- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#322
Jilid 10 [Part 231]
Spoiler for :
ORANG itu adalah seorang yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu. Ya tubuhnya, ya pakaiannya. Jubah abu-abu. Namun juga seperti beberapa tahun yang lalu, kali inipun ia tidak dapat memandang wajahnya dengan seksama. Kecuali orang itu selalu bergerak, juga karena arena pertempuran yang hiruk pikuk. Apalagi matahari telah hilang dibalik mega-mega yang berwarna merah di ufuk barat.
Namun pada saat itu terlintaslah didalam pandangannya bahwa wajah orang itu pasti bukan wajah aslinya, sebab tampak betapa kerut-merutnya sama sekali tidak menurut garis-garis wajah yang biasa. Orang itulah yang telah mengambil sepasang keris yang selama ini dicarinya dari Banyubiru, Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi kali ini ia tidak sempat bertanya-tanya.
Sebab ia harus melayani laskar lawannya yang mulai menyerangnya bersama-sama. Namun demikian ia sempat juga menyaksikan cara bertempur orang yang berjubah abu-abu itu sehingga hatinya tergetar. Bahkan ia telah dapat memastikan, akan datang saatnya sekarang, tokoh-tokoh gerombolan yang merasa dirinya demikian saktinya, akan tergilas hancur.
Demikianlah Mahesa Jenar segera mencoba memenuhi anjuran orang yang aneh itu. Dengan cepatnya ia meloncat diantara laskar yang sedang bertempur, menuju ke tempat Uling Kuning.
Uling Kuning yang bertempur melawan lebih dari sepuluh orang ternyata dapat melawan dengan enaknya. Cambuknya berputar-putar mengerikan, menimbulkan suara berdesingan. Bahkan karena cambuk itu pula, beberapa senjata di tangan laskar Gedangan telah terlontar jatuh.
Pada saat yang demikian itu muncullah Mahesa Jenar. Dengan geram terdengar ia berkata,
Uling Kuning terkejut mendengar suara itu. Apalagi kemudian muncullah diantara laksar Gedangan, seseorang yang telah dikenalnya dengan baik, Mahesa Jenar. Seorang yang pernah memanaskan hatinya karena ia telah menggagalkan pertemuan golongannya beberapa tahun yang lampau di daerah Rawa Pening. Sebagai tuan rumah pada waktu itu ia merasa tersinggung sekali. Apalagi kemudian usaha untuk membinasakannya dapat digagalkan oleh orang-orang yang tak dikenal.
Karena itu, timbullah gairahnya untuk menjadi seorang pahlawan dari golongannya. Maka dengan menggeretakkan gigi, ia meloncat meninggalkan lawan-lawannya untuk menyongsong kedatangan Mahesa Jenar, sambil berteriak nyaring,
Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi langsung ia menyerang lawannya. Serangan yang sama sekali tak terduga-duga oleh Uling Kuning. Karena itulah ia menjadi terkejut.
Untunglah bahwa Uling Kuning itupun telah banyak menelan pahit-manisnya pertempuran, sehingga meskipun dengan dada yang berdebar-debar ia berhasil menghindarkan diri. Bahkan karena itu ia menjadi marah bukan kepalang. Diputarnya cambuknya semakin cepat, melampaui kecepatan baling-baling. Yang tampak kemudian hanyalah segulung sinar yang menyambar-nyambar Mahesa Jenar dengan dahsyatnya.
Namun Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar yang dapat dijerumuskan oleh orang-orang hitam itu ke dalam jurang beberapa tahun yang lalu. Ia kini telah menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu sesaat kemudian terasalah bahwa serangan Mahesa Jenar menjadi semakin dahsyat bagaikan badai yang datang bergulung-gulung menghantam daun-daun pepohonan, yang selembar demi selembar akan runtuh berserakan di tanah.
Demikianlah akhirnya Uling Kuning menjadi basah kuyup oleh keringat yang mengalir dari lubang-lubang kulit di seluruh tubuhnya. Ia menjadi gugup dan gelisah. Apalagi langit telah menjadi semakin suram. Sehingga akhirnya ia merasa perlu untuk mendapat bantuan dari saudaranya.
Sesaat kemudian terdengarlah cambuknya meledak tiga kali berturut-turut, yang segera mendapat jawaban dari arah lain dengan suara yang sama. Segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa tanda itu adalah sebuah undangan bagi Uling Putih untuk datang membantunya.
Dan apa yang diduga adalah benar. Sejenak kemudian dari hiruk-pikuk yang semakin samar-samar muncullah seseorang yang bertubuh tinggi dan berwajah runcing. Sedang di tangan kanannya, digenggamnya sebuah cambuk yang sama dengan cambuk Uling Kuning. Dialah orangnya yang bernama Uling Putih.
Dengan serta merta Uling yang satu itu pun langsung menyerang Mahesa Jenar, yang telah bersiaga untuk melawan keduanya. Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Mahesa Jenar terpaksa mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan kedua bersaudara yang ganas itu. Namun karena bekalnya telah cukup, maka Mahesa Jenar tidak pula banyak mengalami kesulitan.
Sejenak kemudian matahari telah benar-benar tenggelam di bawah garis cakrawala. Sinarnya yang semburat merah telah terbenam dalam warna yang kelam, berbareng dengan munculnya bintang-bintang satu demi satu menghiasi wajah langit.
Bulan yang masih muda menggantung dibalik lembaran awan yang tipis, seolah-olah menyembunyikan wajahnya agar tidak menyaksikan betapa anak manusia di bumi sedang mengadu tenaga. Sedangkan angin pegunungan yang mengalir lirih menggoyang dedaunan, menimbulkan suara berdesir. Sebuah lagu untuk memanjatkan doa demi keselamatan mereka yang sedang bertempur dalam lingkaran kebenaran.
Pada saat yang demikian, kembali terasa betapa laskar Gedangan mulai mendesak lawannya kembali. Kekuatan baru dari sepasang Uling itu telah dapat diimbangi oleh Mahesa Jenar beserta beberapa bagian laskar Gedangan, sedang orang baru yang berjubah abu-abu itu ternyata disamping bertempur melawan Sima Rodra, ia pun dengan serunya dapat mendesak pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang mencoba membantu Harimau Liar itu.
Namun pada saat itu terlintaslah didalam pandangannya bahwa wajah orang itu pasti bukan wajah aslinya, sebab tampak betapa kerut-merutnya sama sekali tidak menurut garis-garis wajah yang biasa. Orang itulah yang telah mengambil sepasang keris yang selama ini dicarinya dari Banyubiru, Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi kali ini ia tidak sempat bertanya-tanya.
Sebab ia harus melayani laskar lawannya yang mulai menyerangnya bersama-sama. Namun demikian ia sempat juga menyaksikan cara bertempur orang yang berjubah abu-abu itu sehingga hatinya tergetar. Bahkan ia telah dapat memastikan, akan datang saatnya sekarang, tokoh-tokoh gerombolan yang merasa dirinya demikian saktinya, akan tergilas hancur.
Demikianlah Mahesa Jenar segera mencoba memenuhi anjuran orang yang aneh itu. Dengan cepatnya ia meloncat diantara laskar yang sedang bertempur, menuju ke tempat Uling Kuning.
Uling Kuning yang bertempur melawan lebih dari sepuluh orang ternyata dapat melawan dengan enaknya. Cambuknya berputar-putar mengerikan, menimbulkan suara berdesingan. Bahkan karena cambuk itu pula, beberapa senjata di tangan laskar Gedangan telah terlontar jatuh.
Pada saat yang demikian itu muncullah Mahesa Jenar. Dengan geram terdengar ia berkata,
Quote:
"Sudah cukup apa yang kau lakukan selama ini Uling Kuning? Nah sekarang aku akan mencoba menghadapimu."
Uling Kuning terkejut mendengar suara itu. Apalagi kemudian muncullah diantara laksar Gedangan, seseorang yang telah dikenalnya dengan baik, Mahesa Jenar. Seorang yang pernah memanaskan hatinya karena ia telah menggagalkan pertemuan golongannya beberapa tahun yang lampau di daerah Rawa Pening. Sebagai tuan rumah pada waktu itu ia merasa tersinggung sekali. Apalagi kemudian usaha untuk membinasakannya dapat digagalkan oleh orang-orang yang tak dikenal.
Karena itu, timbullah gairahnya untuk menjadi seorang pahlawan dari golongannya. Maka dengan menggeretakkan gigi, ia meloncat meninggalkan lawan-lawannya untuk menyongsong kedatangan Mahesa Jenar, sambil berteriak nyaring,
Quote:
"Nah, akhirnya aku ketemukan kau di sini Rangga Tohjaya. Mudah-mudahan akulah orang yang dapat memenggal lehermu dan membawanya dalam suatu pertemuan yang akan kita selenggarakan kemudian sebagai ganti dari pertemuan yang pernah kau gagalkan dahulu."
Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi langsung ia menyerang lawannya. Serangan yang sama sekali tak terduga-duga oleh Uling Kuning. Karena itulah ia menjadi terkejut.
Untunglah bahwa Uling Kuning itupun telah banyak menelan pahit-manisnya pertempuran, sehingga meskipun dengan dada yang berdebar-debar ia berhasil menghindarkan diri. Bahkan karena itu ia menjadi marah bukan kepalang. Diputarnya cambuknya semakin cepat, melampaui kecepatan baling-baling. Yang tampak kemudian hanyalah segulung sinar yang menyambar-nyambar Mahesa Jenar dengan dahsyatnya.
Namun Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar yang dapat dijerumuskan oleh orang-orang hitam itu ke dalam jurang beberapa tahun yang lalu. Ia kini telah menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu sesaat kemudian terasalah bahwa serangan Mahesa Jenar menjadi semakin dahsyat bagaikan badai yang datang bergulung-gulung menghantam daun-daun pepohonan, yang selembar demi selembar akan runtuh berserakan di tanah.
Demikianlah akhirnya Uling Kuning menjadi basah kuyup oleh keringat yang mengalir dari lubang-lubang kulit di seluruh tubuhnya. Ia menjadi gugup dan gelisah. Apalagi langit telah menjadi semakin suram. Sehingga akhirnya ia merasa perlu untuk mendapat bantuan dari saudaranya.
Sesaat kemudian terdengarlah cambuknya meledak tiga kali berturut-turut, yang segera mendapat jawaban dari arah lain dengan suara yang sama. Segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa tanda itu adalah sebuah undangan bagi Uling Putih untuk datang membantunya.
Dan apa yang diduga adalah benar. Sejenak kemudian dari hiruk-pikuk yang semakin samar-samar muncullah seseorang yang bertubuh tinggi dan berwajah runcing. Sedang di tangan kanannya, digenggamnya sebuah cambuk yang sama dengan cambuk Uling Kuning. Dialah orangnya yang bernama Uling Putih.
Dengan serta merta Uling yang satu itu pun langsung menyerang Mahesa Jenar, yang telah bersiaga untuk melawan keduanya. Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Mahesa Jenar terpaksa mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan kedua bersaudara yang ganas itu. Namun karena bekalnya telah cukup, maka Mahesa Jenar tidak pula banyak mengalami kesulitan.
Sejenak kemudian matahari telah benar-benar tenggelam di bawah garis cakrawala. Sinarnya yang semburat merah telah terbenam dalam warna yang kelam, berbareng dengan munculnya bintang-bintang satu demi satu menghiasi wajah langit.
Bulan yang masih muda menggantung dibalik lembaran awan yang tipis, seolah-olah menyembunyikan wajahnya agar tidak menyaksikan betapa anak manusia di bumi sedang mengadu tenaga. Sedangkan angin pegunungan yang mengalir lirih menggoyang dedaunan, menimbulkan suara berdesir. Sebuah lagu untuk memanjatkan doa demi keselamatan mereka yang sedang bertempur dalam lingkaran kebenaran.
Pada saat yang demikian, kembali terasa betapa laskar Gedangan mulai mendesak lawannya kembali. Kekuatan baru dari sepasang Uling itu telah dapat diimbangi oleh Mahesa Jenar beserta beberapa bagian laskar Gedangan, sedang orang baru yang berjubah abu-abu itu ternyata disamping bertempur melawan Sima Rodra, ia pun dengan serunya dapat mendesak pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang mencoba membantu Harimau Liar itu.
Bersambung…
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas