- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#313
Jilid 10 [Part 222]
Spoiler for :
KI AGENG Pandan Alas masih tetap tinggal di padepokan untuk menunggui muridnya yang sedang sakit. Namun semakin hari tampaklah bahwa luka-luka Sarayuda menjadi semakin baik berkat perawatan yang seksama dari Panembahan Ismaya.
Sejalan dengan itu, dengan perkembangan kesehatan Sarayuda, Mahesa Jenar pun bertambah gelisah. Sikapnya menjadi bertambah kaku terhadap Ki Ageng Pandan Alas. Ada sesuatu yang tersimpan di dalam dadanya, namun agak sulit baginya untuk menyampaikannya kepada orang tua itu. Meskipun ia insaf bahwa apabila Sarayuda telah sembuh, meskipun belum pulih benar, pastilah Ki Ageng Pandan Alas akan meninggalkan padepokan itu.
Hal itu akhirnya terjadi juga. Pada suatu hari Ki Ageng Pandan Alas menyatakan bahwa kini Sarayuda telah sehat. Ia telah mampu untuk menempuh perjalanan pulang ke Gunung Kidul bersama Ki Ageng. Bahkan karena perawatan yang baik, maka Sarayuda telah benar-benar hampir pulih kembali.
Dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar tidak dapat menunda-nunda lagi. Bagaimanapun sulitnya, ia terpaksa menuangkan segala masalah yang selama ini tersimpan di dalam dadanya, kepada orang tua itu. Masalah yang tidak dapat dipersoalkan dengan orang lain.
Maka kemudian Mahesa Jenar memerlukan untuk mendapatkan waktu, menemui orang tua itu seorang diri. Dan dengan kaku ia menyampaikan persoalan antara dirinya dengan cucu Ki Ageng Pandan Alas, yang bernama Rara Wilis.
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas itu, Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepala. Ia pun telah menduga sebelumnya bahwa jalan yang akan ditempuhnya telah rata.
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukan kepala. Sekali lagi ia mengagumi ketetapan hati Mahesa Jenar atas beban yang telah diletakkan di pundaknya. Meskipun tak seorang pun dari Istana yang mungkin tahu akan perjuangannya, namun ia sama sekali tidak peduli.
Bagi Mahesa Jenar, yang penting bukanlah pujian atau perhatian orang lain atas kerja yang telah dilakukan. Tetapi benar-benar suatu pengabdian terhadap cita-cita. Ia sama sekali tidak mengharapkan bahwa kalangan Istana akan menyatakan terimakasih atas usahanya itu, apalagi mengharapkan hadiah dan penghormatan.
Karena itu Ki Ageng Pandan Alas menjawab,
Mahesa Jenar tidak menjawab, namun wajahnya menjadi kemerah-merahan. Apalagi ketika Ki Ageng Pandan Alas kemudian meneruskan,
Ki Pandan Alas tersenyum cerah. Sebagai seorang kakek yang sudah tua, ia merasa berbahagia ketika ia mengetahui bahwa cucunya telah mendapat sangkutan yang kuat, yang memiliki segala macam sifat manusia idaman. Lebih dari itu, Rara Wilis adalah satu-satunya orang di dunia ini yang akan melanjutkan aliran darah Ki Ageng Pandan Alas.
Setelah Ki Ageng Pandan Alas memberikan berbagai pesan, kemudian sampailah waktunya masa perpisahan. Ki Ageng dan Sarayuda yang telah hampir sembuh benar dari penyakitnya, pergi meninggalkan bukit itu, untuk menempuh perjalanan kembali ke Gunung Kidul.
Sepeninggal mereka, padepokan di atas bukit kecil itu mengalami kehidupan seperti sediakala. Mahesa Jenar dan Arya Salaka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan suasana padepokan itu. Bahkan Arya Salaka beberapa waktu kemudian telah menjadi terampil dan cekatan mengganti pekerjaan Karang Tunggal. Juga Rara Wilis, meleburkan dirinya dalam kehidupan para endhang. Meskipun dalam saat-saat tertentu mereka memisahkan diri, untuk memperdalam ilmu kanuragan.
Dalam waktu-waktu luang, Arya Salaka masih selalu berlatih keras di bawah asuhan gurunya. Sekarang ia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa dalam sejarah perkembangan ilmunya ia pernah mengalami sisipan seorang guru lain, sebab Mahesa Jenar ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih dahsyat daripada yang diduga semula. Ia sama sekali tidak tahu bahwa di dalam goa itu juga gurunya menemukan inti dari segenap ilmu yang dipelajari sebelumnya.
Demikian pula agaknya Rara Wilis. Ketika ia melihat Mahesa Jenar dengan lincahnya menyambar dan membebaskan dirinya dari tangan Jaka Soka dan janda Sima Rodra, ia menjadi agak keheran-heranan. Bahkan waktu itu ia merasa agak aneh.
Kalau saja waktu itu dapat melihat dengan jelas dan orang yang membebaskannya itu tidak menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, mungkin ia akan menyangkanya orang lain.
Tetapi sekarang ia justru menjadi yakin kalau orang itu benar-benar Mahesa Jenar, setelah ia melihat perkembangan ilmunya yang luar biasa.
Tetapi yang sama sekali tak mereka duga adalah keadaan seorang gadis kecil yang bernama Widuri. Gadis yang nampaknya hanya dapat berlari-lari, tertawa dan kalau mencubit sakitnya bukan main, namun ternyata bahwa gadis itu adalah seorang gadis yang luar biasa pula, seperti saudara sepupunya, Karebet.
Hal ini ternyata pada suatu malam yang cerah, ketika Arya Salaka dengan tekunnya sedang melatih diri di bawah pengawasan gurunya, tiba-tiba datanglah Kanigara bersama anak gadisnya. Dan, dengan tidak terduga pula Kanigara berkata,
Mahesa Jenar mengangguk kaku. Ia sama sekali tidak menduga bahwa gadis kecil itu memiliki ilmu yang cukup untuk berlatih bersama Arya Salaka. Namun demikian ia tidak bertanya apa-apa. Sebab ia yakin bahwa Kebo Kanigara pasti sudah dapat mengukurnya. Demikian pula Rara Wilis yang hadir menyaksikan, menjadi sibuk menduga-duga pula. Ketika ia melihat tingkat ilmu Arya Salaka, ia sudah menjadi keheranan. Anak itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian jauhnya.
Ketika Rara Wilis melihat anak itu bertempur dengan Janda Sima Rodra, dengan cara tikus-tikusan, ia sudah mengagumi kelincahannya. Tetapi sekarang anak itu sudah mencapai tingkat yang mungkin sejajar dengan dirinya. Dan sekarang ia akan melihat gadis kecil itu memperlihatkan kecakapannya melawan Arya Salaka.
Mula-mula Widuri menjadi agak malu. Ia tidak biasa berlatih di hadapan orang banyak. Yang biasa dilakukan adalah dengan ayahnya bersembunyi di dalam sebuah ruangan di dalam goa. Di sanalah ia berlatih keras untuk mencapai tingkatan yang sekarang.
Agaknya darah yang mengalir dalam tubuh Widuri memang sudah disediakan untuk menjadi orang yang perkasa, seperti saudara-saudara dari aliran darah Handayaningrat.
Apalagi Kanigara sebagai orang yang memiliki kesaktian tinggi, tidak mempunyai orang lain yang dapat menerima warisan kesaktiannya, kecuali seorang gadis. Karena itu, meskipun anaknya seorang gadis, namun dilatihnya sejak kecil, agar kemudian mewarisi ilmunya.
Demikianlah pada saat itu. Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Arya Salaka untuk pertama kalinya melihat bahwa Endhang kecil itu pun ternyata memiliki ilmu yang sudah dalam tingkatan yang tinggi.
Setelah Widuri mempersiapkan dirinya, maka segeralah latihan itu dimulai. Tentu saja mula-mula Arya Salaka menjadi agak segan. Tetapi ketika latihan itu sudah berjalan beberapa saat, ia benar-benar menjadi heran. Meskipun tidak terlalu kuat namun Endang Widuri memiliki kelincahan yang luar biasa, seperti yang selalu diperlihatkan kalau gadis itu sedang bergurau atau berlari-larian.
Kali ini segala geraknya itu diatur dengan rapi sehingga dengan demikian Widuri telah dapat mengejutkan beberapa orang yang menyaksikan. Maka latihan itu semakin lama menjadi semakin cepat.
Kalau Arya Salaka mula-mula hanya berusaha untuk melayani, akhirnya ia pun harus bekerja keras untuk sekali-sekali melakukan tekanan-tekanan pada kawan berlatihnya itu. Bahkan kemudian latihan itu menjadi semakin sengit, diluar dugaan.
Sejalan dengan itu, dengan perkembangan kesehatan Sarayuda, Mahesa Jenar pun bertambah gelisah. Sikapnya menjadi bertambah kaku terhadap Ki Ageng Pandan Alas. Ada sesuatu yang tersimpan di dalam dadanya, namun agak sulit baginya untuk menyampaikannya kepada orang tua itu. Meskipun ia insaf bahwa apabila Sarayuda telah sembuh, meskipun belum pulih benar, pastilah Ki Ageng Pandan Alas akan meninggalkan padepokan itu.
Hal itu akhirnya terjadi juga. Pada suatu hari Ki Ageng Pandan Alas menyatakan bahwa kini Sarayuda telah sehat. Ia telah mampu untuk menempuh perjalanan pulang ke Gunung Kidul bersama Ki Ageng. Bahkan karena perawatan yang baik, maka Sarayuda telah benar-benar hampir pulih kembali.
Dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar tidak dapat menunda-nunda lagi. Bagaimanapun sulitnya, ia terpaksa menuangkan segala masalah yang selama ini tersimpan di dalam dadanya, kepada orang tua itu. Masalah yang tidak dapat dipersoalkan dengan orang lain.
Maka kemudian Mahesa Jenar memerlukan untuk mendapatkan waktu, menemui orang tua itu seorang diri. Dan dengan kaku ia menyampaikan persoalan antara dirinya dengan cucu Ki Ageng Pandan Alas, yang bernama Rara Wilis.
Quote:
“Mahesa Jenar…” jawab Pandan Alas sambil tersenyum,
“Aku sudah mendengar semua itu dari Sarayuda. Sebenarnya bagiku tidak ada lagi masalah yang dapat mengganggu hubunganmu dengan Wilis. Kalau semula aku dibingungkan oleh kepentingan muridku, ternyata kini dengan ikhlas Sarayuda telah mengundurkan diri dari persoalan ini.”
“Aku sudah mendengar semua itu dari Sarayuda. Sebenarnya bagiku tidak ada lagi masalah yang dapat mengganggu hubunganmu dengan Wilis. Kalau semula aku dibingungkan oleh kepentingan muridku, ternyata kini dengan ikhlas Sarayuda telah mengundurkan diri dari persoalan ini.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas itu, Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepala. Ia pun telah menduga sebelumnya bahwa jalan yang akan ditempuhnya telah rata.
Quote:
“Seterusnya, Mahesa Jenar…” lanjut Ki Ageng Pandan Alas,
“Terserahlah kepadamu berdua. Jalan manakah yang akan kau tempuh. Sebab masa depanmu terletak di tanganmu.”
“Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar,
“Aku telah bersepakat dengan Rara Wilis, bahwa kami akan menempuh hidup bersama. Namun demikian, di hadapanku masih terbentang suatu kewajiban yang berat. Kewajiban yang memebutuhkan segenap tenaga serta pengetahuanku. Karena itu kami telah sama-sama menyetujui untuk menunda tali perkimpoian kami sampai kewajiban itu selesai, meskipun seandainya umur kami menjadi bertambah juga. Bahkan Wilis pun telah berjanji untuk ikut serta bekerja keras dalam penyelesaian kewajiban itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan kening. Tampaklah bahwa ia sedang berpikir. Kemudian jawabnya,
“Terserahlah kepadamu Mahesa Jenar. Kau telah cukup dewasa, bahkan terlalu dewasa untuk mengatur dirimu. Tetapi apakah kewajiban yang kau maksud itu berhubungan dengan kedua keris yang sekarang ini kau cari…?”
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya,
“Benar, Ki Ageng. Selama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten belum aku ketemukan, selama itu aku harus membelakangi kepentingan diri. sebab akibat dari penemuan pusaka itu akan besar sekali. Keteguhan Kerajaan Demak, dan sekaligus pembebasan ayah Arya Salaka.”
“Terserahlah kepadamu berdua. Jalan manakah yang akan kau tempuh. Sebab masa depanmu terletak di tanganmu.”
“Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar,
“Aku telah bersepakat dengan Rara Wilis, bahwa kami akan menempuh hidup bersama. Namun demikian, di hadapanku masih terbentang suatu kewajiban yang berat. Kewajiban yang memebutuhkan segenap tenaga serta pengetahuanku. Karena itu kami telah sama-sama menyetujui untuk menunda tali perkimpoian kami sampai kewajiban itu selesai, meskipun seandainya umur kami menjadi bertambah juga. Bahkan Wilis pun telah berjanji untuk ikut serta bekerja keras dalam penyelesaian kewajiban itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan kening. Tampaklah bahwa ia sedang berpikir. Kemudian jawabnya,
“Terserahlah kepadamu Mahesa Jenar. Kau telah cukup dewasa, bahkan terlalu dewasa untuk mengatur dirimu. Tetapi apakah kewajiban yang kau maksud itu berhubungan dengan kedua keris yang sekarang ini kau cari…?”
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya,
“Benar, Ki Ageng. Selama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten belum aku ketemukan, selama itu aku harus membelakangi kepentingan diri. sebab akibat dari penemuan pusaka itu akan besar sekali. Keteguhan Kerajaan Demak, dan sekaligus pembebasan ayah Arya Salaka.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukan kepala. Sekali lagi ia mengagumi ketetapan hati Mahesa Jenar atas beban yang telah diletakkan di pundaknya. Meskipun tak seorang pun dari Istana yang mungkin tahu akan perjuangannya, namun ia sama sekali tidak peduli.
Bagi Mahesa Jenar, yang penting bukanlah pujian atau perhatian orang lain atas kerja yang telah dilakukan. Tetapi benar-benar suatu pengabdian terhadap cita-cita. Ia sama sekali tidak mengharapkan bahwa kalangan Istana akan menyatakan terimakasih atas usahanya itu, apalagi mengharapkan hadiah dan penghormatan.
Karena itu Ki Ageng Pandan Alas menjawab,
Quote:
“Aku tahu pasti bahwa kau adalah seorang pejuang yang sepi ing pamrih. Karena itu tidak saja Wilis yang berjanji akan membantumu. Aku dan Sarayuda pasti akan ikut serta dalam perjuanganmu. Di sepanjang jalan pulang aku akan berusaha seperti apa yang kau usahakan.”
“Terimakasih Ki Ageng. Terimakasih atas segala kerelaan hati Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar.
“Nah, seterusnya terserah kepadamu. Tetapi aku ingin tahu, apakah Wilis akan pergi bersamaku ataukah ia akan bekerja bersamamu dalam usaha ini,” kata Ki Ageng Pandan Alas.
“Kalau Ki Ageng tidak keberatan,” lanjut Mahesa Jenar,
“Biarlah ia dalam pilihannya. Tinggal di bukit ini untuk seterusnya bersama aku dan Arya Salaka, meneruskan pekerjaan kami.”
Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya sambil tersenyum,
“Kalau yang minta ijin kepadaku ini seorang pemuda yang sedang menginjak dewasa, serta bermata liar seperti mata burung hantu, aku pasti tak mengijinkan, cucuku seorang gadis untuk tinggal di sini. Tetapi kepadamu aku harus mempunyai keputusan lain. Sebab kau bukan anak-anak yang hanya pandai mematut diri.”
“Terimakasih Ki Ageng. Terimakasih atas segala kerelaan hati Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar.
“Nah, seterusnya terserah kepadamu. Tetapi aku ingin tahu, apakah Wilis akan pergi bersamaku ataukah ia akan bekerja bersamamu dalam usaha ini,” kata Ki Ageng Pandan Alas.
“Kalau Ki Ageng tidak keberatan,” lanjut Mahesa Jenar,
“Biarlah ia dalam pilihannya. Tinggal di bukit ini untuk seterusnya bersama aku dan Arya Salaka, meneruskan pekerjaan kami.”
Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya sambil tersenyum,
“Kalau yang minta ijin kepadaku ini seorang pemuda yang sedang menginjak dewasa, serta bermata liar seperti mata burung hantu, aku pasti tak mengijinkan, cucuku seorang gadis untuk tinggal di sini. Tetapi kepadamu aku harus mempunyai keputusan lain. Sebab kau bukan anak-anak yang hanya pandai mematut diri.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, namun wajahnya menjadi kemerah-merahan. Apalagi ketika Ki Ageng Pandan Alas kemudian meneruskan,
Quote:
“Meskipun demikian aku titip kepadamu, jaga anak itu baik-baik.”
Akhirnya Mahesa Jenar menjawab,
“Akan aku jaga anak itu baik-baik seperti aku menjaga Arya Salaka, yang bahkan lebih dari diriku sendiri, meskipun aku mempunyai kepentingan berbeda atas kedua anak itu.”
Akhirnya Mahesa Jenar menjawab,
“Akan aku jaga anak itu baik-baik seperti aku menjaga Arya Salaka, yang bahkan lebih dari diriku sendiri, meskipun aku mempunyai kepentingan berbeda atas kedua anak itu.”
Ki Pandan Alas tersenyum cerah. Sebagai seorang kakek yang sudah tua, ia merasa berbahagia ketika ia mengetahui bahwa cucunya telah mendapat sangkutan yang kuat, yang memiliki segala macam sifat manusia idaman. Lebih dari itu, Rara Wilis adalah satu-satunya orang di dunia ini yang akan melanjutkan aliran darah Ki Ageng Pandan Alas.
Quote:
“Mahesa Jenar….”, lanjut Ki Ageng Pandan Alas,
“Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Kau akan dapat menjaga Wilis lahir dan batin. Sebagaimana kau ketahui, Wilis adalah seorang anak yatim piatu. Dan aku adalah satu-satunya orang yang berkepentingan atas dirinya, sebelum kau.”
Pandan Alas berhenti sejenak. Lalu sambungnya,
“Aku akan lebih berbahagia lagi dengan sebuah harapan bahwa aku akan mendapat seorang cicit yang akan menyambung saluran keluarga kami.”
Sekali lagi wajah Mahesa Jenar menjadi kemerah-merahan, namun sambil mengangguk ia menjawab,
“Mudah-mudahan demikianlah apa yang akan terjadi Ki Ageng.”
“Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Kau akan dapat menjaga Wilis lahir dan batin. Sebagaimana kau ketahui, Wilis adalah seorang anak yatim piatu. Dan aku adalah satu-satunya orang yang berkepentingan atas dirinya, sebelum kau.”
Pandan Alas berhenti sejenak. Lalu sambungnya,
“Aku akan lebih berbahagia lagi dengan sebuah harapan bahwa aku akan mendapat seorang cicit yang akan menyambung saluran keluarga kami.”
Sekali lagi wajah Mahesa Jenar menjadi kemerah-merahan, namun sambil mengangguk ia menjawab,
“Mudah-mudahan demikianlah apa yang akan terjadi Ki Ageng.”
Setelah Ki Ageng Pandan Alas memberikan berbagai pesan, kemudian sampailah waktunya masa perpisahan. Ki Ageng dan Sarayuda yang telah hampir sembuh benar dari penyakitnya, pergi meninggalkan bukit itu, untuk menempuh perjalanan kembali ke Gunung Kidul.
Sepeninggal mereka, padepokan di atas bukit kecil itu mengalami kehidupan seperti sediakala. Mahesa Jenar dan Arya Salaka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan suasana padepokan itu. Bahkan Arya Salaka beberapa waktu kemudian telah menjadi terampil dan cekatan mengganti pekerjaan Karang Tunggal. Juga Rara Wilis, meleburkan dirinya dalam kehidupan para endhang. Meskipun dalam saat-saat tertentu mereka memisahkan diri, untuk memperdalam ilmu kanuragan.
Dalam waktu-waktu luang, Arya Salaka masih selalu berlatih keras di bawah asuhan gurunya. Sekarang ia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa dalam sejarah perkembangan ilmunya ia pernah mengalami sisipan seorang guru lain, sebab Mahesa Jenar ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih dahsyat daripada yang diduga semula. Ia sama sekali tidak tahu bahwa di dalam goa itu juga gurunya menemukan inti dari segenap ilmu yang dipelajari sebelumnya.
Demikian pula agaknya Rara Wilis. Ketika ia melihat Mahesa Jenar dengan lincahnya menyambar dan membebaskan dirinya dari tangan Jaka Soka dan janda Sima Rodra, ia menjadi agak keheran-heranan. Bahkan waktu itu ia merasa agak aneh.
Kalau saja waktu itu dapat melihat dengan jelas dan orang yang membebaskannya itu tidak menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, mungkin ia akan menyangkanya orang lain.
Tetapi sekarang ia justru menjadi yakin kalau orang itu benar-benar Mahesa Jenar, setelah ia melihat perkembangan ilmunya yang luar biasa.
Tetapi yang sama sekali tak mereka duga adalah keadaan seorang gadis kecil yang bernama Widuri. Gadis yang nampaknya hanya dapat berlari-lari, tertawa dan kalau mencubit sakitnya bukan main, namun ternyata bahwa gadis itu adalah seorang gadis yang luar biasa pula, seperti saudara sepupunya, Karebet.
Hal ini ternyata pada suatu malam yang cerah, ketika Arya Salaka dengan tekunnya sedang melatih diri di bawah pengawasan gurunya, tiba-tiba datanglah Kanigara bersama anak gadisnya. Dan, dengan tidak terduga pula Kanigara berkata,
Quote:
“Arya, aku bawa kawan baik bagimu, daripada kau berlatih seorang diri atau terus-menerus dengan gurumu. Dengan demikian kau akan dapat melakukan berbagai macam percobaan dan penemuan-penemuan dari macam-macam pengalaman yang kau miliki, dengan kesegaran baru. Bukankah begitu, Mahesa Jenar…?”
Mahesa Jenar mengangguk kaku. Ia sama sekali tidak menduga bahwa gadis kecil itu memiliki ilmu yang cukup untuk berlatih bersama Arya Salaka. Namun demikian ia tidak bertanya apa-apa. Sebab ia yakin bahwa Kebo Kanigara pasti sudah dapat mengukurnya. Demikian pula Rara Wilis yang hadir menyaksikan, menjadi sibuk menduga-duga pula. Ketika ia melihat tingkat ilmu Arya Salaka, ia sudah menjadi keheranan. Anak itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian jauhnya.
Ketika Rara Wilis melihat anak itu bertempur dengan Janda Sima Rodra, dengan cara tikus-tikusan, ia sudah mengagumi kelincahannya. Tetapi sekarang anak itu sudah mencapai tingkat yang mungkin sejajar dengan dirinya. Dan sekarang ia akan melihat gadis kecil itu memperlihatkan kecakapannya melawan Arya Salaka.
Quote:
“Widuri…” kata Kebo Kanigara lebih lanjut,
“Kau harus merasa beruntung juga, bahwa di bukit kecil ini kau akan mendapat lawan berlatih sepeninggal Karang Tunggal. Nah, bersiaplah. Darinya kau akan mendapat banyak pelajaran yang berguna.”
“Kau harus merasa beruntung juga, bahwa di bukit kecil ini kau akan mendapat lawan berlatih sepeninggal Karang Tunggal. Nah, bersiaplah. Darinya kau akan mendapat banyak pelajaran yang berguna.”
Mula-mula Widuri menjadi agak malu. Ia tidak biasa berlatih di hadapan orang banyak. Yang biasa dilakukan adalah dengan ayahnya bersembunyi di dalam sebuah ruangan di dalam goa. Di sanalah ia berlatih keras untuk mencapai tingkatan yang sekarang.
Agaknya darah yang mengalir dalam tubuh Widuri memang sudah disediakan untuk menjadi orang yang perkasa, seperti saudara-saudara dari aliran darah Handayaningrat.
Apalagi Kanigara sebagai orang yang memiliki kesaktian tinggi, tidak mempunyai orang lain yang dapat menerima warisan kesaktiannya, kecuali seorang gadis. Karena itu, meskipun anaknya seorang gadis, namun dilatihnya sejak kecil, agar kemudian mewarisi ilmunya.
Demikianlah pada saat itu. Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Arya Salaka untuk pertama kalinya melihat bahwa Endhang kecil itu pun ternyata memiliki ilmu yang sudah dalam tingkatan yang tinggi.
Setelah Widuri mempersiapkan dirinya, maka segeralah latihan itu dimulai. Tentu saja mula-mula Arya Salaka menjadi agak segan. Tetapi ketika latihan itu sudah berjalan beberapa saat, ia benar-benar menjadi heran. Meskipun tidak terlalu kuat namun Endang Widuri memiliki kelincahan yang luar biasa, seperti yang selalu diperlihatkan kalau gadis itu sedang bergurau atau berlari-larian.
Kali ini segala geraknya itu diatur dengan rapi sehingga dengan demikian Widuri telah dapat mengejutkan beberapa orang yang menyaksikan. Maka latihan itu semakin lama menjadi semakin cepat.
Kalau Arya Salaka mula-mula hanya berusaha untuk melayani, akhirnya ia pun harus bekerja keras untuk sekali-sekali melakukan tekanan-tekanan pada kawan berlatihnya itu. Bahkan kemudian latihan itu menjadi semakin sengit, diluar dugaan.
Diubah oleh nandeko 26-08-2020 10:42
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas