- Beranda
- Stories from the Heart
Dendam sang Arwah
...
TS
gitalubis
Dendam sang Arwah

Indeks Link
Part 1 di sini
Part 2 di sini
Part 3 di sini
Part 4 End
Wuuzzzhh wuuzzh
Angin bertiup sangat kencang, membuat rambut lurus milikku yang sengaja tergerai menjadi berantakan. Sepertinya hujan badai akan terjadi, padahal seharian ini tidak ada media yang menginformasikan akan terjadinya hujan badai. Daun-daun berterbangan, pohon beringin nan rimbun di sebrang jalan, nampak bergoyang hebat.
Sudah setengah jam lebih aku masih setia menunggu bus terakhir. Menurut jadwal, seharusnya ia sudah lewat 14 menit yang lalu. Namun, entah mengapa sampai saat ini belum juga tiba.
Tes ... tes.
Rintik hujan mulai turun, sialnya hari ini aku tidak membawa payung. Segera aku merapat ke halte bus agar terhindar dari tetesannya. Dingin, kurapatkan sweater hitam yang tidak begitu tebal, berharap dinginnya sedikit berkurang.
"Kamu mau pulang ke mana, Nak? tanya seorang ibu yang kutaksir berkisar 20 tahun di atasku.
"Ke penginapan Golden House."
"Kau tinggal di sana, Nak? tanyanya dengan nada yang terdengar terkejut.
"Ia, untuk seminggu ke depan,--"
Belum sempat habis kalimatku, bus merah yang sedari tadi kami tunggu telah tiba. Cepat aku naik bersama tiga orang lainnya, terlihat samar di penglihatan, seseorang tengah berdiri tepat di depan pohon beringin yang ada di seberang jalan. Bibi yang di halte tadi memegang lenganku, membuatku menoleh ke arahnya dengan tiba-tiba.
"Maaf, sudah membuatmu terkejut, ucapnya penuh penyesalan. Kurasa ia memperhatikan ekspresi tubuhku tadi.
"Ah, tidak apa-apa, Bi." Kusunggingkan sedikit senyum, agar ia merasa lega.
Kembali aku menatap jalan yang ada di depan, tapi seseorang yang tadi kulihat sudah tidak ada lagi. Seketika aura tak sedap datang menghampiri. Kupegang tengkuk leher yang terasa agak berat dari sebelumnya.
Dua puluh menit berlalu, aku penumpang pertama yang turun sejak pemberhentian tadi.
"Berhati-hati lah, Nak." Pesan bibi yang di halte bersamaku tadi.
Aku menoleh ke arahnya sebelum turun, entah apa maksudnya mengatakan itu. Sedari dari tingkahnya agak berbeda dari penumpang lain. Namun, urung untuk mempertanyakannya. Buru-buru aku turun dari bus.
Tuk ... tuk ... tuk.
High hels yang kugunakan, membuat suara gaduh memasuki penginapan yang dituju.
Golden House.
Penginapan yang memiliki desain yang antik. Aksen tua, membuatnya terlihat lebih angker. Seperti bangunan belanda. Tidak! Bukan seperti, tapi memang bangunan belanda.
"Malam, Non, sapa lelaki tua yang berjaga.
"Malam juga, Pak." Kubungkukkan sedikit badan, sebagai tanda menghormatinya.
Dua hari lalu, aku tiba di kota yang penuh sejarah ini. Bukan tanpa alasan berada di sini. Karena berada di tingkat akhir kuliah, membuatku harus banyak melakukan riset demi menambah bahan skripsi.
"Habis meneliti ya, Non?"
"Iya, Pak."
Lihatlah! Pak penjaga penginapan ini sangat ramah. Ini juga yang menjadi alasanku memilih tempat ini menginap selama sembilan hari.
Sepi. Itulah yang kurasakan saat pertama kali memasuki wilayah penginapan ini. Sampai-sampai suara jarum jam yang bergerak bisa kudengar cukup jelas. Sebenarnya ada banyak kamar di sini, namun hanya delapan yang terisi.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka bersama dengan bunyi knop yang terdengar. Aku segera berlalu ke kamar mandi. Menikmati sentuhan air hangat yang keluar dari shower.
bersambung
Part 2 di sini

Baca juga: Drama Pernikahan
Diubah oleh gitalubis 09-11-2020 06:30
nadelti dan 29 lainnya memberi reputasi
30
6.3K
77
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
gitalubis
#19
Part 3
"Jika kau ingin tahu ceritanya, datanglah besok ke Jl Melati pukul 10.00 pagi. Sekitar sepuluh menit dari Golden House, maka kau akan sampai ke sana," ucapnya kala halte pemberhentianku sedikit lagi. "Nama Saya Suci, aku akan menunggumu di sana."
Bibi itu memperkenalkan diri, serta mengatakan bahwa ia akan menungguku. Padahal, aku belum mengiyakan jadwal yang ia lontarkan.
"Saya Gita. Baiklah, besok saya akan tiba di sana tepat di waktu yang Bibi janjikan," jawabku yang menjanjikan.
Malam itu aku tau namanya. Seperti biasa, aku lah penumpang yang pertama kali turun.
Demi menjawab penasaran serta hal aneh yang belakangan ini mengganggu. Sengaja kubatalkan rencana yang telah tersusun rapi jauh-jauh hari.
"Non, mau buat apa di sana?" tanya Pak Atan sedikit bingung kala aku bertanya tentang alamat yang diberikan oleh Bibi Suci.
"Eemmh ... riset, Pak, ya untuk riset," jawabku gugup.
Walau sedikit ragu, tapi Pak Atan tetap memberi tahu jalan menuju ke sana. Cukup berjalan ke arah timur untuk menunggu angkutan berwarna kuning, maka ia akan mengantarku sampai tujuan. Setidaknya itu saran dari pak Atan.
Saat matahari sedang naik, aku sudah berdiri anggun di halte. Membiarkan rambut sebahu tergerai, dan menggunakan sneaker yang senada dengan blazer selutut.
Tak sampai sepuluh menit, aku sudah tiba di tempat tujuan. Mencoba berpikir, apakah alamatnya sudah benar. Namun, aku ingat betul, kalau ia memang memberikan alamat ini. Aneh, untuk apa Bibi Suci memintaku ke sini.
Kuedarkan pandangan, berusaha menemukan keberadaannya.
"Kau sudah lama menunggu, Nak?" tanyanya tiba-tiba muncul dari belakang.
"A ... tidak. Sekitar lima menit lalu. Bibi, kenapa kau mengajak bertemu disini? Tak adakah tempat lain?" tanyaku curiga.
Bukannya menjawab, ia malah menarik tanganku. Berhenti di sebalah gundukan tanah, yang dipenuhi rumput tipis. Nisan itu bertuliskan DHANI, dengan tahun wafat 2017. Ya, dia membawaku ke pamakaman
"Jika kau ingin tahu ceritanya, datanglah besok ke Jl Melati pukul 10.00 pagi. Sekitar sepuluh menit dari Golden House, maka kau akan sampai ke sana," ucapnya kala halte pemberhentianku sedikit lagi. "Nama Saya Suci, aku akan menunggumu di sana."
Bibi itu memperkenalkan diri, serta mengatakan bahwa ia akan menungguku. Padahal, aku belum mengiyakan jadwal yang ia lontarkan.
"Saya Gita. Baiklah, besok saya akan tiba di sana tepat di waktu yang Bibi janjikan," jawabku yang menjanjikan.
Malam itu aku tau namanya. Seperti biasa, aku lah penumpang yang pertama kali turun.
***
Demi menjawab penasaran serta hal aneh yang belakangan ini mengganggu. Sengaja kubatalkan rencana yang telah tersusun rapi jauh-jauh hari.
"Non, mau buat apa di sana?" tanya Pak Atan sedikit bingung kala aku bertanya tentang alamat yang diberikan oleh Bibi Suci.
"Eemmh ... riset, Pak, ya untuk riset," jawabku gugup.
Walau sedikit ragu, tapi Pak Atan tetap memberi tahu jalan menuju ke sana. Cukup berjalan ke arah timur untuk menunggu angkutan berwarna kuning, maka ia akan mengantarku sampai tujuan. Setidaknya itu saran dari pak Atan.
Saat matahari sedang naik, aku sudah berdiri anggun di halte. Membiarkan rambut sebahu tergerai, dan menggunakan sneaker yang senada dengan blazer selutut.
***
Tak sampai sepuluh menit, aku sudah tiba di tempat tujuan. Mencoba berpikir, apakah alamatnya sudah benar. Namun, aku ingat betul, kalau ia memang memberikan alamat ini. Aneh, untuk apa Bibi Suci memintaku ke sini.
Kuedarkan pandangan, berusaha menemukan keberadaannya.
"Kau sudah lama menunggu, Nak?" tanyanya tiba-tiba muncul dari belakang.
"A ... tidak. Sekitar lima menit lalu. Bibi, kenapa kau mengajak bertemu disini? Tak adakah tempat lain?" tanyaku curiga.
Bukannya menjawab, ia malah menarik tanganku. Berhenti di sebalah gundukan tanah, yang dipenuhi rumput tipis. Nisan itu bertuliskan DHANI, dengan tahun wafat 2017. Ya, dia membawaku ke pamakaman
Diubah oleh gitalubis 23-08-2020 21:07
pulaukapok dan 7 lainnya memberi reputasi
8