- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#304
Jilid 10 [Part 220]
Spoiler for :
TIBA-TIBA Mahesa Jenar membalikkan tubuh, dan dengan mata yang tajam ia memandang Rara Wilis yang menjadi keheran-heranan melihat sikap Mahesa Jenar. Apalagi kemudian terdengarlah suaranya menggeram,
Setelah itu Mahesa Jenar tidak kuasa lagi meneruskan kata-katanya. Namun kata-kata itu ternyata sangat mengejutkan hati Rara Wilis, sampai ia meloncat berdiri dengan wajah yang memancarkan seribu satu pertanyaan. Demikianlah untuk sesaat Rara Wilis tidak tahu apa yang akan dikatakan. Baru kemudian terdengarlah ia berkata dengan bibir yang gemetar,
Kening Rara Wilis jadi berkerut. Tiba-tiba ia mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Mahesa Jenar. Namun demikian ia ingin meyakinkan,
Mata Rara Wilis jadi bercahaya. Namun cahayanya bukan cahaya yang bening, tetapi cahaya yang memancarkan kepedihan yang tumbuh di hatinya. Lalu katanya,
Mahesa Jenar seperti terpaku berdiri di tempatnya. Kata-kata Rara Wilis itu dengan tajamnya menusuk menembus tulang sungsum. Tetapi bersamaan dengan itu, tumbuh pula di dalam dadanya suatu perasaan yang melonjak-lonjak, sehingga tubuhnya kemudian menjadi menggigil. Dari mulut Rara Wilis sendiri sekarang ia mendengar, bahwa gadis itu menaruh harapan sepenuhnya kepadanya. Tetapi justru karena itulah malahan ia terbungkam, sampai kembali terdengar suara Rara Wilis meneruskan,
Mahesa Jenar tertunduk lesu. Ia tidak ingin memotong kata-kata gadis itu lagi. Bahkan sekarang, ia melihat pada sorot mata Rara Wilis, bayangan tentang dirinya. Tentang seorang laki-laki yang berkelana di padang yang tandus, penuh batu-batu karang yang tajam dan pendakian yang terjal di bawah terik matahari yang membakar kulitnya yang berwarna tembaga. Yang dalam kehausan, melemparkan seteguk air yang segar dingin dari mangkuk ditangannya. Tetapi kemudian laki-laki itu sendiri menjadi hampir mati kehausan.
Rara Wilis mencoba menangkap kata-kata yang tiba-tiba saja terlontar dari mulut Mahesa Jenar itu. Namun dalam sesaat ia telah dapat mengerti maksudnya. Karena itu ia menyahut.
Mahesa Jenar tidak dapat lagi menipu dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat memungkiri kata-kata Rara Wilis. Namun demikian ia berusaha untuk mematahkan pengakuannya itu. Dengan wajah yang tegang kaku ia memutar tubuhnya membelakangi Rara Wilis lalu cepat-cepat ia ingin meninggalkan ruangan itu.
TIBA-TIBA Mahesa Jenar mendengar isak yang seolah-olah meledak begitu hebatnya. Ketika ia sekali lagi menoleh, ia melihat Rara Wilis sambil menangis terduduk di atas sebuah batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Dan kembali kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang basah karena air mata.
Melihat keadaan itu Mahesa Jenar tertegun sejenak. Bahkan diluar sadarnya perlahan-lahan ia berjalan mendekatinya. Namun ia menjadi bertambah bingung, dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Maka kemudian yang dapat dikatakannya hanyalah beberapa kata yang serak,
Sekali ini, seolah-olah Rara Wilis tidak mendengar kata-katanya, bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dan karena itu Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Rara Wilis mencoba mengangkat wajahnya. Meskipun tangisnya masih belum berhenti.
Diantara isaknya terdengar ia berkata,
Hati Mahesa Jenar sekali lagi terlonjak. Namun ia melihat bahwa apa yang diucapkan oleh Rara Wilis itu sama sekali bukanlah yang dimaksud sebenarnya.
Kata-kata itu tepat menyusup ke dalam relung hati Mahesa Jenar yang paling dalam. Sekarang benar-benar ia tidak dapat melarikan diri lagi. Ia merasa seperti seseorang yang terjun ke dalam arena perkelahian, yang harus memilih salah satu diantara dua, membunuh atau dibunuh.
Tetapi tiba-tiba ia teringat kata-kata Rara Wilis tentang Sarayuda. Maka dengan serta merta ia bertanya
Rara Wilis memandang wajah Mahesa Jenar yang basah oleh keringat dingin itu dengan seksama, seolah-olah ia ingin melihat setiap garis yang tergores padanya. Kemudian dengan perlahan-lahan ia berkata,
Mahesa Jenar mendengar kata Rara Wilis itu seperti beratus guntur yang menggelegar di depan telinganya. Bahkan kemudian seolah-olah ia menjadi orang yang lelap terbenam dalam alam impian. Dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara Rara Wilis meneruskan,
Mahesa jenar masih berdiri seperti patung, namun suatu pergolakan yang dahsyat berputar di dalam dadanya. Suatu gejolak perasaan yang melanda dinding-dinding jantungnya sehingga seolah-olah akan pecah karenanya.
Quote:
"Wilis, katakan… katakanlah kepadaku bahwa kau juga mencintainya. Dan kau menerima keadaan ini dengan dada terbuka, bahkan kau merasa bahwa kau menghadapi masa gemilang. Masa yang bahagia sebagai istri Demang yang kaya raya, yang disuyuti oleh beribu-ribu orang."
Kemudian terdengar suara Mahesa Jenar merendah,
"Wilis… aku akan ikut bahagia bila aku melihat kau menjadi bahagia. Bahkan aku siap untuk berbuat apapun untuk ikut serta mempertahankan kebahagiaanmu itu, kalau seandainya orang-orang semacam Jaka Soka mengganggu ketenteraman hidupmu."
Kemudian terdengar suara Mahesa Jenar merendah,
"Wilis… aku akan ikut bahagia bila aku melihat kau menjadi bahagia. Bahkan aku siap untuk berbuat apapun untuk ikut serta mempertahankan kebahagiaanmu itu, kalau seandainya orang-orang semacam Jaka Soka mengganggu ketenteraman hidupmu."
Setelah itu Mahesa Jenar tidak kuasa lagi meneruskan kata-katanya. Namun kata-kata itu ternyata sangat mengejutkan hati Rara Wilis, sampai ia meloncat berdiri dengan wajah yang memancarkan seribu satu pertanyaan. Demikianlah untuk sesaat Rara Wilis tidak tahu apa yang akan dikatakan. Baru kemudian terdengarlah ia berkata dengan bibir yang gemetar,
Quote:
"Kakang, apakah kata-kataku tidak pada tempatnya…?"
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Dan dengan suara yang gemetar ia menjawab,
"Aku akan dapat menyaksikan kau berbahagia, Wilis. Tetapi aku tidak dapat mendengar itu dari kau sendiri. Aku minta janganlah kau menambah hatiku jadi terpecah-pecah."
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Dan dengan suara yang gemetar ia menjawab,
"Aku akan dapat menyaksikan kau berbahagia, Wilis. Tetapi aku tidak dapat mendengar itu dari kau sendiri. Aku minta janganlah kau menambah hatiku jadi terpecah-pecah."
Kening Rara Wilis jadi berkerut. Tiba-tiba ia mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Mahesa Jenar. Namun demikian ia ingin meyakinkan,
Quote:
"Kakang Mahesa Jenar… apakah yang telah terjadi padamu…? Adakah kau bermaksud melarikan diri…?"
Mahesa Jenar tersentak.
"Melarikan diri…?" desisnya.
Mahesa Jenar tersentak.
"Melarikan diri…?" desisnya.
Mata Rara Wilis jadi bercahaya. Namun cahayanya bukan cahaya yang bening, tetapi cahaya yang memancarkan kepedihan yang tumbuh di hatinya. Lalu katanya,
Quote:
"Kau akan mengulangi kata-katamu beberapa tahun yang lalu? Akan kau katakan juga sekarang bahwa kau akan menjadi seorang pahlawan dalam bercinta."
"Kakang, kita sudah bertambah dewasa. Umur kita telah melampaui masa yang seindah-indahnya dalam hidup kita."
"Dan sekarang kau masih terbenam dalam cahaya purnama yang baru mengembang. Kakang, haruskah aku mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak berakar di dalam dadaku, karena aku ingin menuruti kemauanmu. Tidak Kakang."
"Ketahuilah bahwa sejak kepergianmu tanpa pamit beberapa tahun yang lalu, aku sudah mencobanya. Mencoba mengisi sebagian hatiku yang lenyap bersamamu dengan seorang yang bernama Sarayuda. Tetapi aku tidak berhasil Kakang. Kakang Sarayuda bagiku adalah saudara tua yang penuh kasih sayang kepada adiknya. Dan tahukah kau apa yang baru saja dikatakan kepadaku…?"
"Kakang, kita sudah bertambah dewasa. Umur kita telah melampaui masa yang seindah-indahnya dalam hidup kita."
"Dan sekarang kau masih terbenam dalam cahaya purnama yang baru mengembang. Kakang, haruskah aku mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak berakar di dalam dadaku, karena aku ingin menuruti kemauanmu. Tidak Kakang."
"Ketahuilah bahwa sejak kepergianmu tanpa pamit beberapa tahun yang lalu, aku sudah mencobanya. Mencoba mengisi sebagian hatiku yang lenyap bersamamu dengan seorang yang bernama Sarayuda. Tetapi aku tidak berhasil Kakang. Kakang Sarayuda bagiku adalah saudara tua yang penuh kasih sayang kepada adiknya. Dan tahukah kau apa yang baru saja dikatakan kepadaku…?"
Mahesa Jenar seperti terpaku berdiri di tempatnya. Kata-kata Rara Wilis itu dengan tajamnya menusuk menembus tulang sungsum. Tetapi bersamaan dengan itu, tumbuh pula di dalam dadanya suatu perasaan yang melonjak-lonjak, sehingga tubuhnya kemudian menjadi menggigil. Dari mulut Rara Wilis sendiri sekarang ia mendengar, bahwa gadis itu menaruh harapan sepenuhnya kepadanya. Tetapi justru karena itulah malahan ia terbungkam, sampai kembali terdengar suara Rara Wilis meneruskan,
Quote:
"Kakang Mahesa Jenar, aku tidak peduli apakah yang akan kau katakan tentang diriku. Tetapi aku merasa bahwa beban yang menyumbat dadaku kini telah aku tuangkan. Seluruhnya. Dan dadaku kini telah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu akan nilai-nilai yang kau berikan kepadaku. Kepada seorang gadis yang membuka hatinya kepada seorang laki-laki, di hadapan wajahnya."
"Wilis…" desis Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat meneruskan sebab kembali
Wilis memotong,
"Nah Kakang. Sekarang kalau kau akan pergi, pergilah. Tinggalkan aku sendiri. Katakan kepada bukit-bukit kecil itu, kepada karang-karang dan batu-batu, kepada angin dan pepohonan, kepada bulan dan bintang, bahwa seorang laki-laki telah pergi dengan hati terpecah belah untuk memberi kesempatan orang lain menikmati kebahagiaan, sedang orang lain itu sama sekali tidak menghendaki. Tetapi jangan katakan hal itu kepada seseorang yang akan kau jumpai dalam pelarianmu, sebab kau akan ditertawakan. Mungkin orang itu akan mengikutimu untuk melihat kapan kau akan membunuh dirimu."
"Wilis…" potong Mahesa Jenar hampir berteriak.
Namun kali inipun suara Rara Wilis mengatasinya,
"Jangan takut melihat bayangan wajahmu yang pucat, serta jangan takut kau melihat hatimu yang sama sekali tidak memancarkan kejujuran."
"Wilis…" desis Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat meneruskan sebab kembali
Wilis memotong,
"Nah Kakang. Sekarang kalau kau akan pergi, pergilah. Tinggalkan aku sendiri. Katakan kepada bukit-bukit kecil itu, kepada karang-karang dan batu-batu, kepada angin dan pepohonan, kepada bulan dan bintang, bahwa seorang laki-laki telah pergi dengan hati terpecah belah untuk memberi kesempatan orang lain menikmati kebahagiaan, sedang orang lain itu sama sekali tidak menghendaki. Tetapi jangan katakan hal itu kepada seseorang yang akan kau jumpai dalam pelarianmu, sebab kau akan ditertawakan. Mungkin orang itu akan mengikutimu untuk melihat kapan kau akan membunuh dirimu."
"Wilis…" potong Mahesa Jenar hampir berteriak.
Namun kali inipun suara Rara Wilis mengatasinya,
"Jangan takut melihat bayangan wajahmu yang pucat, serta jangan takut kau melihat hatimu yang sama sekali tidak memancarkan kejujuran."
Mahesa Jenar tertunduk lesu. Ia tidak ingin memotong kata-kata gadis itu lagi. Bahkan sekarang, ia melihat pada sorot mata Rara Wilis, bayangan tentang dirinya. Tentang seorang laki-laki yang berkelana di padang yang tandus, penuh batu-batu karang yang tajam dan pendakian yang terjal di bawah terik matahari yang membakar kulitnya yang berwarna tembaga. Yang dalam kehausan, melemparkan seteguk air yang segar dingin dari mangkuk ditangannya. Tetapi kemudian laki-laki itu sendiri menjadi hampir mati kehausan.
Quote:
"Tidak," katanya tiba-tiba.
"Aku tidak menuang air itu di atas batu-batu yang mati. Tetapi aku tuangkan air itu ke dalam mulut seseorang yang hampir mati kehausan pula."
"Aku tidak menuang air itu di atas batu-batu yang mati. Tetapi aku tuangkan air itu ke dalam mulut seseorang yang hampir mati kehausan pula."
Rara Wilis mencoba menangkap kata-kata yang tiba-tiba saja terlontar dari mulut Mahesa Jenar itu. Namun dalam sesaat ia telah dapat mengerti maksudnya. Karena itu ia menyahut.
Quote:
"Lalu kau sendiri yang akan mati. Tetapi jangan harapkan seseorang datang padamu dan menaburkan bunga di atas tubuhmu."
Mahesa Jenar tidak dapat lagi menipu dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat memungkiri kata-kata Rara Wilis. Namun demikian ia berusaha untuk mematahkan pengakuannya itu. Dengan wajah yang tegang kaku ia memutar tubuhnya membelakangi Rara Wilis lalu cepat-cepat ia ingin meninggalkan ruangan itu.
TIBA-TIBA Mahesa Jenar mendengar isak yang seolah-olah meledak begitu hebatnya. Ketika ia sekali lagi menoleh, ia melihat Rara Wilis sambil menangis terduduk di atas sebuah batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Dan kembali kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang basah karena air mata.
Melihat keadaan itu Mahesa Jenar tertegun sejenak. Bahkan diluar sadarnya perlahan-lahan ia berjalan mendekatinya. Namun ia menjadi bertambah bingung, dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Maka kemudian yang dapat dikatakannya hanyalah beberapa kata yang serak,
Quote:
"Wilis, kenapa kau menangis lagi?"
Sekali ini, seolah-olah Rara Wilis tidak mendengar kata-katanya, bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dan karena itu Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.
Quote:
"Wilis," katanya kemudian sekenanya saja,
"Jangan menangis demikian. Apabila seseorang melihat keadaanmu itu, maka akan timbul berbagai prasangka yang mungkin kurang menyenangkan."
"Jangan menangis demikian. Apabila seseorang melihat keadaanmu itu, maka akan timbul berbagai prasangka yang mungkin kurang menyenangkan."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Rara Wilis mencoba mengangkat wajahnya. Meskipun tangisnya masih belum berhenti.
Diantara isaknya terdengar ia berkata,
Quote:
"Kakang, aku tidak akan menahanmu lagi. Pergilah seandainya itu akan membawa kepuasan bagimu."
Hati Mahesa Jenar sekali lagi terlonjak. Namun ia melihat bahwa apa yang diucapkan oleh Rara Wilis itu sama sekali bukanlah yang dimaksud sebenarnya.
Quote:
"Karena itu ia bertanya, Begitukah yang kau kehendaki Wilis…?"
Bibir Rara Wilis bergerak melukiskan sebuah senyum yang pahit diantara tangisnya. Lalu jawabnya,
"Aku mencoba berbuat seperti apa yang kau lakukan. Menipu diri sendiri."
Bibir Rara Wilis bergerak melukiskan sebuah senyum yang pahit diantara tangisnya. Lalu jawabnya,
"Aku mencoba berbuat seperti apa yang kau lakukan. Menipu diri sendiri."
Kata-kata itu tepat menyusup ke dalam relung hati Mahesa Jenar yang paling dalam. Sekarang benar-benar ia tidak dapat melarikan diri lagi. Ia merasa seperti seseorang yang terjun ke dalam arena perkelahian, yang harus memilih salah satu diantara dua, membunuh atau dibunuh.
Tetapi tiba-tiba ia teringat kata-kata Rara Wilis tentang Sarayuda. Maka dengan serta merta ia bertanya
Quote:
"Wilis, kau tadi bertanya kepadaku, apakah aku tahu apa yang dikatakan oleh Sarayuda?"
Rara Wilis mengangguk.
"Tentu aku tidak tahu Wilis," sambung Mahesa Jenar,
"Kau mau mengulang kata-kata itu…?"
"Tak ada gunanya," jawab Rara Wilis.
Mahesa Jenar tertegun sebentar, lalu katanya,
"Mungkin ada. Kalau kau tak berkeberatan katakanlah."
Rara Wilis mengangguk.
"Tentu aku tidak tahu Wilis," sambung Mahesa Jenar,
"Kau mau mengulang kata-kata itu…?"
"Tak ada gunanya," jawab Rara Wilis.
Mahesa Jenar tertegun sebentar, lalu katanya,
"Mungkin ada. Kalau kau tak berkeberatan katakanlah."
Rara Wilis memandang wajah Mahesa Jenar yang basah oleh keringat dingin itu dengan seksama, seolah-olah ia ingin melihat setiap garis yang tergores padanya. Kemudian dengan perlahan-lahan ia berkata,
Quote:
"Kakang dengarlah apa yang dikatakan Kakang Sarayuda kepadaku. Memang semula aku ingin mengatakan kepadamu, dan aku sudah mengambil ancang-ancang. Sebab aku adalah seorang gadis. Tetapi agaknya hatimu terlalu mudah tersentuh sehingga aku terpaksa melampaui batas-batas keterbukaan hati seorang gadis."
Rara Wilis berhenti sejenak, lalu meneruskan,
"Kakang, tadi Kakang Sarayuda berkata kepadaku, bahwa aku harus memaafkannya atas segala perlakuannya yang telah melampaui perlakuan seorang kakak terhadap adiknya. Ia mengharap bahwa aku akan dapat melupakan itu semua, sebab katanya, … sepantasnya ia menjadi kakak yang baik."
Rara Wilis berhenti sejenak, lalu meneruskan,
"Kakang, tadi Kakang Sarayuda berkata kepadaku, bahwa aku harus memaafkannya atas segala perlakuannya yang telah melampaui perlakuan seorang kakak terhadap adiknya. Ia mengharap bahwa aku akan dapat melupakan itu semua, sebab katanya, … sepantasnya ia menjadi kakak yang baik."
Mahesa Jenar mendengar kata Rara Wilis itu seperti beratus guntur yang menggelegar di depan telinganya. Bahkan kemudian seolah-olah ia menjadi orang yang lelap terbenam dalam alam impian. Dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara Rara Wilis meneruskan,
Quote:
"Tetapi, Kakang, aku tahu bahwa hatinya remuk karena itu. Ia mencintaiku sejak lama."
"Sejak kami meningkat dewasa. Namun agaknya suatu kenyataan harus dihadapinya. Yaitu, bahwa ia bersaing dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya dengan jalan apapun juga. Karena itu, sebagai seorang laki-laki yang dapat mengukur dirinya, serta seorang laki-laki yang hidupnya berjejak di atas tanah, dengan ikhlas ia berkata kepadaku,"
"… Wilis, pilihlah jalanmu sendiri. Jangan hiraukan aku."
Rara Wilis berhenti sejenak menelan ludahnya, baru ia meneruskan.
"Tetapi Kakang, aku melihat keikhlasan membayang di wajahnya. Setelah ia berceritera tentang kesalahan yang dilakukannya dengan tidak menghiraukan nasehat kakek dan sebagainya, ia akhiri kata-katanya, … Wilis, mudah-mudahan kau menemukan hari depan yang gemilang."
Sekali lagi Rara Wilis berhenti. Terasa di lehernya sesuatu yang menyumbat, sehingga dengan terputus-putus ia meneruskan,
"Aku menjadi kasihan kepadanya kakang, justru karena ia melepaskan aku dengan penuh keikhlasan. Namun aku tidak dapat memaksa diriku untuk menganggapnya lain daripada seorang kakang yang baik."
"Sejak kami meningkat dewasa. Namun agaknya suatu kenyataan harus dihadapinya. Yaitu, bahwa ia bersaing dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya dengan jalan apapun juga. Karena itu, sebagai seorang laki-laki yang dapat mengukur dirinya, serta seorang laki-laki yang hidupnya berjejak di atas tanah, dengan ikhlas ia berkata kepadaku,"
"… Wilis, pilihlah jalanmu sendiri. Jangan hiraukan aku."
Rara Wilis berhenti sejenak menelan ludahnya, baru ia meneruskan.
"Tetapi Kakang, aku melihat keikhlasan membayang di wajahnya. Setelah ia berceritera tentang kesalahan yang dilakukannya dengan tidak menghiraukan nasehat kakek dan sebagainya, ia akhiri kata-katanya, … Wilis, mudah-mudahan kau menemukan hari depan yang gemilang."
Sekali lagi Rara Wilis berhenti. Terasa di lehernya sesuatu yang menyumbat, sehingga dengan terputus-putus ia meneruskan,
"Aku menjadi kasihan kepadanya kakang, justru karena ia melepaskan aku dengan penuh keikhlasan. Namun aku tidak dapat memaksa diriku untuk menganggapnya lain daripada seorang kakang yang baik."
Mahesa jenar masih berdiri seperti patung, namun suatu pergolakan yang dahsyat berputar di dalam dadanya. Suatu gejolak perasaan yang melanda dinding-dinding jantungnya sehingga seolah-olah akan pecah karenanya.
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas