- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#270
Jilid 9 [Part 199]
Spoiler for :
SEKALI lagi keadaan jadi tenang karena suara tertawa Iblis betina yang bergetar membentur dinding-dinding pegunungan memenuhi lembah. Lalu kemudian ia berkata lantang,
Sesaat kemudian ia telah memerintahkan kepada laskarnya untuk mulai dengan teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan.
Pada saat itu, Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang semak-semak menjadi gemetar.
Ia ingat pada peritiwa yang pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas Gunung Ijo, Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat membayangkan, apakah yang terjadi. Tetapi sekarang, barulah agak jelas baginya, bahwa benar-benar rombongan Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu mempunyai kebiasaan yang mengerikan.
Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis di Gunung Ijo itu bulu Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang dihadapannya ia melihat upacara itu berlangsung.
Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang tak sedap, yang keluar dari mulut-mulut yang kasar itu semakin lama semakin menjadi-jadi. Mereka bergerak semakin cepat mengelilingi perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka yang berdiri sebelah-menyebelah dengan Pudak Wangi, berada di luar lingkaran. Tetapi wajah mereka membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula dalam keadaan yang hampir tak sadar.
Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi sangat cemas. Cemas akan keselamatan Pudak Wangi. Sebab dalam keadaan serupa itu, bisa saja malapetaka menimpanya setiap saat, meskipun selama Janda Sima Rodra itu masih berada di situ, keselamatannya agaknya masih terjamin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar telah bersiaga penuh. Kalau terjadi sesuatu atas gadis yang berpakaian mirip seorang laki-laki itu, dalam loncatan pertama ia sudah siap mempergunakan aji Sasra Birawanya, meskipun seterusnya akan sangat membahayakan jiwanya sendiri. Sebab ia yakin bahwa Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki berada di sekitar tempat itu pula.
Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu, upacara gila-gilaan itu menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba lingkaran upacara itu melebar dan melingkar di luar tempat Harimau Betina itu berdiri. Dalam keadaan yang demikian tampaklah betapa cemasnya Pudak Wangi.
Dalam keadaan hampir tak sadar tiba-tiba Janda Sima Rodra itu kemudian menarik tangan Jaka Soka dan diseretnya untuk ikut serta melonjak-lonjak dan berteriak-teriak. Agaknya Jaka Soka pun menjadi seperti seorang yang tak berperasaan lagi. Tanpa membantah ia pun langsung ikut serta dalam pesta-pesta yang mengerikan itu.
Sesaat kemudian Pudak Wangi memalingkan wajahnya. Upacara itu benar-benar telah menjadi-jadi. Tetapi kemanapun ia memandang, ia melihat keadaan yang serupa. Sehingga akhirnya ia memejamkan matanya.
Mahesa Jenar akhirnya tak tahan lagi. Darahnya yang sudah mendidih itu sudah tidak dapat disabarkan. Karena itulah segera ia bersiap untuk bertindak.
Tetapi sebelum ia bergerak, terdengarlah derap suara seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Orang-orang yang sedang melakukan perbuatan-perbuatan gila itu sama sekali tidak mendengar derap itu. Sehingga kuda itu telah menjadi dekat sekali. Dengan mata yang tajam, Mahesa Jenar melihat seseorang diatas seekor kuda merah kehitam-hitaman meluncur seperti anak panah ke arah api yang masih menyala-nyala.
Sesaat orang itu mengekang kudanya agak jauh dari perapian itu, tetapi sesaat kemudian seperti angin kuda itu meluncur kembali langsung menerjang orang-orang yang sedang sibuk dengan kelakuan-kelakuan mereka yang gila itu. Karena itu, ketika seekor kuda merah kehitam-hitaman menerjang mereka, mereka menjadi kalang kabut dan untuk sementara kehilangan akal.
Namun tidak demikianlah Harimau Betina Gunung Tidar dan Jaka Soka.
Meskipun mereka baru saja tenggelam dalam irama kegilaan, namun dalam waktu sekejap mereka telah dapat menguasai diri mereka kembali.
Karena itu segera mereka berloncatan mundur sambil bersiaga, sehingga ketika orang berkuda itu mengulangi serangannya, mereka sudah siap pula menghindar.
Maka sesaat kemudian terdengarlah Janda Sima Rodra itu berteriak dengan marahnya. Dan dalam keadaan yang demikian, segera tampak jari-jarinya yang memiliki kuku-kuku yang panjang itu berkembang mengerikan. Sedang Jaka Sokapun merasa terhina pula. Dengan hebatnya ia menggeram, dan sesaat kemudian ia telah meloncat menghadang kuda yang telah berputar pula.
Ketika wajah orang berkuda itu kemudian menjadi jelas oleh api yang menyala ditengah-tengah mereka, segera terdengar suara Pudak Wangi nyaring,
Suara Pudak Wangi yang melengking lembut itu bagi Mahesa Jenar ternyata mempunyai akibat yang hebat sekali. Dalam saat yang bersamaan, ia telah mengenal pula wajah itu. Sarayuda, yang membuatnya berdebar-debar.
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melupakan, bahwa pemuda yang perkasa itu telah pernah mengecewakannya, meskipun mungkin sama sekali tidak disengaja. Dan kehadirannya saat inipun telah menimbulkan suatu persoalan baru di dalam dadanya.
Dalam saat yang tegang itu terdengarlah Jaka Soka berteriak kasar,
Pada saat itu, kuda merah kehitam-hitaman itu dengan garangnya menyambar Jaka Soka. Tetapi Ular Laut itu, bukanlah anak-anak kemarin sore yang baru mampu bermain kucing-kucingan. Dengan menarik tubuhnya satu langkah ke samping, ia telah bebas dari serangan lawannya. Sambil berjongkok ia menyodok perut kuda itu dengan tongkat hitamnya. Akibatnya hebat sekali. Kuda itu terkejut dan Cumiik berdiri. Saat yang demikian memang ditunggunya. Dengan cepatnya ia melompat dan menghantam punggung Sarayuda.
Tetapi Demang Gunung Kidul itupun bukan pula anak ingusan. Ia adalah murid tertua Ki Ageng Pandan Alas.
KETIKA Demang Gunung Kidul merasa sebuah serangan mengarah ke punggung, sedang kudanya belum dapat dikuasainya, maka dengan kecepatan yang sama ia telah berhasil meloncat dan jatuh berguling, untuk kemudian melenting bangkit dan bersiaga.
Dalam sekejap kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Jaka Soka, Bajak Laut yang ditakuti di daerah perairan Nusakambangan dan mendapat julukan Ular Laut, menyerang dengan ganasnya, sedang Sarayuda bertempur dengan gagahnya pula. Dengan teguhnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang lincah menari-nari membingungkan lawannya.
Pada saat yang demikian itu terdengarlah suara Janda Sima Rodra kepada laskarnya, Sakayon, jagalah tawanan ini. Kepung rapat-rapat dan jangan beri kesempatan bergerak. Biar aku membantu Jaka Soka membinasakan tamu yang sombong itu.
Sesaat kemudian, berloncatanlah anak buah Sima Rodra dengan senjata terhunus berdiri rapat-rapat melingkari Pudak Wangi yang terikat tangannya.
Kemudian, Janda Sima Rodra itu pun, dengan kuku-kukunya yang tajam beracun mulai melibatkan diri dalam pertempuran melawan Sarayuda.
Sarayuda adalah seorang yang tangkas, tangguh dan perkasa. Namun demikian, ketika ia harus melawan Ular Laut dan Janda Sima Rodra itu bersama-sama, segera terasa bahwa memang kekuatan mereka tidak berimbang, karena Ular Laut dan Janda Sima Rodra itu masing-masing juga merupakan tokoh-tokoh perkasa dari golongan hitam.
Dalam keadaan yang terdesak, Sarayuda segera mencabut pedangnya. Pedang yang gemerlapan itu berputar-putar memancar berkilat-kilat karena cahaya api. Sinarnya yang putih, serta pantulan sinar kemerah-merahan, menjadikan pedang itu seperti memancarkan bunga-bunga api. Sarayuda, murid Ki Ageng Pandan Alas itu, kemudian menyerang dengan tangkasnya. Pedangnya bergetaran dalam ilmu khusus perguruan Ki Ageng Pandan Alas, terasa sangat membingungkan lawannya.
Tetapi dalam pada itu, segera tampak pula sinar putih bergulung-gulung belit-membelit dengan bayangan yang kehitam-hitaman melawan pedang Sarayuda. Itulah senjata Jaka Soka. Pedang kecil yang lentur, yang dicabutnya dari dalam tongkat hitamnya di tangan kanan, dan tongkat itu sendiri ditangan kiri, merupakan sepasang senjata yang menakjubkan.
Dibarengi dengan 10 batang kuku-kuku berbisa diujung jari Harimau Betina dari Gunung Tidar, senjata-senjata itu merupakan gabungan kekuatan yang mengerikan.
Untuk sesaat Mahesa Jenar terpesona memandangi pertempuran yang hebat itu.
Ia kagum akan ketangkasan Sarayuda dan memuji kelincahan Jaka Soka, yang bertempur dengan gerakan-gerakan yang cepat, melingkar, menyerang dan mematuk-matuk, benar-benar seperti laku seekor Ular yang berbahaya.
Mahesa Jenar baru sadar ketika dilihatnya bahwa Sarayuda benar-benar dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dalam keadaan yang sedemikian, tiba-tiba sekali lagi Mahesa Jenar dikejutkan oleh suatu pemandangan yang tidak diduganya. Di tempat yang agak jauh dari lingkaran pertempuran itu, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya api yang sangat lemah, dilihatnya pula seseorang bertempur melawan dua orang. Tetapi pertempuran ini jauh berbeda dengan pertempuran antara Sarayuda melawan kedua lawannya. Pertempuran yang dilihatnya kemudian itu seolah-olah hanyalah sebuah permainan lontar-melontar yang kadang-kadang diseling dengan pukulan-pukulan lamban. Namun agaknya gerak-gerak itu merupakan gerak-gerak yang meloncatkan kekuatan tiada taranya.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Yang seorang itu adalah Ki Ageng Pandan Alas, sedang kedua lawannya adalah Sima Rodra tua dari Lodaya dan Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme.
Melihat pertempuran itu Mahesa Jenar menjadi bertambah cemas. Ki Ageng Pandan Alas yang datang untuk menolong cucunya, ternyata menjumpai lawan yang seangkatan dan berdua pula.
Meskipun apa yang terjadi diantara mereka adalah diatas kemampuannya, namun Mahesa Jenar dapat pula melihat, bahwa Ki Ageng Pandan Alas pun menemui kesulitan untuk melawan kedua tokoh tua dari golongan hitam itu, sebagaimana Sarayuda juga menemui kesulitan dalam perjuangannya melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra muda.
Dalam waktu yang singkat itu terjadilah suatu pergolakan di dalam dada Mahesa Jenar. Sudah pasti, bahwa ia tidak akan berguna sama sekali apabila ia berani mencoba-coba mencampuri urusan Ki Ageng Pandan Alas. Apa yang dapat dikerjakan hanyalah untuk sementara memperingan pekerjaan orang tua itu. Untuk sementara saja. Sebab kemudian ia akan segera binasa. Maka yang mungkin dilakukan hanyalah melibatkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sarayuda dan lawan-lawannya. Meskipun sebagai manusia biasa, terdapat beberapa benih keseganan untuk membantunya, namun darah kesatria yang mengalir di dalam tubuhnya telah melanda kepicikan pandangan itu.
Dengan merapatkan giginya, Mahesa Jenar berusaha untuk melupakan apa yang pernah dialaminya. Persoalan-persoalan pribadi antara dirinya dan Demang Gunung Kidul itu. Sehingga sesaat kemudian telah bulatlah hatinya untuk terjun langsung membantu Sarayuda. Ia mengharap bahwa dengan aji Sasra Birawa dan Aji Cunda Manik yang dimiliki oleh Sarayuda akan mempercepat penyelesaian, sehingga ia mengharap dapat menyelamatkan Pudak Wangi. Setelah itu, ia mengharap pula bahwa Ki Ageng Pandan Alas dapat menyelamatkan dirinya sendiri.
Meskipun apa yang akan dilakukan itu mengandung bahaya yang maha besar, namun tak ada pilihan lain daripada berjuang untuk membebaskan gadis cucu Pandan Alas itu. Memang akan mungkin sekali, untuk sementara salah seorang lawan Pandan Alas meninggalkan orang tua itu untuk membantu Jaka Soka dan Janda Sima Rodra, yang berarti kebinasaan baginya dan bagi Sarayuda. Tetapi itu akan merupakan sebuah pertanggungjawaban dari perjuangan. Karena itu segera Mahesa Jenar menggulung lengan bajunya dan menyangkutkan kainnya.
Quote:
"Marilah kita berpesta. Kita ajak tamu kita ini serta, mungkin dengan demikian ia akan mendapatkan kegembiraan."
Sesaat kemudian ia telah memerintahkan kepada laskarnya untuk mulai dengan teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan.
Pada saat itu, Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang semak-semak menjadi gemetar.
Ia ingat pada peritiwa yang pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas Gunung Ijo, Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat membayangkan, apakah yang terjadi. Tetapi sekarang, barulah agak jelas baginya, bahwa benar-benar rombongan Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu mempunyai kebiasaan yang mengerikan.
Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis di Gunung Ijo itu bulu Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang dihadapannya ia melihat upacara itu berlangsung.
Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang tak sedap, yang keluar dari mulut-mulut yang kasar itu semakin lama semakin menjadi-jadi. Mereka bergerak semakin cepat mengelilingi perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka yang berdiri sebelah-menyebelah dengan Pudak Wangi, berada di luar lingkaran. Tetapi wajah mereka membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula dalam keadaan yang hampir tak sadar.
Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi sangat cemas. Cemas akan keselamatan Pudak Wangi. Sebab dalam keadaan serupa itu, bisa saja malapetaka menimpanya setiap saat, meskipun selama Janda Sima Rodra itu masih berada di situ, keselamatannya agaknya masih terjamin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar telah bersiaga penuh. Kalau terjadi sesuatu atas gadis yang berpakaian mirip seorang laki-laki itu, dalam loncatan pertama ia sudah siap mempergunakan aji Sasra Birawanya, meskipun seterusnya akan sangat membahayakan jiwanya sendiri. Sebab ia yakin bahwa Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki berada di sekitar tempat itu pula.
Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu, upacara gila-gilaan itu menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba lingkaran upacara itu melebar dan melingkar di luar tempat Harimau Betina itu berdiri. Dalam keadaan yang demikian tampaklah betapa cemasnya Pudak Wangi.
Dalam keadaan hampir tak sadar tiba-tiba Janda Sima Rodra itu kemudian menarik tangan Jaka Soka dan diseretnya untuk ikut serta melonjak-lonjak dan berteriak-teriak. Agaknya Jaka Soka pun menjadi seperti seorang yang tak berperasaan lagi. Tanpa membantah ia pun langsung ikut serta dalam pesta-pesta yang mengerikan itu.
Sesaat kemudian Pudak Wangi memalingkan wajahnya. Upacara itu benar-benar telah menjadi-jadi. Tetapi kemanapun ia memandang, ia melihat keadaan yang serupa. Sehingga akhirnya ia memejamkan matanya.
Mahesa Jenar akhirnya tak tahan lagi. Darahnya yang sudah mendidih itu sudah tidak dapat disabarkan. Karena itulah segera ia bersiap untuk bertindak.
Tetapi sebelum ia bergerak, terdengarlah derap suara seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Orang-orang yang sedang melakukan perbuatan-perbuatan gila itu sama sekali tidak mendengar derap itu. Sehingga kuda itu telah menjadi dekat sekali. Dengan mata yang tajam, Mahesa Jenar melihat seseorang diatas seekor kuda merah kehitam-hitaman meluncur seperti anak panah ke arah api yang masih menyala-nyala.
Sesaat orang itu mengekang kudanya agak jauh dari perapian itu, tetapi sesaat kemudian seperti angin kuda itu meluncur kembali langsung menerjang orang-orang yang sedang sibuk dengan kelakuan-kelakuan mereka yang gila itu. Karena itu, ketika seekor kuda merah kehitam-hitaman menerjang mereka, mereka menjadi kalang kabut dan untuk sementara kehilangan akal.
Namun tidak demikianlah Harimau Betina Gunung Tidar dan Jaka Soka.
Meskipun mereka baru saja tenggelam dalam irama kegilaan, namun dalam waktu sekejap mereka telah dapat menguasai diri mereka kembali.
Karena itu segera mereka berloncatan mundur sambil bersiaga, sehingga ketika orang berkuda itu mengulangi serangannya, mereka sudah siap pula menghindar.
Maka sesaat kemudian terdengarlah Janda Sima Rodra itu berteriak dengan marahnya. Dan dalam keadaan yang demikian, segera tampak jari-jarinya yang memiliki kuku-kuku yang panjang itu berkembang mengerikan. Sedang Jaka Sokapun merasa terhina pula. Dengan hebatnya ia menggeram, dan sesaat kemudian ia telah meloncat menghadang kuda yang telah berputar pula.
Ketika wajah orang berkuda itu kemudian menjadi jelas oleh api yang menyala ditengah-tengah mereka, segera terdengar suara Pudak Wangi nyaring,
Quote:
"Kakang Sarayuda…."
Suara Pudak Wangi yang melengking lembut itu bagi Mahesa Jenar ternyata mempunyai akibat yang hebat sekali. Dalam saat yang bersamaan, ia telah mengenal pula wajah itu. Sarayuda, yang membuatnya berdebar-debar.
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melupakan, bahwa pemuda yang perkasa itu telah pernah mengecewakannya, meskipun mungkin sama sekali tidak disengaja. Dan kehadirannya saat inipun telah menimbulkan suatu persoalan baru di dalam dadanya.
Dalam saat yang tegang itu terdengarlah Jaka Soka berteriak kasar,
Quote:
"Hai Janda Sima Rodra, adakah orang ini yang kau pancing dengan umpanmu itu?"
Terdengarlah suara Janda Sima Rodra itu menjawab,
"Aku tak kenal orang ini. Betapapun gagahnya, namun ia adalah sombong sekali."
Terdengarlah suara Janda Sima Rodra itu menjawab,
"Aku tak kenal orang ini. Betapapun gagahnya, namun ia adalah sombong sekali."
Pada saat itu, kuda merah kehitam-hitaman itu dengan garangnya menyambar Jaka Soka. Tetapi Ular Laut itu, bukanlah anak-anak kemarin sore yang baru mampu bermain kucing-kucingan. Dengan menarik tubuhnya satu langkah ke samping, ia telah bebas dari serangan lawannya. Sambil berjongkok ia menyodok perut kuda itu dengan tongkat hitamnya. Akibatnya hebat sekali. Kuda itu terkejut dan Cumiik berdiri. Saat yang demikian memang ditunggunya. Dengan cepatnya ia melompat dan menghantam punggung Sarayuda.
Tetapi Demang Gunung Kidul itupun bukan pula anak ingusan. Ia adalah murid tertua Ki Ageng Pandan Alas.
KETIKA Demang Gunung Kidul merasa sebuah serangan mengarah ke punggung, sedang kudanya belum dapat dikuasainya, maka dengan kecepatan yang sama ia telah berhasil meloncat dan jatuh berguling, untuk kemudian melenting bangkit dan bersiaga.
Dalam sekejap kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Jaka Soka, Bajak Laut yang ditakuti di daerah perairan Nusakambangan dan mendapat julukan Ular Laut, menyerang dengan ganasnya, sedang Sarayuda bertempur dengan gagahnya pula. Dengan teguhnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang lincah menari-nari membingungkan lawannya.
Pada saat yang demikian itu terdengarlah suara Janda Sima Rodra kepada laskarnya, Sakayon, jagalah tawanan ini. Kepung rapat-rapat dan jangan beri kesempatan bergerak. Biar aku membantu Jaka Soka membinasakan tamu yang sombong itu.
Sesaat kemudian, berloncatanlah anak buah Sima Rodra dengan senjata terhunus berdiri rapat-rapat melingkari Pudak Wangi yang terikat tangannya.
Kemudian, Janda Sima Rodra itu pun, dengan kuku-kukunya yang tajam beracun mulai melibatkan diri dalam pertempuran melawan Sarayuda.
Sarayuda adalah seorang yang tangkas, tangguh dan perkasa. Namun demikian, ketika ia harus melawan Ular Laut dan Janda Sima Rodra itu bersama-sama, segera terasa bahwa memang kekuatan mereka tidak berimbang, karena Ular Laut dan Janda Sima Rodra itu masing-masing juga merupakan tokoh-tokoh perkasa dari golongan hitam.
Dalam keadaan yang terdesak, Sarayuda segera mencabut pedangnya. Pedang yang gemerlapan itu berputar-putar memancar berkilat-kilat karena cahaya api. Sinarnya yang putih, serta pantulan sinar kemerah-merahan, menjadikan pedang itu seperti memancarkan bunga-bunga api. Sarayuda, murid Ki Ageng Pandan Alas itu, kemudian menyerang dengan tangkasnya. Pedangnya bergetaran dalam ilmu khusus perguruan Ki Ageng Pandan Alas, terasa sangat membingungkan lawannya.
Tetapi dalam pada itu, segera tampak pula sinar putih bergulung-gulung belit-membelit dengan bayangan yang kehitam-hitaman melawan pedang Sarayuda. Itulah senjata Jaka Soka. Pedang kecil yang lentur, yang dicabutnya dari dalam tongkat hitamnya di tangan kanan, dan tongkat itu sendiri ditangan kiri, merupakan sepasang senjata yang menakjubkan.
Dibarengi dengan 10 batang kuku-kuku berbisa diujung jari Harimau Betina dari Gunung Tidar, senjata-senjata itu merupakan gabungan kekuatan yang mengerikan.
Untuk sesaat Mahesa Jenar terpesona memandangi pertempuran yang hebat itu.
Ia kagum akan ketangkasan Sarayuda dan memuji kelincahan Jaka Soka, yang bertempur dengan gerakan-gerakan yang cepat, melingkar, menyerang dan mematuk-matuk, benar-benar seperti laku seekor Ular yang berbahaya.
Mahesa Jenar baru sadar ketika dilihatnya bahwa Sarayuda benar-benar dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dalam keadaan yang sedemikian, tiba-tiba sekali lagi Mahesa Jenar dikejutkan oleh suatu pemandangan yang tidak diduganya. Di tempat yang agak jauh dari lingkaran pertempuran itu, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya api yang sangat lemah, dilihatnya pula seseorang bertempur melawan dua orang. Tetapi pertempuran ini jauh berbeda dengan pertempuran antara Sarayuda melawan kedua lawannya. Pertempuran yang dilihatnya kemudian itu seolah-olah hanyalah sebuah permainan lontar-melontar yang kadang-kadang diseling dengan pukulan-pukulan lamban. Namun agaknya gerak-gerak itu merupakan gerak-gerak yang meloncatkan kekuatan tiada taranya.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Yang seorang itu adalah Ki Ageng Pandan Alas, sedang kedua lawannya adalah Sima Rodra tua dari Lodaya dan Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme.
Melihat pertempuran itu Mahesa Jenar menjadi bertambah cemas. Ki Ageng Pandan Alas yang datang untuk menolong cucunya, ternyata menjumpai lawan yang seangkatan dan berdua pula.
Meskipun apa yang terjadi diantara mereka adalah diatas kemampuannya, namun Mahesa Jenar dapat pula melihat, bahwa Ki Ageng Pandan Alas pun menemui kesulitan untuk melawan kedua tokoh tua dari golongan hitam itu, sebagaimana Sarayuda juga menemui kesulitan dalam perjuangannya melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra muda.
Dalam waktu yang singkat itu terjadilah suatu pergolakan di dalam dada Mahesa Jenar. Sudah pasti, bahwa ia tidak akan berguna sama sekali apabila ia berani mencoba-coba mencampuri urusan Ki Ageng Pandan Alas. Apa yang dapat dikerjakan hanyalah untuk sementara memperingan pekerjaan orang tua itu. Untuk sementara saja. Sebab kemudian ia akan segera binasa. Maka yang mungkin dilakukan hanyalah melibatkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sarayuda dan lawan-lawannya. Meskipun sebagai manusia biasa, terdapat beberapa benih keseganan untuk membantunya, namun darah kesatria yang mengalir di dalam tubuhnya telah melanda kepicikan pandangan itu.
Dengan merapatkan giginya, Mahesa Jenar berusaha untuk melupakan apa yang pernah dialaminya. Persoalan-persoalan pribadi antara dirinya dan Demang Gunung Kidul itu. Sehingga sesaat kemudian telah bulatlah hatinya untuk terjun langsung membantu Sarayuda. Ia mengharap bahwa dengan aji Sasra Birawa dan Aji Cunda Manik yang dimiliki oleh Sarayuda akan mempercepat penyelesaian, sehingga ia mengharap dapat menyelamatkan Pudak Wangi. Setelah itu, ia mengharap pula bahwa Ki Ageng Pandan Alas dapat menyelamatkan dirinya sendiri.
Meskipun apa yang akan dilakukan itu mengandung bahaya yang maha besar, namun tak ada pilihan lain daripada berjuang untuk membebaskan gadis cucu Pandan Alas itu. Memang akan mungkin sekali, untuk sementara salah seorang lawan Pandan Alas meninggalkan orang tua itu untuk membantu Jaka Soka dan Janda Sima Rodra, yang berarti kebinasaan baginya dan bagi Sarayuda. Tetapi itu akan merupakan sebuah pertanggungjawaban dari perjuangan. Karena itu segera Mahesa Jenar menggulung lengan bajunya dan menyangkutkan kainnya.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas
Tutup