- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#286
Jilid 10 [Part 211]
Spoiler for :
SEKARANG Mahesa Jenar melihat kemungkinan menjadi lain. Anak itu sekarang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, serta mempunyai bekal yang cukup buat masa depannya.
Demikianlah Mahesa Jenar menjadi berbangga atas muridnya itu. Kalau nanti pada suatu ketika, ia bertemu dengan Gajah Sora, maka ia akan dapat menyerahkan Arya Salaka tanpa mengecewakan sahabatnya itu.
Sesaat kemudian Mahesa Jenarpun berdiri dan melangkah keluar ruangan sambil berkata acuh tak acuh,
Sekali lagi kegembiraan melonjak didalam dada Arya. Segera ia pun mengikuti gurunya dekat-dekat supaya ia tidak lagi kehilangan jalan.
Kemudian sampailah mereka ke dalam ruangan dimana Mahesa Jenar bertemu dengan Putut Karang Tunggal waktu ia berjalan bersama Kebo Kanigara. Benarlah dari ruangan itu ia melihat bayangan cahaya api. Segera Mahesa Jenar berjalan menyusur jalan-jalan goa yang sempit ke arah api itu.
Ketika mereka sampai, dilihatnya Putut Karang Tunggal seorang diri memegangi sebuah obor.
Mula-mula ia ingin menanyakan di mana Kebo Kanigara. Tetapi maksud itu diurungkan. Namun bagaimanapun juga ia menjadi sangat berterima kasih di dalam hatinya, bahwa untuk kepentingannya serta muridnya, Kebo Kanigara bekerja keras dan melakukan hal-hal yang aneh. Tetapi lebih dari pada itu adalah untuk kesuburan persemaian perguruan Pengging.
Sejenak kemudian Putut itu berkata pula,
Mahesa Jenar menjadi beragu. Ia tidak tahu apakah Putut itu berkata sebenarnya, ataukah hanya merupakan suatu alasan untuk membawanya keluar dari dalam goa itu. Karena itu ia berdiam diri sampai Putut itu melanjutkan,
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dipersilahkannya Putut yang membawa obor itu berjalan dahulu, kemudian ia pun mengikutinya bersama Arya Salaka yang masih berdiam diri saja.
Setelah mereka berjalan berliku-liku, akhirnya sampailah mereka ke ruang yang sering dipergunakannya bermain para cantrik. Dari sana mereka menerobos sebuah lubang yang diluarnya tertutup oleh dedaunan yang rimbun.
Demikian mereka tegak di luar goa itu, terasalah udara malam yang segar memercik ke wajah mereka. Sedang di atas kepala mereka, bertaburan bintang-bintang yang berpencaran memenuhi langit yang biru hitam. Seleret awan putih membujur dari kutub ke kutub seolah-olah membagi langit menjadi dua bagian. Sedang dari semak-semak di sekitar mereka, terdengarlah bunyi jangkrik bersautan di antara nyanyi belalang. Bersamaan dengan itu terlonjak pula hati Arya Salaka, yang merasa telah menyelesaikan suatu kewajiban yang berat. Kalau mula-mula ia menjadi bingung atas kelakuan gurunya, maka akhirnya ia mengira bahwa hal itu adalah merupakan suatu tahap yang memang harus dilalui. Tetapi sebenarnya bukan saja Arya Salaka yang mempunyai perasaan demikian. Mahesa Jenar pun seolah-olah merasa terlepas dari suatu daerah sepi yang penuh dengan pemerasan keringat dan pikiran.
Mengingat hal itu Mahesa Jenar menjadi tersenyum sendiri. Apalagi kalau ia dengan sepintas lalu memandang wajah Arya Salaka. Ia menjadi geli. Anak itu merasa seolah-olah telah mendapat gemblengan yang berat dari padanya, padahal ia sendiri sedang melakukan hal yang serupa. Menggembleng diri sendiri.
Beberapa lama kemudian sampailah mereka ke rumah dimana mereka selalu diterima oleh Panembahan Ismaya.
Di dalam rumah itu tampak memancar cahaya pelita yang berkedip-kedip karena permainan angin pegunungan. Cahayanya yang kuning kemerahan menembus lubang-lubang dinding membuat garis-garis lurus yang berpencaran.
Ketika mereka memasuki rumah itu, tampaklah Panembahan Ismaya duduk di atas batu hitamnya yang dialasi dengan kulit kayu. Demikian orang tua itu melihat kehadirannya segera ia bangkit dan menyambut dengan hormatnya, sambil mempersilahkannya duduk.
MAHESA JENAR akan mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan, maka tidak pula ada perlunya untuk memanggilnya.
Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya.
Maka untuk beberapa saat suasana menjadi hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya.
Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata,
Setelah sekali lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup.
Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar berkatalah ia,
Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya. Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan kemudian duduk di sampingnya.
Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak.
Sesaat kemudian Kanigara meneruskan,
Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu.
Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring,
Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan dengan itu denyut jantungnya bertambah cepat.
Demikianlah Mahesa Jenar menjadi berbangga atas muridnya itu. Kalau nanti pada suatu ketika, ia bertemu dengan Gajah Sora, maka ia akan dapat menyerahkan Arya Salaka tanpa mengecewakan sahabatnya itu.
Sesaat kemudian Mahesa Jenarpun berdiri dan melangkah keluar ruangan sambil berkata acuh tak acuh,
Quote:
"Arya, ikutilah."
Sekali lagi kegembiraan melonjak didalam dada Arya. Segera ia pun mengikuti gurunya dekat-dekat supaya ia tidak lagi kehilangan jalan.
Kemudian sampailah mereka ke dalam ruangan dimana Mahesa Jenar bertemu dengan Putut Karang Tunggal waktu ia berjalan bersama Kebo Kanigara. Benarlah dari ruangan itu ia melihat bayangan cahaya api. Segera Mahesa Jenar berjalan menyusur jalan-jalan goa yang sempit ke arah api itu.
Ketika mereka sampai, dilihatnya Putut Karang Tunggal seorang diri memegangi sebuah obor.
Quote:
"Selamat sore Paman Mahesa Jenar," sapanya sambil membungkuk hormat.
"Selamat sore Karang Tunggal," jawab Mahesa Jenar.
"Selamat sore Karang Tunggal," jawab Mahesa Jenar.
Mula-mula ia ingin menanyakan di mana Kebo Kanigara. Tetapi maksud itu diurungkan. Namun bagaimanapun juga ia menjadi sangat berterima kasih di dalam hatinya, bahwa untuk kepentingannya serta muridnya, Kebo Kanigara bekerja keras dan melakukan hal-hal yang aneh. Tetapi lebih dari pada itu adalah untuk kesuburan persemaian perguruan Pengging.
Sejenak kemudian Putut itu berkata pula,
Quote:
"Paman, marilah kita tinggalkan goa ini. Ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Eyang Ismaya."
Mahesa Jenar menjadi beragu. Ia tidak tahu apakah Putut itu berkata sebenarnya, ataukah hanya merupakan suatu alasan untuk membawanya keluar dari dalam goa itu. Karena itu ia berdiam diri sampai Putut itu melanjutkan,
Quote:
"Seseorang yang baru saja datang kemari ingin bertemu dengan Paman."
"Siapakah dia?" tanya Mahesa Jenar sekenanya.
"Paman Kebo Kanigara," jawab Putut Karang Tunggal.
"Itukah yang penting?" tanya Mahesa Jenar pula.
"Bukan itu saja," jawab Putut Karang Tunggal.
"Ada dua tiga soal yang lain."
"Siapakah dia?" tanya Mahesa Jenar sekenanya.
"Paman Kebo Kanigara," jawab Putut Karang Tunggal.
"Itukah yang penting?" tanya Mahesa Jenar pula.
"Bukan itu saja," jawab Putut Karang Tunggal.
"Ada dua tiga soal yang lain."
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dipersilahkannya Putut yang membawa obor itu berjalan dahulu, kemudian ia pun mengikutinya bersama Arya Salaka yang masih berdiam diri saja.
Setelah mereka berjalan berliku-liku, akhirnya sampailah mereka ke ruang yang sering dipergunakannya bermain para cantrik. Dari sana mereka menerobos sebuah lubang yang diluarnya tertutup oleh dedaunan yang rimbun.
Demikian mereka tegak di luar goa itu, terasalah udara malam yang segar memercik ke wajah mereka. Sedang di atas kepala mereka, bertaburan bintang-bintang yang berpencaran memenuhi langit yang biru hitam. Seleret awan putih membujur dari kutub ke kutub seolah-olah membagi langit menjadi dua bagian. Sedang dari semak-semak di sekitar mereka, terdengarlah bunyi jangkrik bersautan di antara nyanyi belalang. Bersamaan dengan itu terlonjak pula hati Arya Salaka, yang merasa telah menyelesaikan suatu kewajiban yang berat. Kalau mula-mula ia menjadi bingung atas kelakuan gurunya, maka akhirnya ia mengira bahwa hal itu adalah merupakan suatu tahap yang memang harus dilalui. Tetapi sebenarnya bukan saja Arya Salaka yang mempunyai perasaan demikian. Mahesa Jenar pun seolah-olah merasa terlepas dari suatu daerah sepi yang penuh dengan pemerasan keringat dan pikiran.
Mengingat hal itu Mahesa Jenar menjadi tersenyum sendiri. Apalagi kalau ia dengan sepintas lalu memandang wajah Arya Salaka. Ia menjadi geli. Anak itu merasa seolah-olah telah mendapat gemblengan yang berat dari padanya, padahal ia sendiri sedang melakukan hal yang serupa. Menggembleng diri sendiri.
Beberapa lama kemudian sampailah mereka ke rumah dimana mereka selalu diterima oleh Panembahan Ismaya.
Di dalam rumah itu tampak memancar cahaya pelita yang berkedip-kedip karena permainan angin pegunungan. Cahayanya yang kuning kemerahan menembus lubang-lubang dinding membuat garis-garis lurus yang berpencaran.
Ketika mereka memasuki rumah itu, tampaklah Panembahan Ismaya duduk di atas batu hitamnya yang dialasi dengan kulit kayu. Demikian orang tua itu melihat kehadirannya segera ia bangkit dan menyambut dengan hormatnya, sambil mempersilahkannya duduk.
Quote:
"Agaknya Anakmas tidak begitu senang tinggal di dalam goa yang gelap itu," kata Ismaya kemudian.
"Ternyata Anakmas dan Cucu Arya Salaka menjadi kurus."
Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi agak sulit untuk menjawab, karena itu katanya,
"Tidak Panembahan, kami senang tinggal di dalam goa itu."
Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Lalu sambungnya,
"Tetapi aku girang bahwa Anakmas dan Cucu Arya Salaka tetap segar. Bukankah tiada sesuatu selama ini?"
"Tidak Panembahan, tidak," jawab Mahesa Jenar.
"Demikianlah yang aku kehendaki," sahut Panembahan Ismaya pula.
"Tetapi ketahuilah Anakmas, apa yang anakmas takutkan ternyata benar-benar terjadi. Orang-orang yang mengepung bukit ini menyerbu naik."
Dada Mahesa Jenar tergetar mendengar keterangan itu. Maka iapun bertanya pula,
"Adakah mereka memperlakukan Panembahan dengan kasar?"
"Tidak begitu kasar," jawab Panembahan Ismaya.
"Tetapi mereka mengaduk hampir segala sudut bukit ini."
"Dan Panembahan tidak memberitahukan itu kepadaku…?" sahut Mahesa Jenar.
"Aku hanya memberitahukan kepada Anakmas kalau mereka akan menyakiti kami," jawab Panembahan itu pula.
"Tetapi ternyata mereka hanya mencari-cari saja."
"Ternyata Anakmas dan Cucu Arya Salaka menjadi kurus."
Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi agak sulit untuk menjawab, karena itu katanya,
"Tidak Panembahan, kami senang tinggal di dalam goa itu."
Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Lalu sambungnya,
"Tetapi aku girang bahwa Anakmas dan Cucu Arya Salaka tetap segar. Bukankah tiada sesuatu selama ini?"
"Tidak Panembahan, tidak," jawab Mahesa Jenar.
"Demikianlah yang aku kehendaki," sahut Panembahan Ismaya pula.
"Tetapi ketahuilah Anakmas, apa yang anakmas takutkan ternyata benar-benar terjadi. Orang-orang yang mengepung bukit ini menyerbu naik."
Dada Mahesa Jenar tergetar mendengar keterangan itu. Maka iapun bertanya pula,
"Adakah mereka memperlakukan Panembahan dengan kasar?"
"Tidak begitu kasar," jawab Panembahan Ismaya.
"Tetapi mereka mengaduk hampir segala sudut bukit ini."
"Dan Panembahan tidak memberitahukan itu kepadaku…?" sahut Mahesa Jenar.
"Aku hanya memberitahukan kepada Anakmas kalau mereka akan menyakiti kami," jawab Panembahan itu pula.
"Tetapi ternyata mereka hanya mencari-cari saja."
MAHESA JENAR akan mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan, maka tidak pula ada perlunya untuk memanggilnya.
Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya.
Maka untuk beberapa saat suasana menjadi hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya.
Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata,
Quote:
"Anakmas, agaknya malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain."
"Baiklah Panembahan," jawab Mahesa Jenar.
"Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas beristirahat," sambung Panembahan Ismaya pula.
"Di sana Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara."
"Baiklah Panembahan," jawab Mahesa Jenar.
"Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas beristirahat," sambung Panembahan Ismaya pula.
"Di sana Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara."
Setelah sekali lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup.
Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar berkatalah ia,
Quote:
"Mahesa Jenar, duduklah. Tutup pintu itu supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku berceritera."
Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya. Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan kemudian duduk di sampingnya.
Quote:
"Kau ingat pada waktu aku pertama-tama kaulihat?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya," jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk.
Di mana muridmu sekarang? tanya Kanigara tiba-tiba.
"Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal," jawabnya singkat.
"Bagus, suatu kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya."
Kanigara berhenti sebentar lalu meneruskan,
"Arya akan senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan seorang gadis?"
Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan.
"Gadis itu aku sembunyikan. Sejak malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu."
Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku.
"Kau harus menemuinya," sambung Kanigara pula.
Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya.
"Biarlah anakku mengantarkanmu nanti," kata Kanigara pula.
Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya,
"Siapakah Kakang Kanigara itu?"
"Seorang anak perempuan," jawab Kanigara,
"Namanya Widuri."
"Widuri…? Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara?" tanya Mahesa Jenar pula.
"Ya," jawab Kanigara singkat.
"Aku belum pernah mendengar sebelumnya," kata Mahesa Jenar.
"Adakah anak itu dilahirkan di Demak?"
"Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu," jawab Kanigara.
"Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku berbuat demikian."
"Ya," jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk.
Di mana muridmu sekarang? tanya Kanigara tiba-tiba.
"Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal," jawabnya singkat.
"Bagus, suatu kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya."
Kanigara berhenti sebentar lalu meneruskan,
"Arya akan senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan seorang gadis?"
Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan.
"Gadis itu aku sembunyikan. Sejak malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu."
Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku.
"Kau harus menemuinya," sambung Kanigara pula.
Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya.
"Biarlah anakku mengantarkanmu nanti," kata Kanigara pula.
Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya,
"Siapakah Kakang Kanigara itu?"
"Seorang anak perempuan," jawab Kanigara,
"Namanya Widuri."
"Widuri…? Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara?" tanya Mahesa Jenar pula.
"Ya," jawab Kanigara singkat.
"Aku belum pernah mendengar sebelumnya," kata Mahesa Jenar.
"Adakah anak itu dilahirkan di Demak?"
"Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu," jawab Kanigara.
"Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku berbuat demikian."
Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak.
Sesaat kemudian Kanigara meneruskan,
Quote:
"Kemudian aku bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di perjalanan. Sedang beberapa tahun kemudian ibunya meninggal dunia. Untunglah bahwa aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menerima kami tinggal bersama, Panembahan Ismaya."
Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu.
Quote:
"Bahkan beberapa tahun kemudian…" kata Kanigara pula,
"Aku sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya harus bepergian jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat Demak."
"Aku sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya harus bepergian jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat Demak."
Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring,
Quote:
"He, aku telah membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan berceritera tentang seorang gadis yang aku larikan, bukan tentang aku."
Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan dengan itu denyut jantungnya bertambah cepat.
Quote:
"Nah Mahesa Jenar…" sambung Kanigara tiba-tiba,
"Kau akan dapat menemuinya bersama Widuri."
Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat.
"Tidak banyak yang harus aku pesankan kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu dengannya." Kanigara meneruskan,
"Kecuali pada saat kau melarikan malam itu."
"Kau akan dapat menemuinya bersama Widuri."
Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat.
"Tidak banyak yang harus aku pesankan kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu dengannya." Kanigara meneruskan,
"Kecuali pada saat kau melarikan malam itu."
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas