dadanya, bahwa orang itupun sama sekali tidak bermaksud jahat atas perbuatannya mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru, meskipun akibat hilangnya kedua keris itu sangat dahsyat atas tanah perdikan dilereng bukit Telamaya itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Namun tak habis-habisnya ia mengagumi tubuh muridnya yang sedang menginjak dewasa itu. Selama ini meskipun hampir setiap saat, siang dan malam, ia tidak pernah terpisah darinya, tetapi seolah-olah baru sekarang ia melihat alangkah gagahnya anak ini. Anak Ki Ageng Gajah Sora, yang dalam usianya yang masih sangat muda itu telah dapat mencerminkan kebesaran jiwa yang diwarisinya dari orang tuanya, serta pendidikan yang diberikannya.
Arya yang merasa selalu dipandangi oleh gurunya, menjadi tertunduk. Namun ia merasa bahwa gurunya sama sekali tidak menyesal atas kejadian yang baru saja dialami. Karena itu iapun tidak perlu mencemaskannya lagi. Bahkan perasaan yang segar yang memancar didalam tubuhnya, telah menumbuhkan suatu harapan dalam dirinya. Harapan atas masa depan yang lebih baik.
YANG tersangkut di dalam otak Arya Salaka kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan tentang orang yang berjubah itu. Orang yang dengan serta merta menangkapnya, dan menjadikannya tertidur di dalam semak-semak. Karena itu kemudian ia bertanya kepada gurunya,
Dan sejenak kemudian mereka berdua telah lelap ditelan oleh sunyi malam. Arya Salaka tertidur dengan sebuah senyum yang tersungging di bibirnya. Ia tidak merasa lagi punggungnya menjadi gatal-gatal oleh serangga yang menggigitnya. Serangga yang terbawa oleh tanah lembab ketika ia terbaring di semak-semak halaman belakang. Sedang Mahesa Jenar pun kemudian tertidur karena kelelahan.
Pedukuhan Gedangan kini benar-benar telah terbenam dalam suasana yang hening. Beberapa orang peronda yang berjalan hilir-mudik di sudut-sudut desa kadang-kadang harus berdesis menahan angin malam yang mengalir lembut, membawa udara pegunungan yang dingin.
Ketika di timur tampak fajar mulai membayangkan cahaya kemerahan, datanglah beberapa orang yang dikirim untuk menyelidiki keadaan pasukan lawan. Dari mereka, pimpinan ronda mendapat laporan bahwa pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidur sudah tidak lagi berada di perkemahan mereka.
Agaknya mereka telah merasa, bahwa meskipun mereka meneruskan pertempuran, namun mereka pasti tidak akan berhasil. Karena itu, lebih baik mereka menarik diri.
Karena laporan itulah, pasukan Gedangan tidak perlu lagi mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang akan datang.
Meskipun tidak terdengar tanda-tanda bahaya, namun Mahesa Jenar dan Arya Salaka, bangun pada saatnya. Pada saat terang-terang tanah. Ketika mereka keluar dari ruang tidur, mereka melihat beberapa orang telah berada di halaman depan.
Tetapi demikian Mahesa Jenar melihat sikap mereka, segera Mahesa Jenar mengetahui bahwa tidak ada lagi bahaya yang mengancam pedukuhan itu. Setidak-tidaknya untuk waktu-waktu yang cukup untuk menyembuhkan luka-luka yang diderita oleh laskar Gedangan dalam pertempuran kemarin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar memerintahkan juga laskar Gedangan bersiap untuk melakukan pembersihan daerah yang kemarin dipergunakan sebagai ajang pertempuran.
Demikianlah sehari itu, yang dilakukan oleh orang-orang Gedangan adalah bekerja keras, mengubur mayat-mayat yang berserak-serakan, baik dari kawan sendiri maupun dari lawan.
Ketika matahari condong ke barat, selesailah pekerjaan mereka. Mereka kini boleh kembali kepada keluarga masing-masing, meskipun tetap untuk tidak meninggalkan kewaspadaan. Beberapa orang secara bergilir masih harus tetap berada di gardu-gardu penjagaan. Siang maupun malam.
Dalam keadaan yang demikian terasalah, betapa akibat pertempuran telah merampas kegembiraan seluruh penduduk Gedangan. Apalagi yang terpaksa melepaskan salah seorang anggota keluarga mereka.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan beberapa orang terbaik dari pedukuhan mereka sebagai tawur dalam perjuangan mempertahankan hak dan ketenteraman hidup mereka untuk seterusnya.
Ketika pekerjaan mereka telah selesai seluruhnya, barulah mereka dapat menarik nafas lega. Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri dan Arya Salaka. Mereka kini telah dapat berkumpul bercakap-cakap dengan tenang.
Namun agaknya Arya tidak begitu tertarik duduk bercakap-cakap diantara mereka. Agaknya beberapa masalah masih selalu mengganggunya. Karena itu ia minta diri untuk berjalan-jalan menikmati cahaya matahari sore. Selain Arya Salaka, ternyata Widuri pun lebih senang berjalan-jalan dan berlari-lari diluar. Sehingga dengan demikian, ia minta diri pula untuk ikut serta bersama Arya Salaka bermain-main.
Demikianlah mereka berdua berjalan menyusur jalan-jalan pedukuhan sambil bercakap-cakap. Kadang-kadang Widuri minta Arya Salaka berceritera tentang dirinya, tentang pengalamannya dan tentang cita-citanya.
Sebaliknya kadang-kadang ia bercerita tentang segala sesuatu yang disenanginya. Tentang burung – burung yang terbang bebas di udara. Tentang bunga-bunga yang mekar di halaman. Dan kadang-kadang dengan penuh keingintahuan, Widuri menanyakan tentang daerah-daerah yang jauh di seberang punggung-punggung bukit, daerah dimana langit dan bumi seolah-olah berpadu dalam satu garis yang membujur panjang sekali. Dalam percakapan yang asik itu Arya selalu berusaha untuk menjawab sedapat-dapatnya. Diceriterakan apa yang pernah dilihatnya dibalik pegunungan yang berjajar seperti wayang di pakeliran. Diceriterakannya betapa di sana tergelar pantai yang luas serta laut tanpa tepi. Betapa nelayan di lautan bekerja keras untuk mencari kekayaan yang tersimpan di dalam lautan.
Diam-diam Widuri menjadi kagum kepada anak muda itu. Kagum akan pengalamannya yang luas, serta kagum akan ketetapan hatinya memandang hari kemudian. Hari yang bakal datang.
Sebaliknya, Arya pun menjadi tertarik perhatiannya kepada gadis itu. Dengan pertanyaan-pertanyaan ia dapat mengetahui betapa banyak kemauan dan cita-cita yang tersimpan didalam dadanya.
Tetapi masih belum jelas, apakah orang itu telah memperlakukan Arya demikian atau sebaliknya, membuat beberapa rintangan di dalam tubuhnya sehingga dalam pelontaran tenaga akan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Karena itu segera ia bertanya,
Quote:
“Arya, bagaimanakah rasanya tubuhmu sekarang?”
Tanpa sadar Arya mengamat-mati tubuhnya sendiri. Kakinya, tangannya, lengannya dan jari-jarinya. Semula ia sama sekali tidak memperhatikan, apakah ada perubahan – perubahan di dalam dirinya.
Tetapi ketika Mahesa Jenar bertanya kepadanya, terpaksa ia memperhatikan setiap perasaan yang lain di dalam dirinya.
Tentang peredaran darahnya, detak jantungnya serta sendi – sendi anggota badannya. Tiba-tiba saja ia merasa betapa segar darah yang mengalir di dalam tubuhnya, merambat sampai kesegenap ujung rambut di seluruh badannya. Setiap anggota badannya terasa menjadi betapa ringannya. Dan dengan demikian ia dapat bergerak bertambah cepat dan lincah. Detak jantungnya yang lunak teratur serta sendi-sendi anggota badannya yang licin, namun seakan-akan bertambah kokoh. Demikianlah akhirnya ia berkesimpulan bahwa kini ia telah mendapat suatu perasaan yang luar biasa. Yang bahkan ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan. Sehingga yang dapat diucapkan hanyalah beberapa kata saja.
Quote:
“Tubuhku menjadi bertambah baik Paman.”
Jawaban itu sendiri tidak begitu meyakinkan bagi Mahesa Jenar. Tetapi wajah Arya yang berseri, caranya menggerakkan tangan dan kakinya, serta betapa tampak anak itu keheran-heranan sendiri, adalah jawaban yang cukup jelas. Jawaban yang telah mengandung suatu ceritera bahwa tubuh Arya kini telah berbeda dengan tubuh Arya beberapa saat yang lalu.
Anak itu agaknya kini telah memiliki kesempurnaan tata nadi dalam tubuhnya. Mahesa Jenar sendiri meras bahwa selama ini ia telah memaksa anak itu bekerja keras, berlatih, berkelahi, berjalan dan berlari setiap hari. Namun ia tidak dapat melakukan hal yang lain bagi tata nadi anak itu.
Meskipun ia sendiri dahulu pernah juga mempelajari beberapa pengetahuan mengenai urat dan jalan darah, namun apa yang dapat dilakukan tidak lebih dari daripada saling memijit sesama prajurit apabila mereka sedang kelelahan. Baik didalam latihan-latihan maupun didalam pertempuran-pertempuran yang sebenarnya.
Tetapi tidaklah demikian yang terjadi atas Arya. Orang yang berjubah itu tidak sekadar memijit Arya supaya Arya tidak lagi merasa lelah. Lebih daripada itu. Orang itu telah menolong Arya untuk dapat mengerahkan segenap tenaga yang tersimpan didalam tubuhnya yang tegap kekar itu. Meskipun mula-mula Mahesa Jenar merasa cemas bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, namun terhadap orang yang berjubah abu-abu yang belum dikenalnya itu, ia telah menumpahkan kepercayaan bahwa tidaklah mungkin ia akan berbuat jahat terhadap Arya.
Bersamaan dengan itu, makin kuatlah dugaan yang telah tumbuh di dalam dadanya, bahwa orang itupun sama sekali tidak bermaksud jahat atas perbuatannya mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru, meskipun akibat hilangnya kedua keris itu sangat dahsyat atas tanah perdikan dilereng bukit Telamaya itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Namun tak habis-habisnya ia mengagumi tubuh muridnya yang sedang menginjak dewasa itu. Selama ini meskipun hampir setiap saat, siang dan malam, ia tidak pernah terpisah darinya, tetapi seolah-olah baru sekarang ia melihat alangkah gagahnya anak ini. Anak Ki Ageng Gajah Sora, yang dalam usianya yang masih sangat muda itu telah dapat mencerminkan kebesaran jiwa yang diwarisinya dari orang tuanya, serta pendidikan yang diberikannya.
Arya yang merasa selalu dipandangi oleh gurunya, menjadi tertunduk. Namun ia merasa bahwa gurunya sama sekali tidak menyesal atas kejadian yang baru saja dialami. Karena itu iapun tidak perlu mencemaskannya lagi. Bahkan perasaan yang segar yang memancar didalam tubuhnya, telah menumbuhkan suatu harapan dalam dirinya. Harapan atas masa depan yang lebih baik.
YANG tersangkut di dalam otak Arya Salaka kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan tentang orang yang berjubah itu. Orang yang dengan serta merta menangkapnya, dan menjadikannya tertidur di dalam semak-semak. Karena itu kemudian ia bertanya kepada gurunya,
Quote:
“Paman, adakah Paman mengenal orang yang berjubah itu?”
Mahesa Jenar menggeleng.
“Tidak,” jawabnya.
“Tetapi aku pernah melihatnya beberapa tahun yang lalu di Banyubiru.”
“Di Banyubiru…?” Arya bertambah heran.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar pendek.
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Dingin malam semakin tajam menusuk sampai ke tulang sungsum.
“Tidurlah Arya,” desis Mahesa Jenar kemudian sambil membaringkan dirinya.
Mahesa Jenar menggeleng.
“Tidak,” jawabnya.
“Tetapi aku pernah melihatnya beberapa tahun yang lalu di Banyubiru.”
“Di Banyubiru…?” Arya bertambah heran.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar pendek.
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Dingin malam semakin tajam menusuk sampai ke tulang sungsum.
“Tidurlah Arya,” desis Mahesa Jenar kemudian sambil membaringkan dirinya.
Dan sejenak kemudian mereka berdua telah lelap ditelan oleh sunyi malam. Arya Salaka tertidur dengan sebuah senyum yang tersungging di bibirnya. Ia tidak merasa lagi punggungnya menjadi gatal-gatal oleh serangga yang menggigitnya. Serangga yang terbawa oleh tanah lembab ketika ia terbaring di semak-semak halaman belakang. Sedang Mahesa Jenar pun kemudian tertidur karena kelelahan.
Pedukuhan Gedangan kini benar-benar telah terbenam dalam suasana yang hening. Beberapa orang peronda yang berjalan hilir-mudik di sudut-sudut desa kadang-kadang harus berdesis menahan angin malam yang mengalir lembut, membawa udara pegunungan yang dingin.
Ketika di timur tampak fajar mulai membayangkan cahaya kemerahan, datanglah beberapa orang yang dikirim untuk menyelidiki keadaan pasukan lawan. Dari mereka, pimpinan ronda mendapat laporan bahwa pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidur sudah tidak lagi berada di perkemahan mereka.
Agaknya mereka telah merasa, bahwa meskipun mereka meneruskan pertempuran, namun mereka pasti tidak akan berhasil. Karena itu, lebih baik mereka menarik diri.
Karena laporan itulah, pasukan Gedangan tidak perlu lagi mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang akan datang.
Meskipun tidak terdengar tanda-tanda bahaya, namun Mahesa Jenar dan Arya Salaka, bangun pada saatnya. Pada saat terang-terang tanah. Ketika mereka keluar dari ruang tidur, mereka melihat beberapa orang telah berada di halaman depan.
Tetapi demikian Mahesa Jenar melihat sikap mereka, segera Mahesa Jenar mengetahui bahwa tidak ada lagi bahaya yang mengancam pedukuhan itu. Setidak-tidaknya untuk waktu-waktu yang cukup untuk menyembuhkan luka-luka yang diderita oleh laskar Gedangan dalam pertempuran kemarin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar memerintahkan juga laskar Gedangan bersiap untuk melakukan pembersihan daerah yang kemarin dipergunakan sebagai ajang pertempuran.
Demikianlah sehari itu, yang dilakukan oleh orang-orang Gedangan adalah bekerja keras, mengubur mayat-mayat yang berserak-serakan, baik dari kawan sendiri maupun dari lawan.
Ketika matahari condong ke barat, selesailah pekerjaan mereka. Mereka kini boleh kembali kepada keluarga masing-masing, meskipun tetap untuk tidak meninggalkan kewaspadaan. Beberapa orang secara bergilir masih harus tetap berada di gardu-gardu penjagaan. Siang maupun malam.
Dalam keadaan yang demikian terasalah, betapa akibat pertempuran telah merampas kegembiraan seluruh penduduk Gedangan. Apalagi yang terpaksa melepaskan salah seorang anggota keluarga mereka.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan beberapa orang terbaik dari pedukuhan mereka sebagai tawur dalam perjuangan mempertahankan hak dan ketenteraman hidup mereka untuk seterusnya.
Ketika pekerjaan mereka telah selesai seluruhnya, barulah mereka dapat menarik nafas lega. Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri dan Arya Salaka. Mereka kini telah dapat berkumpul bercakap-cakap dengan tenang.
Namun agaknya Arya tidak begitu tertarik duduk bercakap-cakap diantara mereka. Agaknya beberapa masalah masih selalu mengganggunya. Karena itu ia minta diri untuk berjalan-jalan menikmati cahaya matahari sore. Selain Arya Salaka, ternyata Widuri pun lebih senang berjalan-jalan dan berlari-lari diluar. Sehingga dengan demikian, ia minta diri pula untuk ikut serta bersama Arya Salaka bermain-main.
Demikianlah mereka berdua berjalan menyusur jalan-jalan pedukuhan sambil bercakap-cakap. Kadang-kadang Widuri minta Arya Salaka berceritera tentang dirinya, tentang pengalamannya dan tentang cita-citanya.
Sebaliknya kadang-kadang ia bercerita tentang segala sesuatu yang disenanginya. Tentang burung – burung yang terbang bebas di udara. Tentang bunga-bunga yang mekar di halaman. Dan kadang-kadang dengan penuh keingintahuan, Widuri menanyakan tentang daerah-daerah yang jauh di seberang punggung-punggung bukit, daerah dimana langit dan bumi seolah-olah berpadu dalam satu garis yang membujur panjang sekali. Dalam percakapan yang asik itu Arya selalu berusaha untuk menjawab sedapat-dapatnya. Diceriterakan apa yang pernah dilihatnya dibalik pegunungan yang berjajar seperti wayang di pakeliran. Diceriterakannya betapa di sana tergelar pantai yang luas serta laut tanpa tepi. Betapa nelayan di lautan bekerja keras untuk mencari kekayaan yang tersimpan di dalam lautan.
Diam-diam Widuri menjadi kagum kepada anak muda itu. Kagum akan pengalamannya yang luas, serta kagum akan ketetapan hatinya memandang hari kemudian. Hari yang bakal datang.
Sebaliknya, Arya pun menjadi tertarik perhatiannya kepada gadis itu. Dengan pertanyaan-pertanyaan ia dapat mengetahui betapa banyak kemauan dan cita-cita yang tersimpan didalam dadanya.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas