- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#321
Jilid 10 [Part 230]
Spoiler for :
OLEH kenyataan itu, berbesar hatilah seluruh laskar dari Gedangan. Semakin lama mereka bertempur, semakin segarlah tubuh mereka oleh kemenangan demi kemenangan yang mereka peroleh. Sehingga ketika mahatari telah condong ke barat, titik pertempuran itu telah jauh bergeser.
Namun orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar bukan pula orang yang mudah berputus asa. Karena gelar mereka ternyata tidak menguntungkan, kemudian terdengarlah jerit Galunggung diantara derak gempuran senjata memberi aba-aba. Demikian dahsyatnya teriakan itu sehingga dapat didengar oleh semua telinga di medan pertempuran itu. Demikian suara Galunggung berhenti, berubahlah tata barisan orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar. Mereka mengubah gelar Dirada Meta yang hampir rusak, dengan gelar Gelatik Neba. Dengan demikian pertempuran itu seolah-olah menjadi kacau balau.
Orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar secara perseorangan menyusup kedalam barisan Gedangan.
Namun hal yang demikian telah mereka duga sebelumnya. Sebab Mahesa Jenar pun pernah memberikan beberapa petunjuk bagaimana seharusnya melawan gelar itu. Beberapa barisan laskar terdepan dari Gedangan, sengaja membiarkan beberapa laskar lawan mereka menyusup masuk. Namun demikian mereka terbenam di dalam laskar Gedangan, demikian mereka dibinasakan.
Meskipun demikian, karena secara perseorangan laskar Gunung Tidar memiliki ketangguhan yang lebih besar, maka untuk sementara medan itu menjadi terpengaruh pula.
Tetapi yang sangat tidak diduga-duga oleh laskar Gedangan yang sudah mulai mendesak lawannya kembali, adalah kedatangan rombongan baru dari utara. Meskipun rombongan itu tidak besar, namun agaknya memiliki kekuatan yang cukup pula. Oleh kedatangan itulah kemudian terdengar suatu teriakan nyaring dari salah seorang pengawas di ekor barisan Gedangan yang mengabarkan bahwa pasukan Uling telah datang.
Mendengar teriakan di ekor barisannya, dada Mahesa Jenar berdesir. Yang dicemaskan selama ini ternyata benar-benar terjadi. Mau tidak mau rombongan yang masih segar yang baru datang itu akan banyak sekali berpengaruh pada pertempuran itu.
Meskipun demikian, hal yang serupa itu memang sudah disiapkan oleh Mahesa Jenar. Karena itulah ia mempergunakan gelar Supit Urang. Sehingga beberapa bagian, yang merupakan ekor dan kaki belakang gelarnya dapat dipergunakan untuk melawan pasukan yang datang dari samping, maupun dari belakang.
Kebo Kanigara pun melihat kesulitan yang bakal datang. Maka baginya tidak ada jalan lain daripada menyelesaikan pertempuran itu secepatnya. Namun bagaimanapun juga, karena ia terikat pula pada anaknya, sehingga geraknya tidak penuh leluasa.
Rombongan Uling dari Rawa Pening itu langsung dibawa oleh para pemimpinnya mendekati medan. Untuk beberapa saat Sepasang Uling itu berdiri mengawasi pertempuran yang masih menyala-nyala dengan hebatnya. Uling Putih dan Uling Kuning itupun adalah orang-orang yang telah lama berada dalam dunia yang penuh dengan pertumpahan darah. Sehingga dengan demikian wawasannya mengenai pertempuran itupun mengandung beberapa ketepatan hitungan.
Ia memang melihat bahwa laskar Gedangan pada saat itu dapat mendesak lawannya. Tetapi kemenangan itu adalah kemenangan yang tipis dan sangat perlahan-lahan. Dengan demikian maka sepasang Uling itu tidak mau membiarkan keadaan yang demikian itu berlangsung lebih lama lagi.
Karena itulah maka mereka memutuskan untuk segera menerjunkan laskarnya ke dalam arena, sebelum laskar dari Pamingit dan Gunung Tidar menjadi semakin tipis.
Demikianlah kedua bersaudara Uling yang ganas itu membagi laskarnya menjadi dua bagian, yang masing-masing dipimpin sendiri oleh dua bersaudara. Seorang membawa pasukannya ke kanan dan seorang lagi ke kiri, untuk seterusnya menyerang pasukan Gedangan dari belakang.
Dada Mahesa Jenar menjadi bertambah berdebar-debar melihat cara laskar Uling itu menyerang. Karena itu segera ia pun memberikan beberapa aba-aba untuk pasukannya, supaya dapat setidak-tidaknya membendung arus yang melanda dari belakang itu. Sedang Mahesa Jenar sendiri segera mengerahkan segala kekuatannya untuk dapat mengalahkan lawannya.
Demikianlah ketika Mahesa Jenar dan Sima Rodra telah bertempur semakin dahsyat, mereka masing-masing telah dapat mengukur bahwa kali ini tenaga mereka berimbang sehingga untuk seterusnya mereka harus mempergunakan kelincahan dan kecakapan mereka membawa diri masing-masing untuk memenangkan pertempuran itu.
Di bagian lain, di bagian belakang gelar Supit Urang itu, telah terjadi pertempuran yang dahsyat pula. Sepasang Uling itu ternyata tidak menemukan lawan yang seimbang. Sehingga dengan demikian ia seolah-olah dapat leluasa berbuat sekehendak mereka sendiri. Namun demikian beberapa orang Gedangan yang gagah berani telah berusaha untuk mencegah sekuat-sekuatnya.
Mereka bertempur bersama-sama menghadapi kekuatan Uling yang seakan-akan melampaui batas kekuatan manusia biasa. Meskipun demikian terasalah bahwa kekuatan laskar Gedangan sekarang benar-benar berada di bawah kekuatan lawannya.
Pasukan Uling dari Rawa Pening yang datang tepat pada saatnya itu telah menolong pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang telah terdesak menuju ke jurang kehancuran. Bahkan sekarang agaknya pasukan Gedanganlah yang terdesak dari dua arah. Agaknya mereka benar-benar berusaha menjepit dan menghimpit hancur laskar itu.
Meskipun demikian, laskar Gedangan telah berjuang mati-matian. Sapit-sapit yang dipimpin oleh Wanamerta dan Arya Salaka ternyata lincah pula. Mereka yang berada di luar himpitan pasukan lawan, agaknya banyak dapat memberikan pertolongan. Dengan bergeser-geser cepat mereka dapat mengganggu pasukan-pasukan Pamingit serta rombongan-rombongan yang lain.
NAMUN bagaimanapun juga, kemampuan mereka terbatas. Sebagai manusia mereka tidak dapat berbuat lain, diluar batas-batas yang mungkin. Bagaimanapun tebalnya tekad mereka, namun ternyata lawan mereka benar-benar memiliki kelebihan yang tak dapat mereka atasi.
Karena kenyataan itu maka Mahesa Jenar dan Kanigara beserta para pemimpin Gedangan menjadi semakin prihatin. Mereka memutar otak untuk menemukan cara, setidak-tidaknya untuk mempertahankan diri mereka supaya tidak tergilas hancur. Sedangkan mereka sendiri telah berjuang mati-matian untuk dapat menyelamatkan laskar mereka.
Tetapi keadaan berjalan tidak seperti yang mereka kehendaki. Laskar-laskar liar beserta laskar Pamingit agaknya telah mencapai suatu kepastian, bahwa mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu. Hal ini terutama disebabkan karena jumlah pimpinan mereka yang lebih banyak. Uling Putih dan Uling Kuning benar-benar seperti merajai daerah pertempurannya. Meskipun beberapa orang datang bersama-sama melawannya, namun sepasang Uling itu dengan mudahnya dapat menyingkirkan mereka seorang demi seorang.
Meskipun demikian laskar Gedangan bukan laskar yang berhati kecil. Mereka melihat pemimpin-pemimpin mereka bertempur dengan gigihnya. Bahkan mereka melihat seorang gadis tanggung bertempur dipihaknya tanpa mengenal takut melawan seorang yang perkasa, Jaka Soka. Dengan demikian mereka merasa bahwa yang dapat mereka lakukan adalah bertempur sampai titik darah penghabisan.
Gemerincing senjata masih saja menggema di lembah diantara bukit-bukit kecil itu. Bahkan semakin lama menjadi semakin riuh dibarengi dengan suara-suara yang dahsyat mengerikan. Teriakan-teriakan dan geram yang penuh kemarahan disela-sela jerit kesakitan yang mengerikan.
Ketika pertempuran itu masih berlangsung dengan riuhnya, matahari telah semakin berkisar ke barat menuju garis peristirahatannya. Wajah-wajah pegunungan yang semula berkilat-kilat kini telah berubah menjadi muram, semuram wajah Mahesa Jenar yang sedang bertempur sambil berpikir keras untuk menyelamatkan orang-orangnya. Yang sedikit membesarkan hatinya pada saat itu adalah semangat yang luar biasa dari laskarnya, sehingga menurut perhitungannya ia masih akan dapat bertahan sampai matahari terbenam. Setelah itu pertempuran pasti akan berhenti.
Dengan demikian ia akan dapat mencari jalan dengan lebih tenang, bagaimanakah sebaiknya untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan sendiri itu. Sedangkan apabila perlu demi tegaknya sendi-sendi kemanusiaan, maka tidak berdosalah kiranya apabila terpaksa dilepaskannya aji andalannya, Sasra Birawa.
Sesaat kemudian langit telah dibayangi dengan warna merah. Tanah-tanah pegunungan menjadi semakin suram dan kehitam-hitaman. Kedua belah pihak agaknya telah mulai nampak lelah, kecuali laskar yang dibawa oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun demikian laskar Rawa Pening itupun tidak dapat bertempur dengan sepenuh tenaga, sebab cahaya suram dari matahari yang telah jemu berjalan sepanjang hari, telah tidak membantu lagi. Mereka telah menjadi ragu-ragu karena mereka sudah mulai agak sulit membedakan lawan dan kawan. Meskipun demikian, terdorong oleh kemarahan yang memuncak dikedua belah pihak, mereka masih saja bernafsu untuk bertempur.
Pada saat yang demikian, pada saat pertempuran itu sudah mulai menurun karena senja yang mengganggu, muncullah diantara mereka suatu bayangan yang mendebarkan hati. Bayangan yang tidak diketahui asal arahnya, serta apa-siapanya.
Namun apa yang terjadi…? Bayangan itu telah berada di tengah-tengah arena pertempuran. Yang lebih mengejutkan lagi, bayangan itu memperdengarkan suaranya yang gemuruh,
Setelah itu, tampaklah bayangan itu melontar dengan cepatnya kesana-kemari seperti anak kijang di padang rumput yang hijau segar.
Laskar Gedangan yang kelelahan, karena tekanan yang berat dari lawannya, mendengar suara itu dengan debaran jantung yang deras. Meskipun tenaga mereka sudah mulai mengendor, namun tiba-tiba mereka seolah-olah mendapat tenaga cadangan. Karena itu jiwa mereka bangkit kembali, dan senjata-senjata mereka menjadi bertambah cepat berputar menyambar-nyambar.
Sesaat kemudian kembali terdengar suara bayangan itu,
Mula-mula Mahesa Jenar ragu-ragu. Apakah orang itu dapat dipercaya…? Apakah orang itu juga mempunyai kemampuan yang cukup untuk melawan Sima Rodra tua dari Lodaya ini…?
Tetapi ketika ia sedang mempertimbangkan bolak-balik, bayangan itu telah berdiri di sampingnya.
Dengan tangan kirinya ia mendorong Mahesa Jenar ke samping. Alangkah besar tenaganya, sehingga Mahesa Jenar terkejut bukan main. Apalagi ketika ia sempat meneliti orang itu, darahnya serasa berhenti mengalir.
Namun orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar bukan pula orang yang mudah berputus asa. Karena gelar mereka ternyata tidak menguntungkan, kemudian terdengarlah jerit Galunggung diantara derak gempuran senjata memberi aba-aba. Demikian dahsyatnya teriakan itu sehingga dapat didengar oleh semua telinga di medan pertempuran itu. Demikian suara Galunggung berhenti, berubahlah tata barisan orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar. Mereka mengubah gelar Dirada Meta yang hampir rusak, dengan gelar Gelatik Neba. Dengan demikian pertempuran itu seolah-olah menjadi kacau balau.
Orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar secara perseorangan menyusup kedalam barisan Gedangan.
Namun hal yang demikian telah mereka duga sebelumnya. Sebab Mahesa Jenar pun pernah memberikan beberapa petunjuk bagaimana seharusnya melawan gelar itu. Beberapa barisan laskar terdepan dari Gedangan, sengaja membiarkan beberapa laskar lawan mereka menyusup masuk. Namun demikian mereka terbenam di dalam laskar Gedangan, demikian mereka dibinasakan.
Meskipun demikian, karena secara perseorangan laskar Gunung Tidar memiliki ketangguhan yang lebih besar, maka untuk sementara medan itu menjadi terpengaruh pula.
Tetapi yang sangat tidak diduga-duga oleh laskar Gedangan yang sudah mulai mendesak lawannya kembali, adalah kedatangan rombongan baru dari utara. Meskipun rombongan itu tidak besar, namun agaknya memiliki kekuatan yang cukup pula. Oleh kedatangan itulah kemudian terdengar suatu teriakan nyaring dari salah seorang pengawas di ekor barisan Gedangan yang mengabarkan bahwa pasukan Uling telah datang.
Mendengar teriakan di ekor barisannya, dada Mahesa Jenar berdesir. Yang dicemaskan selama ini ternyata benar-benar terjadi. Mau tidak mau rombongan yang masih segar yang baru datang itu akan banyak sekali berpengaruh pada pertempuran itu.
Meskipun demikian, hal yang serupa itu memang sudah disiapkan oleh Mahesa Jenar. Karena itulah ia mempergunakan gelar Supit Urang. Sehingga beberapa bagian, yang merupakan ekor dan kaki belakang gelarnya dapat dipergunakan untuk melawan pasukan yang datang dari samping, maupun dari belakang.
Kebo Kanigara pun melihat kesulitan yang bakal datang. Maka baginya tidak ada jalan lain daripada menyelesaikan pertempuran itu secepatnya. Namun bagaimanapun juga, karena ia terikat pula pada anaknya, sehingga geraknya tidak penuh leluasa.
Rombongan Uling dari Rawa Pening itu langsung dibawa oleh para pemimpinnya mendekati medan. Untuk beberapa saat Sepasang Uling itu berdiri mengawasi pertempuran yang masih menyala-nyala dengan hebatnya. Uling Putih dan Uling Kuning itupun adalah orang-orang yang telah lama berada dalam dunia yang penuh dengan pertumpahan darah. Sehingga dengan demikian wawasannya mengenai pertempuran itupun mengandung beberapa ketepatan hitungan.
Ia memang melihat bahwa laskar Gedangan pada saat itu dapat mendesak lawannya. Tetapi kemenangan itu adalah kemenangan yang tipis dan sangat perlahan-lahan. Dengan demikian maka sepasang Uling itu tidak mau membiarkan keadaan yang demikian itu berlangsung lebih lama lagi.
Karena itulah maka mereka memutuskan untuk segera menerjunkan laskarnya ke dalam arena, sebelum laskar dari Pamingit dan Gunung Tidar menjadi semakin tipis.
Demikianlah kedua bersaudara Uling yang ganas itu membagi laskarnya menjadi dua bagian, yang masing-masing dipimpin sendiri oleh dua bersaudara. Seorang membawa pasukannya ke kanan dan seorang lagi ke kiri, untuk seterusnya menyerang pasukan Gedangan dari belakang.
Dada Mahesa Jenar menjadi bertambah berdebar-debar melihat cara laskar Uling itu menyerang. Karena itu segera ia pun memberikan beberapa aba-aba untuk pasukannya, supaya dapat setidak-tidaknya membendung arus yang melanda dari belakang itu. Sedang Mahesa Jenar sendiri segera mengerahkan segala kekuatannya untuk dapat mengalahkan lawannya.
Demikianlah ketika Mahesa Jenar dan Sima Rodra telah bertempur semakin dahsyat, mereka masing-masing telah dapat mengukur bahwa kali ini tenaga mereka berimbang sehingga untuk seterusnya mereka harus mempergunakan kelincahan dan kecakapan mereka membawa diri masing-masing untuk memenangkan pertempuran itu.
Di bagian lain, di bagian belakang gelar Supit Urang itu, telah terjadi pertempuran yang dahsyat pula. Sepasang Uling itu ternyata tidak menemukan lawan yang seimbang. Sehingga dengan demikian ia seolah-olah dapat leluasa berbuat sekehendak mereka sendiri. Namun demikian beberapa orang Gedangan yang gagah berani telah berusaha untuk mencegah sekuat-sekuatnya.
Mereka bertempur bersama-sama menghadapi kekuatan Uling yang seakan-akan melampaui batas kekuatan manusia biasa. Meskipun demikian terasalah bahwa kekuatan laskar Gedangan sekarang benar-benar berada di bawah kekuatan lawannya.
Pasukan Uling dari Rawa Pening yang datang tepat pada saatnya itu telah menolong pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang telah terdesak menuju ke jurang kehancuran. Bahkan sekarang agaknya pasukan Gedanganlah yang terdesak dari dua arah. Agaknya mereka benar-benar berusaha menjepit dan menghimpit hancur laskar itu.
Meskipun demikian, laskar Gedangan telah berjuang mati-matian. Sapit-sapit yang dipimpin oleh Wanamerta dan Arya Salaka ternyata lincah pula. Mereka yang berada di luar himpitan pasukan lawan, agaknya banyak dapat memberikan pertolongan. Dengan bergeser-geser cepat mereka dapat mengganggu pasukan-pasukan Pamingit serta rombongan-rombongan yang lain.
NAMUN bagaimanapun juga, kemampuan mereka terbatas. Sebagai manusia mereka tidak dapat berbuat lain, diluar batas-batas yang mungkin. Bagaimanapun tebalnya tekad mereka, namun ternyata lawan mereka benar-benar memiliki kelebihan yang tak dapat mereka atasi.
Karena kenyataan itu maka Mahesa Jenar dan Kanigara beserta para pemimpin Gedangan menjadi semakin prihatin. Mereka memutar otak untuk menemukan cara, setidak-tidaknya untuk mempertahankan diri mereka supaya tidak tergilas hancur. Sedangkan mereka sendiri telah berjuang mati-matian untuk dapat menyelamatkan laskar mereka.
Tetapi keadaan berjalan tidak seperti yang mereka kehendaki. Laskar-laskar liar beserta laskar Pamingit agaknya telah mencapai suatu kepastian, bahwa mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu. Hal ini terutama disebabkan karena jumlah pimpinan mereka yang lebih banyak. Uling Putih dan Uling Kuning benar-benar seperti merajai daerah pertempurannya. Meskipun beberapa orang datang bersama-sama melawannya, namun sepasang Uling itu dengan mudahnya dapat menyingkirkan mereka seorang demi seorang.
Meskipun demikian laskar Gedangan bukan laskar yang berhati kecil. Mereka melihat pemimpin-pemimpin mereka bertempur dengan gigihnya. Bahkan mereka melihat seorang gadis tanggung bertempur dipihaknya tanpa mengenal takut melawan seorang yang perkasa, Jaka Soka. Dengan demikian mereka merasa bahwa yang dapat mereka lakukan adalah bertempur sampai titik darah penghabisan.
Gemerincing senjata masih saja menggema di lembah diantara bukit-bukit kecil itu. Bahkan semakin lama menjadi semakin riuh dibarengi dengan suara-suara yang dahsyat mengerikan. Teriakan-teriakan dan geram yang penuh kemarahan disela-sela jerit kesakitan yang mengerikan.
Ketika pertempuran itu masih berlangsung dengan riuhnya, matahari telah semakin berkisar ke barat menuju garis peristirahatannya. Wajah-wajah pegunungan yang semula berkilat-kilat kini telah berubah menjadi muram, semuram wajah Mahesa Jenar yang sedang bertempur sambil berpikir keras untuk menyelamatkan orang-orangnya. Yang sedikit membesarkan hatinya pada saat itu adalah semangat yang luar biasa dari laskarnya, sehingga menurut perhitungannya ia masih akan dapat bertahan sampai matahari terbenam. Setelah itu pertempuran pasti akan berhenti.
Dengan demikian ia akan dapat mencari jalan dengan lebih tenang, bagaimanakah sebaiknya untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan sendiri itu. Sedangkan apabila perlu demi tegaknya sendi-sendi kemanusiaan, maka tidak berdosalah kiranya apabila terpaksa dilepaskannya aji andalannya, Sasra Birawa.
Sesaat kemudian langit telah dibayangi dengan warna merah. Tanah-tanah pegunungan menjadi semakin suram dan kehitam-hitaman. Kedua belah pihak agaknya telah mulai nampak lelah, kecuali laskar yang dibawa oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun demikian laskar Rawa Pening itupun tidak dapat bertempur dengan sepenuh tenaga, sebab cahaya suram dari matahari yang telah jemu berjalan sepanjang hari, telah tidak membantu lagi. Mereka telah menjadi ragu-ragu karena mereka sudah mulai agak sulit membedakan lawan dan kawan. Meskipun demikian, terdorong oleh kemarahan yang memuncak dikedua belah pihak, mereka masih saja bernafsu untuk bertempur.
Pada saat yang demikian, pada saat pertempuran itu sudah mulai menurun karena senja yang mengganggu, muncullah diantara mereka suatu bayangan yang mendebarkan hati. Bayangan yang tidak diketahui asal arahnya, serta apa-siapanya.
Namun apa yang terjadi…? Bayangan itu telah berada di tengah-tengah arena pertempuran. Yang lebih mengejutkan lagi, bayangan itu memperdengarkan suaranya yang gemuruh,
Quote:
“Ayo, berjuanglah terus laskar Gedangan yang gagah berani. Karena kalian berada di pihak yang benar, aku berada di pihakmu.”
Setelah itu, tampaklah bayangan itu melontar dengan cepatnya kesana-kemari seperti anak kijang di padang rumput yang hijau segar.
Laskar Gedangan yang kelelahan, karena tekanan yang berat dari lawannya, mendengar suara itu dengan debaran jantung yang deras. Meskipun tenaga mereka sudah mulai mengendor, namun tiba-tiba mereka seolah-olah mendapat tenaga cadangan. Karena itu jiwa mereka bangkit kembali, dan senjata-senjata mereka menjadi bertambah cepat berputar menyambar-nyambar.
Sesaat kemudian kembali terdengar suara bayangan itu,
Quote:
“Mahesa Jenar… lepaskan lawanmu. Layanilah sepasang Uling yang masih segar di ekor barisanmu.”
Mula-mula Mahesa Jenar ragu-ragu. Apakah orang itu dapat dipercaya…? Apakah orang itu juga mempunyai kemampuan yang cukup untuk melawan Sima Rodra tua dari Lodaya ini…?
Tetapi ketika ia sedang mempertimbangkan bolak-balik, bayangan itu telah berdiri di sampingnya.
Dengan tangan kirinya ia mendorong Mahesa Jenar ke samping. Alangkah besar tenaganya, sehingga Mahesa Jenar terkejut bukan main. Apalagi ketika ia sempat meneliti orang itu, darahnya serasa berhenti mengalir.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas