- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#326
Jilid 11 [Part 233]
Spoiler for :
DALAM keadaan yang demikian, Janda Sima Rodra menjadi semakin gelap mata. Serangan-serangannya menjadi bertambah cepat, namun menjadi semakin kehilangan pengamatan. Apalagi ketika gerakan-gerakan Rara Wilis menjadi semakin mapan, makin terdesaklah Janda Sima Rodra.
Akhirnya Harimau Betina itu menjadi putus asa. Sambil mengaum nyaring ia menyerang dengan tenaga yang ada padanya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain menjadi terkejut melihat serangan yang ganas itu. Sebab bila Rara Wilis lengah sedikit saja, dadanya pasti dapat dirobek oleh lawannya. Tetapi untunglah bahwa dengan pedang di tangan, Rara Wilis menjadi agak tenang, sehingga pengamatannya atas lawannya menjadi semakin jelas pula.
Maka ketika Janda Rodra menerkamnya, segera Rara Wilis meloncat ke samping, dan sambil merendahkan diri, tangannya bergerak dengan cepat, sehingga pedang tipis itu terjulur lurus ke depan. Demikianlah ujung pedang tipis itu terasa menyentuh sesuatu dan tanpa sadar pedang itu telah tenggelam ke dada lawannya dibarengi teriakan yang mengerikan.
Rara Wilis adalah seorang yang telah menerima ilmu yang cukup banyak. Namun dalam perjalanan hidupnya ia sama sekali tidak bermimpi bahwa pada suatu saat, dengan pedang di tangannya, akan ditembusnya dada seseorang. Memang, ia bercita-cita untuk dapat membalas sakit hatinya dengan melenyapkan perempuan yang telah menyeret ayahnya ke dalam lembah kehinaan. Namun, ketika angan-angannya itu kini dapat diwujudkan, dengan membenamkan pedang ke dada perempuan itu, hatinya berguncang keras. Bagaimanapun kehalusan perasaannya sangat terpengaruh karena itu. Apalagi kemudian ketika dilihatnya darah segar menyembur dari luka di dada ibu tirinya. Maka tiba-tiba Rara Wilis pun menjerit sambil melompat mundur. Ia tidak sempat menarik pedangnya, karena kedua belah tangannya kemudian menutupi wajahnya. Bahkan sesaat kemudian ia terhuyung-huyung jatuh. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan cekatan meloncat menangkapnya. Dan ternyata kemudian Rara Wilis pingsan.
Beberapa orang segera menjadi ribut. Dipijit-pijitnya kening gadis itu oleh Kebo Kanigara. Dan kemudian digerak-gerakkannya tangannya setelah pakaiannya dikendirkan. Ternyata tubuh gadis itu telah basah kuyup oleh keringat.
Maka atas anjuran beberapa orang, dipapahnya Rara wilis kembali mendahului ke pedukuhan, diantar oleh beberapa orang, dengan pesan apabila ada sesuatu yang penting agar diberi tanda-tanda dengan kentongan.
Tinggalah kemudian diantara mereka, mayat Janda Sima Rodra. Seorang perempuan yang telah menggemparkan masyarakat karena kelakuan-kelakuannya yang kotor. Kecuali ia seorang penjahat, ternyata Janda Sima Rodra juga seorang yang mempunyai kebiasaan yang mengerikan. Sebagaimana bekas-bekasnya pernah ditemukan oleh Mahesa Jenar di Prambanan. Kebiasaan berpesta dengan upacara-upacara yang memuakkan diantara mereka, gerombolan hitam, terutama gerombolan Sima Rodra. Upacara yang hampir tak dapat dipercaya berlaku diantara mahluk yang bernama manusia.
Pada saat yang demikian, bekas arena pertempuran itu menjadi sepi. Sesepi daerah kuburan. Beberapa orang laskar Gedangan berdiri dengan kaku memandang tubuh-tubuh yang bergelimpangan dari keduabelah pihak. Suasana menjadi bertambah ngeri ketika terdengar di sana-sini suara rintihan yang menyayat hati. Maka kemudian keluarlah perintah dari Mahesa Jenar untuk memelihara orang-orang yang terluka dari pihak manapun.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi gelisah, bahwa sejak tadi ia sama sekali belum melihat Arya Salaka diantara mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi gelisah. Sejak semula perhatiannya terikat penuh pada pertempuran antara Janda Sima Rodra dan Rara Wilis. Sedang pada saat itu tak seorang pun yang masih tampak di daerah bekas pertempuran, selain mereka yang masih bergerombol itu.
Serentak mereka yang mendengar jawaban Mahesa Jenar itu tersadar, bahwa anak itu memang sejak tadi tidak mereka lihat. Dengan demikian mereka pun menjadi gelisah. Lebih-lebih Wanamerta, selain Mahesa Jenar sendiri.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Anak itu ternyata benar-benar cerdas, dengan memilih gelar khusus bagi pasukannya. Karena dengan gelar itu sapit kanan akan menjadi lincah. Namun aneh bahwa untuk seterusnya anak buahnya tidak melihatnya lagi.
Meskipun demikian dadanya menjadi berdebar-debar. Anak itu adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana. Apakah dalam pertempuran itu Arya dapat dikalahkan…? Karena itu debar di dada Mahesa Jenar makin bertambah.
sambil melangkah dengan cepatnya ke arah bekas arena sayap kanan, diikuti beberapa orang termasuk Kebo Kanigara, Wanamerta, dan tidak ketinggalan Widuri pun mengikutinya dengan berlari-lari kecil.
Dalam hal yang demikian, Mahesa Jenar telah melupakan sama sekali orang yang berjubah abu-abu, yang sebenarnya banyak menarik perhatiannya. Namun masalah Arya Salaka baginya merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya.
Tetapi ketika baru saja ia melangkah beberapa langkah, dilihatnya orang berjubah abu-abu itu berlari mendahuluinya, seakan-akan ada sesuatu yang penting dalam usahanya untuk mencari Arya Salaka.
Demikianlah, beberapa orang yang lain pun segera berlari-lari pula. Sementara itu Widuri pun telah berada di dalam bimbingan tangan ayahnya, sambil menggerutu,
Kalau sudah demikian Kebo Kanigara tidak akan dapat memaksanya lagi. Terpaksa ia menggandeng anaknya sambil berlari mengikuti Mahesa Jenar.
Orang yang berjubah abu-abu itu masih saja berlari ke suatu arah. Seolah-olah ada yang menunggunya di sana. Sedangkan Mahesa Jenar masih selalu berada di belakangnya.
Tiba-tiba dalam pada itu, dalam garis arah yang dituju oleh orang berjubah abu-abu itu, tampaklah dalam keremangan cahaya bulan yang kekuning-kuningan, dua bayangan yang selalu bergerak-gerak dengan cepatnya. Oleh ketajaman matanya, segera Mahesa Jenar dapat menangkap bayangan itu. Bayangan dari dua orang yang sedang bertempur diantara hidup dan mati.
Melihat kedua orang yang bertempur itu dada Mahesa Jenar bergetar. Karena itu seakan-akan mempercepat langkahnya, sehingga semakin lama bayangan itu seakan-akan menjadi semakin besar dan jelas. Akhirnya Mahesa Jenar dapat meyakinkan dirinya, bahwa yang bertempur mati-matian itu adalah Arya Salaka melawan Sawung Sariti.
Dalam pada itu, ketika Mahesa jenar telah melihat muridnya bertempur, kembali perhatiannya terampas habis, sehingga ia melupakan pula orang yang berjubah abu-abu itu. Dengan demikian ketika ia dengan penuh perhatian berlari-lari mendekati titik pertempuran itu, ia tidak lagi dapat mengetahui ke mana orang yang berjubah abu-abu itu pergi.
Ketika Mahesa Jenar beserta beberapa orang lain tiba, untuk sesaat terhentilah pertempuran itu. Sawung Sariti meloncat beberapa langkah surut sambil berkata mengejek,
Wajah Sawung Sariti berubah menjadi semburat merah. Apalagi diantara orang-orang yang datang kemudian terdapat Wanamerta. Meskipun demikian ia menjawab,
Sekali lagi Sawung Sariti memandang orang-orang yang berjajar mengelilinginya satu demi satu. Seolah-olah ia sedang menghitung waktu yang akan diperlukan untuk membinasakan mereka itu seorang demi seorang. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang tenang teguh, serta seorang laki-laki di sampingnya dengan seorang gadis tanggung yang cantik di tangannya, hati Sawung Sariti tergetar.
Akhirnya Harimau Betina itu menjadi putus asa. Sambil mengaum nyaring ia menyerang dengan tenaga yang ada padanya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain menjadi terkejut melihat serangan yang ganas itu. Sebab bila Rara Wilis lengah sedikit saja, dadanya pasti dapat dirobek oleh lawannya. Tetapi untunglah bahwa dengan pedang di tangan, Rara Wilis menjadi agak tenang, sehingga pengamatannya atas lawannya menjadi semakin jelas pula.
Maka ketika Janda Rodra menerkamnya, segera Rara Wilis meloncat ke samping, dan sambil merendahkan diri, tangannya bergerak dengan cepat, sehingga pedang tipis itu terjulur lurus ke depan. Demikianlah ujung pedang tipis itu terasa menyentuh sesuatu dan tanpa sadar pedang itu telah tenggelam ke dada lawannya dibarengi teriakan yang mengerikan.
Rara Wilis adalah seorang yang telah menerima ilmu yang cukup banyak. Namun dalam perjalanan hidupnya ia sama sekali tidak bermimpi bahwa pada suatu saat, dengan pedang di tangannya, akan ditembusnya dada seseorang. Memang, ia bercita-cita untuk dapat membalas sakit hatinya dengan melenyapkan perempuan yang telah menyeret ayahnya ke dalam lembah kehinaan. Namun, ketika angan-angannya itu kini dapat diwujudkan, dengan membenamkan pedang ke dada perempuan itu, hatinya berguncang keras. Bagaimanapun kehalusan perasaannya sangat terpengaruh karena itu. Apalagi kemudian ketika dilihatnya darah segar menyembur dari luka di dada ibu tirinya. Maka tiba-tiba Rara Wilis pun menjerit sambil melompat mundur. Ia tidak sempat menarik pedangnya, karena kedua belah tangannya kemudian menutupi wajahnya. Bahkan sesaat kemudian ia terhuyung-huyung jatuh. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan cekatan meloncat menangkapnya. Dan ternyata kemudian Rara Wilis pingsan.
Beberapa orang segera menjadi ribut. Dipijit-pijitnya kening gadis itu oleh Kebo Kanigara. Dan kemudian digerak-gerakkannya tangannya setelah pakaiannya dikendirkan. Ternyata tubuh gadis itu telah basah kuyup oleh keringat.
Maka atas anjuran beberapa orang, dipapahnya Rara wilis kembali mendahului ke pedukuhan, diantar oleh beberapa orang, dengan pesan apabila ada sesuatu yang penting agar diberi tanda-tanda dengan kentongan.
Tinggalah kemudian diantara mereka, mayat Janda Sima Rodra. Seorang perempuan yang telah menggemparkan masyarakat karena kelakuan-kelakuannya yang kotor. Kecuali ia seorang penjahat, ternyata Janda Sima Rodra juga seorang yang mempunyai kebiasaan yang mengerikan. Sebagaimana bekas-bekasnya pernah ditemukan oleh Mahesa Jenar di Prambanan. Kebiasaan berpesta dengan upacara-upacara yang memuakkan diantara mereka, gerombolan hitam, terutama gerombolan Sima Rodra. Upacara yang hampir tak dapat dipercaya berlaku diantara mahluk yang bernama manusia.
Pada saat yang demikian, bekas arena pertempuran itu menjadi sepi. Sesepi daerah kuburan. Beberapa orang laskar Gedangan berdiri dengan kaku memandang tubuh-tubuh yang bergelimpangan dari keduabelah pihak. Suasana menjadi bertambah ngeri ketika terdengar di sana-sini suara rintihan yang menyayat hati. Maka kemudian keluarlah perintah dari Mahesa Jenar untuk memelihara orang-orang yang terluka dari pihak manapun.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi gelisah, bahwa sejak tadi ia sama sekali belum melihat Arya Salaka diantara mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi gelisah. Sejak semula perhatiannya terikat penuh pada pertempuran antara Janda Sima Rodra dan Rara Wilis. Sedang pada saat itu tak seorang pun yang masih tampak di daerah bekas pertempuran, selain mereka yang masih bergerombol itu.
Quote:
“Ada yang kau cari…?” terdengar Kebo Kanigara bertanya, ketika dilihatnya Mahesa Jenar melayangkan pandangan berkeliling.
“Arya…” jawab Mahesa Jenar pendek.
“Arya…” jawab Mahesa Jenar pendek.
Serentak mereka yang mendengar jawaban Mahesa Jenar itu tersadar, bahwa anak itu memang sejak tadi tidak mereka lihat. Dengan demikian mereka pun menjadi gelisah. Lebih-lebih Wanamerta, selain Mahesa Jenar sendiri.
Quote:
“Siapakah yang berada di sayap kanan bersama anak itu?” teriak Mahesa Jenar.
Seorang yang bertubuh pendek kegemuk-gemukan, dengan sebuah parang di tangan, menjawab,
“Aku… Tuan.”
“Kau melihat anak muda itu…?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Ya, aku melihat anak muda itu memimpin barisan kami,” jawabnya pula.
“Di mana ia sekarang…?” desak Mahesa Jenar.
Orang yang bertubuh pendek itu berpikir sejenak untuk mengingat apa yang dilihatnya. Kemudian katanya,
“sejak matahari terbenam aku tidak menyaksikannya lagi.”
“Lalu siapa yang memegang pimpinan?” tanya Mahesa Jenar seterusnya.
“Ya, sejak saat itulah anak muda itu hilang dari antara kami, sejak ia memberikan perintah untuk menjadikan sapit kanan, khusus dalam gelar Jaring Gumelar,” jawab orang itu.
Seorang yang bertubuh pendek kegemuk-gemukan, dengan sebuah parang di tangan, menjawab,
“Aku… Tuan.”
“Kau melihat anak muda itu…?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Ya, aku melihat anak muda itu memimpin barisan kami,” jawabnya pula.
“Di mana ia sekarang…?” desak Mahesa Jenar.
Orang yang bertubuh pendek itu berpikir sejenak untuk mengingat apa yang dilihatnya. Kemudian katanya,
“sejak matahari terbenam aku tidak menyaksikannya lagi.”
“Lalu siapa yang memegang pimpinan?” tanya Mahesa Jenar seterusnya.
“Ya, sejak saat itulah anak muda itu hilang dari antara kami, sejak ia memberikan perintah untuk menjadikan sapit kanan, khusus dalam gelar Jaring Gumelar,” jawab orang itu.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Anak itu ternyata benar-benar cerdas, dengan memilih gelar khusus bagi pasukannya. Karena dengan gelar itu sapit kanan akan menjadi lincah. Namun aneh bahwa untuk seterusnya anak buahnya tidak melihatnya lagi.
Quote:
“Adakah anak itu terikat dengan lawan?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Ya, Tuan…” jawab orang bertubuh pendek kegemuk-gemukan itu,
“Aku lihat hal itu. Anak muda itu bertempur melawan anak muda yang sebaya, bertubuh kuat gagah seperti anak muda yang memimpin kami, Arya Salaka.”
“Sawung Sariti…” desis Mahesa Jenar.
“Ya, Tuan…” jawab orang bertubuh pendek kegemuk-gemukan itu,
“Aku lihat hal itu. Anak muda itu bertempur melawan anak muda yang sebaya, bertubuh kuat gagah seperti anak muda yang memimpin kami, Arya Salaka.”
“Sawung Sariti…” desis Mahesa Jenar.
Meskipun demikian dadanya menjadi berdebar-debar. Anak itu adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana. Apakah dalam pertempuran itu Arya dapat dikalahkan…? Karena itu debar di dada Mahesa Jenar makin bertambah.
Quote:
“MARILAH kita cari,” kata Mahesa Jenar kemudian,
sambil melangkah dengan cepatnya ke arah bekas arena sayap kanan, diikuti beberapa orang termasuk Kebo Kanigara, Wanamerta, dan tidak ketinggalan Widuri pun mengikutinya dengan berlari-lari kecil.
Dalam hal yang demikian, Mahesa Jenar telah melupakan sama sekali orang yang berjubah abu-abu, yang sebenarnya banyak menarik perhatiannya. Namun masalah Arya Salaka baginya merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya.
Tetapi ketika baru saja ia melangkah beberapa langkah, dilihatnya orang berjubah abu-abu itu berlari mendahuluinya, seakan-akan ada sesuatu yang penting dalam usahanya untuk mencari Arya Salaka.
Demikianlah, beberapa orang yang lain pun segera berlari-lari pula. Sementara itu Widuri pun telah berada di dalam bimbingan tangan ayahnya, sambil menggerutu,
Quote:
“Kenapa kau ikut juga, Widuri…? Lebih baik kau kembali ke Gedangan bersama-sama bibi Wilis.”
Widuri tertawa kecil, lalu jawabnya,
“Sebenarnya akupun sudah terlalu lapar.”
“Nah, kembalilah biar seseorang mengantarmu,” sahut ayahnya.
“Akulah yang akan mengantarnya kalau seseorang ingin pulang kembali,” jawab anak itu sambil tertawa.
“Jangan sombong,” potong ayahnya,
“Pulanglah.”
“Tidak mau,” jawab gadis tanggung yang nakal itu.
Widuri tertawa kecil, lalu jawabnya,
“Sebenarnya akupun sudah terlalu lapar.”
“Nah, kembalilah biar seseorang mengantarmu,” sahut ayahnya.
“Akulah yang akan mengantarnya kalau seseorang ingin pulang kembali,” jawab anak itu sambil tertawa.
“Jangan sombong,” potong ayahnya,
“Pulanglah.”
“Tidak mau,” jawab gadis tanggung yang nakal itu.
Kalau sudah demikian Kebo Kanigara tidak akan dapat memaksanya lagi. Terpaksa ia menggandeng anaknya sambil berlari mengikuti Mahesa Jenar.
Orang yang berjubah abu-abu itu masih saja berlari ke suatu arah. Seolah-olah ada yang menunggunya di sana. Sedangkan Mahesa Jenar masih selalu berada di belakangnya.
Tiba-tiba dalam pada itu, dalam garis arah yang dituju oleh orang berjubah abu-abu itu, tampaklah dalam keremangan cahaya bulan yang kekuning-kuningan, dua bayangan yang selalu bergerak-gerak dengan cepatnya. Oleh ketajaman matanya, segera Mahesa Jenar dapat menangkap bayangan itu. Bayangan dari dua orang yang sedang bertempur diantara hidup dan mati.
Melihat kedua orang yang bertempur itu dada Mahesa Jenar bergetar. Karena itu seakan-akan mempercepat langkahnya, sehingga semakin lama bayangan itu seakan-akan menjadi semakin besar dan jelas. Akhirnya Mahesa Jenar dapat meyakinkan dirinya, bahwa yang bertempur mati-matian itu adalah Arya Salaka melawan Sawung Sariti.
Dalam pada itu, ketika Mahesa jenar telah melihat muridnya bertempur, kembali perhatiannya terampas habis, sehingga ia melupakan pula orang yang berjubah abu-abu itu. Dengan demikian ketika ia dengan penuh perhatian berlari-lari mendekati titik pertempuran itu, ia tidak lagi dapat mengetahui ke mana orang yang berjubah abu-abu itu pergi.
Ketika Mahesa Jenar beserta beberapa orang lain tiba, untuk sesaat terhentilah pertempuran itu. Sawung Sariti meloncat beberapa langkah surut sambil berkata mengejek,
Quote:
“Kakang Arya Salaka, lihatlah orang-orangmu datang. Tidakkah lebih baik kalau mereka kau suruh bertempur pula melawan aku bersama-sama dengan Kakang…?”
Sekali lagi Mahesa Jenar merasa tidak senang sama sekali atas kesombongan itu. Meskipun demikian dibiarkannya muridnya menjawab. Katanya,
“Adakah kau bermaksud demikian?”
“Tentu,” jawab Sawung Sariti.
“Dengan demikian aku akan dapat menyelesaikan pekerjaanku sekaligus.”
“Sayang,” sahut Arya salaka,
“Aku berkehendak lain. Aku ingin kau lebih lama bekerja di sini. Mengalahkan kami satu demi satu, kalau kau mampu.”
“Apakah sulitnya?” potong anak yang sombong itu.
Arya Salaka tersenyum, katanya,
“Kalau kau harus menyelesaikan pertempuran melawan aku seorang sampai satu hari satu malam, misalnya, berapa hari kau perlukan untuk melawan sekian banyak orang satu demi satu?”
"Aku tidak peduli," jawab Sawung Sariti.
"Meskipun demikian, mungkin aku dapat memaafkan yang lain-lain, sebab mereka tidak bersalah kepadaku."
"Kau belum mengatakan kepadaku, apakah salahku," sahut Arya Salaka.
"Sebab kau begitu saja menyerang aku."
Sawung Sariti tertawa pendek, jawabnya,
"Kenapa beberapa waktu lalu kita bertempur di Gedangan ini pula? Nah, ketahuilah bahwa apa yang aku lakukan sekarang adalah kelanjutan dari persoalan itu."
Terdengar Arya Salaka tertawa pula. Katanya,
"Supaya aku tidak dapat mengatakan kemana Paman Sawungrana kau singkirkan…?"
Sekali lagi Mahesa Jenar merasa tidak senang sama sekali atas kesombongan itu. Meskipun demikian dibiarkannya muridnya menjawab. Katanya,
“Adakah kau bermaksud demikian?”
“Tentu,” jawab Sawung Sariti.
“Dengan demikian aku akan dapat menyelesaikan pekerjaanku sekaligus.”
“Sayang,” sahut Arya salaka,
“Aku berkehendak lain. Aku ingin kau lebih lama bekerja di sini. Mengalahkan kami satu demi satu, kalau kau mampu.”
“Apakah sulitnya?” potong anak yang sombong itu.
Arya Salaka tersenyum, katanya,
“Kalau kau harus menyelesaikan pertempuran melawan aku seorang sampai satu hari satu malam, misalnya, berapa hari kau perlukan untuk melawan sekian banyak orang satu demi satu?”
"Aku tidak peduli," jawab Sawung Sariti.
"Meskipun demikian, mungkin aku dapat memaafkan yang lain-lain, sebab mereka tidak bersalah kepadaku."
"Kau belum mengatakan kepadaku, apakah salahku," sahut Arya Salaka.
"Sebab kau begitu saja menyerang aku."
Sawung Sariti tertawa pendek, jawabnya,
"Kenapa beberapa waktu lalu kita bertempur di Gedangan ini pula? Nah, ketahuilah bahwa apa yang aku lakukan sekarang adalah kelanjutan dari persoalan itu."
Terdengar Arya Salaka tertawa pula. Katanya,
"Supaya aku tidak dapat mengatakan kemana Paman Sawungrana kau singkirkan…?"
Wajah Sawung Sariti berubah menjadi semburat merah. Apalagi diantara orang-orang yang datang kemudian terdapat Wanamerta. Meskipun demikian ia menjawab,
Quote:
"Kau benar. Dan setiap orang yang tidak mau berjanji untuk merahasiakan hal itu kepada orang-orang Banyubiru akan aku binasakan juga."
"Bagus…" jawab Arya Salaka,
"Mulailah."
"Bagus…" jawab Arya Salaka,
"Mulailah."
Sekali lagi Sawung Sariti memandang orang-orang yang berjajar mengelilinginya satu demi satu. Seolah-olah ia sedang menghitung waktu yang akan diperlukan untuk membinasakan mereka itu seorang demi seorang. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang tenang teguh, serta seorang laki-laki di sampingnya dengan seorang gadis tanggung yang cantik di tangannya, hati Sawung Sariti tergetar.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas