- Beranda
- Stories from the Heart
Pelet Orang Banten
...
TS
papahmuda099
Pelet Orang Banten

Assalamualaikum wr.wb.
Perkenalkan, aku adalah seorang suami yang saat kisah ini terjadi, tepat berusia 30 tahun. Aku berasal dari Jawa tengah, tepatnya disebuah desa kecil yang dikelilingi oleh perbukitan, yang masih termasuk kedalam wilayah kabupaten Purbalingga.
Aku, bekerja disebuah BUMN sebagai tenaga kerja outsourcing di pinggiran kota Jakarta.
Kemudian istriku, adalah seorang perempuan Sumatra berdarah Banten. Kedua orang tuanya asli Banten. Yang beberapa tahun kemudian, keduanya memutuskan untuk ber-transmigrasi ke tanah Andalas bagian selatan. Disanalah kemudian istriku lahir.
Istriku ini, sebut saja namanya Rara ( daripada sebut saja mawar, malah nantinya jadi cerita kriminal lagi
), bekerja disebuah pabrik kecil, di daerah kabupaten tangerang, sejak akhir tahun 2016. Istriku, karena sudah memiliki pengalaman bekerja disebuah pabrik besar di wilayah Serang banten, maka ia ditawari menduduki jabatan yang lumayan tinggi dipabrik tersebut.Dan alhamdulillah, kami sudah memiliki seorang anak perempuan yang saat ini sudah berusia 8 tahun. Hanya saja, dikarenakan kami berdua sama-sama sibuk dalam bekerja, berangkat pagi pulang malam, jadi semenjak 2016 akhir, anak semata wayang kami ini, kami titipkan ditempat orang tuaku di Jawa sana.
Oya, sewaktu kejadian ini terjadi (dan sampai saat ini), kami tinggal disebuah kontrakan besar dan panjang. Ada sekitar 15 kontrakan disana. Letak kontrakan kami tidak terlalu jauh dari pabrik tempat istriku bekerja. Jadi, bila istriku berangkat, ia cukup berjalan kaki saja. Pun jika istirahat, istriku bisa pulang dan istirahat dirumah.
Oke, aku kira cukup untuk perkenalannya. Kini saatnya aku bercerita akan kejadian NYATA yang aku alami. Sebuah kejadian yang bukan saja hampir membuat rumah tangga kami berantakan, tapi juga nyaris merenggut nyawaku dan istriku !

Aku bukannya ingin mengumbar aib rumah tanggaku, tapi aku berharap, agar para pembaca bisa untuk setidaknya mengambil hikmah dan pelajaran dari kisahku ini

*
Bismillahirrahmanirrahim
Senin pagi, tanggal 10 februari 2020.
Biasanya, jam 7 kurang sedikit, istriku pamit untuk berangkat bekerja. Tapi hari ini, ia mengambil cuti 2 hari ( Senin dan selasa ), dikarenakan ia hendak pergi ke Balaraja untuk melakukan interview kerja. Istriku mendapatkan penawaran kerja dari salah satu pabrik yang ada disana dan dengan gaji yang lebih besar dari gaji yang ia terima sekarang.
Karena hanya ada 1 motor, dan itu aku gunakan untuk kerja, ia memutuskan untuk naik ojek online saja.
Awalnya aku hendak mengantarnya
tapi jam interview dan jam aku berangkat kerja sama. Akhirnya, aku hanya bisa berpesan hati-hati saja kepadanya.Pagi itu, kami sempat mengobrol dan berandai-andi jika nantinya istriku jadi untuk bekerja di balaraja.
"Kalau nanti bunda jadi kerja disana, gimana nanti pulang perginya ?" kataku agak malas. Karena memikirkan bagaimana aku harus antar jemput.
"Nanti bunda bisa bisa ajak 1 anak buah bunda dari pabrik lama, yah," jawab istriku, "nanti dia bunda ajak kerja disana bareng. Kebetulan rumah dia juga deket disini-sini juga."
Wajahku langsung cerah begitu tahu, kalau aku nantinya tidak terlalu repot untuk antar jemput.
"Siapa emang, bun?" tanyaku, "Diki?"
Diki adalah salah satu anak buah istriku dipabrik ini. Diki juga sudah kami anggap sebagai adik sendiri. Selain sesama orang lampung, juga karena kami sudah mengenal sifat anak muda itu.
"Bukan," jawab istriku.
Aku langsung memandang istriku dengan heran.
"Terus siapa?"
"Sukirman, yah. Dia anak buah bunda juga. Kerjanya bagus, makanya mau bunda ajak buat bantu bunda nanti disana."
"Kenapa bukan diki aja, bun?" tanyaku setengah menuntut.
Istriku menggelengkan kepalanya.
"Diki masih diperluin dipabrik bunda yang lama. Gak enak juga main asal ambil aja sama bos. Kalo kirman ini, dia emang anak buah bunda. Kasihan, yah. Dia disini gajinya harian. Mana dia anak udah 2 masih kecil-kecil lagi." Istriku menerangkan panjang lebar.
Aku akhirnya meng-iyakan perkataannya tersebut. Aku berfikir, "ah, yang penting aku gak susah. Gak capek bolak balik antar jemput. Lagian maksud istriku juga baik, membantu anak buahnya yang susah."
"Ya udah, bun. Asalkan jaga kepercayaan ayah ya sayang," aku akhirnya memilih untuk mempercayainya.
Jam 09:00 pas, aku berangkat kerja. Tak lupa aku berpamitan kepada istriku. Setelah itu aku berangkat dengan mengendarai sepeda motor berjenis matic miliku.
Waktu tempuh dari kontrakanku ketempat kerja sekitar 40-50 menit dengan jalan santai. Jadi ya seperti biasa, saat itu aku menarik gas motorku diantara kecepatan 50 km/jam.
Tapi tiba-tiba, saat aku sudah sampai disekitaran daerah Jatiuwung. Motorku tiba-tiba saja mati

"Ya ampun, kenapa nih motor. Kok tau-tau mati," kataku dalam hati.
Aku lalu mendorong motorku kepinggir. Lalu aku coba menekan stater motor, hanya terdengar suara "cekiskiskiskis...," saja

Gagal aku stater, aku coba lagi dengan cara diengkol.
Motor aku standar 2. Lalu aku mulai mengengkol.
Terasa enteng tanpa ada angin balik ( ya pokoknya ngemposlah ) yang keluar dari motor.
"Ya elah, masa kumat lagi sih ini penyakit," ujarku mengetahui penyebab mati mendadaknya motorku ini.
Penyebabnya adalah los kompresi
Penyakit ini, memang dulu sering motorku alami. Tapi itu sudah lama sekali, kalau tidak salah ingat, motorku terakhir mengalami los kompresi adalah sekitar tahun 2017.Lalu, entah mengapa. Aku tiba-tiba saja merasakan perubahan pada moodku.
Yang awalnya baik-baik saja sedari berangkat, langsung berubah menjadi jelek begitu mengalami kejadian los kompresi ini.
Hanya saja, aku mencoba untuk bersabar dengan cara memilih langsung mendorong motorku mencari bengkel terdekat.
Selama mendorong motor ini, aku terus menerus ber-istighfar didalam hati. Soalnya, gak tau kenapa, timbul perasaan was-was dan pikiran-pikiran buruk yang terus melintas dibenak ini.
"Astaghfirullah...Astaghfirullah...semoga ini bukan pertanda buruk," kalimat itu terus kuulang-ulang didalam hati.
Alhamdulillah, tak lama kemudian, aku menemukan sebuah bengkel. Aku langsung menjelaskan permasalahan motorku.
Oleh si lay, aku disarankan untuk ganti busi. Aku sih oke-oke saja. Yang penting cepet beres. Karena aku tidak mau terlambat dalam bekerja.
"Bang, motornya nanti lubang businya aku taruh oli sedikit ya," kata si lay itu padaku. Lalu lanjutnya, "nanti agak ngebul sedikit. Tapi tenang aja, bang. Itu cuman karena olinya aja kok. Nanti juga ilang sendiri."
"Atur aja bang," kataku cepat.
Sekitar 5 menit motorku diperbaiki olehnya. Dan benar saja, motorku memang langsung menyala, tapi kulihat ada asap yang keluar dari knalpot motorku.
"Nanti jangan kau gas kencang dulu, bang," katanya.
"Oke,"
Setelah membayar biaya ganti busi dan lainnya. Aku langsung melanjutkan perjalananku.
Aku sampai dikantor telat 5 menit. Yakni jam 10:05. Jam operasional kantorku sudah buka. Aku langsung menjelaskan penyebab keterlambatanku kepada atasanku. Syukurnya, merek mengerti akan penjelasan ku. Hanya saja, kalau nanti ada apa-apa lagi, aku dimintanya untuk memberikan kabar lewat telepon atau WA.
Aku lalu, mulai bekerja seperti biasa lagi.
Jam menunjukan pukul 12:00 wib.
Itu adalah jam istirahat pabrik istriku. Aku lalu menulis chat untuknya. Contreng 2, tapi tak kunjung dibacanya. Aku lalu berinisiatif untuk menelponnya. Berdering, tapi tak diangkat juga.
"Kemana ini orang....," kataku agak kesal.
"Ya udahlah, nanti juga ngabarin balik," ujarku menghibur diri.
Jam 13:30 siang, disaat aku hendak melaksanak ibadah solat Dzuhur. HPku berdering.
Kulihat disana tidak tertera nama, hanya nomer telpon saja.
"Nomer siapa nih," desisku.
Awalnya aku malas untuk mengangkatnya.
Tapi sekali lagi nomer itu meneleponku.
Dan, entah kenapa jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat. Hatiku langsung merasakan ada sesuatu yang tidak menyenangkan akan aku dapatkan, bila aku mengangkat telpon ini.
Dengan berdebar, aku lalu menekan tombol hijau di HPku.
"Halo, Assalamualaikum...," jawabku.
"Halo, waalaikumsalam...," kata si penelpon.
"Maaf, ini siapa ya ?" tanyaku.
"Ini saya, mas. Sumarno," jawabnya.
"Oh, mas Sumarno," kataku.
Sumarno adalah laki-laki yang diserahi tanggung jawab untuk mengawasi dan mengurus kontrakan tempatku tinggal.
"Ada apa ya, mas ?" tanyaku dengan jantung berdebar-debar.
"Maaf mas sebelumnya," jawab mas Sumarno.
Aku menunggu kelanjutan kalimat mas Sumarno ini dengan tidak sabar.
Lalu, penjaga kontrakan kami ini melanjutkan ucapannya. Ucapan yang membuat lututku lemas, tubuhku menggigil hebat. Sebuah ucapan yang rasanya tidak akan terjadi selama aku mengenal istriku. Dari sejak kami berpacaran sampai akhirnya kami menikah.
Mas Sumarno berkata, "Mbak Rara berduaan sama laki-laki didalam kontrakan sekarang. Dan pintu dikunci dari dalam."
***
Part 1
Pelet Orang Banten
Quote:
Part 2
Teror Alam Ghaib
Quote:
Terima kasih kepada agan zafin atas bantuannya, dan terutama kepada para pembaca thread ini yang sudah sudi untuk mampir dilapak saya

*
Silahkan mampir juga dicerita saya yang lainnya
Diubah oleh papahmuda099 05-04-2024 04:27
bebyzha dan 248 lainnya memberi reputasi
235
333.7K
3.1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
papahmuda099
#810
Bapak dan Mang Ujang 1
Suasana yang tadinya nyaman tiba-tiba saja berubah menjadi kaku.
"Ingat, kamu sudah berkeluarga, Ndra," kataku berusaha memberikan motivasi pada diri sendiri untuk menghilangkan rasa-rasa yang kembali muncul.
Setelah aku berhasil mengendalikan diriku, dan sudah membulatkan tekadku bahwa perempuan yang kini ada dihadapanku ini hanyalah teman masa kecilku. Maka aku putuskan untuk membuka obrolan dengannya.
Aku lalu berinisiatif untuk memanggilnya terlebih dahulu.
"Mi...,"
"Ndra...,"
Tak disangka, kami berdua memanggil satu sama lain berbarengan.
Tapi harus terputus karena tiba-tiba saja muncul bapakku dan mang Ujang dari dalam ruang tengah.
"Ayo, Nang. Kita berangkat sekarang," kata bapak.
"O...oh, iya..iya, pap," kataku sedikit gugup.

Aku lalu berdiri dan berjalan keluar. Tanpa menengok kebelakang lagi, takut kalau nanti masa lalu akan muncul kembali dan akan sedikit merusak niatanku.
Aku lalu langsung berdiri disisi motorku. Menunggu bapak dan mang Ujang keluar.
Sekitar 5 menit kemudian, bapak dan mang Ujang keluar dari rumah. Bisa kulihat wajah miyanka dan ibunya yang keluar untuk mengantar kepergian kami.
Setelah semuanya siap, kami lalu berangkat. Aku dan bapak dengan motor kakek, sedangkan mang Ujang menggunakan motornya sendiri.
Aku menganggukan kepala kearah miyanka dan ibunya sebelum motor kujalankan.
Meskipun sekilas, aku bisa melihat raut wajah miyanka yang sedikit kecewa. Entah karena apa.
*
Kami berkendara dengan motor mang Ujang ada didepan. Karena memang mang Ujang yang tahu tempatnya. Bapak sendiri lupa-lupa ingat dengan jalannya. Apalagi karena sudah bertahun-tahun tidak pernah sowan ketempat gurunya, dan ditambah pembangunan di Cirebon yang lumayan pesat. Membuat bapak blank.

Setelah satu jam lebih perjalanan. Kami akhirnya tiba disebuah rumah besar didekat perbatasan antara Cirebon dan kabupaten Kuningan.
Didepan rumah itu terdapat banyak mobil dan motor yang terparkir.
"Mungkin orang-orang yang ingin meminta bantuan dari kyai," kata bapak melihat raut wajahku.
Setelah kami memarkirkan motor, mang Ujang lalu mengajak kami melewati sebuah jalan kecil di samping rumah. Yang ternyata langsung menembus ke ke area belakang rumah besar itu.
Di belakang rumah besar itu, ada beberapa Pondok yang mungkin digunakan untuk murid-murid guru Bapak Dan mang Ujang bermalam.
Aku yang mengikuti mereka berdua sambil membawa peti milik bapak, merasakan ada getaran getaran kecil di dalam peti. Karena sangat penasaran aku ingin membukanya. Tapi beruntung peti itu dibungkus oleh sebuah kain jarik, sehingga apabila aku ingin membuka peti maka aku harus membuka ikatan kain itu terlebih dahulu.
Meski rasa penasaranku sangat besar, tapi karena aku harus melakukan hal yang merepotkan seperti itu, maka rasa penasaranku itu aku tekan sebisa mungkin.
Tiba di belakang rumah, kami bertiga disambut oleh dua orang yang sepertinya murid dari kyai.
"Assalamualaikum," seru mang Ujang begitu melihat kedua orang santri yang usianya hampir mendekati usia mang Ujang dan bapak.
"Wa'alaikumsalam...," Jawab kedua orang itu sambil tersenyum lebar.
Kulirik ada beberapa kepala yang muncul dari beberapa Pondok yang ada di belakang rumah.
Mau Ujang dan kedua murid kyai itu saling berpelukan. Sepertinya sudah sangat akrab sekali.
Bapak sendiri masih terdiam. Dan aku memilih berdiri di belakang bapak.
"Ah, sekarang kalian masih ingat nggak sama orang ini?" Kata mang Ujang sambil menunjuk ke arah bapak.
Bapak mulai tersenyum, mungkin lebih tepatnya menyeringai.

Kedua orang murid kyai itu melihat Bapak dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu mereka juga memperhatikanku.
Dengan menunjukkan raut wajah yang terkejut, dengan kompak mereka berdua menyebutkan sebuah nama.
"Cagok!"

"Hehehe...,"

Bapakku hanya tersenyum mendengar kedua orang itu menyebutkan namanya.
"Apa kabar kalian berdua, Miswan dan baung," kata Bapak sambil menyebutkan nama kedua orang itu.
"Wahaha.... Alhamdulillah sehat, gok," jawab seorang laki-laki yang memakai peci berwarna hitam yang kemudian ku tahu namanya adalah mang baung. Ada sebuah codet di pipi kirinya. Yang membuat wajahnya sedikit seram. Ada sebuah cincin batu akik berwarna putih di tangan kirinya yang memiliki ukuran lumayan besar.
Setelah Bapak dan mang baung bersalaman, Bapak lalu bersalaman pula dengan mang Miswan.
Kalau mamg Miswan ini, wajahnya sedikit lebih bersih daripada mang baung. Sebuah kumis yang lumayan lebat tumbuh di atas bibirnya.
Bapak kemudian mengenalkanku kepada kedua orang itu.
"Ini anakku," kata bapak.
"Nah benerkan dugaanku. Aku bisa tahu kalau kamu cagok begitu aku melihat wajah anakmu ini. Soalnya muka kamu itu ya, sama persis kayak anakmu dulu pas kamu masih muda," kata mang baung.
Berapa tertawa terkekeh. Sedangkan aku tersenyum kikuk.
Kemudian satu persatu kedua kenalan bapak itu aku salami.
Mang Miswan lalu mengajak kami untuk duduk disebuah saung yang ketika aku perhatikan, memiliki pemandangan yang sangat indah. Karena dari saung itu kita bisa melihat gunung Ciremai dikejauhan sana.
Seorang anak muda datang sambil membawa sebuah nampan yang berisi teko yang terbuat dari lempung (tanah liat), dan beberapa gelas.
"Apa kyai masih sibuk?" Tanya bapak setelah meminum air yang disuguhkan.
"Alhamdulillah, begitulah setiap hari. Ada saja orang-orang yang membutuhkan bantuan dari kyai. Bahkan ada yang sampai menginap juga," jawab mang baung seraya menunjukan pondokan-pondokan yang berada dibelakang rumah.
Setelah itu mereka berempat pun mengobrol, bercerita tentang masa lalu mereka. Dari situlah aku tahu tentang masa muda bapak.
Andaikan kalian tahu film dilan.
Di mana di film itu, dilan yang merupakan pemeran utama, adalah seorang panglima dari sebuah klub motor.
Begitupun dengan bapak.
Ternyata saat muda, bapakku adalah "panglima" dari desa tempat bapak. Bilamana terjadi keributan antar desa, maka bapak akan tampil sebagai pemimpin mereka.
Dengan bekal berbagai ilmu yang bapak miliki, maka pada saat itu sangat susah untuk mengalahkan bapak one on one. Sehingga akhirnya nama bapak menjadi terkenal se-kecamatan.
Dan karena namanya menjadi sangat terkenal di kalangan anak muda, maka bapak mulai dikagumi oleh para lawan jenis.
Sehingga akhirnya, pada usia 17 tahun bapak menikah dengan salah seorang gadis yang bernama yani.
Tetapi karena bapak dan yani masih berusia muda. Pernikahan mereka di tentang oleh kedua belah pihak.
Akan tetapi, karena kedua anak muda ini tetap Keukeh dengan pendirian mereka. Akhirnya mau tidak mau, pernikahanpun dilangsungkan dengan sederhana.
Baru tiga bulan pernikahan antara bapak dengan yani berlangsung, pernikahan mereka terancam bubar. Itu dikarenakan bapak yang tidak bekerja.
Karena kepepet oleh keadaan, saat itu bapak memutuskan untuk menjadi perampok bersama dengan mang ujang.
Dua perampokan sukses mereka jalani dengan aman. Sempat terpikirkan oleh bapak, untuk merajah tubuhnya dengan tato. Tetapi niatan itu berhasil dicegah oleh mang ujang.
"Nanti kamu bisa ditembak oleh petrus, gok. Bahaya," kata mang ujang waktu itu.
Dan berkat saran dari mang ujang, bapak akhirnya tidak jadi untuk mentato tubuhnya.
Hingga akhirnya, perampokan yang ketiga dilaksanakan.
*
Dini hari, tahun 1987.
Bapak dan mang ujang berkumpul seperti biasa disebuah kebun singkong dipinggir jalan desa, disaat mereka hendak melakukan kegiatan perampokan.
"Gimana, udah kamu bawa semua persiapan kita?" Bisik mang Ujang.
Bapak mengangguk sambil mengeluarkan sebuah buntalan kain berwarna hitam.
Buntalan itu kemudian bapak buka dan ditunjukan kepada mang Ujang.
Mang Ujang tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak bapak.
Dilihatnya didalam buntalan kain itu beberapa buah benda yang akan mereka berdua gunakan untuk kepentingan merampok itu.
Sebuah kemenyan hitam seukuran jempol kaki orang dewasa, tempat dupa kecil yang terbuat dari tanah liat, hio, dan sebilah keris kecil berwarna keemasan.
Setelah mang Ujang mengangguk, bapak kembali membungkus benda-benda tersebut dengan kain.
Sekarang giliran bapak yang menanyakan apakah mang Ujang membawa benda yang dia pinta.
"Kamu, Jang. Bawa gak dari tempat kyai?"
Mang Ujang tersenyum lebar dikegelapan malam.
Seperti halnya bapak. Mang Ujang juga mengeluarkan sebuah kain jarik kecil yang didalamnya berisi sesuatu.
Setelah dibuka, ternyata isinya adalah sebuah batu akik berwarna keputihan.
"Dengan akik ini, kita akan lancar memasuki rumah orang itu," kata mang Ujang.
Bapak juga tersenyum.
"Hebat kamu. Kok bisa kamu mendapatkan cincin akik itu dari kyai. Itu susah lho," ujar bapak perlahan.
"Hehehe...jangan panggil sahabatmu ini Ujang kalau hal ini gak bisa kudapatkan," kata mang Ujang bangga dan sedikit sombong.
Bapak menoyor kepalanya.
"Ya udah, kalau gitu sekarang kita langsung ke rumah orang itu aja. Mumpung belum masuk subuh," kata bapak.
Setelah kedua anak muda itu merapikan semua barang bawaannya. Keduanya lalu segera berangkat. Tujuannya adalah sebuah rumah orang yang lumayan terpandang didesa itu.
Desa yang bapak dan mang Ujang tuju adalah desa tetangga.
Keduanya berjalan beriringan dengan santai. Karena mereka berdua yakin, di waktu seperti ini, tidak akan ada orang yang berkeliaran bebas. Apalagi jalan yang mereka gunakan adalah jalan luar desa yang melewati sawah, ladang, dan sebuah areal pemakaman.
Disaat mereka melewati jalan yang berada ditengah-tengah areal pemakaman.
Tiba-tiba mereka berdua dikejutkan dengan suara tangisan.
Awalnya pelan, namun semakin lama suara tangisan itu semakin terdengar jelas.
Mang Ujang yang berjalan disebelah depan berhenti. Kepalanya melongok ke sana kemari mencari sumber suara itu.
Bapak yang sedikit kesal karena ulah mang Ujang, segera menggaplok kepalanya.
"Duk,"
"Aduh," seru mang Ujang sambil memegangi kepalanya bagian belakang.
"Jalan apa. Jangan malah planga plongo," kata bapak ketus.
"Sabar Napa, gok. Aku penasaran sama suara menangis ini, hehehe," kata mang Ujang sambil cengengesan.
"Kalau gitu jangan cari dibawah. Cari keatas. Tuh, orangnya lagi duduk diatas wuwu makam disebelah kiri depan," kata bapak sambil menunjuk kesebuah arah.
Mang Ujang mengikuti arah yang bapak tunjukkan.
Dan benar saja.
Diatas sebuah makan yang diberi atap, duduk menjuntai seorang perempuan dengan rambut awut-awutan. Pakaian yang dikenakannya khas, baju terusan warna putih kumal.

Mang ujang tersenyum.
"Hehehe...anak dari pak Cas** memang beda," katanya sambil mengacungkan jempol.
Bapak hanya diam.
Hanya matanya melihat kearah bulan yang bersinar diatas sana. Sambil dihatinya menghitung-hitung waktu. Apakah masih sempat untuk membiarkan tingkah aneh sahabatnya itu yang gemar berburu makhluk gaib.
Namun, setelah menimbang beberapa saat, akhirnya bapak membiarkan mang Ujang berbuat seenaknya.
"Tapi kalau sampai kelewatan, harus dihentikan,"kata bapak dalam hati.
Matanya lalu mengikuti gerak langkah mang Ujang yang dengan santainya berjalan melewati beberapa nisan orang yang sudah meninggal.
Sesampainya mang Ujang dibawah atap tempat kuntilanak itu duduk. Mang Ujang tersenyum.
Dipanggilnya kuntilanak itu dengan suara yang sengaja dilembut-lembutkan.
"Neng ayu...sini turun. Ngapain neng ayu duduk diatas sana. Nanti jatuh bahaya lho. Mendingan turun temenin saya, Ujang bin ganteng,"

Kuntilanak itu menghentikan tangisannya.
Lalu kepalanya sedikit diangkat.
Mang Ujang bisa dengan jelas melihat wajah yang sangat menyeramkan itu. Kulit wajahnya yang mengelupas di sana-sini. Matanya yang hitam melihat mang Ujang dengan tajam.
Tetapi mang Ujang tidak merasa takut meskipun dihatinya sedikit ada rasa berdesir. Karena diingatnya kalau bapak bersama dengannya.
Bahkan untuk tidak menunjukkan rasa takut, mang Ujang malah tertawa.
Dan si kuntilanak inipun ikutan tertawa. Tentu dengan tawa khasnya.
Mang Ujang lalu memperhatikan kuntilanak itu dengan seksama. Mang Ujang berjalan kekiri, kepala dari kuntilanak itu mengikutinya. Mang Ujang berjalan ke kanan, kepala dari kuntilanak itupun mengikutinya.
Mang Ujang lalu berlari kekiri dan kekanan dengan cepat. Berlari kecil bolak balik.
Dan ternyata, kuntilanak itu juga mengikuti gerakan mang Ujang dengan kepalanya kekiri dan juga ke kanan. Hingga terlihat kalau kuntilanak itu seperti orang yang lagi "jep ajep ajep".
Mang Ujang menghentikan kelakuannya dan tertawa terpingkal-pingkal melihat hal itu.
Lalu, sepertinya si kuntilanak ini sadar, bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh seorang anak manusia yang kurang ajar.
Disaat mang Ujang tertawa sambil menekuk tubuhnya karena sakit perut akibat kebanyakan tertawa.
Tiba-tiba saja kuntilanak itu terbang dan turun tepat didepan mang Ujang.
Sontak mang Ujang kaget bukan kepalang melihat hal ini.
"Kampret!" Teriak mang Ujang.
Kuntilanak itu berdiri sambil melotot ke arah mang Ujang.
Tubuhnya lalu seperti melayang mendekati mang Ujang.
Mang Ujang tidak menunjukkan rasa takut sama sekali. Tapi ia memilih berjalan mundur agar bisa sedikit leluasa.
Lalu,
"Gok, cagok! Tolong hajar makhluk jahanam ini. Berani-beraninya dia sama aku!" Teriak mang Ujang.
Sepi.
Mang Ujang menoleh kebelakang ketempat dimana seharusnya bapak berdiri.
Mata mang Ujang melotot seketika.
Ternyata bapak sudah tidak ada disitu.
"CAGOK!"
Teriak mang Ujang.
"Oooyyy!" Sebuah suara terdengar di kejauhan. Tepatnya didekat pintu gerbang masuk areal pemakaman.
Mang Ujang menoleh kedepannya lagi.
Wajah kuntilanak itu kini sudah persis didepannya.

"Hanya berjarak sejengkal saja," kata mang Ujang saat ia bercerita didepanku.
Tanpa pikir panjang lagi, mang Ujang langsung berlari kencang menuju kearah bapak.
Ia tidak memperdulikan sudah berapa nisan yang ia langgar. Karena yang diingatnya saat itu adalah, betapa dekatnya suara tawa khas dari kuntilanak itu.
Semakin mang Ujang berusaha berlari kencang, semakin dekat juga rasanya pemilik dari tawa itu.
Hingga akhirnya mang Ujang sampai dihadapan bapak yang ketika itu sudah berdiri sambil menggenggam keris kecil ditangannya.
Mang Ujang melompat dan terjatuh persis dihadapan bapak.
Mang Ujang lalu berbalik badan.
Dilihatnya kuntilanak itu berdiri sekitar 5 meteran dari tempatnya berada.
Kuntilanak itu seperti ketakutan melihat bapak yang tengah menggenggam keris.
"Pergi!" Bentak bapak.
Kuntilanak itu terdiam. Tetapi sorot matanya tetap tajam memandang ke arah mang Ujang yang masih terduduk didepan bapak.
Bapak lalu berusaha untuk mengajak mang Ujang untuk segera pergi dari tempat itu.
Disaat bapak dan mang Ujang hendak melangkah. Tiba-tiba saja seperti ada suara yang menggema ditelinga mereka berdua.
"Aku adalah penguasa wilayah ini. Berani-beraninya kau mengganggu waktu senangku, wahai manusia. Tak akan ku maafkan kelakuanmu tadi. Aku pasti akan membalas dendam atas perlakuanmu tadi."
Bapak dan mang Ujang yakin, bahwa suara ancaman itu berasal dari kuntilanak yang berdiri didepan mereka.
"Bacot," geram bapak.
Lalu bapak mengayunkan keris ditangannya.
"Wusss,"
Sebuah kilatan berwarna keemasan berkelebat dan langsung menghantam telak tubuh dari kuntilanak itu.
"Haaaaaaaa....!"
Sebuah teriakan kesakitan menggema kembali.
Didepan mata kedua anak Adam itu, kuntilanak tadi tengah terbakar hebat.
Tubuhnya diselimuti oleh api berwarna keemasan. Lalu disaat api itu padam, lenyap pula tubuh dari sang penguasa itu.
Bapak menghembuskan nafas lega. Begitupun dengan mang Ujang.
Bapak lalu kembali mengajak mang Ujang berjalan meninggalkan pemakaman itu.
Hampir disepanjang jalan itu, mang Ujang mengomeli bapak yang tega meninggalkan dirinya.
Bapak hanya tertawa saja mendengar segala keluh kesah sahabatnya itu.
Lalu, disaat keduanya sudah dekat dengan batas desa. Bapak dan mang Ujang segera mencari sebuah tempat yang sekiranya aman. Lalu keduanya segera melepaskan segala baju yang mereka kenakan.
Bapak lalu mengeluarkan bungkusan yang dibawanya. Begitupun dengan mang Ujang. Ia membuka bungkusan yang ia bawa pula.
Lalu, kedua orang itu saling mengangguk.
Dengan cepat bapak dibantu dengan mang Ujang mempersiapkan segala sesuatunya.
Kemenyan yang telah disiapkan segara dibakar dan diletakkan di dalam dupa kecil. Lalu tak menunggu waktu lama, asap dari kemenyan itu membumbung tipis disertai bau yang menyengat. Sebatang hio juga ditancapkan didepan dupa itu.
Kedua anak muda yang saat itu sudah telanjang bulat, segera duduk bersila mengapit dupa.
Bapak lalu komat kamit membaca beberapa bait mantra. Diulanginya mantra itu beberapa kali. Hingga akhirnya ada sebuah angin beliung kecil berputar disekitar mereka.
Putaran angin beliung itu ikut melibat asap kemenyan.
Bapak lalu mengkonsentrasikan diri dan menyuruh angin jadi-jadian itu pergi kesebuah tempat yang telah ditentukan.
Setelah angin itu menghilang. Bapak dan mang Ujang segera berdiri.
"Siap," tanya bapak.
Mang Ujang mengangguk. Dijarinya kini telah melingkar cincin akik milik kyai yang entah bagaimana bisa dipinjamnya.
Bapak sendiri juga menggenggam sebatang hio yang sudah menyala.
"Kita berangkat,"
***
sulkhan1981 dan 53 lainnya memberi reputasi
54
Tutup