- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#325
Jilid 11 [Part 232]
Spoiler for :
KETIKA mengetahui bahwa ternyata pimpinan pasukan gabungan dari Pamingit dan gerombolan golongan hitam, Mahesa Jenar melihat bahwa pasukannya tidak mungkin lagi dapat tertolong apabila pertempuran diteruskan. Karena itu, diputuskannya untuk perlahan-lahan menarik diri, dan apabila mungkin besok dapat disusun kembali dengan gelar yang menguntungkan. Tetapi belum lagi ia memberikan aba-aba, tampaklah sayap-sayap pasukannya menjadi kacau balau.
Ternyata Sima Rodra Tua sudah tidak dapat lebih lama lagi bertahan melawan orang yang berjubah abu-abu itu. Malahan tidak itu saja. Orang yang berjubah abu-abu itu masih dapat melakukan tekanan-tekanan berat pada Jaka Soka dan bahkan Bugel Kaliki, disamping lawannya sendiri.
Hal inilah yang kemudian memaksa Sima Rodra untuk menghindar sebelum binasa. Sebab menurut perhitungannya, ia tidak mungkin lagi dapat melawan orang itu. Dengan demikian, untuk keselamatannya dan keselamatan namanya sebagai seorang tokoh sakti, lebih baik ia melarikan diri dengan tidak memperdulikan barisannya. Yang diusahakan pada saat itu adalah untuk mencoba menyelamatkan anak perempuannya, Janda Sima Rodra Muda. Tetapi agaknya ia sama sekali tidak diberi kesempatan bergerak oleh lawannya. Dengan demikian usaha satu-satunya itupun tidak dapat dilakukan.
Demikianlah maka Sima Rodra itu secepat ia dapat, meloncat meninggalkan arena. Bahkan kemudian ternyata tidak saja Sima Rodra, tetapi juga Bugel Kaliki. Ia bertempur semata-mata atas permintaan sahabatnya itu, disamping kepentingannya sendiri yang tidak terlalu penting. Sebab ia dapat melakukannya di saat lain. Ketika diketahuinya bahwa sahabat yang membawanya itu menghilang dari pertempuran, iapun tidak merasa perlu untuk bertempur lebih lama lagi. Apalagi, ia dapat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi apabila ia berkelahi terus.
Karena itu segera iapun membenamkan dirinya dalam gelombang pertempuran itu dan seterusnya menghilang. Dengan demikian, maka kacaulah laskar yang berada di dalam pasukan-pasukan kedua orang itu, yang semula merupakan gading-gading dari gelar Dirata Meta, yang kemudian berubah menjadi gelar Gelatik Neba. Karena kekacauan itulah maka satuan pasukan Pamingit dan Gunung Tidar menjadi rusak sama sekali. Beberapa orang kemudian berbuat seperti pimpinan mereka. Berusaha melarikan diri mereka masing-masing.
Melihat kekacauan yang timbul di dalam barisannya, Galunggung masih berusaha untuk memberikan aba-aba. Maksudnya, supaya pasukannya mundur dengan teratur. Tetapi usahanya sia-sia. Jaka Soka yang merasa ditinggalkan oleh orang-orang sakti diatasnya, merasa menjadi terlalu kecil pula, sehingga dengan demikian iapun sedapat mungkin menyelamatkan diri.
Dalam kekacauan pertempuran itu, Kebo Kanigara kehilangan jejak lawannya. Apalagi cahaya bulan muda itu sama sekali tidak mampu menembus tebalnya kabut yang masih mengepul tebal. Sedangkan orang yang berjubah abu-abu itu agaknya sama sekali tidak bernafsu untuk mengejar lawannya.
Di bagian lain, sepasang Uling yang bertempur dengan Mahesa Jenar masih sempat mempertahankan kerampakan orang-orangnya. Meskipun mereka kemudian juga melarikan diri, namun mereka tetap masih merupakan sebuah kesatuan. Bahkan beberapa orangnya yang berani, selalu berusaha untuk melindungi pimpinan mereka dari kejaran Mahesa Jenar, sehingga akhirnya mereka berhasil menghilang dibalik kepulan debu yang tebal.
Mahesa Jenar terpaksa menghentikan pengejarannya dan kembali kepada induk pasukannya. Namun sampai di bekas tempat pertempuran itu, ia terkejut ketika ia masih melihat dua orang yang bertempur mati-matian. Mereka, kedua orang itu, yang sejak semula tidak menghiraukan peperangan yang baru saja terjadi, sampai kini masih saja bergulat diantara hidup dan mati. Mereka itu adalah Janda Sima Rodra Muda melawan Rara Wilis dengan pakaian laki-lakinya, yang dalam bentuknya itu ia lebih senang disebut Pudak Wangi.
Janda Sima Rodra sebenarnya menyadari pula bahwa pasukan Pamingit dan Gunung Tidar tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Bahkan sebenarnya iapun ingin ikut serta lenyap bersama mereka. Namun agaknya usahanya dapat digagalkan oleh Rara Wilis yang menahannya dengan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan perempuan yang ganas itu. Kata Rara Wilis ketika ia melihat Harimau Betina itu sedang mencari jalan keluar,
Sebagai seorang yang telah lama terbenam dalam lumpur, Janda Sima Rodra merasa dihinakan oleh seorang gadis yang kebetulan adalah anak tirinya. Karena itu, ia menjadi mata gelap. Ia menjadi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada keadaan sekelilingnya. Biarlah seandainya kemudian orang-orang lain akan mengeroyoknya. Asal ia lebih dahulu dapat menyobek mulut perempuan yang menghinanya itu.
Setelah itu, hidup matinya tidak berharga lagi baginya, seandainya ia harus mati ditengah-tengah musuh-musuhnya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Rara Wilis berteriak nyaring kepada orang-orang yang mengerumuninya setelah pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidar meninggalkan arena,
SETIAP dada mereka yang mendengar suara itu berdesir. Bahkan Janda Sima Rodra yang ganas itu menjadi semakin kagum juga pada keberanian lawannya yang jauh lebih muda darinya. Tetapi karena itulah ia menjadi lebih bernafsu untuk membinasakan gadis yang sombong itu. Sehingga dengan demikian Harimau Liar Berbisa itu bertempur semakin garang. Kuku-kukunya yang dibalut logam berbisa, mengembang dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Kesepuluh ujung jari itu kemudian seolah-olah mengurung setiap kesempatan menghindar bagi Rara Wilis.
Sebaliknya, Rara Wilis telah menyimpan dendam di dalam dada hampir sepanjang umurnya. Tiba-tiba pada saat itu, terbayanglah dengan jelas betapa perempuan itu datang kepada ayahnya. Sekali-kali ia menggertak dengan kasarnya, sekali-kali merayu dengan manisnya. Dan karena itulah ayahnya dapat dijebak dalam perangkapnya.
Terbayang pula betapa ibunya, seorang perempuan lugu, menangis memeluknya pada umurnya yang masih sangat muda. Jelas menerawang di dalam otak Rara Wilis, pada saat-saat perempuan itu memarahinya kalau ia menyusul ayahnya. Bahkan memukul dan mencambuknya. Namun ayahnya sama sekali tidak membantunya. Sehingga akhirnya sampailah keluarga Rara Wilis berada pada puncak kesengsaraan. Ayahnya terusir oleh tetangga-tetangganya. Kemudian karena sedih dan malu, ibunya, satu-satunya orang didunia ini yang dapat dijadikan tempat untuk menyangkutkan cinta, meninggal dunia. Lebih dari itu, perempuan itu kemudian ternyata telah menyeret ayah Rara Wilis dan membenamkannya ke dalam lumpur bersama-sama dengan diri perempuan itu sendiri, yang memang berasal dari dalam lumpur paling kotor.
Karena angan-angan itulah maka Rara Wilis telah membulatkan tekadnya. Perempuan itu atau dirinya sendiri yang binasa dalam pengabdian kepada kesetiaan terhadap ibunya, terhadap keluarganya, serta kesetiaan kepada tekadnya untuk melenyapkan sumber kejahatan. Baginya, perempuan yang demikian jauh lebih berbahaya daripada laki-laki yang bagaimanapun garangnya. Perempuan yang dapat berlaku manis dan merayu, bermodalkan parasnya yang cantik, namun kemudian menyeret korbannya ke jurang yang paling dalam sampai tidak dapat timbul kembali.
Terdorong oleh perasaan itulah maka kemudian Rara Wilis bertempur dengan gagah berani. Bahkan tenaganya seolah-olah menjadi berlipat-lipat. Meskipun demikian, mereka yang menyaksikan, Kebo Kanigara, Wanamerta, kemudian menyusul Mahesa Jenar dan orang yang berjubah abu-abu yang berdiri agak jauh beserta seluruh laskar Gedangan, terpaksa beberapa kali menahan nafas. Sebab ternyata Harimau Betina itu benar-benar mempunyai cara bertempur yang berbahaya. Sesekali ia meloncat menerkam dengan garangnya. Tetapi kemudian dengan teguhnya berdiri menanti serangan-serangan lawannya.
Demikianlah dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa Harimau Betina itu memang lebih berbahaya daripada lawannya yang sama sekali tak bersenjata. Apalagi Janda Sima Rodra selain memiliki senjata-senjata yang melekat di ujung-ujung jarinya yang berjumlah sepuluh, ia memang memiliki pengalaman yang lebih luas. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi kurang adil. Meskipun tampaknya Janda itu tidak bersenjata, namun hakekatnya, kuku-kunya itulah senjata andalannya.
Tetapi tak seorangpun berani mencampuri pertempuran itu. Setiap usaha untuk mencampurinya, akan dapat menimbulkan akibat yang kurang baik. Sebab, Rara Wilis akan dapat tersinggung perasaannya, dan merasa direndahkan. Karena itu yang dapat mereka lakukan hanyalah menyaksikan pertempuran yang berlangsung di bawah cahaya bulan yang remang-remang sambil sekali-sekali menahan nafas.
Apalagi, ketika mereka telah bertempur lebih lama lagi. Janda Sima Rodra sudah terlalu biasa melakukan pertempuran-pertempuran kasar dan lama, sedangkan Rara Wilis hampir belum pernah mengalami pertempuran yang sedemikian lamanya. Sehari penuh.
Dengan demikian tampaklah bahwa tenaga Rara Wilis menjadi bertambah lemah. Hanya karena kemauannya yang sangat kuatlah yang menjadikannya kuat bertahan. Meskipun demikian terasa pula olehnya, bahwa perempuan liar itu memiliki beberapa kelebihan daripada Wilis. Sehingga sambil bertempur terpaksa Rara Wilis mencari titik-titik kekuatan lawannya. Akhirnya ditemukannya apa yang dicarinya itu. Kelebihan itu terletak pada kuku-kukunya yang sangat berbahaya seperti yang pernah dikatakan oleh Mahesa Jenar. Pada beberapa saat yang lalu ia pernah pula bertempur dengan janda itu, namun kemudian Janda Sima Rodra agaknya telah tekun menambah kekuatannya, sehingga sambaran kuku-kukunya itu menjadi jauh lebih berbahaya.
Oleh penemuannya itu, maka terasalah olehnya, bahwa wajarlah kalau ia selalu terdesak oleh lawannya. Sebab dengan mengenakan salut logam di ujung kuku-kukunya itu berarti bahwa ia telah melawan seseorang yang bersenjata dengan tangan hampa. Karena itu, Rara Wilis menjadi tidak ragu-ragu lagi. Dengan gerak yang cepat, sekejap kemudian di tangannya telah tergenggam sehelai pedang yang tipis. Seterusnya dengan lincahnya ia menggerakkan pedang itu melingkar-lingkar membingungkan, dengan ilmu pedang khusus ajaran perguruan Pandan Alas.
Janda Sima Rodra terkejut melihat kilatan pedang itu. Apalagi kemudian disaksikannya ilmu pedang yang sangat berbahaya. Ujung pedang itu nampaknya selalu bergetar membingungkan. Tetapi ia adalah seorang yang berpengalaman melawan hampir segala jenis senjata. Karena itu sesaat kemudian ia telah dapat mengendalikan diri dalam keseimbangan gerak-gerak lawannya. Meskipun demikian, kekuatan Rara Wilis kini bertambah karena tajam pedangnya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi bertambah sengit dan cepat. Karena kilatan sinar bulan, pedang yang diputarnya cepat-cepat itu seolah-olah telah berubah menjadi ribuan mata pedang gemerlapan menusuk dari segenap arah.
Ternyata Sima Rodra Tua sudah tidak dapat lebih lama lagi bertahan melawan orang yang berjubah abu-abu itu. Malahan tidak itu saja. Orang yang berjubah abu-abu itu masih dapat melakukan tekanan-tekanan berat pada Jaka Soka dan bahkan Bugel Kaliki, disamping lawannya sendiri.
Hal inilah yang kemudian memaksa Sima Rodra untuk menghindar sebelum binasa. Sebab menurut perhitungannya, ia tidak mungkin lagi dapat melawan orang itu. Dengan demikian, untuk keselamatannya dan keselamatan namanya sebagai seorang tokoh sakti, lebih baik ia melarikan diri dengan tidak memperdulikan barisannya. Yang diusahakan pada saat itu adalah untuk mencoba menyelamatkan anak perempuannya, Janda Sima Rodra Muda. Tetapi agaknya ia sama sekali tidak diberi kesempatan bergerak oleh lawannya. Dengan demikian usaha satu-satunya itupun tidak dapat dilakukan.
Demikianlah maka Sima Rodra itu secepat ia dapat, meloncat meninggalkan arena. Bahkan kemudian ternyata tidak saja Sima Rodra, tetapi juga Bugel Kaliki. Ia bertempur semata-mata atas permintaan sahabatnya itu, disamping kepentingannya sendiri yang tidak terlalu penting. Sebab ia dapat melakukannya di saat lain. Ketika diketahuinya bahwa sahabat yang membawanya itu menghilang dari pertempuran, iapun tidak merasa perlu untuk bertempur lebih lama lagi. Apalagi, ia dapat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi apabila ia berkelahi terus.
Karena itu segera iapun membenamkan dirinya dalam gelombang pertempuran itu dan seterusnya menghilang. Dengan demikian, maka kacaulah laskar yang berada di dalam pasukan-pasukan kedua orang itu, yang semula merupakan gading-gading dari gelar Dirata Meta, yang kemudian berubah menjadi gelar Gelatik Neba. Karena kekacauan itulah maka satuan pasukan Pamingit dan Gunung Tidar menjadi rusak sama sekali. Beberapa orang kemudian berbuat seperti pimpinan mereka. Berusaha melarikan diri mereka masing-masing.
Melihat kekacauan yang timbul di dalam barisannya, Galunggung masih berusaha untuk memberikan aba-aba. Maksudnya, supaya pasukannya mundur dengan teratur. Tetapi usahanya sia-sia. Jaka Soka yang merasa ditinggalkan oleh orang-orang sakti diatasnya, merasa menjadi terlalu kecil pula, sehingga dengan demikian iapun sedapat mungkin menyelamatkan diri.
Dalam kekacauan pertempuran itu, Kebo Kanigara kehilangan jejak lawannya. Apalagi cahaya bulan muda itu sama sekali tidak mampu menembus tebalnya kabut yang masih mengepul tebal. Sedangkan orang yang berjubah abu-abu itu agaknya sama sekali tidak bernafsu untuk mengejar lawannya.
Di bagian lain, sepasang Uling yang bertempur dengan Mahesa Jenar masih sempat mempertahankan kerampakan orang-orangnya. Meskipun mereka kemudian juga melarikan diri, namun mereka tetap masih merupakan sebuah kesatuan. Bahkan beberapa orangnya yang berani, selalu berusaha untuk melindungi pimpinan mereka dari kejaran Mahesa Jenar, sehingga akhirnya mereka berhasil menghilang dibalik kepulan debu yang tebal.
Mahesa Jenar terpaksa menghentikan pengejarannya dan kembali kepada induk pasukannya. Namun sampai di bekas tempat pertempuran itu, ia terkejut ketika ia masih melihat dua orang yang bertempur mati-matian. Mereka, kedua orang itu, yang sejak semula tidak menghiraukan peperangan yang baru saja terjadi, sampai kini masih saja bergulat diantara hidup dan mati. Mereka itu adalah Janda Sima Rodra Muda melawan Rara Wilis dengan pakaian laki-lakinya, yang dalam bentuknya itu ia lebih senang disebut Pudak Wangi.
Janda Sima Rodra sebenarnya menyadari pula bahwa pasukan Pamingit dan Gunung Tidar tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Bahkan sebenarnya iapun ingin ikut serta lenyap bersama mereka. Namun agaknya usahanya dapat digagalkan oleh Rara Wilis yang menahannya dengan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan perempuan yang ganas itu. Kata Rara Wilis ketika ia melihat Harimau Betina itu sedang mencari jalan keluar,
Quote:
“Ibu yang baik…. Jangan hentikan permainan itu. Bukankah sewajarnya kalau seorang ibu mengajari anaknya bermain. Jangan takut orang lain akan turut campur. Persoalan kita adalah persoalan pribadi, sehingga aku tidak mau ada orang lain yang ikut dalam persoalan ini.”
“Bohong!” jawab janda itu,
“Kau akan menjebak aku.”
Rara Wilis tertawa menyakitkan hati. Katanya,
“Aku bukan jenismu, yang suka berdusta. Kau akan dapat melihat padaku, satunya kata dan perbuatan. Kalau kau memang tidak berani berhadapan dengan cara ini, lebih baik kau berjongkok dibawah telapak kakiku, untuk mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dengan senang hati aku akan memaafkanmu.”
“Bohong!” jawab janda itu,
“Kau akan menjebak aku.”
Rara Wilis tertawa menyakitkan hati. Katanya,
“Aku bukan jenismu, yang suka berdusta. Kau akan dapat melihat padaku, satunya kata dan perbuatan. Kalau kau memang tidak berani berhadapan dengan cara ini, lebih baik kau berjongkok dibawah telapak kakiku, untuk mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dengan senang hati aku akan memaafkanmu.”
Sebagai seorang yang telah lama terbenam dalam lumpur, Janda Sima Rodra merasa dihinakan oleh seorang gadis yang kebetulan adalah anak tirinya. Karena itu, ia menjadi mata gelap. Ia menjadi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada keadaan sekelilingnya. Biarlah seandainya kemudian orang-orang lain akan mengeroyoknya. Asal ia lebih dahulu dapat menyobek mulut perempuan yang menghinanya itu.
Setelah itu, hidup matinya tidak berharga lagi baginya, seandainya ia harus mati ditengah-tengah musuh-musuhnya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Rara Wilis berteriak nyaring kepada orang-orang yang mengerumuninya setelah pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidar meninggalkan arena,
Quote:
“Jangan ada seorangpun yang mencampuri urusan ini, sebab persoalan kami bukanlah persoalan kalian. Juga jangan sesalkan siapapun yang akan binasa diantara kami. Sebab kami telah memilih cara seorang ksatria dalam penyelesaian masalah kami, masalah yang terjadi antara anak dan ibu tirinya yang durhaka.”
SETIAP dada mereka yang mendengar suara itu berdesir. Bahkan Janda Sima Rodra yang ganas itu menjadi semakin kagum juga pada keberanian lawannya yang jauh lebih muda darinya. Tetapi karena itulah ia menjadi lebih bernafsu untuk membinasakan gadis yang sombong itu. Sehingga dengan demikian Harimau Liar Berbisa itu bertempur semakin garang. Kuku-kukunya yang dibalut logam berbisa, mengembang dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Kesepuluh ujung jari itu kemudian seolah-olah mengurung setiap kesempatan menghindar bagi Rara Wilis.
Sebaliknya, Rara Wilis telah menyimpan dendam di dalam dada hampir sepanjang umurnya. Tiba-tiba pada saat itu, terbayanglah dengan jelas betapa perempuan itu datang kepada ayahnya. Sekali-kali ia menggertak dengan kasarnya, sekali-kali merayu dengan manisnya. Dan karena itulah ayahnya dapat dijebak dalam perangkapnya.
Terbayang pula betapa ibunya, seorang perempuan lugu, menangis memeluknya pada umurnya yang masih sangat muda. Jelas menerawang di dalam otak Rara Wilis, pada saat-saat perempuan itu memarahinya kalau ia menyusul ayahnya. Bahkan memukul dan mencambuknya. Namun ayahnya sama sekali tidak membantunya. Sehingga akhirnya sampailah keluarga Rara Wilis berada pada puncak kesengsaraan. Ayahnya terusir oleh tetangga-tetangganya. Kemudian karena sedih dan malu, ibunya, satu-satunya orang didunia ini yang dapat dijadikan tempat untuk menyangkutkan cinta, meninggal dunia. Lebih dari itu, perempuan itu kemudian ternyata telah menyeret ayah Rara Wilis dan membenamkannya ke dalam lumpur bersama-sama dengan diri perempuan itu sendiri, yang memang berasal dari dalam lumpur paling kotor.
Karena angan-angan itulah maka Rara Wilis telah membulatkan tekadnya. Perempuan itu atau dirinya sendiri yang binasa dalam pengabdian kepada kesetiaan terhadap ibunya, terhadap keluarganya, serta kesetiaan kepada tekadnya untuk melenyapkan sumber kejahatan. Baginya, perempuan yang demikian jauh lebih berbahaya daripada laki-laki yang bagaimanapun garangnya. Perempuan yang dapat berlaku manis dan merayu, bermodalkan parasnya yang cantik, namun kemudian menyeret korbannya ke jurang yang paling dalam sampai tidak dapat timbul kembali.
Terdorong oleh perasaan itulah maka kemudian Rara Wilis bertempur dengan gagah berani. Bahkan tenaganya seolah-olah menjadi berlipat-lipat. Meskipun demikian, mereka yang menyaksikan, Kebo Kanigara, Wanamerta, kemudian menyusul Mahesa Jenar dan orang yang berjubah abu-abu yang berdiri agak jauh beserta seluruh laskar Gedangan, terpaksa beberapa kali menahan nafas. Sebab ternyata Harimau Betina itu benar-benar mempunyai cara bertempur yang berbahaya. Sesekali ia meloncat menerkam dengan garangnya. Tetapi kemudian dengan teguhnya berdiri menanti serangan-serangan lawannya.
Demikianlah dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa Harimau Betina itu memang lebih berbahaya daripada lawannya yang sama sekali tak bersenjata. Apalagi Janda Sima Rodra selain memiliki senjata-senjata yang melekat di ujung-ujung jarinya yang berjumlah sepuluh, ia memang memiliki pengalaman yang lebih luas. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi kurang adil. Meskipun tampaknya Janda itu tidak bersenjata, namun hakekatnya, kuku-kunya itulah senjata andalannya.
Tetapi tak seorangpun berani mencampuri pertempuran itu. Setiap usaha untuk mencampurinya, akan dapat menimbulkan akibat yang kurang baik. Sebab, Rara Wilis akan dapat tersinggung perasaannya, dan merasa direndahkan. Karena itu yang dapat mereka lakukan hanyalah menyaksikan pertempuran yang berlangsung di bawah cahaya bulan yang remang-remang sambil sekali-sekali menahan nafas.
Apalagi, ketika mereka telah bertempur lebih lama lagi. Janda Sima Rodra sudah terlalu biasa melakukan pertempuran-pertempuran kasar dan lama, sedangkan Rara Wilis hampir belum pernah mengalami pertempuran yang sedemikian lamanya. Sehari penuh.
Dengan demikian tampaklah bahwa tenaga Rara Wilis menjadi bertambah lemah. Hanya karena kemauannya yang sangat kuatlah yang menjadikannya kuat bertahan. Meskipun demikian terasa pula olehnya, bahwa perempuan liar itu memiliki beberapa kelebihan daripada Wilis. Sehingga sambil bertempur terpaksa Rara Wilis mencari titik-titik kekuatan lawannya. Akhirnya ditemukannya apa yang dicarinya itu. Kelebihan itu terletak pada kuku-kukunya yang sangat berbahaya seperti yang pernah dikatakan oleh Mahesa Jenar. Pada beberapa saat yang lalu ia pernah pula bertempur dengan janda itu, namun kemudian Janda Sima Rodra agaknya telah tekun menambah kekuatannya, sehingga sambaran kuku-kukunya itu menjadi jauh lebih berbahaya.
Oleh penemuannya itu, maka terasalah olehnya, bahwa wajarlah kalau ia selalu terdesak oleh lawannya. Sebab dengan mengenakan salut logam di ujung kuku-kukunya itu berarti bahwa ia telah melawan seseorang yang bersenjata dengan tangan hampa. Karena itu, Rara Wilis menjadi tidak ragu-ragu lagi. Dengan gerak yang cepat, sekejap kemudian di tangannya telah tergenggam sehelai pedang yang tipis. Seterusnya dengan lincahnya ia menggerakkan pedang itu melingkar-lingkar membingungkan, dengan ilmu pedang khusus ajaran perguruan Pandan Alas.
Janda Sima Rodra terkejut melihat kilatan pedang itu. Apalagi kemudian disaksikannya ilmu pedang yang sangat berbahaya. Ujung pedang itu nampaknya selalu bergetar membingungkan. Tetapi ia adalah seorang yang berpengalaman melawan hampir segala jenis senjata. Karena itu sesaat kemudian ia telah dapat mengendalikan diri dalam keseimbangan gerak-gerak lawannya. Meskipun demikian, kekuatan Rara Wilis kini bertambah karena tajam pedangnya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi bertambah sengit dan cepat. Karena kilatan sinar bulan, pedang yang diputarnya cepat-cepat itu seolah-olah telah berubah menjadi ribuan mata pedang gemerlapan menusuk dari segenap arah.
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas