- Beranda
- Stories from the Heart
KU BUNUH ISTRIKU DEMI PELAKOR
...
TS
tutorialhidup
KU BUNUH ISTRIKU DEMI PELAKOR

Quote:
Diubah oleh tutorialhidup 02-09-2020 06:17
lumut66 dan 18 lainnya memberi reputasi
11
5.4K
85
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
tutorialhidup
#40
Pagi hari seperti biasanya, aku sedang menyetel jas kerja. Mematut diri di depan cermin agar terlihat rapi. Safira tengah duduk di sofa sambil mengutak-atik ponselnya.
Biasanya di pagi hari seperti ini saat aku sedang meyetel jas kerja pasti Laila yang akan memakaikan dasi padaku tapi kini Safira malah diam saja bahkan semua pakaian dan perlengkapanku pun tidak ia siapkan.
"Fira, tolong pakaikan mas dasi dong," pintaku.
Safira mendongak menatap kedua netra ini lalu kembali fokus pada benda pipih di depannya.
"Aku gak bisa masang dasi, Mas," ucapnya sedikit tak acuh.
Aku mendengkus kesal, sebenarnya wanita ini bisa apa sih? Masak tidak bisa, memakaikan dasi tidak bisa, kerjaannya main HP mulu. Ck, istri macam apa Safira ini semuanya serba tidak bisa.
"Terus kamu bisanya apa sih, Fira? Semuanya serba gak bisa," ucapku kesal.
Safira kembali mendongak, menatapku dengan intens lantas ia bangkit dari sofa dan meletakkan HP-nya di sana. Melangkah ke arahku sambil berkacak pinggang.
"Jadi, karena aku gak bisa apa-apa Mas nyesal gitu nikah sama aku?" selorohnya.
"Ck, bukan gitu, Sayang. Maksudnya mas gimana kalau kamu belajar masak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti istri pada umumnya," ucapku.
Safira masih berdiri dengan wajah kesal tanpa mau mengindahkan perkataanku. Istri mudaku itu sepertinya saat ini sedang marah.
"Aku ini istrimu, Mas, bukan pembantu!" Safira makin menjadi-jadi bahkan berani membentakku.
"Iya aku tahu, Safira! Tapi setidaknya kamu kan bisa menyiapkan perlengkapan kerjaku, memakaikan dasi, dan memasak sarapan!" bentakku balik membuat Safira tersentak.
Matanya menatap nyalang ke arahku, terlihat jelas di sana sebuah telaga yang tertahan di pelupuk matanya yang indah. Tak lama kemudian telaga itu luruh membasahi pipi putihnya, Safira sesengukan.
Tak tega hati ini melihatnya menangis, segera kurengkuh tubuh Safira ke dalam pelukan dan membenamkan wajahnya pada dada bidang milikku, membiarkan wanitaku itu menangis menumpahkan air matanya.
"Maaf, mas udah membentakmu tadi."
Aku benar-benar merasa bersalah karena sudah membentak Safira tadi. Entah mengapa tapi ketika melihat seorang wanita menangis di hadapan aku langsung merasa tak tega apa lagi kalau dia menangis karena ulahku.
Memori otakku jadi berputar mengingat kejadian malam itu, di mana aku melihat sendiri air mata yang sama jatuh di pipi mulus Laila, istri tuaku itu menangis dan merintih menahan rasa sakit pada bagian perutnya akibat ulahku sendiri.
Setitik penyesalan menghampiri hati, andai Safira tidak memintaku untuk menyingkirkan Laila pasti saat ini ia masih hidup dan mungkin juga akan merestui pernikahan kedua ini demi kebahagiaanku.
Namun, nasi sudah jadi bubur, tak dapat lagi kuulangi dan kuperbaiki itu karena memang semua sudah berlalu yang tertinggal saat ini hanyalah penyesalan.
Setelah Safira tenang kulangkahkan kaki keluar kamar, menuruni satu demi satu undakan anak tangga yang tersusun rapi sebagai penghubung lantai atas dengan lantai bawah. Perut berbunyi, cacing-cacing di dalam sana minta untuk memberi nutrisi di pagi hari yang cerah ini.
Melangkahkan kaki ke meja makan, tak ada satu makanan pun yang terlihat di sana. Kosong, hanya ada sebuah vas bunga sebagai hiasan meja yang berdiri tepat di tengah meja.
Membuang napas kasar sambil mendaratkan bokong di kursi meja makan. Aku lupa untuk mencari pembantu sementara karena Safira tidak bisa memasak dan lagi Safira, sudah tahu kalau ia tidak bisa memasak bukannya membeli makanan lewat delivery untuk sarapan malah asyik main HP tanpa tahu batas waktu.
Huft, sepertinya aku mulai merindukan sosok Laila tapi aku sendiri sedikit merasa takut karena kejadian di mana Laila meneror dua hari yang lalu, apakah dia akan kembali meneror lagi nanti ya? Harus kuakui memang pantas diri ini di teror seperti itu.
Raihan Sheptiano, seorang pengusaha perjualan kayu jati yang dulunya dikenal orang sebagai pribadi yang baik dan berbudi luhur kini malah menjadi seorang manusia pendosa besar dan hina karena sudah membunuh istri tuanya sendiri.
Astaga! Aku tidak bisa membayangkan jika itu semua nanti akan diliput oleh media massa, menjadi berita viral dan aku pun masuk jeruji besi bersama Safira.
Argh! Pikiran ini mulai dihantui rasa bersalah terhadap Laila tapi tak kupermasalahkan itu dulu karena sejatinya aku kini memanglah pendosa besar. Muncul ingatan tentang sesosok bayangan hitam semalam, aku harus mencari tahu siapa orang itu jangan sampai dia tahu soal rahasia gundukan tanah bertanam mawar merah itu.
Segera kaki melangkah ke arah taman belakang rumah, tempat di mana Laila di kubur. Langkahku tergesa menuju ke sana karena mungkin saja ada sesuatu yang orang itu tinggalkan yang dapat sebagai alat untuk melacak keberadaannya.
Langkahku terhenti saat melihat gundukan tanah itu, daun-daun kering berguguran dan jatuh mengenai tempat tersebut, seakan melambangkan betapa pilu dan tersiksanya Laila di dalam sana.
Kesan seram sungguh kentara di tempat ini, terlebih pada saat malam hari sebab didukung oleh keadaan sekitar yang gelap dan sunyi ditambah lagi dengan sebuah pohon mangga tua yang telah mati menyisakan ranting-rantingnya yang kian melapuk dan kering.
Lama mematung merenungi nasip Laila tak sengaja netra ini menangkap sesuatu berwarna putih yang tertancap di antara batang mawar, berjongkok untuk melihatnya. Hati-hati tangan ini meraih benda tersebut yang ternyata adalah sebuah kertas buku tergulung.
Refleks kubuka gulungan itu dengan malas karena kutebak hanyalah kertas biasa yang kebetulan nyasar di bunga mawar itu. Namun, ternyata firasatku salah besar. Sebuah kalimat ancaman bertinta merah bak warna darah tertulis di sana.
"Saya sedang mengawasi Anda! Jadi jangan harap bisa lolos dari semua perbuatan keji yang telah Anda lakukan selama ini!"
Begitulah bunyi surat yang telah nyata mengibarkan bendera perang ke arahku. Menghembuskan napas panjang aku meramas surat tersebut dengan hati geram. Rupanya ada orang yang ingin bermain-main denganku, ini tidak boleh terjadi, aku harus segera menemukan siapa orang ini dan menyingkirkannya secepatnya.
Aku tidak takut sama sekali dengan ancaman ini tapi yang menjadi pertanyaan besar di kepalaku adalah siapa orang itu? Mengapa ia bisa tahu tentang rahasia yang sudah kubukur dengan rapat ini? Mungkinkah orang ini ada hubungannya dengan Laila? Tapi siapa karena yang kutahu Laila itu tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.
Lihat saja nanti kau pikir aku akan takut dengan ancaman recehmu ini? Cuih, aku Raihan Sheptiano tidak pernah takut dengan siapapun juga karena siapa saja yang berani menghalagi jalan kebahagiaanku pasti akan aku singkirkan!
Biasanya di pagi hari seperti ini saat aku sedang meyetel jas kerja pasti Laila yang akan memakaikan dasi padaku tapi kini Safira malah diam saja bahkan semua pakaian dan perlengkapanku pun tidak ia siapkan.
"Fira, tolong pakaikan mas dasi dong," pintaku.
Safira mendongak menatap kedua netra ini lalu kembali fokus pada benda pipih di depannya.
"Aku gak bisa masang dasi, Mas," ucapnya sedikit tak acuh.
Aku mendengkus kesal, sebenarnya wanita ini bisa apa sih? Masak tidak bisa, memakaikan dasi tidak bisa, kerjaannya main HP mulu. Ck, istri macam apa Safira ini semuanya serba tidak bisa.
"Terus kamu bisanya apa sih, Fira? Semuanya serba gak bisa," ucapku kesal.
Safira kembali mendongak, menatapku dengan intens lantas ia bangkit dari sofa dan meletakkan HP-nya di sana. Melangkah ke arahku sambil berkacak pinggang.
"Jadi, karena aku gak bisa apa-apa Mas nyesal gitu nikah sama aku?" selorohnya.
"Ck, bukan gitu, Sayang. Maksudnya mas gimana kalau kamu belajar masak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti istri pada umumnya," ucapku.
Safira masih berdiri dengan wajah kesal tanpa mau mengindahkan perkataanku. Istri mudaku itu sepertinya saat ini sedang marah.
"Aku ini istrimu, Mas, bukan pembantu!" Safira makin menjadi-jadi bahkan berani membentakku.
"Iya aku tahu, Safira! Tapi setidaknya kamu kan bisa menyiapkan perlengkapan kerjaku, memakaikan dasi, dan memasak sarapan!" bentakku balik membuat Safira tersentak.
Matanya menatap nyalang ke arahku, terlihat jelas di sana sebuah telaga yang tertahan di pelupuk matanya yang indah. Tak lama kemudian telaga itu luruh membasahi pipi putihnya, Safira sesengukan.
Tak tega hati ini melihatnya menangis, segera kurengkuh tubuh Safira ke dalam pelukan dan membenamkan wajahnya pada dada bidang milikku, membiarkan wanitaku itu menangis menumpahkan air matanya.
"Maaf, mas udah membentakmu tadi."
Aku benar-benar merasa bersalah karena sudah membentak Safira tadi. Entah mengapa tapi ketika melihat seorang wanita menangis di hadapan aku langsung merasa tak tega apa lagi kalau dia menangis karena ulahku.
Memori otakku jadi berputar mengingat kejadian malam itu, di mana aku melihat sendiri air mata yang sama jatuh di pipi mulus Laila, istri tuaku itu menangis dan merintih menahan rasa sakit pada bagian perutnya akibat ulahku sendiri.
Setitik penyesalan menghampiri hati, andai Safira tidak memintaku untuk menyingkirkan Laila pasti saat ini ia masih hidup dan mungkin juga akan merestui pernikahan kedua ini demi kebahagiaanku.
Namun, nasi sudah jadi bubur, tak dapat lagi kuulangi dan kuperbaiki itu karena memang semua sudah berlalu yang tertinggal saat ini hanyalah penyesalan.
Setelah Safira tenang kulangkahkan kaki keluar kamar, menuruni satu demi satu undakan anak tangga yang tersusun rapi sebagai penghubung lantai atas dengan lantai bawah. Perut berbunyi, cacing-cacing di dalam sana minta untuk memberi nutrisi di pagi hari yang cerah ini.
Melangkahkan kaki ke meja makan, tak ada satu makanan pun yang terlihat di sana. Kosong, hanya ada sebuah vas bunga sebagai hiasan meja yang berdiri tepat di tengah meja.
Membuang napas kasar sambil mendaratkan bokong di kursi meja makan. Aku lupa untuk mencari pembantu sementara karena Safira tidak bisa memasak dan lagi Safira, sudah tahu kalau ia tidak bisa memasak bukannya membeli makanan lewat delivery untuk sarapan malah asyik main HP tanpa tahu batas waktu.
Huft, sepertinya aku mulai merindukan sosok Laila tapi aku sendiri sedikit merasa takut karena kejadian di mana Laila meneror dua hari yang lalu, apakah dia akan kembali meneror lagi nanti ya? Harus kuakui memang pantas diri ini di teror seperti itu.
Raihan Sheptiano, seorang pengusaha perjualan kayu jati yang dulunya dikenal orang sebagai pribadi yang baik dan berbudi luhur kini malah menjadi seorang manusia pendosa besar dan hina karena sudah membunuh istri tuanya sendiri.
Astaga! Aku tidak bisa membayangkan jika itu semua nanti akan diliput oleh media massa, menjadi berita viral dan aku pun masuk jeruji besi bersama Safira.
Argh! Pikiran ini mulai dihantui rasa bersalah terhadap Laila tapi tak kupermasalahkan itu dulu karena sejatinya aku kini memanglah pendosa besar. Muncul ingatan tentang sesosok bayangan hitam semalam, aku harus mencari tahu siapa orang itu jangan sampai dia tahu soal rahasia gundukan tanah bertanam mawar merah itu.
Segera kaki melangkah ke arah taman belakang rumah, tempat di mana Laila di kubur. Langkahku tergesa menuju ke sana karena mungkin saja ada sesuatu yang orang itu tinggalkan yang dapat sebagai alat untuk melacak keberadaannya.
Langkahku terhenti saat melihat gundukan tanah itu, daun-daun kering berguguran dan jatuh mengenai tempat tersebut, seakan melambangkan betapa pilu dan tersiksanya Laila di dalam sana.
Kesan seram sungguh kentara di tempat ini, terlebih pada saat malam hari sebab didukung oleh keadaan sekitar yang gelap dan sunyi ditambah lagi dengan sebuah pohon mangga tua yang telah mati menyisakan ranting-rantingnya yang kian melapuk dan kering.
Lama mematung merenungi nasip Laila tak sengaja netra ini menangkap sesuatu berwarna putih yang tertancap di antara batang mawar, berjongkok untuk melihatnya. Hati-hati tangan ini meraih benda tersebut yang ternyata adalah sebuah kertas buku tergulung.
Refleks kubuka gulungan itu dengan malas karena kutebak hanyalah kertas biasa yang kebetulan nyasar di bunga mawar itu. Namun, ternyata firasatku salah besar. Sebuah kalimat ancaman bertinta merah bak warna darah tertulis di sana.
"Saya sedang mengawasi Anda! Jadi jangan harap bisa lolos dari semua perbuatan keji yang telah Anda lakukan selama ini!"
Begitulah bunyi surat yang telah nyata mengibarkan bendera perang ke arahku. Menghembuskan napas panjang aku meramas surat tersebut dengan hati geram. Rupanya ada orang yang ingin bermain-main denganku, ini tidak boleh terjadi, aku harus segera menemukan siapa orang ini dan menyingkirkannya secepatnya.
Aku tidak takut sama sekali dengan ancaman ini tapi yang menjadi pertanyaan besar di kepalaku adalah siapa orang itu? Mengapa ia bisa tahu tentang rahasia yang sudah kubukur dengan rapat ini? Mungkinkah orang ini ada hubungannya dengan Laila? Tapi siapa karena yang kutahu Laila itu tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.
Lihat saja nanti kau pikir aku akan takut dengan ancaman recehmu ini? Cuih, aku Raihan Sheptiano tidak pernah takut dengan siapapun juga karena siapa saja yang berani menghalagi jalan kebahagiaanku pasti akan aku singkirkan!
lumut66 memberi reputasi
1