- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#315
Jilid 10 [Part 224]
Spoiler for :
SEKALI lagi dada Mahesa Jenar berdesir. Lebur Sekethi adalah kesaktian yang luar biasa dahsyatnya. Aji itu dapat disejajarkan dengan aji Cundha Manik dari Perguruan Pandan Alas, Sasra Birawa dari Perguruan Pengging. Karena itu Ki Ageng Lembu Sora yang memiliki kekuatan melampaui manusia biasa dengan pedangnya yang tidak berukuran lumrah pasti akan menjadi seorang yang luar biasa pula.
Juga anaknya yang cerdik itu, pasti akan menjadi anak yang sangat berbahaya.
Mahesa Jenar kemudian menjadi menyesal pada keadaan, sehingga Ki Ageng Sora Dipayana dapat terseret dalam keadaan yang pasti tidak dikehendaki sendiri. Tetapi kemudian diingatnya bahwa orang tua itu sendiri berkata kepadanya, bahwa Lembu Sora adalah anak kesayangan istrinya. Tidak mustahil kalau karena keadaan itu Lembu Sora dapat memanfaatkannya dengan baik.
Mendengar kata-kata terakhir itu, tiba-tiba Arya meloncat maju. Sambil berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kuat, anak itu menengadahkan wajahnya yang keras penuh gelora yang terlontar dari dadanya. Ia menjadi demikian marahnya sampai tubuhnya seperti orang kedinginan. Kemudian ia berkata dengan suara gemetar,
Semua yang menyaksikan tingkah laku Arya Salaka itu dadanya menjadi bergetar. Agaknya dalam dada anak itu benar-benar mengalir darah kepemimpinan yang kuat dengan penuh rasa tanggung jawab, meskipun masih dipengaruhi oleh masa remajanya yang melonjak-lonjak. Lebih – lebih Wanamerta. Sekali lagi hatinya dirangsang oleh perasaan haru yang mendalam, sehingga kembali matanya tampak mengaca. Tetapi ia adalah seorang yang telah banyak merasakan pahit manisnya kehidupan. Juga dialah yang paling mengetahui keadaan Banyubiru yang sebenarnya.
Karena itu dengan sabarnya Wanamerta mencoba menenangkan hati Arya Salaka.
Arya kemudian menjadi tersadar dari gelora hatinya, sehingga ditundukannya wajahnya. Ia kemudian menjadi agak malu kepada dirinya sendiri, yang seolah-olah menjadi seorang perkasa yang tak terlawan. Sedang di dekatnya duduk orang-orang seperti gurunya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan yang lain.
Kemudian bahkan keadaan menjadi hening. Yang terdengar hanyalah angin pegunungan yang berdesir di dedaunan. Udara malam yang dingin terasa mengusap tubuh. Sesaat kemudian barulah Wanamerta mulai berbicara kembali,
Mahesa Jenar sekali lagi mengerutkan keningnya. Meskipun sebelum ia sampai ke Banyubiru beberapa tahun lalu tidak ada sangkut pautnya dengan tanah perdikan itu, namun sekarang tiba-tiba ia seakan-akan menjadi orang yang ikut bertanggungjawab. Tetapi ia tidak akan menyingkirkan diri dari kepercayaan Wanamerta kepadanya. Juga ia sendiri pernah menyatakan kesanggupannya untuk membantu segala kesulitan yang mungkin timbul atas tanah perdikan itu kepada Gajah Sora. Tentang Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar menduga pastilah ada sebab-sebab lain kenapa orang tua itu berbuat demikian.
Sementara itu kembali terdengar Wanamerta meneruskan,
MAHESA Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. beberapa saat kemudian ia menjawab seperti orang bergumam kepada diri sendiri,
Masalahnya ternyata akan menjadi luas. Menyangkut daerah Gedangan dan sekaligus padepokan yang damai ini. Beberapa saat yang lalu, daerah yang seolah-olah tidak pernah tersentuh tangan – tangan dari luar padepokan ini telah dikacaukan oleh kedatangan gerombolan orang-orang Sima Rodra untuk mencarinya, sekarang agaknya akan mengalami keributan sekali lagi.
Apalagi ketika kemudian terdengar Wiradapa berkata,
Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya keadaan itu. Karena itu ia harus menemukan suatu cara untuk mengatasi keadaan.
Tiba-tiba bertanyalah ia kepada Wanamerta,
Kembali suasana dicekam oleh kesepian. Masing-masing dengan angan-angannya sendiri. Kebo Kanigara yang sejak tadi berdiam diri, nampak juga berpikir. Sebab ia pun akhirnya akan langsung berkepentingan seandainya pasukan Sawung Sariti tiba.
Panembahan Ismaya sama sekali tidak menghendaki kekerasan. Namun apakah ia akan tinggal diam seandainya sekali lagi ada orang lain yang ingin merusakkan kedamaian bukit ini.
Sedang Mahesa Jenar ternyata kemudian tidak pula dapat meningggalkan Kebo Kanigara. Sebab dalam anggapannya, sepeninggal gurunya, maka Kebo Kanigara yang dijumpainya kemudian itu, dapat dianggap sebagai gantinya, meskipun umurnya jauh dibawah umur gurunya.
Karena itu maka kemudian terdengar Mahesa Jenar berkata,
Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya mereka sependapat bahwa kemungkinan untuk mempergunakan laskar Gedangan tidak dapat dihindari lagi.
Tetapi diantara mereka tampaklah Arya Salaka menundukkan kepalanya. Didalam hatinya melilitlah suatu perasaan sesal yang dalam. Ia menyesal pada keadaannya yang kurang baik. Ia menyesal pada keadaan keluarganya. Satu-satunya pamannya yang seharusnya memberi pengayoman kepadanya, justru telah mengkhianatinya.
Dalam pada itu malam menjadi semakin dalam. Bintang-bintang di langit berkedipan dengan lelahnya. Embun malam satu-satu mulai menggantung di dedaunan.
Sesaat kemudian dipersilahkanlah tamu-tamu itu untuk beristirahat. Sedang di ruang itu kemudian tinggallah Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Namun pembicaraan mereka masih belum berkisar sama sekali dari masalah pasukan-pasukan Pamingit yang bakal datang.
Juga anaknya yang cerdik itu, pasti akan menjadi anak yang sangat berbahaya.
Mahesa Jenar kemudian menjadi menyesal pada keadaan, sehingga Ki Ageng Sora Dipayana dapat terseret dalam keadaan yang pasti tidak dikehendaki sendiri. Tetapi kemudian diingatnya bahwa orang tua itu sendiri berkata kepadanya, bahwa Lembu Sora adalah anak kesayangan istrinya. Tidak mustahil kalau karena keadaan itu Lembu Sora dapat memanfaatkannya dengan baik.
Quote:
“Agaknya…” lanjut Wanamerta,
“Kakang Sora Dipayana lebih percaya kepada cerita Lembu Sora bahwa Anakmas Gajah Sora telah tidak ada lagi. Dengan licinnya ia berpura-pura mengutus seseorang ke Demak untuk mendapat berita kematiannya. Sebab dalam perjalanan ke Demak, pada saat Anakmas Gajah Sora ditangkap, Laskar Banyubiru telah mengadakan suatu serangan secara tiba-tiba.”
“Suatu cerita atas kebohongan yang maha besar,” sahut Mahesa Jenar,
“Sebab aku menyaksikan semuanya itu. Bahkan aku tahu pasti bahwa yang menyerang pasukan Demak adalah orang-orang Lembu Sora sendiri.”
Mendengar bantahan Mahesa Jenar itu, Wanamerta tersenyum. Lalu katanya,
“Kami, Laskar Banyubiru, mengetahui kebohongan itu. Sebab andaikata apa yang dikatakan itu benar, kamilah orang-orangnya yang disebutnya Laskar Banyubiru, atau setidak-tidaknya aku mengetahui orang-orang itu.”
“Tidakkah Paman Wanamerta mengatakan hal itu kepada Paman Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku sudah mencobanya,” jawab Wanamerta.
“Tetapi agaknya keteranganku itu diragukan. Bahkan beberapa saat kemudian Ki Ageng Lembu Sora mulai bertindak memperkokoh kedudukannya di Banyubiru. Beberapa orang telah disingkirkan. Sawungrana sebagai kau ketahui telah dibinasakan. Sebelum itu Pandan Kuning telah dilenyapkan pula.”
“Paman Pandan Kuning…?” potong Arya Salaka hampir berteriak.
Wanamerta mengangguk kosong. Wajahnya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis umur menjadi semakin berkerut-kerut.
“Ya, Pandan Kuning hilang beberapa saat sebelum Sawungrana. Kemudian datang giliran Bantara dan Panjawi,” tegasnya.
“Juga kedua paman itu…?” kembali Arya berteriak.
“Untunglah bahwa kedua orang itu sempat mempertahankan dirinya, meskipun kemudian harus meninggalkan Banyubiru,” lanjut Wanamerta.
“Kakang Sora Dipayana lebih percaya kepada cerita Lembu Sora bahwa Anakmas Gajah Sora telah tidak ada lagi. Dengan licinnya ia berpura-pura mengutus seseorang ke Demak untuk mendapat berita kematiannya. Sebab dalam perjalanan ke Demak, pada saat Anakmas Gajah Sora ditangkap, Laskar Banyubiru telah mengadakan suatu serangan secara tiba-tiba.”
“Suatu cerita atas kebohongan yang maha besar,” sahut Mahesa Jenar,
“Sebab aku menyaksikan semuanya itu. Bahkan aku tahu pasti bahwa yang menyerang pasukan Demak adalah orang-orang Lembu Sora sendiri.”
Mendengar bantahan Mahesa Jenar itu, Wanamerta tersenyum. Lalu katanya,
“Kami, Laskar Banyubiru, mengetahui kebohongan itu. Sebab andaikata apa yang dikatakan itu benar, kamilah orang-orangnya yang disebutnya Laskar Banyubiru, atau setidak-tidaknya aku mengetahui orang-orang itu.”
“Tidakkah Paman Wanamerta mengatakan hal itu kepada Paman Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku sudah mencobanya,” jawab Wanamerta.
“Tetapi agaknya keteranganku itu diragukan. Bahkan beberapa saat kemudian Ki Ageng Lembu Sora mulai bertindak memperkokoh kedudukannya di Banyubiru. Beberapa orang telah disingkirkan. Sawungrana sebagai kau ketahui telah dibinasakan. Sebelum itu Pandan Kuning telah dilenyapkan pula.”
“Paman Pandan Kuning…?” potong Arya Salaka hampir berteriak.
Wanamerta mengangguk kosong. Wajahnya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis umur menjadi semakin berkerut-kerut.
“Ya, Pandan Kuning hilang beberapa saat sebelum Sawungrana. Kemudian datang giliran Bantara dan Panjawi,” tegasnya.
“Juga kedua paman itu…?” kembali Arya berteriak.
“Untunglah bahwa kedua orang itu sempat mempertahankan dirinya, meskipun kemudian harus meninggalkan Banyubiru,” lanjut Wanamerta.
Mendengar kata-kata terakhir itu, tiba-tiba Arya meloncat maju. Sambil berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kuat, anak itu menengadahkan wajahnya yang keras penuh gelora yang terlontar dari dadanya. Ia menjadi demikian marahnya sampai tubuhnya seperti orang kedinginan. Kemudian ia berkata dengan suara gemetar,
Quote:
“Tidakkah seorang pun dapat mencegah perbuatan itu…? Eyang Wanamerta, aku tidak akan menunggu sampai mereka datang mencari aku. Aku yang akan datang ke Banyubiru. Aku yakin bahwa sebagian besar dari penduduk Banyubiru masih setia kepada ayah Gajah Sora. Aku akan datang atas nama pimpinan tanah Perdikan Banyubiru yang sebenarnya.”
Semua yang menyaksikan tingkah laku Arya Salaka itu dadanya menjadi bergetar. Agaknya dalam dada anak itu benar-benar mengalir darah kepemimpinan yang kuat dengan penuh rasa tanggung jawab, meskipun masih dipengaruhi oleh masa remajanya yang melonjak-lonjak. Lebih – lebih Wanamerta. Sekali lagi hatinya dirangsang oleh perasaan haru yang mendalam, sehingga kembali matanya tampak mengaca. Tetapi ia adalah seorang yang telah banyak merasakan pahit manisnya kehidupan. Juga dialah yang paling mengetahui keadaan Banyubiru yang sebenarnya.
Karena itu dengan sabarnya Wanamerta mencoba menenangkan hati Arya Salaka.
Quote:
“Duduklah cucuku Arya Salaka. Kau benar-benar seperti ayahmu pada saat-saat seumur kau ini. Tetapi dalam segala tindakan haruslah dipikirkan sampai titik-titik yang sekecil-kecilnya, untung dan ruginya.”
Arya kemudian menjadi tersadar dari gelora hatinya, sehingga ditundukannya wajahnya. Ia kemudian menjadi agak malu kepada dirinya sendiri, yang seolah-olah menjadi seorang perkasa yang tak terlawan. Sedang di dekatnya duduk orang-orang seperti gurunya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan yang lain.
Kemudian bahkan keadaan menjadi hening. Yang terdengar hanyalah angin pegunungan yang berdesir di dedaunan. Udara malam yang dingin terasa mengusap tubuh. Sesaat kemudian barulah Wanamerta mulai berbicara kembali,
Quote:
“Anakmas Mahesa Jenar… terserahlah atas segala pertimbangan Anakmas. Apakah yang sebaiknya kita lakukan.”
Mahesa Jenar sekali lagi mengerutkan keningnya. Meskipun sebelum ia sampai ke Banyubiru beberapa tahun lalu tidak ada sangkut pautnya dengan tanah perdikan itu, namun sekarang tiba-tiba ia seakan-akan menjadi orang yang ikut bertanggungjawab. Tetapi ia tidak akan menyingkirkan diri dari kepercayaan Wanamerta kepadanya. Juga ia sendiri pernah menyatakan kesanggupannya untuk membantu segala kesulitan yang mungkin timbul atas tanah perdikan itu kepada Gajah Sora. Tentang Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar menduga pastilah ada sebab-sebab lain kenapa orang tua itu berbuat demikian.
Sementara itu kembali terdengar Wanamerta meneruskan,
Quote:
“Kelakuan Anakmas Lembu Sora tidak berhenti sampai sekian. Yang terakhir adalah usahanya untuk menyingkirkan aku pula. Tetapi agaknya ia menemui kesulitan sehingga rencana itu tertunda-tunda. Sedang aku sendiri sempat pula berusaha untuk menjaga diriku. Sampai kemudian aku mendengar khabar akan usahanya untuk mencari kembali Anakmas Mahesa Jenar dan cucuku Arya Salaka. Demikianlah, Anakmas, keadaan Banyubiru. Sedemikian rumitnya sehingga aku tidak sabar menunggu sampai besok.”
MAHESA Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. beberapa saat kemudian ia menjawab seperti orang bergumam kepada diri sendiri,
Quote:
“Tetapi agaknya mereka tidak akan ke Gedangan. Sebab Sima Rodra itu tahu pasti bahwa aku dan Arya Salaka telah meninggalkan pedukuhan itu. Bahkan merekapun telah pernah mengepung bukit kecil ini.”
“Tetapi mereka tidak menemukan Anakmas di sini,” sahut Wanamerta.
“Aku telah mendengar hal itu pula. Namun agaknya Anakmas Sawung Sariti masih menduga bahwa Anakmas dan Cucu Arya berada di sekitar Gedangan dan Karang Tumaritis.”
“Tetapi mereka tidak menemukan Anakmas di sini,” sahut Wanamerta.
“Aku telah mendengar hal itu pula. Namun agaknya Anakmas Sawung Sariti masih menduga bahwa Anakmas dan Cucu Arya berada di sekitar Gedangan dan Karang Tumaritis.”
Masalahnya ternyata akan menjadi luas. Menyangkut daerah Gedangan dan sekaligus padepokan yang damai ini. Beberapa saat yang lalu, daerah yang seolah-olah tidak pernah tersentuh tangan – tangan dari luar padepokan ini telah dikacaukan oleh kedatangan gerombolan orang-orang Sima Rodra untuk mencarinya, sekarang agaknya akan mengalami keributan sekali lagi.
Apalagi ketika kemudian terdengar Wiradapa berkata,
Quote:
“Adimas Mahesa Jenar, agaknya aku tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan hidup mati rakyatku kepada Adimas. Sebab aku tahu apa yang akan terjadi seandainya kami, orang-orang Gedangan sendiri yang harus mempertahankan diri atas dendam Sawung Sariti yang menemui kegagalan di desa kami, dan sekaligus dendam yang tersimpan di dada Janda Sima Rodra atas kematian suaminya.”
Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya keadaan itu. Karena itu ia harus menemukan suatu cara untuk mengatasi keadaan.
Tiba-tiba bertanyalah ia kepada Wanamerta,
Quote:
“Paman…, di manakah Bantaran dan Panjawi sekarang?”
“Aku sudah mencoba untuk menghubungi,” jawabnya.
Mahesa Jenar menjadi semakin tertarik pada keterangan itu, katanya,
“Apakah Paman berhasil…?”
Wanamerta menggelengkan kepalanya, jawabnya,
“Sayang…, tidak. Tetapi setidak-tidaknya aku pernah mendengar kabar tentang kedua orang itu. Agaknya mereka telah berhasil menyusun barisan meskipun masih terlalu lemah. Bahkan diantara mereka ada beberapa orang yang belum kami kenal, yang datang dari daerah Candi Jonggrang. Ia menggabungkan dirinya karena ia sudah mengenal beberapa hal mengenai keadaan Banyubiru.”
“Siapa orang itu…?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku belum tahu pasti,” jawab Wanamerta.
“Menurut pendengaran diantaranya bernama Mantingan dan Wirasaba.”
“Mantingan dan Wirasaba…?” ulang Mahesa Jenar hampir berteriak.
Wanamerta mengangguk. Namun ia menjadi keheranan. Agaknya Mahesa Jenar pernah mendengar nama-nama itu. Karena itu ia bertanya,
“Adakah Anakmas pernah mengenal mereka?”
Mahesa Jenar mengangguk lemah. Jawabnya,
“Ya, aku pernah mengenal mereka. Mantingan memang pernah datang ke daerah Banyubiru. Ia tahu mengenai persoalan Arya. Aku pernah mengatakan kepadanya.”
“Syukurlah,” gumam Wanamerta,
“Ada juga kawan-kawan yang akan membantu kami.”
“Aku sudah mencoba untuk menghubungi,” jawabnya.
Mahesa Jenar menjadi semakin tertarik pada keterangan itu, katanya,
“Apakah Paman berhasil…?”
Wanamerta menggelengkan kepalanya, jawabnya,
“Sayang…, tidak. Tetapi setidak-tidaknya aku pernah mendengar kabar tentang kedua orang itu. Agaknya mereka telah berhasil menyusun barisan meskipun masih terlalu lemah. Bahkan diantara mereka ada beberapa orang yang belum kami kenal, yang datang dari daerah Candi Jonggrang. Ia menggabungkan dirinya karena ia sudah mengenal beberapa hal mengenai keadaan Banyubiru.”
“Siapa orang itu…?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku belum tahu pasti,” jawab Wanamerta.
“Menurut pendengaran diantaranya bernama Mantingan dan Wirasaba.”
“Mantingan dan Wirasaba…?” ulang Mahesa Jenar hampir berteriak.
Wanamerta mengangguk. Namun ia menjadi keheranan. Agaknya Mahesa Jenar pernah mendengar nama-nama itu. Karena itu ia bertanya,
“Adakah Anakmas pernah mengenal mereka?”
Mahesa Jenar mengangguk lemah. Jawabnya,
“Ya, aku pernah mengenal mereka. Mantingan memang pernah datang ke daerah Banyubiru. Ia tahu mengenai persoalan Arya. Aku pernah mengatakan kepadanya.”
“Syukurlah,” gumam Wanamerta,
“Ada juga kawan-kawan yang akan membantu kami.”
Kembali suasana dicekam oleh kesepian. Masing-masing dengan angan-angannya sendiri. Kebo Kanigara yang sejak tadi berdiam diri, nampak juga berpikir. Sebab ia pun akhirnya akan langsung berkepentingan seandainya pasukan Sawung Sariti tiba.
Panembahan Ismaya sama sekali tidak menghendaki kekerasan. Namun apakah ia akan tinggal diam seandainya sekali lagi ada orang lain yang ingin merusakkan kedamaian bukit ini.
Sedang Mahesa Jenar ternyata kemudian tidak pula dapat meningggalkan Kebo Kanigara. Sebab dalam anggapannya, sepeninggal gurunya, maka Kebo Kanigara yang dijumpainya kemudian itu, dapat dianggap sebagai gantinya, meskipun umurnya jauh dibawah umur gurunya.
Karena itu maka kemudian terdengar Mahesa Jenar berkata,
Quote:
“Bagaimana sebaiknya Kakang Kanigara…?”
“Kapankah kira-kira Sawung Sariti akan membawa orang-orangnya…?” ia bertanya langsung kepada Wanamerta.
“Segera Anakmas,” jawab Wanamerta,
“Pada saat aku berangkat, semua persiapan sudah selesai.”
Kanigara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Mereka datang dengan pasukan, Mahesa Jenar. Kau tidak akan dapat melawannya seorang diri, atau bersama-sama dengan dua tiga orang saja.”
“Ya,” sahut Mahesa Jenar,
“Aku juga harus melawannya dengan pasukan.”
Tiba-tiba menyelalah Lurah Gedangan,
“Adimas Mahesa Jenar, meskipun sedikit ada juga laskar di Gedangan. Apabila mereka berada dalam pimpinan yang kuat, aku kira mereka tidak akan terlalu mengecewakan. Bagaimanapun juga mereka akan menyerahkan dirinya untuk mempertahankan kampung halamannya.”
“Kapankah kira-kira Sawung Sariti akan membawa orang-orangnya…?” ia bertanya langsung kepada Wanamerta.
“Segera Anakmas,” jawab Wanamerta,
“Pada saat aku berangkat, semua persiapan sudah selesai.”
Kanigara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Mereka datang dengan pasukan, Mahesa Jenar. Kau tidak akan dapat melawannya seorang diri, atau bersama-sama dengan dua tiga orang saja.”
“Ya,” sahut Mahesa Jenar,
“Aku juga harus melawannya dengan pasukan.”
Tiba-tiba menyelalah Lurah Gedangan,
“Adimas Mahesa Jenar, meskipun sedikit ada juga laskar di Gedangan. Apabila mereka berada dalam pimpinan yang kuat, aku kira mereka tidak akan terlalu mengecewakan. Bagaimanapun juga mereka akan menyerahkan dirinya untuk mempertahankan kampung halamannya.”
Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya mereka sependapat bahwa kemungkinan untuk mempergunakan laskar Gedangan tidak dapat dihindari lagi.
Tetapi diantara mereka tampaklah Arya Salaka menundukkan kepalanya. Didalam hatinya melilitlah suatu perasaan sesal yang dalam. Ia menyesal pada keadaannya yang kurang baik. Ia menyesal pada keadaan keluarganya. Satu-satunya pamannya yang seharusnya memberi pengayoman kepadanya, justru telah mengkhianatinya.
Dalam pada itu malam menjadi semakin dalam. Bintang-bintang di langit berkedipan dengan lelahnya. Embun malam satu-satu mulai menggantung di dedaunan.
Sesaat kemudian dipersilahkanlah tamu-tamu itu untuk beristirahat. Sedang di ruang itu kemudian tinggallah Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Namun pembicaraan mereka masih belum berkisar sama sekali dari masalah pasukan-pasukan Pamingit yang bakal datang.
Quote:
“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara,
“Kau adalah seorang bekas prajurit yang mumpuni. Aku kira dalam hal ini kau lebih berpengalaman daripadaku. Karena itu, aku minta kau mengusahakan agar apa yang akan terjadi nanti tidak mengganggu ketenteraman hidup di atas bukit kecil ini.”
“Kau adalah seorang bekas prajurit yang mumpuni. Aku kira dalam hal ini kau lebih berpengalaman daripadaku. Karena itu, aku minta kau mengusahakan agar apa yang akan terjadi nanti tidak mengganggu ketenteraman hidup di atas bukit kecil ini.”
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas