- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#303
Jilid 10 [Part 219]
Spoiler for :
DEMIKIANLAH untuk beberapa saat tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan kemudian agaknya Rara Wilis yang mula-mula dapat menguasai perasaannya yang memang telah dipersiapkan sejak lama.
Meskipun hatinya sendiri berkata lain. Berkata tentang keindahan yang sempurna yang memancar dari tubuh gadis itu. Gadis yang pada saat terakhir telah membanting-banting perasaannya, setelah ia terpaksa membunuh ayah gadis itu.
Rara Wilis tidak menjawab sepatah katapun selain wajahnya terkulai jatuh di lantai. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Sarayuda yang terbaring dengan lesunya, menunggu gadis itu. Untuk sesaat Mahesa Jenar jadi bimbang. Apakah ia akan tetap pada pendiriannya ? Menyerahkan kebahagiaan itu kepada Sarayuda…?
Dalam pada itu terbersitlah suatu ketetapan di hatinya, meskipun hati itu sendiri akan terpecah. Biarlah ia mengorbankan dirinya kalau dengan demikian sebuah jiwa akan tertolong. Jiwa yang sangat berharga bagi beribu-ribu jiwa lain di daerah kekuasaannya.
Katanya kemudian diantara desah jantungnya yang semakin cepat,
Untuk sesaat Wilis masih tetap tegak di muka pintu. Seolah-olah ia tidak kuasa menggerakkan kakinya untuk melangkah masuk. Wajahnya tampak membayangkan kebimbangan hatinya.
Maka kemudian Mahesa Jenar yang melangkah keluar, dengan langkah berat sambil membangunkan Wilis yang sedang tenggelam dalam keraguan.
Meskipun Rara Wilis masih tetap ragu, namun ia pun perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Perlahan-lahan seperti orang yang masuk ke daerah yang sama sekali asing baginya.
Ketika Rara Wilis bergerak, Mahesa Jenar melangkah pula menjauhi pintu itu. Ruangan yang semula dipergunakan Panembahan Ismaya untuk menerima rombongan itu, kini telah sepi. Tak seorang pun berada di sana. Panembahan Ismaya, Kanigara, Arya Salaka dan Karang Tunggal, bahkan Widuri pun telah tidak nampak lagi.
Bagaimanapun Mahesa Jenar mencoba untuk mengendapkan perasaannya namun terasa seolah-olah sesuatu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Karena itulah ia dengan gelisah berjalan mondar-mandir seperti laki-laki yang gelisah menanti kelahiran anak pertamanya.
Beberapa kali ia mencoba melupakan kegelisahannya dengan mengamati berbagai benda yang menghiasi ruangan itu. Beberapa patung kecil, tergantung beberapa macam clupak lampu minyak kelapa. Di tiang-tiang ruangan itu tampak juga bergantungan beberapa macam topeng dari berbagai jenis.
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan benda-benda itu satu demi satu. Meskipun ia melihat semuanya itu, namun seolah-olah tidak sadar pada penglihatannya. Bahkan kemudian dengan lesunya dibantingnya dirinya pada sebuah batu hitam tempat duduk di dalam ruangan yang sepi itu.
Di luar, matahari yang terik seakan-akan membakar padas-padas pegunungan yang memantulkan sinarnya kemerah-merahan. Daun-daunan yang menjadi tertunduk lesu seperti segan memandang sinar matahari yang agaknya tak bersikap bersahabat. Beberapa daun kering meluncur lepas dari pegangannya oleh ketuaannya, dan berguguran di tanah.
Mata Mahesa Jenar lepas lewat pintu langsung menusuk ke daerah matahari yang silau, terbanting di batu-batu padas yang kepanasan. Alangkah panasnya udara. Beberapa tetes peluh menetes dari dahinya. Kemudian dengan lesu pula Mahesa Jenar berdiri dan melangkah ke arah pintu keluar.
Di depan pintu ia tertegun heran. Pada mula-mula ia datang ke padepokan itu, di ruang ini pula ia mengagumi pertamanan yang asri, yang terbentang di hadapan rumah kecil itu. Bahkan ia mengagumi pula kesejukan udara yang dilemparkan oleh pepohonan yang pepat rimbun itu ke dalam rumah.
Tetapi kenapa tiba-tiba sekarang udara di sini menjadi panas sekali? Akhirnya ia sadar bahwa udara yang panas itu tidak dilontarkan oleh udara pegunungan kecil itu, tetapi agaknya ditimbulkan dari dalam dirinya sendiri yang gelisah.
Tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut, ketika ia menoleh dilihatnya Rara Wilis berlari keluar ruangan dan menjatuhkan dirinya di atas tempat duduk batu hitam. Seterusnya ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis sejadi-jadinya.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah gelisah. Cepat-cepat ia memasuki ruangan tempat Sarayuda berbaring. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika melihat Sarayuda masih bernafas dengan teratur. Bahkan ketika ia melihat Mahesa Jenar datang kepadanya, dengan tersenyum ia berkata,
MAHESA JENAR memandang wajah Sarayuda dengan tajamnya. Senyumnya masih saja membayang di wajahnya yang sudah menjadi kemerah-merahan.
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia berusaha untuk memejamkan matanya.
Dengan gerak-gerak yang kaku, Mahesa Jenar melangkah keluar dari ruangan itu. Sampai di depan pintu kembali ia melihat Rara Wilis masih menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dengan tak sengaja Mahesa Jenar berjalan mendekatinya.
Kemudian hampir berbisik Mahesa Jenar bertanya,
Mendengar suara Mahesa Jenar, tangis Rara Wilis agak mereda. Dengan isak yang ditahan, ia mengangkat wajahnya. Matanya yang basah memandang Mahesa Jenar dengan persoalan. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih saja berdebar-debar memandang wajah yang basah itu, seperti memandang bulan disaput awan. Tetapi Rara Wilis tidak menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Sehingga beberapa saat mereka saling berdiam diri.
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Matanya yang mengaca itu tiba-tiba memancarkan pertanyaan-pertanyaan. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Rara Wilis terpaksa bertanya,
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan Rara Wilis. Malah ia bertanya,
Mata Mahesa Jenar kemudian menatapnya tajam-tajam, seperti akan menembus dada Wilis. Dada seorang gadis yang sedang bergelora. Yang sejenak kemudian meneruskan kata-katanya,
Mendengar cerita itu tubuh Mahesa Jenar menjadi gemetar. Dadanya berdesir hebat. Setiap kata Rara Wilis tentang keperkasaan Sarayuda, bahkan setiap kata yang menyebut nama laki-laki itu terasa seperti ujung-ujung duri yang menusuk-nusuk jantungnya. Dan tiba-tiba saja ia seperti orang yang ingin melarikan diri dari cerita itu. Cepat-cepat ia melangkah ke pintu dan dengan kakunya berdiri berpegangan uger-uger-nya seolah-olah ia takut bila kakinya yang bergetar itu tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya.
Rara Wilis mengikutinya dengan sinar yang memancar dari matanya yang bulat. Tetapi ia tidak tahu apakah yang menggelegak di hati laki-laki itu. Karena itu ia masih melanjutkan ceritanya,
Kata-kata Rara Wilis itu bagi Mahesa Jenar terasa menusuk jantungnya semakin pedih. Sehingga kemudian dengan suara gemetar, tanpa menoleh ia menyahut,
Sekarang Mahesa Jenar tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Ia telah bertekad untuk meninggalkan impiannya terhadap gadis yang baginya memiliki keindahan yang tanpa cela itu. Tetapi untuk mendengarkan cerita itu terasa seolah-olah keindahan yang telah dilepaskannya itu diperagakan di hadapannya.
Quote:
"Kakang Mahesa Jenar, yang selama ini tersimpan di dalam dadaku adalah perasaan terima kasih yang tak terhingga atas pertolongan Kakang, yang pada saat itu aku tidak sempat mengucapkannya."
Mahesa Jenar mengangguk sedikit, jawabnya,
"Lupakanlah itu Wilis. Sebagaimana kewajiban kita, manusia yang hidup diantara manusia adalah saling menolong."
Mahesa Jenar mengangguk sedikit, jawabnya,
"Lupakanlah itu Wilis. Sebagaimana kewajiban kita, manusia yang hidup diantara manusia adalah saling menolong."
Meskipun hatinya sendiri berkata lain. Berkata tentang keindahan yang sempurna yang memancar dari tubuh gadis itu. Gadis yang pada saat terakhir telah membanting-banting perasaannya, setelah ia terpaksa membunuh ayah gadis itu.
Rara Wilis tidak menjawab sepatah katapun selain wajahnya terkulai jatuh di lantai. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Sarayuda yang terbaring dengan lesunya, menunggu gadis itu. Untuk sesaat Mahesa Jenar jadi bimbang. Apakah ia akan tetap pada pendiriannya ? Menyerahkan kebahagiaan itu kepada Sarayuda…?
Dalam pada itu terbersitlah suatu ketetapan di hatinya, meskipun hati itu sendiri akan terpecah. Biarlah ia mengorbankan dirinya kalau dengan demikian sebuah jiwa akan tertolong. Jiwa yang sangat berharga bagi beribu-ribu jiwa lain di daerah kekuasaannya.
Katanya kemudian diantara desah jantungnya yang semakin cepat,
Quote:
"Wilis… seseorang menanti kau. Masuklah."
"Seseorang…?" katanya bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya,
"Ya, seseorang."
"Kau…?" desaknya.
Mahesa Jenar menggeleng lemah. Lemah sekali.
Rara Wilis menjadi ragu. Seseorang mencarinya, dan orang itu bukan Mahesa Jenar.
Akhirnya terdengar suara Mahesa Jenar,
"Masuklah Wilis."
"Seseorang…?" katanya bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya,
"Ya, seseorang."
"Kau…?" desaknya.
Mahesa Jenar menggeleng lemah. Lemah sekali.
Rara Wilis menjadi ragu. Seseorang mencarinya, dan orang itu bukan Mahesa Jenar.
Akhirnya terdengar suara Mahesa Jenar,
"Masuklah Wilis."
Untuk sesaat Wilis masih tetap tegak di muka pintu. Seolah-olah ia tidak kuasa menggerakkan kakinya untuk melangkah masuk. Wajahnya tampak membayangkan kebimbangan hatinya.
Maka kemudian Mahesa Jenar yang melangkah keluar, dengan langkah berat sambil membangunkan Wilis yang sedang tenggelam dalam keraguan.
Quote:
"Masuklah Wilis. Seseorang memerlukan kau datang. Mudah-mudahan kau membawa udara segar baginya."
Meskipun Rara Wilis masih tetap ragu, namun ia pun perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Perlahan-lahan seperti orang yang masuk ke daerah yang sama sekali asing baginya.
Ketika Rara Wilis bergerak, Mahesa Jenar melangkah pula menjauhi pintu itu. Ruangan yang semula dipergunakan Panembahan Ismaya untuk menerima rombongan itu, kini telah sepi. Tak seorang pun berada di sana. Panembahan Ismaya, Kanigara, Arya Salaka dan Karang Tunggal, bahkan Widuri pun telah tidak nampak lagi.
Bagaimanapun Mahesa Jenar mencoba untuk mengendapkan perasaannya namun terasa seolah-olah sesuatu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Karena itulah ia dengan gelisah berjalan mondar-mandir seperti laki-laki yang gelisah menanti kelahiran anak pertamanya.
Beberapa kali ia mencoba melupakan kegelisahannya dengan mengamati berbagai benda yang menghiasi ruangan itu. Beberapa patung kecil, tergantung beberapa macam clupak lampu minyak kelapa. Di tiang-tiang ruangan itu tampak juga bergantungan beberapa macam topeng dari berbagai jenis.
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan benda-benda itu satu demi satu. Meskipun ia melihat semuanya itu, namun seolah-olah tidak sadar pada penglihatannya. Bahkan kemudian dengan lesunya dibantingnya dirinya pada sebuah batu hitam tempat duduk di dalam ruangan yang sepi itu.
Di luar, matahari yang terik seakan-akan membakar padas-padas pegunungan yang memantulkan sinarnya kemerah-merahan. Daun-daunan yang menjadi tertunduk lesu seperti segan memandang sinar matahari yang agaknya tak bersikap bersahabat. Beberapa daun kering meluncur lepas dari pegangannya oleh ketuaannya, dan berguguran di tanah.
Mata Mahesa Jenar lepas lewat pintu langsung menusuk ke daerah matahari yang silau, terbanting di batu-batu padas yang kepanasan. Alangkah panasnya udara. Beberapa tetes peluh menetes dari dahinya. Kemudian dengan lesu pula Mahesa Jenar berdiri dan melangkah ke arah pintu keluar.
Di depan pintu ia tertegun heran. Pada mula-mula ia datang ke padepokan itu, di ruang ini pula ia mengagumi pertamanan yang asri, yang terbentang di hadapan rumah kecil itu. Bahkan ia mengagumi pula kesejukan udara yang dilemparkan oleh pepohonan yang pepat rimbun itu ke dalam rumah.
Tetapi kenapa tiba-tiba sekarang udara di sini menjadi panas sekali? Akhirnya ia sadar bahwa udara yang panas itu tidak dilontarkan oleh udara pegunungan kecil itu, tetapi agaknya ditimbulkan dari dalam dirinya sendiri yang gelisah.
Tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut, ketika ia menoleh dilihatnya Rara Wilis berlari keluar ruangan dan menjatuhkan dirinya di atas tempat duduk batu hitam. Seterusnya ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis sejadi-jadinya.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah gelisah. Cepat-cepat ia memasuki ruangan tempat Sarayuda berbaring. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika melihat Sarayuda masih bernafas dengan teratur. Bahkan ketika ia melihat Mahesa Jenar datang kepadanya, dengan tersenyum ia berkata,
Quote:
"Aku bertambah segar, Mahesa Jenar."
"Syukurlah Sarayuda," jawab Mahesa Jenar singkat.
"Bagiku, semuanya telah selesai," sambung Sarayuda.
"Syukurlah Sarayuda," jawab Mahesa Jenar singkat.
"Bagiku, semuanya telah selesai," sambung Sarayuda.
MAHESA JENAR memandang wajah Sarayuda dengan tajamnya. Senyumnya masih saja membayang di wajahnya yang sudah menjadi kemerah-merahan.
Quote:
"Aku mengharap demikian," jawab Mahesa Jenar, tetapi hatinya terasa pedih.
Kemudian Sarayuda berkata,
"Mahesa Jenar, sekarang aku akan dapat tidur nyenyak. Mudah-mudahan aku lekas sembuh dan dapat kembali ke Gunung Kidul, meskipun kekuatanku belum pulih benar."
"Aku ikut berdoa, Sarayuda," sahut Mahesa Jenar kosong, sekosong dadanya saat itu.
Kemudian Sarayuda berkata,
"Mahesa Jenar, sekarang aku akan dapat tidur nyenyak. Mudah-mudahan aku lekas sembuh dan dapat kembali ke Gunung Kidul, meskipun kekuatanku belum pulih benar."
"Aku ikut berdoa, Sarayuda," sahut Mahesa Jenar kosong, sekosong dadanya saat itu.
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia berusaha untuk memejamkan matanya.
Dengan gerak-gerak yang kaku, Mahesa Jenar melangkah keluar dari ruangan itu. Sampai di depan pintu kembali ia melihat Rara Wilis masih menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dengan tak sengaja Mahesa Jenar berjalan mendekatinya.
Kemudian hampir berbisik Mahesa Jenar bertanya,
Quote:
"Kenapa kau menangis Wilis…?"
Mendengar suara Mahesa Jenar, tangis Rara Wilis agak mereda. Dengan isak yang ditahan, ia mengangkat wajahnya. Matanya yang basah memandang Mahesa Jenar dengan persoalan. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih saja berdebar-debar memandang wajah yang basah itu, seperti memandang bulan disaput awan. Tetapi Rara Wilis tidak menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Sehingga beberapa saat mereka saling berdiam diri.
Quote:
"Kakang…" akhirnya terdengar Rara Wilis berkata,
"Alangkah sulitnya hidup yang harus aku tempuh. Banyak masalah yang berkembang diluar kemauanku sendiri."
"Memang demikianlah agaknya," jawab Mahesa Jenar.
"Banyak hal yang harus kita lakukan, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan perasaan sendiri. Namun demikian setiap perbuatan hendaknya dilandasi dengan tujuan yang bersih. Demikianlah apa yang akan kita lakukan nanti. Dan demikian pulalah keputusanku."
"Alangkah sulitnya hidup yang harus aku tempuh. Banyak masalah yang berkembang diluar kemauanku sendiri."
"Memang demikianlah agaknya," jawab Mahesa Jenar.
"Banyak hal yang harus kita lakukan, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan perasaan sendiri. Namun demikian setiap perbuatan hendaknya dilandasi dengan tujuan yang bersih. Demikianlah apa yang akan kita lakukan nanti. Dan demikian pulalah keputusanku."
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Matanya yang mengaca itu tiba-tiba memancarkan pertanyaan-pertanyaan. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Rara Wilis terpaksa bertanya,
Quote:
"Apakah maksudmu Kakang?"
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan Rara Wilis. Malah ia bertanya,
Quote:
"Wilis, apakah kau menangis karena sedih atau karena kau terharu atas masa depanmu yang gemilang?"
Rara Wilis menggelengkan kepala. Kemudian jawabnya,
"Aku tidak tahu Kakang."
Rara Wilis menggelengkan kepala. Kemudian jawabnya,
"Aku tidak tahu Kakang."
Mata Mahesa Jenar kemudian menatapnya tajam-tajam, seperti akan menembus dada Wilis. Dada seorang gadis yang sedang bergelora. Yang sejenak kemudian meneruskan kata-katanya,
Quote:
"Kakang… aku bergaul dengan Kakang Sarayuda sejak kecil. Aku mengenalnya sebagai seorang yang paling dekat diantara kawan-kawanku. Apalagi kemudian setelah meningkat lebih besar lagi, menjelang masa dewasa kami. Ia selalu dekat dengan Kakek."
"Kemudian Sarayuda lenyap dari kampung halaman kami. Ternyata ia ikut dengan Kakek dan berguru kepadanya. Pada suatu saat ia muncul kembali di kampung kami. Sarayuda telah berubah menjadi seorang pemuda yang perkasa."
"Ia datang untuk mengusir perempuan yang mengganggu ketenteraman kami. Mengganggu ayah serta keluarga kami. Agaknya ia mendapat tugas dari Kakek. Tetapi sayang, ia datang terlambat. Ayah telah pergi meninggalkan kami bersama perempuan jahat itu, yang ternyata kemudian menetap di Gunung Tidar dan menamakan diri mereka suami-istri Sima Rodra muda di bawah perlindungan Sima Rodra tua dari Lodaya."
"Sejak saat itu Sarayuda sekali datang, sekali lenyap kembali. Namun agaknya ia dapat merebut hati seluruh penduduk daerah kami. Ternyata kemudian ia terpilih menjadi Demang."
"Kemudian Sarayuda lenyap dari kampung halaman kami. Ternyata ia ikut dengan Kakek dan berguru kepadanya. Pada suatu saat ia muncul kembali di kampung kami. Sarayuda telah berubah menjadi seorang pemuda yang perkasa."
"Ia datang untuk mengusir perempuan yang mengganggu ketenteraman kami. Mengganggu ayah serta keluarga kami. Agaknya ia mendapat tugas dari Kakek. Tetapi sayang, ia datang terlambat. Ayah telah pergi meninggalkan kami bersama perempuan jahat itu, yang ternyata kemudian menetap di Gunung Tidar dan menamakan diri mereka suami-istri Sima Rodra muda di bawah perlindungan Sima Rodra tua dari Lodaya."
"Sejak saat itu Sarayuda sekali datang, sekali lenyap kembali. Namun agaknya ia dapat merebut hati seluruh penduduk daerah kami. Ternyata kemudian ia terpilih menjadi Demang."
Mendengar cerita itu tubuh Mahesa Jenar menjadi gemetar. Dadanya berdesir hebat. Setiap kata Rara Wilis tentang keperkasaan Sarayuda, bahkan setiap kata yang menyebut nama laki-laki itu terasa seperti ujung-ujung duri yang menusuk-nusuk jantungnya. Dan tiba-tiba saja ia seperti orang yang ingin melarikan diri dari cerita itu. Cepat-cepat ia melangkah ke pintu dan dengan kakunya berdiri berpegangan uger-uger-nya seolah-olah ia takut bila kakinya yang bergetar itu tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya.
Rara Wilis mengikutinya dengan sinar yang memancar dari matanya yang bulat. Tetapi ia tidak tahu apakah yang menggelegak di hati laki-laki itu. Karena itu ia masih melanjutkan ceritanya,
Quote:
"Kemudian datanglah masa itu. Masa dewasa kami, masa dimana dada kami dipenuhi impian-impian masa depan. Tetapi sebagian dari masa itu sama sekali tak dapat aku nikmati.
Sebab masa-masa itu aku sedang dihadapkan pada suatu kenyataan pahit. Ibuku meninggal dunia. Dan aku terpaksa meninggalkan kampung halaman, mencari kakekku untuk menyangkutkan diri dalam limpahan kasih sayang. Seperti pada masa kanak-kanakku. Akhirnya aku bertemu kembali dengan Sarayuda. Dan seperti yang Kakang ketahui, Kakang Sarayuda mengharapkan sesuatu dariku, tidak sebagai adik seperguruannya, tetapi sebagai seorang laki-laki terhadap seorang wanita."
Sebab masa-masa itu aku sedang dihadapkan pada suatu kenyataan pahit. Ibuku meninggal dunia. Dan aku terpaksa meninggalkan kampung halaman, mencari kakekku untuk menyangkutkan diri dalam limpahan kasih sayang. Seperti pada masa kanak-kanakku. Akhirnya aku bertemu kembali dengan Sarayuda. Dan seperti yang Kakang ketahui, Kakang Sarayuda mengharapkan sesuatu dariku, tidak sebagai adik seperguruannya, tetapi sebagai seorang laki-laki terhadap seorang wanita."
Kata-kata Rara Wilis itu bagi Mahesa Jenar terasa menusuk jantungnya semakin pedih. Sehingga kemudian dengan suara gemetar, tanpa menoleh ia menyahut,
Quote:
"Perasaan yang lumrah, yang dapat timbul di dalam setiap dada."
"Ya," potong Rara Wilis.
"Perasaan yang lumrah. Dan perasaan itu sedemikian dalamnya menggores di hati Kakang Sarayuda."
"Ya," potong Rara Wilis.
"Perasaan yang lumrah. Dan perasaan itu sedemikian dalamnya menggores di hati Kakang Sarayuda."
Sekarang Mahesa Jenar tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Ia telah bertekad untuk meninggalkan impiannya terhadap gadis yang baginya memiliki keindahan yang tanpa cela itu. Tetapi untuk mendengarkan cerita itu terasa seolah-olah keindahan yang telah dilepaskannya itu diperagakan di hadapannya.
sunyisepi dan 10 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas