- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#320
Jilid 10 [Part 229]
Spoiler for :
TIDAK jauh di belakang pasukan Gedangan, pedukuhan gedangan menjadi amat sepi, seolah-olah pada saat matahari sudah demikian tingginya masih saja lelap dalam tidurnya. Rumah-rumah bambu yang tegak seakan menjadi tak berpenghuni. Sedang anak-anak kecil erat berpegang ujung-ujung baju ibunya, yang menahan debar jantung melepas suami pergi berperang.
Tetapi ketika terasa mata mereka hangat oleh titik-titik air yang tak tertahankan lagi, diulanginya kata-kata yang pernah didengar dari lurah mereka, bahwa tugas yang paling mulia bagi seorang laki-laki adalah berjuang untuk tanah kelahiran. Dan sekarang suami mereka sedang menjalani tugas mulia. Sebab ada orang lain yang akan mengganggu ketenteraman kampung halaman mereka, seperti yang pernah terjadi beberapa saat sebelumnya.
Jarak antara kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, sehingga akhirnya seperti dua jalur air bah yang berbenturan. Meledaklah pertempuran yang dahsyat. Pasukan Pamingit yang dibantu laskar dari Gunung Tidar mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan laskar Gedangan. Namun pada saat itu laskar Gedangan dibekali oleh suatu tekad untuk menyelamatkan pedukuhan mereka dari penindasan dalam segala bentuk. Apalagi dalam waktu terakhir mereka telah menerima gemblengan yang berat dari seorang yang dapat dibanggakan, yaitu Mahesa Jenar dibantu Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka.
Demikianlah dering senjata di sela-sela gemerincing pedang beradu perisai terdengar diantara pekik sorak dari kedua belah pihak seperti membelah langit. Kilatan-kilatan ujung-ujung pedang memantulkan cahaya matahari seperti sinar-sinar yang menyembur-nyembur.
Dalam pertempuran itu Kebo Kanigara menempatkan dirinya untuk melawan Bugel Kaliki, sedangkan Mahesa Jenar bertempur mati-matian melawan Sima Rodra yang bernafsu untuk menuntut balas atas kematian menantunya. Sedangkan diantara pasukan yang bertempur itu, Janda Sima Rodra dan Rara Wilis masih saja berkelahi, seolah-olah tidak terpengaruh oleh pertempuran yang menyala-nyala di sekitarnya.
Pada saat hiruk-pikuk itulah Jaka Soka ingin mendapatkan keuntungan. Ia sudah tidak berpikir lagi untuk ikut serta memusnahkan orang-orang Gedangan yang pernah mengecewakan hati Sawung Sariti atau Mahesa Jenar. Ia berharap Bugel Kaliki dan Sima Rodra dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Dengan demikian ia pun akan kehilangan seorang saingan dalam memperebutkan Nagasasra dan Sabuk Inten.
Lebih daripada itu, ia pun akan kehilangan seorang saingan pula dalam perebutan gadis yang bagaimanapun tak dapat dilupakan. Sebab ia tahu bahwa agaknya Mahesa Jenar pun bukan tanpa pamrih untuk selalu melindunginya.
Sekarang, Mahesa Jenar sedang sibuk bertempur melawan Sima Rodra tua. Ia mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat keluar dari pertempuran itu, lengkap dengan nyawanya.
Maka ketika semua orang yang berada dalam lingkaran pertempuran itu sedang sibuk menyabung nyawa, tiba-tiba Jaka Soka meloncat menerjang ke arah Rara Wilis yang sedang sibuk melayani Janda Sima Rodra. Dengan demikian ia menjadi tidak memperhatikan kedatangan bahaya yang baginya lebih dahsyat daripada mati.
Tetapi kemudian Jaka Soka dikejutkan oleh suatu serangan yang tak diduganya pada saat ia menyergap Rara Wilis. Apalagi ketika ia sudah sempat mengamati orang yang menyerangnya itu. Ia tidak lebih dari seorang gadis tanggung, yang dengan lincahnya menyambar-nyambar seperti seekor sikatan menangkap belalang. Gadis itu tidak lain adalah Widuri, yang dengan diam-diam ikut serta dalam barisan orang-orang gedangan.
Melihat gadis tanggung itu mengganggunya, Jaka Soka menjadi marah bukan buatan. Sekali ini ia tidak mau gagal lagi. karena itu segera ia mengerahkan tenaganya untuk dengan cepat membinasakan anak yang telah berbuat lancang itu.
Tetapi sekali lagi ia menjadi heran. Kalau semula ia kagum akan kegesitan Rara Wilis, sekarang ia terpaksa mengagumi gadis tanggung yang dapat bertempur dengan tangkasnya. Bahkan serangan-serangannya kadang-kadang terasa sangat berbahaya. Kekaguman itulah kemudian yang menambah kemarahan Jaka Soka. terhadap anak kecil yang baru dapat berjalan beberapa langkah, Ular Laut dari Nusakambangan itu tidak dapat segera dapat mengatasinya…? Dengan demikian Jaka Soka bertempur mati-matian mendesak lawannya.
Dalam pada itu, bagaimanapun cakapnya Widuri membawa dirinya, namun ia telah melawan seorang yang mempunyai nama menakutkan dalam kelangan bajak laut. Jaka Soka yang tampan itu adalah ular yang berbisa sangat tajam. Karena itu segera terasa bahwa ia masih belum sampai pada tingkatan yang cukup untuk melawannya. Meskipun demikian Endang Widuri adalah seorang gadis yang berjiwa besar, sebagaimana tersimpan dalam saluran dara Handayaningrat. Karena itu ia sama sekali tidak mengeluh atau menyesal. Bahkan segera ia pun mengerahkan segala ilmu yang pernah dipelajarinya untuk mempertahankan diri.
Untunglah bahwa dari sela-sela gemerlapnya pedang, Kebo Kanigara dapat melihat bayangan gadisnya yang meloncat-loncat dengan lincahnya. Namun bayangan itu telah membuat debar jantung Kanigara lebih cepat. Pada saat itu ia sedang bertempur melawan Hantu Bongkok dari Lembah Gunung Tidar, yang terkenal bertangan panas. Telapak tangannya seolah-olah menyimpan tenaga api yang tidak terkira, sehingga dalam setiap pertempuran, bila seseorang kena rabanya, segera akan menjadi hangus kulitnya pada tempat sentuhan itu.
Tetapi Kanigara bukan pula manusia biasa. Ia adalah seorang sakti yang memendam diri. Meskipun namanya tidak dikenal, namun sebenarnya ia telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan, bahkan melampaui orang-orang yang ditakuti seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, dan sebagainya. Karena itulah maka untuk melawan Si Bongkok itu, Kebo Kanigara tidak usah berkecil hati.
KANIGARA tiba-tiba mempunyai pekerjaan lain, selain melawan Si Bongkok. Bagaimanapun ia melihat bahwa Widuri tidak dapat mengimbangi keganasan Jaka Soka. Sehingga dengan demikian terpaksa ia menggiring lawannya mendekati pertempuran anaknya. Bahkan untuk membesarkan hati gadis itu, ia berteriak,
Widuri mendengar suara ayahnya. Tiba-tiba hatinya menjadi bertambah besar. Sehingga dengan demikian tenaganya pun terpengaruh. Apalagi ketika ayahnya berteriak lagi,
Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia terpaksa bertempur dengan sebagian perhatian terikat kepada anaknya. Bahkan sesekali ia terpaksa melontarkan diri untuk memberinya pertolongan.
Kalau saja ia tidak berbuat demikian, maka ia perlahan-lahan namun pasti akan segera dapat mendesak lawannya. Tetapi karena ia terpaksa membagi tenaganya, maka Bugel Kaliki masih dengan segarnya dapat bertempur melawan orang yang sama sekali belum dikenalnya itu, tetapi ternyata sangat mengejutkannya. Ia merasa bahwa di dunia ini hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengimbangi kesaktiannya. Namun tiba-tiba muncullah orang ini.
Apalagi orang ini dapat melawannya dengan membagi tenaga. Karena itu ia menjadi marah. Bugel Kaliki yang terkenal bertenaga api itu segera berusaha sekuat tenaga untuk dapat memenangkan pertempuran. Namun bagaimanapun, kemudian ia terpaksa mengakui kedahsyatan tenaga Kebo kanigara. Sehingga dengan demikian Bugel Kaliki harus lebih berhati-hati lagi.
Di titik yang lain, tampaklah Mahesa Jenar bertempur melawan Harimau Liar dari Lodaya yang menyerangnya dengan garang.
Orang tua yang berkerudung kulit harimau hitam itu mula-mula merasa bahwa dalam waktu yang pendek dapat menyelesaikan pekerjaannya. Sebab ia merasa bahwa Mahesa Jenar berdua dengan Gajah Sora, bahkan dengan sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tak dapat mengalahkannya. Malahan seandainya pada saat itu tidak datang Titis Anganten, Mahesa Jenar pasti sudah binasa.
Tetapi ternyata Harimau Liar itu menghadapi suatu kenyataan lain. Mahesa Jenar yang bertempur pada saat itu ternyata bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun yang lampau. Ilmunya kini telah meningkat jauh dibanding masa-masa itu. Karena itu, ia pun menjadi marah bukan kepalang. Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Mahesa Jenar dengan garangnya.
Namun Mahesa Jenar kini telah benar-benar merupakan seorang yang luar biasa. Bahkan orang yang pernah melihat cara almarhum gurunya bertempur, pasti akan berkata di dalam hati, Mahesa Jenar benar-benar telah merupakan bayangan yang tepat dari Ki Ageng Pengging Sepuh.
Karena itulah Sima Rodra menjadi keheran-heranan. Apalagi ketika ternyata bahwa Mahesa Jenar dapat mendesaknya dengan tajamnya.
Demikianlah, pertempuran itu berkobar-kobar dengan dahsyatnya. Debu putih mengepul naik ke udara seperti tirai kabut yang tebal. Sedangkan matahari semakin lama menjadi semakin tinggi, membawa wajahnya yang lesu menempuh garis edarnya. Garis yang telah dilaluinya setiap hari. Sekali bergeser ke utara, sekali bergeser ke selatan.
Demikianlah telah berlangsung dari tahun ke tahun, puluhan bahkan ratusan dan ribuan tahun telah berjalan tanpa suatu perubahan. Dan dalam waktu yang demikian panjangnya itu telah disaksikan segala macam kejadian di permukaan bumi ini. Telah disaksikan segala macam musim. Musim bunga, musim buah, musim hujan dan musim kering.
Telah disaksikan pula berbagai tabiat manusia. Sedih-gembiranya, senyum tangisnya. Bahkan tabiat-tabiat mereka yang aneh-aneh. Bertempur sesama manusia, membunuh dan memfitnah. Bahkan kadang-kadang mereka berkelahi tanpa sebab dan tanpa pengetahuan untuk apa sebenarnya mereka harus berkelahi, selain pemanjaan nafsu kebinatangan yang kadang-kadang menguasai mereka yang seharusnya memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada binatang.
Bahkan ada diantara manusia yang menjadi lupa pada asal mula dan hari akhirnya. Lupa kepada Tuhan penciptanya yang menyediakan segala kebutuhannya, tetapi yang kelak menuntut suatu pertanggungjawaban pada masa-masa hidupnya bila masa peradilan telah tiba. Lupa pada panasnya api neraka yang abadi yang akan menelannya, serta lupa kepada janji kesejahteraan abadi bagi mereka yang berjalan sepanjang garis kebenaran.
Demikianlah pertempuran yang terjadi di lembah antara bukit-bukit kecil itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Gemerincing senjata diantara sorak sorai laskar dari kedua pihak, kini dislingi pekik kesakitan dan rintihan pedih. Dari tubuh-tubuh yang sedang bergulat diantara maut itu, tampak menetes keringat dan darah.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi prihatin melihat pertempuran itu. Karena itu mereka berjuang semakin gigih. Kadang-kadang terdengar suara Mahesa Jenar berteriak memberi aba-aba yang agaknya sangat menguntungkan laskar Gedangan.
Sebagaimana yang dinasihatkan Mahesa Jenar bahwa seharusnya mereka lebih mementingkan kerja sama yang erat daripada bertempur seorang demi seorang. Dengan demikian mereka tidak perlu harus terikat kepada satu lawan, kecuali orang-orang tertentu seperti Mahesa Jenar sendiri.
Laskar Gedangan juga telah dilatih untuk mempergunakan otak dalam saat-saat tertentu, sehingga dengan demikian mereka tidak akan kehilangan akal. Karena itulah, disamping jumlah yang memang lebih banyak, ketika matahari telah menanjak tinggi, tampaklah bahwa laskar Gedangan berhasil mendesak lawan mereka.
Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki yang merasa sakti tanpa tanding, terpaksa harus mengakui bahwa dunia ini terbentang sedemikian luas, sehingga tidak seluruhnya dapat dijajaginya.
Tetapi ketika terasa mata mereka hangat oleh titik-titik air yang tak tertahankan lagi, diulanginya kata-kata yang pernah didengar dari lurah mereka, bahwa tugas yang paling mulia bagi seorang laki-laki adalah berjuang untuk tanah kelahiran. Dan sekarang suami mereka sedang menjalani tugas mulia. Sebab ada orang lain yang akan mengganggu ketenteraman kampung halaman mereka, seperti yang pernah terjadi beberapa saat sebelumnya.
Jarak antara kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, sehingga akhirnya seperti dua jalur air bah yang berbenturan. Meledaklah pertempuran yang dahsyat. Pasukan Pamingit yang dibantu laskar dari Gunung Tidar mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan laskar Gedangan. Namun pada saat itu laskar Gedangan dibekali oleh suatu tekad untuk menyelamatkan pedukuhan mereka dari penindasan dalam segala bentuk. Apalagi dalam waktu terakhir mereka telah menerima gemblengan yang berat dari seorang yang dapat dibanggakan, yaitu Mahesa Jenar dibantu Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka.
Demikianlah dering senjata di sela-sela gemerincing pedang beradu perisai terdengar diantara pekik sorak dari kedua belah pihak seperti membelah langit. Kilatan-kilatan ujung-ujung pedang memantulkan cahaya matahari seperti sinar-sinar yang menyembur-nyembur.
Dalam pertempuran itu Kebo Kanigara menempatkan dirinya untuk melawan Bugel Kaliki, sedangkan Mahesa Jenar bertempur mati-matian melawan Sima Rodra yang bernafsu untuk menuntut balas atas kematian menantunya. Sedangkan diantara pasukan yang bertempur itu, Janda Sima Rodra dan Rara Wilis masih saja berkelahi, seolah-olah tidak terpengaruh oleh pertempuran yang menyala-nyala di sekitarnya.
Pada saat hiruk-pikuk itulah Jaka Soka ingin mendapatkan keuntungan. Ia sudah tidak berpikir lagi untuk ikut serta memusnahkan orang-orang Gedangan yang pernah mengecewakan hati Sawung Sariti atau Mahesa Jenar. Ia berharap Bugel Kaliki dan Sima Rodra dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Dengan demikian ia pun akan kehilangan seorang saingan dalam memperebutkan Nagasasra dan Sabuk Inten.
Lebih daripada itu, ia pun akan kehilangan seorang saingan pula dalam perebutan gadis yang bagaimanapun tak dapat dilupakan. Sebab ia tahu bahwa agaknya Mahesa Jenar pun bukan tanpa pamrih untuk selalu melindunginya.
Sekarang, Mahesa Jenar sedang sibuk bertempur melawan Sima Rodra tua. Ia mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat keluar dari pertempuran itu, lengkap dengan nyawanya.
Maka ketika semua orang yang berada dalam lingkaran pertempuran itu sedang sibuk menyabung nyawa, tiba-tiba Jaka Soka meloncat menerjang ke arah Rara Wilis yang sedang sibuk melayani Janda Sima Rodra. Dengan demikian ia menjadi tidak memperhatikan kedatangan bahaya yang baginya lebih dahsyat daripada mati.
Tetapi kemudian Jaka Soka dikejutkan oleh suatu serangan yang tak diduganya pada saat ia menyergap Rara Wilis. Apalagi ketika ia sudah sempat mengamati orang yang menyerangnya itu. Ia tidak lebih dari seorang gadis tanggung, yang dengan lincahnya menyambar-nyambar seperti seekor sikatan menangkap belalang. Gadis itu tidak lain adalah Widuri, yang dengan diam-diam ikut serta dalam barisan orang-orang gedangan.
Melihat gadis tanggung itu mengganggunya, Jaka Soka menjadi marah bukan buatan. Sekali ini ia tidak mau gagal lagi. karena itu segera ia mengerahkan tenaganya untuk dengan cepat membinasakan anak yang telah berbuat lancang itu.
Tetapi sekali lagi ia menjadi heran. Kalau semula ia kagum akan kegesitan Rara Wilis, sekarang ia terpaksa mengagumi gadis tanggung yang dapat bertempur dengan tangkasnya. Bahkan serangan-serangannya kadang-kadang terasa sangat berbahaya. Kekaguman itulah kemudian yang menambah kemarahan Jaka Soka. terhadap anak kecil yang baru dapat berjalan beberapa langkah, Ular Laut dari Nusakambangan itu tidak dapat segera dapat mengatasinya…? Dengan demikian Jaka Soka bertempur mati-matian mendesak lawannya.
Dalam pada itu, bagaimanapun cakapnya Widuri membawa dirinya, namun ia telah melawan seorang yang mempunyai nama menakutkan dalam kelangan bajak laut. Jaka Soka yang tampan itu adalah ular yang berbisa sangat tajam. Karena itu segera terasa bahwa ia masih belum sampai pada tingkatan yang cukup untuk melawannya. Meskipun demikian Endang Widuri adalah seorang gadis yang berjiwa besar, sebagaimana tersimpan dalam saluran dara Handayaningrat. Karena itu ia sama sekali tidak mengeluh atau menyesal. Bahkan segera ia pun mengerahkan segala ilmu yang pernah dipelajarinya untuk mempertahankan diri.
Untunglah bahwa dari sela-sela gemerlapnya pedang, Kebo Kanigara dapat melihat bayangan gadisnya yang meloncat-loncat dengan lincahnya. Namun bayangan itu telah membuat debar jantung Kanigara lebih cepat. Pada saat itu ia sedang bertempur melawan Hantu Bongkok dari Lembah Gunung Tidar, yang terkenal bertangan panas. Telapak tangannya seolah-olah menyimpan tenaga api yang tidak terkira, sehingga dalam setiap pertempuran, bila seseorang kena rabanya, segera akan menjadi hangus kulitnya pada tempat sentuhan itu.
Tetapi Kanigara bukan pula manusia biasa. Ia adalah seorang sakti yang memendam diri. Meskipun namanya tidak dikenal, namun sebenarnya ia telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan, bahkan melampaui orang-orang yang ditakuti seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, dan sebagainya. Karena itulah maka untuk melawan Si Bongkok itu, Kebo Kanigara tidak usah berkecil hati.
KANIGARA tiba-tiba mempunyai pekerjaan lain, selain melawan Si Bongkok. Bagaimanapun ia melihat bahwa Widuri tidak dapat mengimbangi keganasan Jaka Soka. Sehingga dengan demikian terpaksa ia menggiring lawannya mendekati pertempuran anaknya. Bahkan untuk membesarkan hati gadis itu, ia berteriak,
Quote:
“Widuri, kenapa kau ikut serta?”
Widuri mendengar suara ayahnya. Tiba-tiba hatinya menjadi bertambah besar. Sehingga dengan demikian tenaganya pun terpengaruh. Apalagi ketika ayahnya berteriak lagi,
Quote:
“Bertahanlah. Aku datang.”
Widuri tertawa pendek. Lalu jawabnya,
“Orang ini hebat juga, ayah.”
Widuri tertawa pendek. Lalu jawabnya,
“Orang ini hebat juga, ayah.”
Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia terpaksa bertempur dengan sebagian perhatian terikat kepada anaknya. Bahkan sesekali ia terpaksa melontarkan diri untuk memberinya pertolongan.
Kalau saja ia tidak berbuat demikian, maka ia perlahan-lahan namun pasti akan segera dapat mendesak lawannya. Tetapi karena ia terpaksa membagi tenaganya, maka Bugel Kaliki masih dengan segarnya dapat bertempur melawan orang yang sama sekali belum dikenalnya itu, tetapi ternyata sangat mengejutkannya. Ia merasa bahwa di dunia ini hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengimbangi kesaktiannya. Namun tiba-tiba muncullah orang ini.
Apalagi orang ini dapat melawannya dengan membagi tenaga. Karena itu ia menjadi marah. Bugel Kaliki yang terkenal bertenaga api itu segera berusaha sekuat tenaga untuk dapat memenangkan pertempuran. Namun bagaimanapun, kemudian ia terpaksa mengakui kedahsyatan tenaga Kebo kanigara. Sehingga dengan demikian Bugel Kaliki harus lebih berhati-hati lagi.
Di titik yang lain, tampaklah Mahesa Jenar bertempur melawan Harimau Liar dari Lodaya yang menyerangnya dengan garang.
Orang tua yang berkerudung kulit harimau hitam itu mula-mula merasa bahwa dalam waktu yang pendek dapat menyelesaikan pekerjaannya. Sebab ia merasa bahwa Mahesa Jenar berdua dengan Gajah Sora, bahkan dengan sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tak dapat mengalahkannya. Malahan seandainya pada saat itu tidak datang Titis Anganten, Mahesa Jenar pasti sudah binasa.
Tetapi ternyata Harimau Liar itu menghadapi suatu kenyataan lain. Mahesa Jenar yang bertempur pada saat itu ternyata bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun yang lampau. Ilmunya kini telah meningkat jauh dibanding masa-masa itu. Karena itu, ia pun menjadi marah bukan kepalang. Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Mahesa Jenar dengan garangnya.
Namun Mahesa Jenar kini telah benar-benar merupakan seorang yang luar biasa. Bahkan orang yang pernah melihat cara almarhum gurunya bertempur, pasti akan berkata di dalam hati, Mahesa Jenar benar-benar telah merupakan bayangan yang tepat dari Ki Ageng Pengging Sepuh.
Karena itulah Sima Rodra menjadi keheran-heranan. Apalagi ketika ternyata bahwa Mahesa Jenar dapat mendesaknya dengan tajamnya.
Demikianlah, pertempuran itu berkobar-kobar dengan dahsyatnya. Debu putih mengepul naik ke udara seperti tirai kabut yang tebal. Sedangkan matahari semakin lama menjadi semakin tinggi, membawa wajahnya yang lesu menempuh garis edarnya. Garis yang telah dilaluinya setiap hari. Sekali bergeser ke utara, sekali bergeser ke selatan.
Demikianlah telah berlangsung dari tahun ke tahun, puluhan bahkan ratusan dan ribuan tahun telah berjalan tanpa suatu perubahan. Dan dalam waktu yang demikian panjangnya itu telah disaksikan segala macam kejadian di permukaan bumi ini. Telah disaksikan segala macam musim. Musim bunga, musim buah, musim hujan dan musim kering.
Telah disaksikan pula berbagai tabiat manusia. Sedih-gembiranya, senyum tangisnya. Bahkan tabiat-tabiat mereka yang aneh-aneh. Bertempur sesama manusia, membunuh dan memfitnah. Bahkan kadang-kadang mereka berkelahi tanpa sebab dan tanpa pengetahuan untuk apa sebenarnya mereka harus berkelahi, selain pemanjaan nafsu kebinatangan yang kadang-kadang menguasai mereka yang seharusnya memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada binatang.
Bahkan ada diantara manusia yang menjadi lupa pada asal mula dan hari akhirnya. Lupa kepada Tuhan penciptanya yang menyediakan segala kebutuhannya, tetapi yang kelak menuntut suatu pertanggungjawaban pada masa-masa hidupnya bila masa peradilan telah tiba. Lupa pada panasnya api neraka yang abadi yang akan menelannya, serta lupa kepada janji kesejahteraan abadi bagi mereka yang berjalan sepanjang garis kebenaran.
Demikianlah pertempuran yang terjadi di lembah antara bukit-bukit kecil itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Gemerincing senjata diantara sorak sorai laskar dari kedua pihak, kini dislingi pekik kesakitan dan rintihan pedih. Dari tubuh-tubuh yang sedang bergulat diantara maut itu, tampak menetes keringat dan darah.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi prihatin melihat pertempuran itu. Karena itu mereka berjuang semakin gigih. Kadang-kadang terdengar suara Mahesa Jenar berteriak memberi aba-aba yang agaknya sangat menguntungkan laskar Gedangan.
Sebagaimana yang dinasihatkan Mahesa Jenar bahwa seharusnya mereka lebih mementingkan kerja sama yang erat daripada bertempur seorang demi seorang. Dengan demikian mereka tidak perlu harus terikat kepada satu lawan, kecuali orang-orang tertentu seperti Mahesa Jenar sendiri.
Laskar Gedangan juga telah dilatih untuk mempergunakan otak dalam saat-saat tertentu, sehingga dengan demikian mereka tidak akan kehilangan akal. Karena itulah, disamping jumlah yang memang lebih banyak, ketika matahari telah menanjak tinggi, tampaklah bahwa laskar Gedangan berhasil mendesak lawan mereka.
Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki yang merasa sakti tanpa tanding, terpaksa harus mengakui bahwa dunia ini terbentang sedemikian luas, sehingga tidak seluruhnya dapat dijajaginya.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas