- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#271
Jilid 9 [Part 200]
Spoiler for :
KEMBALI dada Mahesa Jenar digetarkan oleh suatu peristiwa yang tak dapat dimengertinya.
Ketika ia sudah mulai bergerak untuk meloncat, tiba-tiba didengarnya gemerisik halus di bekalangnya. Cepat ia bersiaga dan membalikkan tubuhnya. Tetapi apa yang dilihatnya hampir tak masuk diakalnya.
Dalam remang-remang cahaya bintang serta sinar api yang menyusup di celah-celah daun ilalang, Mahesa Jenar melihat sebuah bayangan yang seolah-olah dirinya sendiri sedang terbang dan melontar cepat lewat disampingnya.
Dengan pandangan yang penuh kebingungan, matanya mengikuti bayangan itu dengan tanpa berkedip. Apalagi ketika ia melihat bayangan itu dengan lincahnya meloncat diatas batu karang tidak jauh dari perapian yang masih menyala-nyala. Dengan tangan bertolak pinggang serta kaki renggang, terdengarlah bayangan itu tertawa nyaring. Suaranya mengumandang seperti guntur yang menggelegar membentur dinding pegunungan, sambil berkata:
Mendengar suara yang mengguruh itu, isi dada Mahesa Jenar seperti diguncang-guncang. Cepat ia memusatkan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara yang aneh itu. Ia pernah mendengar Pasingsingan menghantamnya dengan suara tertawa yang mengerikan di alun-alun Banyu BIru.
Dan sekarang, suara orang yang berdiri diatas batu karang itu tidak pula kalah dahsyatnya menghantam dadanya.
Agaknya bukan saja Mahesa Jenar yang merasa terpukul oleh getaran suara yang dilontarkan dengan landasan kekuatan batin yang tinggi itu. Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang sedang bertempur itupun segera berloncatan mundur dan mempergunakan kekuatan batinnya untuk menahan supaya dadanya tidak rontok.
Pudak Wangipun tampak menundukkan kepala sambil memejamkan matanya. Agaknya cucu dan sekaligus murid Pandan Alas yang muda itupun berusaha untuk membebaskan diri dari getaran yang memukul-mukul dadanya. Bahkan lebih dari pada itu, Pandan Alas, Sima Rodra dan Bugel Kaliki, tokoh-tokoh tua yang sudah banyak makan pahit asinnya penghidupan itupun menjadi terkejut pula.
Ternyata bahwa karena itu pertempuran mereka jadi terhenti. Dengan pandangan yang keheran-heranan mereka memperhatikan orang yang berdiri diatas batu karang dengan kaki renggang dan kedua tangan bertolak pinggang.
Mahesa Jenar yang telah lebih dahulu melihat orang yang menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ketika sinar api mencapai wajahnya, segera ia mengenalnya, bahwa wajah itu sama sekali tidak jelas.
Rambut yang kasar tumbuh lebat hampir melingkari seluruh muka, bersambungan dengan kumis dan janggut yang rapat tak teratur.
Dalam pada itu Mahesa Jenar telah berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam suatu perasaan yang aneh, bahwa hampir-hampir ia merasa bahwa orang yang berdiri diatas batu karang itu adalah dirinya sendiri, yang dalam keadaan puncak keprihatinan, sehingga sama sekali tidak sempat memelihara diri. Meskipun beberapa kali Mahesa Jenar sudah pernah melihat wajahnya di permukaan air, namun ia dalam saat yang aneh itu, harus berjuang mati-matian untuk dapat mengenal dirinya kembali, dan membedakannya dengan orang yang berdiri diatas batu karang itu.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai kekuatan batin yang tinggi pula, sehingga dalam sesaat ia telah berhasil menguasai dirinya kembali. Semakin lama ia menjaid semakin jelas melihat batas antara dirinya dan orang itu. Bahkan akhirnya ia dapat memperhitungkan berbagai masalah mengenai dirinya dan orang yang mengaku Mahesa Jenar itu. Orang itu pasti sengaja memakai rambut, kumis dan janggut yang kasar dan lebat, supaya wajahnya tidak segera dikenal. Tetapi, yang Mahesa Jenar masih belum dapat menemukan jawabnya, adalah gerak gerik orang itu hampir mirip bahkan tepat seperti gerak geriknya, tapi berada diatas kemampuannya. Dan hal itulah kemudian yang menjadi teka-teki yang tak dapat dipecahkannya.
Sudah untuk kedua kalinya Mahesa Jenar mengalami hal yang serupa. Ketika ia harus bertempur berlima melawan Sima Rodra dan Pasingsingan, tiba-tiba saja ia melihat dua orang Mahesa Jenar melibatkan diri. Kedua orang itu ternyata Ki Paniling atau yang nama sebenarnya adalah Radite dan Darba atau Anggara.
Namun bagaimanapun juga akhirnya ia dapat mengenal kedua orang itu.
Tetapi ternyata orang yang menyerupai dirinya kali ini lebih membingungkannya. Sebab gerak geriknya mirip sekali dengan geraknya sendiri dalam ilmu warisan Ki Ageng Pengging Sepuh.
Dalam keadaan yang demikian, suasana menjadi hening tegang. Kecuali suara berderai yang meluncur dari mulut orang yang berdiri diatas batu karang itu, selainnya sunyi.
Tetapi tiba-tiba orang itu meloncat mirip seekor garuda yang terbang menukik dari atas batu karang itu langsung ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri mematung.
Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itupun segera tahu maksudnya. Sebab di mata mereka, orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar yang sedang berusaha untuk membebaskan Rara Wilis. Maka kemudian terdengar suara Janda Sima Rodra itu nyaring,
Jaka Sokapun kemudian teringat apa yang pernah tejadi di hutan Tambak Baya. Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar telah menggagalkan niatnya, waktu ia hendak menculik Rara Wilis. Karena pada waktu itu, ia tidak berhasil mengalahkannya. Tetapi sekarang ia telah bekerja keras untuk menambah ilmunya.
JAKA SOKA merasa bahwa ia tidak perlu takut lagi kepada Mahesa Jenar, meskipun terhadap Sasra Birawa ia masih harus sangat hati-hati dan yang dapat dilakukannya hanyalah menghindarkan diri. Apalagi sekarang ia dapat bekerja sama dengan Janda Sima Rodra.
Sedangkan Sarayuda, ia mengharap bahwa salah seorang dari Sima Rodra tua atau Bugel Kaliki mengurusnya.
Juga terhadap Mahesa Jenar itu akhirnya, apabila dirinya menemui kesulitan, meskipun ia bekerja sama dengan Janda Sima Rodra, Jaka Soka mengharap Sima Rodra Tua mau membantu menangkapnya untuk kepentingan anaknya.
Dalam pada itu, Janda Sima Rodra itu menjadi gembira. Ia ingin Mahesa Jenar tertangkap hidup-hidup. Ia ingin membalas sakit hatinya karena suaminya terbunuh. Tetapi lebih daripada itu, keliarannya telah mendorongnya untuk melakukan niat yang memuakkan. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang kasar dan berambut lebat itu ia menjadi agak kecewa. Namun demikian ia sama sekali tidak mengurungkan niatnya.
Orang ketiga, yang berdiri di dalam arena itu adalah Sarayuda. Ia mempunyai tanggapan sendiri atas kehadiran Mahesa Jenar. Meskipun ia menduga bahwa kehadiran Mahesa Jenar kali inipun bermaksud untuk menyelamatkan Pudak Wangi, namun tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan cemburu yang meluap-luap.
Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertempur dengan Mahesa Jenar ketika ia menolong Arya Salaka. Pada saat itu, ia merasakan suatu perhubungan yang aneh dengan orang itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja Mahesa Jenar pergi meninggalkan pondok Ki Ageng Pandan Alas tanpa pamit. Dan sejak itulah ia mempunyai perasaan bersaing. Meskipun sejak itu Mahesa Jenar tidak pernah muncul kembali dan agaknya Ki Ageng Pandan Alaspun sangat membesarkan hatinya, namun Pudak Wangi sendiri tidak pernah membuka hatinya.Ia yakin kalau hal itu disebabkan karena hati itu telah dirampas oleh orang yang bernama Mahesa Jenar.
Berbeda dengan perasaan Mahesa Jenar sendiri, yang meskipun ia memiliki perasaan yang sama dengan Sarayuda, namun ia mendahulukan keselamatan Pudak Wangi dari perasaannya yang mengganggu. Ia memang sudah membiasakan diri, berkorban untuk kepentingan yang lebih besar dan luas tanpa pamrih, daripada kepentingan diri sendiri.
Karena perasaan itulah maka Sarayuda justru merasa tersinggung karena hadirnya Mahesa Jenar. Apalagi setelah ia berjuang mati-matian untuk membebaskan gadis cucu gurunya, namun tidak ada tanda-tanda akan berhasil, bahkan akhirnya gurunya sendiri menemui kesulitan pula karena hadirnya kecuali Sima Rodra tua yang memang sudah diduga sebelumnya, juga Bugel Kaliki.
Maka sebelum orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu sampai ke tengah-tengah arena itu, ia berteriak,
Tetapi orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tidak pergi, malahan ia berkata kepada semua yang ada di arena itu,
Setelah itu kembali ia bergerak maju. Pada saat itu, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang paling berkepentingan untuk menangkap Mahesa Jenar itu dan menggagalkan maksudnya. Karena itulah maka mereka berloncatan maju menghalangi. Sedang Sarayuda menjadi ragu, dan untuk beberapa saat ia kehilangan pegangan, apakah yang akan dilakukannya. Sementara itu orang-orang tua yang menyaksikan perbantahan mereka menjadi tertegun heran. Sima Rodra dan Pandan Alas, dengan jelas mengetahui sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar itu, mereka menjadi agak keheran-heranan.
Ketika ia sudah mulai bergerak untuk meloncat, tiba-tiba didengarnya gemerisik halus di bekalangnya. Cepat ia bersiaga dan membalikkan tubuhnya. Tetapi apa yang dilihatnya hampir tak masuk diakalnya.
Dalam remang-remang cahaya bintang serta sinar api yang menyusup di celah-celah daun ilalang, Mahesa Jenar melihat sebuah bayangan yang seolah-olah dirinya sendiri sedang terbang dan melontar cepat lewat disampingnya.
Dengan pandangan yang penuh kebingungan, matanya mengikuti bayangan itu dengan tanpa berkedip. Apalagi ketika ia melihat bayangan itu dengan lincahnya meloncat diatas batu karang tidak jauh dari perapian yang masih menyala-nyala. Dengan tangan bertolak pinggang serta kaki renggang, terdengarlah bayangan itu tertawa nyaring. Suaranya mengumandang seperti guntur yang menggelegar membentur dinding pegunungan, sambil berkata:
Quote:
"Inilah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang dikenal dengan nama Mahesa Jenar serta bergelar Rangga Tohjaya."
Mendengar suara yang mengguruh itu, isi dada Mahesa Jenar seperti diguncang-guncang. Cepat ia memusatkan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara yang aneh itu. Ia pernah mendengar Pasingsingan menghantamnya dengan suara tertawa yang mengerikan di alun-alun Banyu BIru.
Dan sekarang, suara orang yang berdiri diatas batu karang itu tidak pula kalah dahsyatnya menghantam dadanya.
Agaknya bukan saja Mahesa Jenar yang merasa terpukul oleh getaran suara yang dilontarkan dengan landasan kekuatan batin yang tinggi itu. Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang sedang bertempur itupun segera berloncatan mundur dan mempergunakan kekuatan batinnya untuk menahan supaya dadanya tidak rontok.
Pudak Wangipun tampak menundukkan kepala sambil memejamkan matanya. Agaknya cucu dan sekaligus murid Pandan Alas yang muda itupun berusaha untuk membebaskan diri dari getaran yang memukul-mukul dadanya. Bahkan lebih dari pada itu, Pandan Alas, Sima Rodra dan Bugel Kaliki, tokoh-tokoh tua yang sudah banyak makan pahit asinnya penghidupan itupun menjadi terkejut pula.
Ternyata bahwa karena itu pertempuran mereka jadi terhenti. Dengan pandangan yang keheran-heranan mereka memperhatikan orang yang berdiri diatas batu karang dengan kaki renggang dan kedua tangan bertolak pinggang.
Mahesa Jenar yang telah lebih dahulu melihat orang yang menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ketika sinar api mencapai wajahnya, segera ia mengenalnya, bahwa wajah itu sama sekali tidak jelas.
Rambut yang kasar tumbuh lebat hampir melingkari seluruh muka, bersambungan dengan kumis dan janggut yang rapat tak teratur.
Dalam pada itu Mahesa Jenar telah berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam suatu perasaan yang aneh, bahwa hampir-hampir ia merasa bahwa orang yang berdiri diatas batu karang itu adalah dirinya sendiri, yang dalam keadaan puncak keprihatinan, sehingga sama sekali tidak sempat memelihara diri. Meskipun beberapa kali Mahesa Jenar sudah pernah melihat wajahnya di permukaan air, namun ia dalam saat yang aneh itu, harus berjuang mati-matian untuk dapat mengenal dirinya kembali, dan membedakannya dengan orang yang berdiri diatas batu karang itu.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai kekuatan batin yang tinggi pula, sehingga dalam sesaat ia telah berhasil menguasai dirinya kembali. Semakin lama ia menjaid semakin jelas melihat batas antara dirinya dan orang itu. Bahkan akhirnya ia dapat memperhitungkan berbagai masalah mengenai dirinya dan orang yang mengaku Mahesa Jenar itu. Orang itu pasti sengaja memakai rambut, kumis dan janggut yang kasar dan lebat, supaya wajahnya tidak segera dikenal. Tetapi, yang Mahesa Jenar masih belum dapat menemukan jawabnya, adalah gerak gerik orang itu hampir mirip bahkan tepat seperti gerak geriknya, tapi berada diatas kemampuannya. Dan hal itulah kemudian yang menjadi teka-teki yang tak dapat dipecahkannya.
Sudah untuk kedua kalinya Mahesa Jenar mengalami hal yang serupa. Ketika ia harus bertempur berlima melawan Sima Rodra dan Pasingsingan, tiba-tiba saja ia melihat dua orang Mahesa Jenar melibatkan diri. Kedua orang itu ternyata Ki Paniling atau yang nama sebenarnya adalah Radite dan Darba atau Anggara.
Namun bagaimanapun juga akhirnya ia dapat mengenal kedua orang itu.
Tetapi ternyata orang yang menyerupai dirinya kali ini lebih membingungkannya. Sebab gerak geriknya mirip sekali dengan geraknya sendiri dalam ilmu warisan Ki Ageng Pengging Sepuh.
Dalam keadaan yang demikian, suasana menjadi hening tegang. Kecuali suara berderai yang meluncur dari mulut orang yang berdiri diatas batu karang itu, selainnya sunyi.
Tetapi tiba-tiba orang itu meloncat mirip seekor garuda yang terbang menukik dari atas batu karang itu langsung ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri mematung.
Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itupun segera tahu maksudnya. Sebab di mata mereka, orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar yang sedang berusaha untuk membebaskan Rara Wilis. Maka kemudian terdengar suara Janda Sima Rodra itu nyaring,
Quote:
"Soka, tamuku sudah datang. Tolong, tangkap dia. Sesudah itu kau boleh mengambil kami berdua sebagai istrimu. Tapi ingat, aku tidak mau kau ikat.(perkimpoian)"
Jaka Sokapun kemudian teringat apa yang pernah tejadi di hutan Tambak Baya. Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar telah menggagalkan niatnya, waktu ia hendak menculik Rara Wilis. Karena pada waktu itu, ia tidak berhasil mengalahkannya. Tetapi sekarang ia telah bekerja keras untuk menambah ilmunya.
JAKA SOKA merasa bahwa ia tidak perlu takut lagi kepada Mahesa Jenar, meskipun terhadap Sasra Birawa ia masih harus sangat hati-hati dan yang dapat dilakukannya hanyalah menghindarkan diri. Apalagi sekarang ia dapat bekerja sama dengan Janda Sima Rodra.
Sedangkan Sarayuda, ia mengharap bahwa salah seorang dari Sima Rodra tua atau Bugel Kaliki mengurusnya.
Juga terhadap Mahesa Jenar itu akhirnya, apabila dirinya menemui kesulitan, meskipun ia bekerja sama dengan Janda Sima Rodra, Jaka Soka mengharap Sima Rodra Tua mau membantu menangkapnya untuk kepentingan anaknya.
Dalam pada itu, Janda Sima Rodra itu menjadi gembira. Ia ingin Mahesa Jenar tertangkap hidup-hidup. Ia ingin membalas sakit hatinya karena suaminya terbunuh. Tetapi lebih daripada itu, keliarannya telah mendorongnya untuk melakukan niat yang memuakkan. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang kasar dan berambut lebat itu ia menjadi agak kecewa. Namun demikian ia sama sekali tidak mengurungkan niatnya.
Orang ketiga, yang berdiri di dalam arena itu adalah Sarayuda. Ia mempunyai tanggapan sendiri atas kehadiran Mahesa Jenar. Meskipun ia menduga bahwa kehadiran Mahesa Jenar kali inipun bermaksud untuk menyelamatkan Pudak Wangi, namun tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan cemburu yang meluap-luap.
Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertempur dengan Mahesa Jenar ketika ia menolong Arya Salaka. Pada saat itu, ia merasakan suatu perhubungan yang aneh dengan orang itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja Mahesa Jenar pergi meninggalkan pondok Ki Ageng Pandan Alas tanpa pamit. Dan sejak itulah ia mempunyai perasaan bersaing. Meskipun sejak itu Mahesa Jenar tidak pernah muncul kembali dan agaknya Ki Ageng Pandan Alaspun sangat membesarkan hatinya, namun Pudak Wangi sendiri tidak pernah membuka hatinya.Ia yakin kalau hal itu disebabkan karena hati itu telah dirampas oleh orang yang bernama Mahesa Jenar.
Berbeda dengan perasaan Mahesa Jenar sendiri, yang meskipun ia memiliki perasaan yang sama dengan Sarayuda, namun ia mendahulukan keselamatan Pudak Wangi dari perasaannya yang mengganggu. Ia memang sudah membiasakan diri, berkorban untuk kepentingan yang lebih besar dan luas tanpa pamrih, daripada kepentingan diri sendiri.
Karena perasaan itulah maka Sarayuda justru merasa tersinggung karena hadirnya Mahesa Jenar. Apalagi setelah ia berjuang mati-matian untuk membebaskan gadis cucu gurunya, namun tidak ada tanda-tanda akan berhasil, bahkan akhirnya gurunya sendiri menemui kesulitan pula karena hadirnya kecuali Sima Rodra tua yang memang sudah diduga sebelumnya, juga Bugel Kaliki.
Maka sebelum orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu sampai ke tengah-tengah arena itu, ia berteriak,
Quote:
"Mahesa Jenar, murid utama Ki Ageng Pengging Sepuh, janganlah mengganggu permainan kami. Biarlah kami yang sudah dewasa ini mencoba menyelesaikan persoalan kami sendiri."
Terdengarlah orang itu tertawa pendek sambil berhenti beberapa langkah dari mereka.
"Aku datang untuk membantumu," katanya.
"Aku tidak perlu bantuanmu," potong Sarayuda.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia berkata pula,
"Jangan lekas tersinggung. Bukankah kita masing-masing berjanji di dalam hati untuk menghancurkan setiap kejahatan…? Apapun persoalan yang ada di antara kita jangan menjadi sebab, bahwa kita tidak bisa bekerja bersama. Sebab juga menjadi kewajibanku untuk membebaskan Adi Pudak Wangi."
Mendengar nama itu disebut, hati Sarayuda menjadi bertambah berdebar-debar. Lalu katanya,
"Pergilah, jangan ikut campur."
Terdengarlah orang itu tertawa pendek sambil berhenti beberapa langkah dari mereka.
"Aku datang untuk membantumu," katanya.
"Aku tidak perlu bantuanmu," potong Sarayuda.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia berkata pula,
"Jangan lekas tersinggung. Bukankah kita masing-masing berjanji di dalam hati untuk menghancurkan setiap kejahatan…? Apapun persoalan yang ada di antara kita jangan menjadi sebab, bahwa kita tidak bisa bekerja bersama. Sebab juga menjadi kewajibanku untuk membebaskan Adi Pudak Wangi."
Mendengar nama itu disebut, hati Sarayuda menjadi bertambah berdebar-debar. Lalu katanya,
"Pergilah, jangan ikut campur."
Tetapi orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tidak pergi, malahan ia berkata kepada semua yang ada di arena itu,
Quote:
"Dengarlah, aku datang untuk membebaskan Pudak Wangi. Siapun yang menghalangi, tidak peduli siapa saja, akan berhadapan dengan Mahesa Jenar."
Setelah itu kembali ia bergerak maju. Pada saat itu, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang paling berkepentingan untuk menangkap Mahesa Jenar itu dan menggagalkan maksudnya. Karena itulah maka mereka berloncatan maju menghalangi. Sedang Sarayuda menjadi ragu, dan untuk beberapa saat ia kehilangan pegangan, apakah yang akan dilakukannya. Sementara itu orang-orang tua yang menyaksikan perbantahan mereka menjadi tertegun heran. Sima Rodra dan Pandan Alas, dengan jelas mengetahui sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar itu, mereka menjadi agak keheran-heranan.
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
Tutup