- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#328
Jilid 11 [Part 235]
Spoiler for :
DALAM hal yang demikian, kembali ketahanan tubuh Arya Salaka tampak lebih besar dari Sawung Sariti. Ialah yang mulai dapat menggerakkan tubuhnya dan perlahan-lahan bangun. Dengan susah payah ia berhasil duduk dan bersandar pada kedua belah tangannya.
Baru sesaat kemudian tampak Sawung Sariti mulai bergerak-gerak pula. Namun karena nafsunya yang meluap-luap itulah agaknya ia memaksa tubuhnya untuk segera dapat bangkit berdiri. Mahesa Jenar menjadi tidak tahan lagi melihat perkelahian itu, sehingga dicobanya untuk melerainya. Katanya,
Tetapi Sawung Sariti adalah seorang anak yang sombong. Yang dalam hidupnya sehari – hari seolah – olah tak seorangpun yang berani membantah kemauannya.
Karena itu meskipun keadaan tubuhnya sangat tidak menguntungkan, namun ia menjawab,
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya sambil mengusap dadanya, seolah-olah ia sedang menekan hatinya supaya tidak hanyut terseret oleh arus perasaannya. Bahkan ia berkata pula,
Sawung Sariti terdiam sesaat. Kata-kata Mahesa Jenar memang mengandung kebenaran. Kalau apa yang dilakukan selama ini adalah untuk ketenteraman hidup rakyatnya, maka sebaiknya tidak perlu ia mengejar-ngejar Arya Salaka, apalagi membunuhnya.
Tetapi tiba-tiba kembali nafsunya melonjak-lonjak. Nafsu untuk berkuasa atas tanah perdikan Banyubiru yang sebenarnya adalah hak Arya Salaka. Karena itu segera ia menjawab,
Pada saat itu dada Arya rasa-rasanya sudah akan pecah. Ia tidak tahan lagi mendengar pembicaraan itu, yang seolah-olah baginya hanya tersedia di dalam sudut belas kasihan Sawung Sariti.
Terdorong oleh darah remajanya yang sedang bergelora, berteriaklah Arya Salaka mengatasi suara Mahesa Jenar yang hampir melanjutkan perkataannya,
Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Arya Salaka merasa harga dirinya tersinggung. Namun demikian ia masih mencoba berkata,
Nama itu memang untuk sementara dapat mempengaruhi perasaan mereka. Namun agaknya masalah haus kekuasaan telah menjamah seluruh relung-relung hati Sawung Sariti. Karena itu ia sudah tidak mau berbicara lagi. Meskipun tubuhnya masih belum segar benar namun ia telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi karena aji Lebur Sakethi-nya mendapat perlawanan yang seimbang, ia memilih cara lain untuk membinasakan Arya Salaka dengan kecepatannya memainkan pedang. Maka dalam sekejap mata, tampaklah sinar mata pedang berkilat-kilat didalam gelap malam, dibawah gemerlipnya bintang gemintang di langit yang kelam.
Sekali lagi hati Mahesa Jenar tergetar. Ia merasa tidak dapat berbuat lain, daripada menyaksikan kembali perkelahian yang sengit antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perkelahian diantara keluarga sendiri yang pada hakekatnya tidak banyakb erarti dalam percaturan tata pemerintahan di Banyubiru kelak. Sebab beberapa orang Banyubiru telah mendengar bahwa Arya Salaka masih hidup dan akan kembali ke tanah pusakanya. Sehingga apabila ternyata kemudian Arya Salaka tidak kembali, maka para pemimpin Banyubiru pasti akan mengurai persoalan itu. Dan dengan demikian, ketenteraman yang diharapkan tidak akan dapat diwujudkan. Yang akan terjadi kemudian adalah penindasan terhadap orang-orang yang ingin membela pemimpin mereka. Bahkan kebenaran Gajah Sora pun pasti akan tersingkap pula, setelah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dapat diketemukan.
Tetapi yang terjadi kemudian adalah benar-benar suatu pertempuran yang sengit.
Ketika Arya Salaka melihat gemerlapnya sinar pedang di tangan Sawung Sariti, maka segera iapun mencabut tombaknya yang diberinya sebuah tangkai pendek.
Tombak yang merupakan pertanda kebesaran pemerintahan Banyubiru pada masa lampau, bernama Kyai Bancak.
DEMIKIANLAH sekali lagi, Arya Salaka dan Sawung Sariti menyabung nyawanya.
Dua bayangan yang bergerak-gerak dengan cepatnya, timbul-tenggelam diantara gemerlapnya sinar pedang, dan cahaya kebiru-biruan dari ujung tombak yang bernama Kyai Bancak.
Kembali perkelahian itu berkobar dengan serunya. Bahkan kali ini di tangan masing-masing tergenggam senjata yang dapat menyobek kulit daging. Sawung Sariti benar-benar dapat mewarisi keahlian bermain pedang dari ayahnya, sedang Arya Salaka dengan cepatnya dapat mengimbangi.
Tombaknya yang bertangkai pendek itu mematuk-matuk berbahaya sekali ke segenap bagian tubuh Sawung Sariti.
Tetapi ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa lama, kembali terasa, tenaga Sawung Sariti telah jauh susut. Karena itu ketangkasannyapun menjadi berkurang. Demikianlah, maka ketika Sawung Sariti mempergunakan segenap sisa tenaganya untuk menyerang lawannya, Arya Salaka berhasil menghindar kesamping. Arya sama sekali tidak membalas menyerang tubuh Sawung Sariti, tetapi dipukulnya pedang yang hanya berjarak beberapa kilan dari tubuhnya itu dengan sekuat tenaganya. Sawung Sariti sama sekali tidak menduga, bahwa lawannya akan berbuat demikian. Karena itu pedangnya bergetar sehingga tangannya terasa pedih.
Sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, sekali lagi Arya menghantam pedang itu. Kali ini Arya Salaka berhasil. Pedang itu dengan kerasnya terlontar lepas dari tangan Sawung Sariti.
Mengalami peristiwa itu, dada Sawung Sariti bergoncang. Segera ia meloncat mundur untuk mempersiapkan diri melawan tanpa senjata. Tetapi Arya dengan tangkasnya meloncat pula, bahkan lebih cepat dari Sawung Sariti yang hampir kehabisan tenaga. Apa yang terjadi kemudian adalah ujung Tombak Kyai Banyak telah melekat di dada anak muda yang sombong itu.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu, menahan nafasnya. Suasana menjadi tegang. Semuanya menunggu apa yang akan dilakukan Arya Salaka dengan tombak pusaka dari Banyubiru itu.
Tetapi bagaimanapun juga, terpaksa mereka mengagumi pula ketabahan hati Sawung Sariti. Meskipun di dadanya telah melekat ujung tombak lawannya, yang dalam sekejap mata dapat membunuhnya, namun anak itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkan terdengar giginya gemeretak sebagai ungkapan kemarahan hatinya, dan sesaat kemudian terdengar ia berkata,
Sebenarnya darah Arya Salakapun telah cukup panas. Dan dalam keadaan yang demikian dapat saja ia menggerakkan tangannya beberapa jengkal. Dengan demikian Sawung Sariti pun akan binasa. Namun tiba-tiba, ketika ia telah memilki kunci kemenangan, tampaklah pada wajah Sawung Sariti sebuah bayangan atas masa lampaunya. Masa kanak-kanaknya.
Dimana mereka berdua dengan anak itu bermain bersama di Rawa Pening kalau kebetulan Sawung Sariti berada di Banyubiru. Sebaliknya mereka kadang-kadang berkuda bersama mendaki bukit-bukit kecil di Pamingit untuk mencari buah-buahan, yang kemudian dimakan bersama.
Diingatnya dengan jelas, alangkah rukunnya pergaulan kanak-kanak yang masih jauh dari pamrih dan nafsu keangkaramurkaan. Pada saat itu seolah-olah tidak ada batas antara milik mereka berdua, permainan mereka berdua, bahkan sampai suka-duka mereka berdua.
Kalau kebetulan Arya Salaka sedang dimarahi oleh ayah bundanya, dengan penuh kesayangan seorang adik Sawung Sariti selalu menghiburnya. Sebaliknya apabila Sawung Sariti sedang bersedih hati, Arya Salaka selalu berusaha untuk meredakannya. Pada saat yang demikian, mereka merasa seolah-olah dunia ini milik mereka berdua, dan tak ada tangan yang akan mampu memisahkan kerukunan mereka sebagai seorang kakak dan adik sepupu.
Tetapi tiba-tiba sekarang mereka harus berhadapan sebagai lawan. Lawan yang harus bertempur berebut nyawa. Alangkah jauh bedanya. Masa kini dan masa kanak-kanak yang tinggal dapat dikenangnya. Masa dimana hati mereka belum dikotori oleh nafsu dan dendam.
Dalam pada itu Sawung Sariti menjadi heran ketika ujung tombak yang sudah melekat di dadanya itu masih belum menghujam masuk. Apalagi ketika lamat-lamat dalam kegelapan malam ia melihat Arya memejamkan matanya serta menggelengkan kepalanya. Seolah-olah ia sedang berusaha mengusir kenangan yang mengganggunya pada saat itu.
Memang pada saat itu Arya Salaka sedang berusaha untuk mengenyahkan bayangan-bayangan masa kanak-kanaknya. Namun ia tidak berhasil. Ketika ia memejamkan matanya, justru bayangan itu semakin jelas. Bayangan dua orang anak-anak yang berlari-lari sambil berteriak-teriak nyaring dan berbimbingan tangan.
Tiba-tiba kenangan itu dipecahkan oleh Suara Sawung Sariti dengan tataknya,
Namun Arya masih diam saja. Memang dalam perkembangan mereka banyak mengalami pengaruh yang berbeda, sehingga watak merekapun menjadi jauh berbeda pula. Dengan demikian suasana menjadi bertambah tegang. Wajah-wajah yang berada di sekitar kedua anak muda yang berdiri berhadapan itu menjadi tegang pula. Dengan dada yang berdenyut keras mereka menunggu apakah yang akan terjadi.
Namun agaknya Mahesa Jenar yang telah lama bergaul dengan Arya dapat meraba perasaan yang menjalari kepala anak itu. Bahkan kemudian ia berdoa, mudah-mudahan Arya mengambil keputusan lain. Sehingga ia tidak membunuh saudara sepupunya itu dengan tangannya sendiri.
Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Tiba-tiba dengan suara gemetar Arya berkata,
Baru sesaat kemudian tampak Sawung Sariti mulai bergerak-gerak pula. Namun karena nafsunya yang meluap-luap itulah agaknya ia memaksa tubuhnya untuk segera dapat bangkit berdiri. Mahesa Jenar menjadi tidak tahan lagi melihat perkelahian itu, sehingga dicobanya untuk melerainya. Katanya,
Quote:
“Anakku berdua… sudahilah pertempuran itu. Tidakkah ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah kalian dengan tidak usah menumpahkan darah?”
Tetapi Sawung Sariti adalah seorang anak yang sombong. Yang dalam hidupnya sehari – hari seolah – olah tak seorangpun yang berani membantah kemauannya.
Karena itu meskipun keadaan tubuhnya sangat tidak menguntungkan, namun ia menjawab,
Quote:
”Paman sudah menyerahkan masalah kami kepada kami berdua. Kalau Paman tidak rela murid Paman binasa, suruhlah orang lain membantunya.”
Sekali lagi perasaan Mahesa Jenar tersentuh. Namun betapapun pedihnya ia masih menyabarkan diri. Katanya lebih lanjut,
“Apakah yang dapat kalian peroleh dengan perkelahian itu? Kunci persoalannya tidak terletak pada kalian. Tetapi pada ayah-ayah kalian. Sedang ayah kalian adalah dua bersaudara seayah-seibu. Adakah pantas kalau kalian terpaksa bertempur mati – matian? Kalau ada persoalan biarlah kita bicarakan, sedang kalau ada masalah marilah kita pecahkan.”
“Kami sedang memecahkan masalah kami dengan cara seorang laki-laki,” jawab Sawung Sariti dengan angkuhnya.
Sekali lagi perasaan Mahesa Jenar tersentuh. Namun betapapun pedihnya ia masih menyabarkan diri. Katanya lebih lanjut,
“Apakah yang dapat kalian peroleh dengan perkelahian itu? Kunci persoalannya tidak terletak pada kalian. Tetapi pada ayah-ayah kalian. Sedang ayah kalian adalah dua bersaudara seayah-seibu. Adakah pantas kalau kalian terpaksa bertempur mati – matian? Kalau ada persoalan biarlah kita bicarakan, sedang kalau ada masalah marilah kita pecahkan.”
“Kami sedang memecahkan masalah kami dengan cara seorang laki-laki,” jawab Sawung Sariti dengan angkuhnya.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya sambil mengusap dadanya, seolah-olah ia sedang menekan hatinya supaya tidak hanyut terseret oleh arus perasaannya. Bahkan ia berkata pula,
Quote:
“Sawung Sariti… kejantanan seorang laki-laki tidak saja diukur dengan keprigelannya bertempur, tetapi juga harus dinilai dengan keluhuran budi. Dengan demikian barulah penilaian kita sempurna. Keluhuran budi itu dapat dicerminkan oleh tujuan serta pelaksanaan untuk mencapai tujuan itu.”
“Kau jangan menggurui aku Paman,” potong Sawung Sariti,
“Sebab aku sudah tahu semuanya itu. Ketahuilah, bahwa tujuanku bukan sekadar membinasakan Arya Salaka, tetapi tujuan yang lebih jauh lagi adalah ketenteraman hidup rakyat Banyubiru dan Pamingit.”
“Bagus, Sawung Sariti…” sahut Mahesa Jenar.
“Demikian hendaknya seorang pemuka dan pemimpin. Namun ketahuilah bahwa aku yakin, Arya Salaka pun berhasrat demikian pula. Apakah salahnya kalau kalian dapat bekerja bersama dalam batas – batas yang ditentukan oleh kemampuan kalian masing-masing?”
“Kau jangan menggurui aku Paman,” potong Sawung Sariti,
“Sebab aku sudah tahu semuanya itu. Ketahuilah, bahwa tujuanku bukan sekadar membinasakan Arya Salaka, tetapi tujuan yang lebih jauh lagi adalah ketenteraman hidup rakyat Banyubiru dan Pamingit.”
“Bagus, Sawung Sariti…” sahut Mahesa Jenar.
“Demikian hendaknya seorang pemuka dan pemimpin. Namun ketahuilah bahwa aku yakin, Arya Salaka pun berhasrat demikian pula. Apakah salahnya kalau kalian dapat bekerja bersama dalam batas – batas yang ditentukan oleh kemampuan kalian masing-masing?”
Sawung Sariti terdiam sesaat. Kata-kata Mahesa Jenar memang mengandung kebenaran. Kalau apa yang dilakukan selama ini adalah untuk ketenteraman hidup rakyatnya, maka sebaiknya tidak perlu ia mengejar-ngejar Arya Salaka, apalagi membunuhnya.
Tetapi tiba-tiba kembali nafsunya melonjak-lonjak. Nafsu untuk berkuasa atas tanah perdikan Banyubiru yang sebenarnya adalah hak Arya Salaka. Karena itu segera ia menjawab,
Quote:
“Paman, aku hanya dapat bekerja bersama dengan orang-orang yang tahu diri serta tahu menempatkan dirinya.”
“Tidakkah Arya dapat berbuat demikian?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidakkah Arya dapat berbuat demikian?” tanya Mahesa Jenar.
Pada saat itu dada Arya rasa-rasanya sudah akan pecah. Ia tidak tahan lagi mendengar pembicaraan itu, yang seolah-olah baginya hanya tersedia di dalam sudut belas kasihan Sawung Sariti.
Terdorong oleh darah remajanya yang sedang bergelora, berteriaklah Arya Salaka mengatasi suara Mahesa Jenar yang hampir melanjutkan perkataannya,
Quote:
“Paman, biarlah Adi Sawung Sariti memilih cara yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah ini.”
Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Arya Salaka merasa harga dirinya tersinggung. Namun demikian ia masih mencoba berkata,
Quote:
“Tak ada masalah yang tak dapat terpecahkan diantara kalian, sebagai keturunan bersama dari Ki Ageng Sora Dipayana.”
Nama itu memang untuk sementara dapat mempengaruhi perasaan mereka. Namun agaknya masalah haus kekuasaan telah menjamah seluruh relung-relung hati Sawung Sariti. Karena itu ia sudah tidak mau berbicara lagi. Meskipun tubuhnya masih belum segar benar namun ia telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi karena aji Lebur Sakethi-nya mendapat perlawanan yang seimbang, ia memilih cara lain untuk membinasakan Arya Salaka dengan kecepatannya memainkan pedang. Maka dalam sekejap mata, tampaklah sinar mata pedang berkilat-kilat didalam gelap malam, dibawah gemerlipnya bintang gemintang di langit yang kelam.
Sekali lagi hati Mahesa Jenar tergetar. Ia merasa tidak dapat berbuat lain, daripada menyaksikan kembali perkelahian yang sengit antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perkelahian diantara keluarga sendiri yang pada hakekatnya tidak banyakb erarti dalam percaturan tata pemerintahan di Banyubiru kelak. Sebab beberapa orang Banyubiru telah mendengar bahwa Arya Salaka masih hidup dan akan kembali ke tanah pusakanya. Sehingga apabila ternyata kemudian Arya Salaka tidak kembali, maka para pemimpin Banyubiru pasti akan mengurai persoalan itu. Dan dengan demikian, ketenteraman yang diharapkan tidak akan dapat diwujudkan. Yang akan terjadi kemudian adalah penindasan terhadap orang-orang yang ingin membela pemimpin mereka. Bahkan kebenaran Gajah Sora pun pasti akan tersingkap pula, setelah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dapat diketemukan.
Tetapi yang terjadi kemudian adalah benar-benar suatu pertempuran yang sengit.
Ketika Arya Salaka melihat gemerlapnya sinar pedang di tangan Sawung Sariti, maka segera iapun mencabut tombaknya yang diberinya sebuah tangkai pendek.
Tombak yang merupakan pertanda kebesaran pemerintahan Banyubiru pada masa lampau, bernama Kyai Bancak.
DEMIKIANLAH sekali lagi, Arya Salaka dan Sawung Sariti menyabung nyawanya.
Dua bayangan yang bergerak-gerak dengan cepatnya, timbul-tenggelam diantara gemerlapnya sinar pedang, dan cahaya kebiru-biruan dari ujung tombak yang bernama Kyai Bancak.
Kembali perkelahian itu berkobar dengan serunya. Bahkan kali ini di tangan masing-masing tergenggam senjata yang dapat menyobek kulit daging. Sawung Sariti benar-benar dapat mewarisi keahlian bermain pedang dari ayahnya, sedang Arya Salaka dengan cepatnya dapat mengimbangi.
Tombaknya yang bertangkai pendek itu mematuk-matuk berbahaya sekali ke segenap bagian tubuh Sawung Sariti.
Tetapi ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa lama, kembali terasa, tenaga Sawung Sariti telah jauh susut. Karena itu ketangkasannyapun menjadi berkurang. Demikianlah, maka ketika Sawung Sariti mempergunakan segenap sisa tenaganya untuk menyerang lawannya, Arya Salaka berhasil menghindar kesamping. Arya sama sekali tidak membalas menyerang tubuh Sawung Sariti, tetapi dipukulnya pedang yang hanya berjarak beberapa kilan dari tubuhnya itu dengan sekuat tenaganya. Sawung Sariti sama sekali tidak menduga, bahwa lawannya akan berbuat demikian. Karena itu pedangnya bergetar sehingga tangannya terasa pedih.
Sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, sekali lagi Arya menghantam pedang itu. Kali ini Arya Salaka berhasil. Pedang itu dengan kerasnya terlontar lepas dari tangan Sawung Sariti.
Mengalami peristiwa itu, dada Sawung Sariti bergoncang. Segera ia meloncat mundur untuk mempersiapkan diri melawan tanpa senjata. Tetapi Arya dengan tangkasnya meloncat pula, bahkan lebih cepat dari Sawung Sariti yang hampir kehabisan tenaga. Apa yang terjadi kemudian adalah ujung Tombak Kyai Banyak telah melekat di dada anak muda yang sombong itu.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu, menahan nafasnya. Suasana menjadi tegang. Semuanya menunggu apa yang akan dilakukan Arya Salaka dengan tombak pusaka dari Banyubiru itu.
Tetapi bagaimanapun juga, terpaksa mereka mengagumi pula ketabahan hati Sawung Sariti. Meskipun di dadanya telah melekat ujung tombak lawannya, yang dalam sekejap mata dapat membunuhnya, namun anak itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkan terdengar giginya gemeretak sebagai ungkapan kemarahan hatinya, dan sesaat kemudian terdengar ia berkata,
Quote:
“Ayo, Kakang Arya Salaka. Bunuhlah aku dengan tombak kebesaran Banyubiru itu.”
Sebenarnya darah Arya Salakapun telah cukup panas. Dan dalam keadaan yang demikian dapat saja ia menggerakkan tangannya beberapa jengkal. Dengan demikian Sawung Sariti pun akan binasa. Namun tiba-tiba, ketika ia telah memilki kunci kemenangan, tampaklah pada wajah Sawung Sariti sebuah bayangan atas masa lampaunya. Masa kanak-kanaknya.
Dimana mereka berdua dengan anak itu bermain bersama di Rawa Pening kalau kebetulan Sawung Sariti berada di Banyubiru. Sebaliknya mereka kadang-kadang berkuda bersama mendaki bukit-bukit kecil di Pamingit untuk mencari buah-buahan, yang kemudian dimakan bersama.
Diingatnya dengan jelas, alangkah rukunnya pergaulan kanak-kanak yang masih jauh dari pamrih dan nafsu keangkaramurkaan. Pada saat itu seolah-olah tidak ada batas antara milik mereka berdua, permainan mereka berdua, bahkan sampai suka-duka mereka berdua.
Kalau kebetulan Arya Salaka sedang dimarahi oleh ayah bundanya, dengan penuh kesayangan seorang adik Sawung Sariti selalu menghiburnya. Sebaliknya apabila Sawung Sariti sedang bersedih hati, Arya Salaka selalu berusaha untuk meredakannya. Pada saat yang demikian, mereka merasa seolah-olah dunia ini milik mereka berdua, dan tak ada tangan yang akan mampu memisahkan kerukunan mereka sebagai seorang kakak dan adik sepupu.
Tetapi tiba-tiba sekarang mereka harus berhadapan sebagai lawan. Lawan yang harus bertempur berebut nyawa. Alangkah jauh bedanya. Masa kini dan masa kanak-kanak yang tinggal dapat dikenangnya. Masa dimana hati mereka belum dikotori oleh nafsu dan dendam.
Dalam pada itu Sawung Sariti menjadi heran ketika ujung tombak yang sudah melekat di dadanya itu masih belum menghujam masuk. Apalagi ketika lamat-lamat dalam kegelapan malam ia melihat Arya memejamkan matanya serta menggelengkan kepalanya. Seolah-olah ia sedang berusaha mengusir kenangan yang mengganggunya pada saat itu.
Memang pada saat itu Arya Salaka sedang berusaha untuk mengenyahkan bayangan-bayangan masa kanak-kanaknya. Namun ia tidak berhasil. Ketika ia memejamkan matanya, justru bayangan itu semakin jelas. Bayangan dua orang anak-anak yang berlari-lari sambil berteriak-teriak nyaring dan berbimbingan tangan.
Tiba-tiba kenangan itu dipecahkan oleh Suara Sawung Sariti dengan tataknya,
Quote:
“Kenapa tidak kau lakukan itu sekarang Kakang? Adakah kau takut melihat darah yang akan menyembur dari luka di dadaku?”
Arya tidak menjawab. Tetapi tangannya menjadi gemetar.
“Jangan berlaku seperti perempuan cengeng,” sambung Sawung Sariti.
Arya tidak menjawab. Tetapi tangannya menjadi gemetar.
“Jangan berlaku seperti perempuan cengeng,” sambung Sawung Sariti.
Namun Arya masih diam saja. Memang dalam perkembangan mereka banyak mengalami pengaruh yang berbeda, sehingga watak merekapun menjadi jauh berbeda pula. Dengan demikian suasana menjadi bertambah tegang. Wajah-wajah yang berada di sekitar kedua anak muda yang berdiri berhadapan itu menjadi tegang pula. Dengan dada yang berdenyut keras mereka menunggu apakah yang akan terjadi.
Namun agaknya Mahesa Jenar yang telah lama bergaul dengan Arya dapat meraba perasaan yang menjalari kepala anak itu. Bahkan kemudian ia berdoa, mudah-mudahan Arya mengambil keputusan lain. Sehingga ia tidak membunuh saudara sepupunya itu dengan tangannya sendiri.
Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Tiba-tiba dengan suara gemetar Arya berkata,
Quote:
“Adi Sawung Sariti, jangan berkata demikian. Mungkin benar aku tidak akan berani melihat darah yang menyembur dari luka di dadamu, karena kau adalah adikku, yang pernah mengalami keindahan masa kanak-kanak bersama-sama. Nah, Adi Sawung Sariti, pulanglah. Dan berpikirlah baik-baik agar masalah diantara kita dapat kita selesaikan tanpa pertumpahan darah. Baik darah kita sendiri maupun darah rakyat kita.”
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas