- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#317
Jilid 10 [Part 226]
Spoiler for :
ORANG itu menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika tiba-tiba Mahesa Jenar minta seseorang memanggil Wanamerta. Demikian Wanamerta muncul, mengalirlah keringat dingin di punggung orang itu. Sebagai seorang laskar Pamingit, ia pernah mengenal Wanamerta sebagai orang kedua di Banyubiru, yang harus selalu berhubungan dengan Ki Ageng Lembu Sora dalam hal pemerintahan, meskipun ada usaha-usaha untuk menyingkirkannya.
Melihat orang itu, Wanamerta tersenyum. Ia pun sekali dua kali pernah melihat orang itu. Karena itu bertanyalah Wanamerta,
Keringat dingin di punggungnya menjadi semakin banyak mengalir. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta berada di tempat itu. Karena itu ia sama sekali tidak dapat menjawab sapanya. Sehingga kembali terdengar Wanamerta meneruskan,
Orang itu masih berdiam diri. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan. Sebab agaknya Wanamerta telah mengetahui gerakan yang dilakukannya.
Orang itu menjadi semakin bingung. Apalagi dalam pada itu tiba-tiba dilihatnya Wanamerta menarik belati dari pinggangnya.
Dalam pada itu Mahesa Jenar pun kemudian menjadi cemas. Ia tidak berhasrat untuk menciderai orang yang hanya merupakan seorang pesuruh saja. Apalagi dengan demikian, maksudnya untuk memancing pertempuran akan tertunda.
Agaknya Wanamerta mengetahui perasahaan Mahesa Jenar itu. Maka katanya,
Sehabis berkata demikian, Wanamerta yang sudah tua itu meloncat dengan garangnya, dan hampir tak dapat diikuti gerakannya, tiba-tiba di dahi orang itu telah terdapat dua goresan bersilang. Baru kemudian disusul oleh sebuah jeritan kesakitan. Dari luka itu mengalirlah darah yang merah segar.
Mahesa Jenar sendiri terkejut melihat hal itu. Namun ia tidak dapat mencegahnya. Ia menyadari betapa geram orang tua itu terhadap Lembu Sora dan orang-orangnya.
Bagaimanapun juga orang itu adalah seorang laki-laki. Karena itu ia menjadi tersinggung sekali atas perlakuan itu. Dihina terasa pedih sekali, sedang darah yang mengucur dari luka itu telah membasahi baju serta kainnya, membuat gambaran-gambaran merah yang mengerikan.
Tetapi dalam pada itu ia merasa bahwa ia tidak akan dapat melawan Wanamerta dan Mahesa Jenar. Maka yang dapat dilakukan kemudian hanyalah mengumpat habis-habisan,
Penghinaan itu sudah melampaui batas. karena itu, orang itu sudah tidak mau menunggu lagi. Cepat ia meloncat lari secepat-cepatnya kembali menghadap Sawung Sariti.
Sepeninggal orang itu, segera Mahesa Jenar mengatur pasukannya. Sebab orang yang dilukai oleh Wanamerta itu pasti akan menambah-nambah cerita. Dan kalau demikian maka keadaan akan menguntungkan sekali. Sehingga Mahesa Jenar tidak harus melawan dua rombongan dari jurusan yang berbeda sekaligus, dibawah pimpinan masing-masing, orang-orang buas yang sakti.
Demikianlah apa yang diharapkan itu datanglah.
Pada pagi berikutnya, seorang pengawas melaporkan bahwa dari arah selatan tampaklah barisan berobor, mendekati Gedangan. Itulah barisan Sawung Sariti.
Mahesa Jenar cepat menyiapkan orang-orangnya. Ia sendiri beserta Kanigara memimpin laskar yang langsung akan melawan pasukan yang datang, sedang Arya dan Wanamerta dibantu oleh Wiradapa diperintahkannya untuk kemudian menyerang dari sayap kiri dan kanan. Dengan demikian Mahesa Jenar dan Kanigara akan dapat lebih dahulu memilih lawan-lawannya. Apabila Bugel Kaliki dan Sima Rodra berada dalam pasukan itu juga, seharusnya kedua orang itu menjadi kewajiban Mahesa Jenar dan Kanigara.
Untunglah bahwa di Karang Tumaritis, Mahesa Jenar atas tuntunan tidak langsung dari Kebo Kanigara, telah menemukan inti dari ilmunya, setelah ia berhasil ngraga sukma. Dengan demikian ia tidak perlu lagi gentar menghadapi Si Bongkok dari Gunung Cerme atau Harimau Liar dari Lodaya itu.
KEMAMPUAN Kebo Kanigara sendiri tak perlu diragukan lagi. Ia adalah saudara seperguruan ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh, bahkan ia memiliki kesegaran yang lebih muda dalam olah kanuragan. Sehingga beberapa orang mengatakan bahwa Kebo Kanigara mempunyai beberapa kelebihan dibanding ayahnya.
Pasukan berobor itu kemudian berhenti tidak seberapa jauh dari Gedangan. Agaknya mereka menunggu sampai fajar menyingsing.
Demikianlah ketika matahari telah menjenguk dari balik cakrawala. Bersiaplah kedua pasukan yang sudah saling berhadapan itu. Meskipun demikian, agaknya Sawung Sariti ingin menunjukkan kebaikan hatinya. Dengan panji-panji putih yang tersangkut pada tunggul yang masih tersawung, ia dengan beberapa orang datang mendekati laskar Gedangan. Wajahnya yang cerah membayangkan suatu keyakinan atas kekuatan diri.
Melihat wajah itu Mahesa Jenar menjadi bersedih hati. Matanya membayangkan kecerdasan otaknya, sedang langkahnya tetap menunjukkan bahwa Sawung Sariti adalah seorang anak yang berani. Apalagi dibawah asuhan seorang sakti yang bernama Ki Ageng Sora Dipayana. Sayang bahwa di dalam dadanya tersembunyi beberapa titik-titik hitam yang mengotori kebesaran pribadinya.
Di belakangnya berjalan dua orang pengawalnya. Seorang yang bertubuh tinggi agak kurus. Mukanya runcing bermata sipit. Dengan alis yang tebal hampir bertemu pangkalnya. Sedang yang seorang lagi bertubuh besar kekar.
Meskipun ia tidak setinggi orang yang pertama, namun ia termasuk seorang yang tinggi pula. Matanya tajam memandang ke depan, seperti mata burung hantu. Di pinggang kedua orang itu tergantung masing-masing sebuah pedang panjang, sedang di lambung yang sebelah terselip pisau-pisau belati pendek.
Mahesa Jenar-lah yang kemudian melangkah ke depan, menerima kedatangan Sawung Sariti, yang ketika itu telah berdiri berhadapan, dengan hormatnya anak muda itu membungkukkan badannya. Mahesa Jenarpun kemudian membalas membungkukkan badan pula.
Sawung Sariti mengangguk-angguk kecil. Agaknya Mahesa Jenar bukan orang yang dapat diperolok-olok. Meskipun demikian ia berkata meneruskan,
“Kenapa besok? Bukankah sekarang ini Kakang Arya Salaka tidak sedang berhalangan, Paman…? Mumpung hari masih pagi, biarlah Kakang Arya kita bawa menghadap. Syukurlah kalau Paman sudi ikut serta dengan kami.”
Dada Sawung Sariti berdebar karenannya. Ternyata bahwa Mahesa Jenar bukan sejenis orang-orang bodoh yang menjadi kebingungan berhadapan dengan putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit itu.
Karena itu Sawung Sariti kemudian berkata, namun sudah tidak setenang semula,
Kembali Mahesa Jenar tersenyum pahit. Sebenarnya ia merasa tersinggung atas sikap Sawung Sariti yang menganggapnya sebagai seorang yang sedemikian bodohnya. Sebaliknya, Sawung Sariti pun menjadi kisruh.
Semula ia ingin memutarbalikkan perkataan-perkataannya untuk mempermainkan Mahesa Jenar. Namun akhirnya ternyata ia sendiri yang menjadi gelisah oleh jawaban-jawaban Mahesa Jenar yang sama sekali tak diduga-duga itu.
Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar menjawab,
Sawung Sariti yang tidak menduga mendapat pertanyaan yang demikian, menjadi kebingungan. Beberapa saat kemudian barulah ia menjawab sekenanya,
Melihat orang itu, Wanamerta tersenyum. Ia pun sekali dua kali pernah melihat orang itu. Karena itu bertanyalah Wanamerta,
Quote:
“Aku mengucapkan selamat atas kedatanganmu Ki Sanak.”
Keringat dingin di punggungnya menjadi semakin banyak mengalir. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta berada di tempat itu. Karena itu ia sama sekali tidak dapat menjawab sapanya. Sehingga kembali terdengar Wanamerta meneruskan,
Quote:
“Aku sudah lama menunggu salah seorang sanak keluarga dari Pamingit yang sudah menengokku di sini. Sekarang agaknya ada juga yang datang, malahan agaknya dalam jumlah yang cukup banyak.”
Orang itu masih berdiam diri. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan. Sebab agaknya Wanamerta telah mengetahui gerakan yang dilakukannya.
Quote:
“Ki Sanak…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Kau tidak usah takut. Bukankah kau mendapat perintah untuk mencari Arya Salaka…?”
“Tidak Tuan,” jawab orang itu bergetar mencoba menutupi kesalahannya.
“Jangan bohong. Aku tidak apa-apa. Bahkan aku akan membantumu. Katakan kepada pimpinanmu, bahwa apa yang dicarinya masih ada di Gedangan. Tidak usah ia mencari kemana-mana. Juga tidak usah ke Karang Tumaritis.”
“Kau tidak usah takut. Bukankah kau mendapat perintah untuk mencari Arya Salaka…?”
“Tidak Tuan,” jawab orang itu bergetar mencoba menutupi kesalahannya.
“Jangan bohong. Aku tidak apa-apa. Bahkan aku akan membantumu. Katakan kepada pimpinanmu, bahwa apa yang dicarinya masih ada di Gedangan. Tidak usah ia mencari kemana-mana. Juga tidak usah ke Karang Tumaritis.”
Orang itu menjadi semakin bingung. Apalagi dalam pada itu tiba-tiba dilihatnya Wanamerta menarik belati dari pinggangnya.
Quote:
“Ampun…, ampun tuan….” teriak orang itu.
Wanamerta tersenyum, katanya,
“Ki Sanak. Telah sekian lama aku menahan diri. Sekarang aku ingin menumpahkan kemarahanku kepadamu. Bukankah kau salah seorang dari mereka yang telah mengeruhkan suasana Banyubiru…?”
“Tidak Tuan, aku hanya sekedar mendapat perintah,” jawab orang itu ketakutan.
Wanamerta tersenyum, katanya,
“Ki Sanak. Telah sekian lama aku menahan diri. Sekarang aku ingin menumpahkan kemarahanku kepadamu. Bukankah kau salah seorang dari mereka yang telah mengeruhkan suasana Banyubiru…?”
“Tidak Tuan, aku hanya sekedar mendapat perintah,” jawab orang itu ketakutan.
Dalam pada itu Mahesa Jenar pun kemudian menjadi cemas. Ia tidak berhasrat untuk menciderai orang yang hanya merupakan seorang pesuruh saja. Apalagi dengan demikian, maksudnya untuk memancing pertempuran akan tertunda.
Agaknya Wanamerta mengetahui perasahaan Mahesa Jenar itu. Maka katanya,
Quote:
“Jangan takut Ki Sanak. Aku tidak akan membunuhmu. Tetapi aku ingin membuat suatu kenang-kenangan padamu, bahkan suatu bukti bahwa kau telah melakukan kewajibanmu dengan baik.”
Sehabis berkata demikian, Wanamerta yang sudah tua itu meloncat dengan garangnya, dan hampir tak dapat diikuti gerakannya, tiba-tiba di dahi orang itu telah terdapat dua goresan bersilang. Baru kemudian disusul oleh sebuah jeritan kesakitan. Dari luka itu mengalirlah darah yang merah segar.
Mahesa Jenar sendiri terkejut melihat hal itu. Namun ia tidak dapat mencegahnya. Ia menyadari betapa geram orang tua itu terhadap Lembu Sora dan orang-orangnya.
Quote:
“Nah…” kata Wanamerta kemudian,
“Pergilah. Katakan kepada Sawung Sariti, bahwa Arya Salaka dan Mahesa jenar masih berada di Gedangan. Bahkan Wanamerta yang tua pun berada di sana. Dengan demikian kau akan mendapat tanda jasa atas hasil pekerjaan yang kau lakukan.”
“Pergilah. Katakan kepada Sawung Sariti, bahwa Arya Salaka dan Mahesa jenar masih berada di Gedangan. Bahkan Wanamerta yang tua pun berada di sana. Dengan demikian kau akan mendapat tanda jasa atas hasil pekerjaan yang kau lakukan.”
Bagaimanapun juga orang itu adalah seorang laki-laki. Karena itu ia menjadi tersinggung sekali atas perlakuan itu. Dihina terasa pedih sekali, sedang darah yang mengucur dari luka itu telah membasahi baju serta kainnya, membuat gambaran-gambaran merah yang mengerikan.
Tetapi dalam pada itu ia merasa bahwa ia tidak akan dapat melawan Wanamerta dan Mahesa Jenar. Maka yang dapat dilakukan kemudian hanyalah mengumpat habis-habisan,
Quote:
“Tuan-tuan telah menghina aku. Ini berarti bahwa Tuan-tuan telah menghina pimpinanku. Jangan Tuan mengira bahwa Tuan akan luput dari hukumannya. Tunggulah Tuan…. Aku akan kembali sekali lagi dan menggoreskan silang ke dahi Tuan.”
Sekali lagi Wanamerta tersenyum aneh, jawabnya,
“Pergilah sebelum aku menambah kenang-kenangan pada tubuhmu. Katakan kepada pemimpinmu, bahwa seandainya mereka yang datang, pada dahi merekalah aku akan membuat tanda silang itu.”
Sekali lagi Wanamerta tersenyum aneh, jawabnya,
“Pergilah sebelum aku menambah kenang-kenangan pada tubuhmu. Katakan kepada pemimpinmu, bahwa seandainya mereka yang datang, pada dahi merekalah aku akan membuat tanda silang itu.”
Penghinaan itu sudah melampaui batas. karena itu, orang itu sudah tidak mau menunggu lagi. Cepat ia meloncat lari secepat-cepatnya kembali menghadap Sawung Sariti.
Sepeninggal orang itu, segera Mahesa Jenar mengatur pasukannya. Sebab orang yang dilukai oleh Wanamerta itu pasti akan menambah-nambah cerita. Dan kalau demikian maka keadaan akan menguntungkan sekali. Sehingga Mahesa Jenar tidak harus melawan dua rombongan dari jurusan yang berbeda sekaligus, dibawah pimpinan masing-masing, orang-orang buas yang sakti.
Demikianlah apa yang diharapkan itu datanglah.
Pada pagi berikutnya, seorang pengawas melaporkan bahwa dari arah selatan tampaklah barisan berobor, mendekati Gedangan. Itulah barisan Sawung Sariti.
Mahesa Jenar cepat menyiapkan orang-orangnya. Ia sendiri beserta Kanigara memimpin laskar yang langsung akan melawan pasukan yang datang, sedang Arya dan Wanamerta dibantu oleh Wiradapa diperintahkannya untuk kemudian menyerang dari sayap kiri dan kanan. Dengan demikian Mahesa Jenar dan Kanigara akan dapat lebih dahulu memilih lawan-lawannya. Apabila Bugel Kaliki dan Sima Rodra berada dalam pasukan itu juga, seharusnya kedua orang itu menjadi kewajiban Mahesa Jenar dan Kanigara.
Untunglah bahwa di Karang Tumaritis, Mahesa Jenar atas tuntunan tidak langsung dari Kebo Kanigara, telah menemukan inti dari ilmunya, setelah ia berhasil ngraga sukma. Dengan demikian ia tidak perlu lagi gentar menghadapi Si Bongkok dari Gunung Cerme atau Harimau Liar dari Lodaya itu.
KEMAMPUAN Kebo Kanigara sendiri tak perlu diragukan lagi. Ia adalah saudara seperguruan ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh, bahkan ia memiliki kesegaran yang lebih muda dalam olah kanuragan. Sehingga beberapa orang mengatakan bahwa Kebo Kanigara mempunyai beberapa kelebihan dibanding ayahnya.
Pasukan berobor itu kemudian berhenti tidak seberapa jauh dari Gedangan. Agaknya mereka menunggu sampai fajar menyingsing.
Demikianlah ketika matahari telah menjenguk dari balik cakrawala. Bersiaplah kedua pasukan yang sudah saling berhadapan itu. Meskipun demikian, agaknya Sawung Sariti ingin menunjukkan kebaikan hatinya. Dengan panji-panji putih yang tersangkut pada tunggul yang masih tersawung, ia dengan beberapa orang datang mendekati laskar Gedangan. Wajahnya yang cerah membayangkan suatu keyakinan atas kekuatan diri.
Melihat wajah itu Mahesa Jenar menjadi bersedih hati. Matanya membayangkan kecerdasan otaknya, sedang langkahnya tetap menunjukkan bahwa Sawung Sariti adalah seorang anak yang berani. Apalagi dibawah asuhan seorang sakti yang bernama Ki Ageng Sora Dipayana. Sayang bahwa di dalam dadanya tersembunyi beberapa titik-titik hitam yang mengotori kebesaran pribadinya.
Di belakangnya berjalan dua orang pengawalnya. Seorang yang bertubuh tinggi agak kurus. Mukanya runcing bermata sipit. Dengan alis yang tebal hampir bertemu pangkalnya. Sedang yang seorang lagi bertubuh besar kekar.
Meskipun ia tidak setinggi orang yang pertama, namun ia termasuk seorang yang tinggi pula. Matanya tajam memandang ke depan, seperti mata burung hantu. Di pinggang kedua orang itu tergantung masing-masing sebuah pedang panjang, sedang di lambung yang sebelah terselip pisau-pisau belati pendek.
Mahesa Jenar-lah yang kemudian melangkah ke depan, menerima kedatangan Sawung Sariti, yang ketika itu telah berdiri berhadapan, dengan hormatnya anak muda itu membungkukkan badannya. Mahesa Jenarpun kemudian membalas membungkukkan badan pula.
Quote:
“Paman Mahesa Jenar…” Sawung Sariti memulai,
“Maafkanlah kalau beberapa bulan yang lewat aku tidak mengenal Paman.”
“Ah, tak apalah,”jawab Mahesa Jenar.
Kemudian Sawung Sariti meneruskan,
“Kedatanganku sebenarnya tidaklah bermaksud jahat. Meskipun Paman beserta Eyang Wanamerta telah melukai salah seorang pesuruhku, namun aku dapat memaafkan kesalahan kalian berdua.”
Mendengar perkataan itu Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sejak pertemuannya yang pertama, ia telah menyesali kesombongan anak itu.
“Maksud kedatangan kami…” Sawung Sariti meneruskan,
“Sekadar untuk memenuhi permintaan Eyang Sora Dipayana. Demikian rindunya Eyang Sora Dipayana kepada Kakang Arya Salaka, sehingga aku terpaksa mencarinya untuk membawanya menghadap.”
Mahesa Jenar tersenyum pahit, sepahit hatinya melihat kenyataan yang tidak menyenangkan itu. Kemudian jawabnya dengan tenang,
“Baiklah Sawung Sariti, biarlah besok atau lusa Arya Salaka segera menghadap. Ia pun telah merasa sangat rindu kepada pepundennya.”
“Maafkanlah kalau beberapa bulan yang lewat aku tidak mengenal Paman.”
“Ah, tak apalah,”jawab Mahesa Jenar.
Kemudian Sawung Sariti meneruskan,
“Kedatanganku sebenarnya tidaklah bermaksud jahat. Meskipun Paman beserta Eyang Wanamerta telah melukai salah seorang pesuruhku, namun aku dapat memaafkan kesalahan kalian berdua.”
Mendengar perkataan itu Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sejak pertemuannya yang pertama, ia telah menyesali kesombongan anak itu.
“Maksud kedatangan kami…” Sawung Sariti meneruskan,
“Sekadar untuk memenuhi permintaan Eyang Sora Dipayana. Demikian rindunya Eyang Sora Dipayana kepada Kakang Arya Salaka, sehingga aku terpaksa mencarinya untuk membawanya menghadap.”
Mahesa Jenar tersenyum pahit, sepahit hatinya melihat kenyataan yang tidak menyenangkan itu. Kemudian jawabnya dengan tenang,
“Baiklah Sawung Sariti, biarlah besok atau lusa Arya Salaka segera menghadap. Ia pun telah merasa sangat rindu kepada pepundennya.”
Sawung Sariti mengangguk-angguk kecil. Agaknya Mahesa Jenar bukan orang yang dapat diperolok-olok. Meskipun demikian ia berkata meneruskan,
“Kenapa besok? Bukankah sekarang ini Kakang Arya Salaka tidak sedang berhalangan, Paman…? Mumpung hari masih pagi, biarlah Kakang Arya kita bawa menghadap. Syukurlah kalau Paman sudi ikut serta dengan kami.”
Quote:
“Sayang…” jawab Mahesa Jenar,
“Barangkali Arya keberatan. Ia lebih senang melihat barisan segelar sepapan yang sedang mengadakan latihan pendakian dan penyusupan di daerah bukit-bukit sekitar Gedangan ini, daripada tergesa-gesa membuat perjalanan ke Banyubiru.”
“Barangkali Arya keberatan. Ia lebih senang melihat barisan segelar sepapan yang sedang mengadakan latihan pendakian dan penyusupan di daerah bukit-bukit sekitar Gedangan ini, daripada tergesa-gesa membuat perjalanan ke Banyubiru.”
Dada Sawung Sariti berdebar karenannya. Ternyata bahwa Mahesa Jenar bukan sejenis orang-orang bodoh yang menjadi kebingungan berhadapan dengan putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit itu.
Karena itu Sawung Sariti kemudian berkata, namun sudah tidak setenang semula,
Quote:
“Sayang…. Tetapi Eyang berkehendak demikian.”
Kembali Mahesa Jenar tersenyum pahit. Sebenarnya ia merasa tersinggung atas sikap Sawung Sariti yang menganggapnya sebagai seorang yang sedemikian bodohnya. Sebaliknya, Sawung Sariti pun menjadi kisruh.
Semula ia ingin memutarbalikkan perkataan-perkataannya untuk mempermainkan Mahesa Jenar. Namun akhirnya ternyata ia sendiri yang menjadi gelisah oleh jawaban-jawaban Mahesa Jenar yang sama sekali tak diduga-duga itu.
Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar menjawab,
Quote:
“Anakmas Sawung Sariti tidak perlu tergesa-gesa. Aku ingin mempersilakan Anakmas untuk beristirahat barang sehari dua hari di pedukuhan ini untuk menikmati cerahnya matahari di lembah terpencil ini.”
Ternyata kemudian Sawung Sariti sudah tidak dapat lagi mengendalikan perkataannya.
“Aku tidak punya waktu. Aku ingin membawa Kakang Arya Salaka sekarang juga.”
Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia menjadi agak geli melihat anak yang sombong itu nampak jengkel.
Maka jawabnya,
“Tidak baik kau memaksanya, Sawung Sariti.”
“Baik atau tidak baik aku tidak peduli,” bentak Sawung Sariti.
“Demikiankah yang diperintahkan eyangmu…?” tanya Mahesa Jenar.
Ternyata kemudian Sawung Sariti sudah tidak dapat lagi mengendalikan perkataannya.
“Aku tidak punya waktu. Aku ingin membawa Kakang Arya Salaka sekarang juga.”
Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia menjadi agak geli melihat anak yang sombong itu nampak jengkel.
Maka jawabnya,
“Tidak baik kau memaksanya, Sawung Sariti.”
“Baik atau tidak baik aku tidak peduli,” bentak Sawung Sariti.
“Demikiankah yang diperintahkan eyangmu…?” tanya Mahesa Jenar.
Sawung Sariti yang tidak menduga mendapat pertanyaan yang demikian, menjadi kebingungan. Beberapa saat kemudian barulah ia menjawab sekenanya,
Quote:
“Aku tidak peduli apakah Eyang setuju dengan caraku ini atau tidak. Hal itu terserah kepadaku.”
“Karena itu kau bawa pasukanmu bersama-sama dengan laskar dari Gunung Tidar…?” sahut Mahesa Jenar.
“Karena itu kau bawa pasukanmu bersama-sama dengan laskar dari Gunung Tidar…?” sahut Mahesa Jenar.
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas