- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#268
Jilid 9 [Part 197]
Spoiler for :
Quote:
"ANAKMAS…," lanjut Panembahan Ismaya,
"Di lereng sebelah selatan bukit ini ada sebuah goa, Aku tidak tahu, siapakah yang telah membuatnya, atau barangkali hasil perbuatan alam. Goa itu ditakbiri sebuah gerumbul yang cukup besar. Di situ Anakmas dapat menyembunyikan diri dengan aman. Aku yakin bahwa tak seorangpun dapat menemukan mulut goa itu."
"Di lereng sebelah selatan bukit ini ada sebuah goa, Aku tidak tahu, siapakah yang telah membuatnya, atau barangkali hasil perbuatan alam. Goa itu ditakbiri sebuah gerumbul yang cukup besar. Di situ Anakmas dapat menyembunyikan diri dengan aman. Aku yakin bahwa tak seorangpun dapat menemukan mulut goa itu."
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar menjadi terharu. Rupa-rupanya ia akan mempertanggungjawabkan segala sesuatu mengenai dirinya, hanya karena Panembahan tua itu telah menahannya untuk tetap tinggal dibukit kecil itu.
Quote:
"Panembahan…" jawab Mahesa Jenar,
"Aku tidak akan dibenarkan oleh perasaanku, seandainya aku berbuat demikian. Dan adakah Panembahan telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi?"
"Sekali lagi aku minta," potong Panembahan Ismaya,
"Anakmas jangan membuat aku bersedih. Percayalah bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu atas diriku serta padepokan ini, sebab aku dapat mengingkari kedatangan Anakmas di bukit ini."
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar bimbang, sedang Panembahan Ismaya selalu mendesak-desaknya saja.
"Panembahan…" akhirnya Mahesa Jenar berkata,
"Memang tidak sepantasnya aku menolak, tetapi bagaimanapun juga, aku ingin supaya aku tidak menyulitkan Bapa Panembahan. Karena itu apabila terjadi kesulitan atas Panembahan Ismaya, maka perkenankanlah aku bertindak atas pertimbanganku sendiri."
"Baiklah Anakmas, saratmu aku terima," jawab Panembahan itu.
"Aku tidak akan dibenarkan oleh perasaanku, seandainya aku berbuat demikian. Dan adakah Panembahan telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi?"
"Sekali lagi aku minta," potong Panembahan Ismaya,
"Anakmas jangan membuat aku bersedih. Percayalah bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu atas diriku serta padepokan ini, sebab aku dapat mengingkari kedatangan Anakmas di bukit ini."
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar bimbang, sedang Panembahan Ismaya selalu mendesak-desaknya saja.
"Panembahan…" akhirnya Mahesa Jenar berkata,
"Memang tidak sepantasnya aku menolak, tetapi bagaimanapun juga, aku ingin supaya aku tidak menyulitkan Bapa Panembahan. Karena itu apabila terjadi kesulitan atas Panembahan Ismaya, maka perkenankanlah aku bertindak atas pertimbanganku sendiri."
"Baiklah Anakmas, saratmu aku terima," jawab Panembahan itu.
Setelah itu kemudian Panembahan Ismaya memerintahkan kepada cantrik-cantriknya untuk menyediakan perbekalan. Sebab Mahesa Jenar akan tinggal di dalam goa itu untuk waktu yang tidak tertentu.
Demikianlah pada hari itu Mahesa Jenar dan Arya Salaka diantar oleh seorang cantrik pergi ke goa di lereng selatan bukit kecil itu.
Setelah menyibakkan sebuah gerumbul yang cukup lebat, tampaklah di hadapan mereka sebuah mulut goa yang kecil. Seseorang hanya dapat memasukinya dengan merangkak.
Quote:
"Di dalam goa itulah kami biasa bermain-main," kata cantrik yang mengantarkan itu.
"He…?" Mahesa Jenar agak terkejut.
"Kalian bermain-main di dalam goa ini?"
"Ya," jawab Cantrik itu,
"Di dalam goa itu terdapat sebuah lobang yang tembus keatas. Dari situlah sinar matahari menerangi bagian dalam goa ini."
"Kemanakah lubang goa ini tembus?" tanya Mahesa Jenar."
"Kami tidak tahu," jawab Cantrik itu,
"Kami belum pernah menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam goa itu gelap sekali."
"He…?" Mahesa Jenar agak terkejut.
"Kalian bermain-main di dalam goa ini?"
"Ya," jawab Cantrik itu,
"Di dalam goa itu terdapat sebuah lobang yang tembus keatas. Dari situlah sinar matahari menerangi bagian dalam goa ini."
"Kemanakah lubang goa ini tembus?" tanya Mahesa Jenar."
"Kami tidak tahu," jawab Cantrik itu,
"Kami belum pernah menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam goa itu gelap sekali."
Setelah itu maka masuklah cantrik itu ke dalam goa sambil membawa beberapa macam bekal. Setelah itu baru Mahesa Jenar dan Arya Salaka merangkak masuk. Memang sebenarnyalah di dalam goa itu, agak ke dalam, tampak sinar jatuh dari lubang di atas.
Lubang itu tidak seberapa besarnya, namun terdapat lebih dari satu lubang. Sehingga dengan demikian, beberapa berkas sinar cukup untuk menerangi sebagian dari ruangan di dalam goa itu.
Goa itu sebenarnya tidaklah seperti kebiasaan goa-goa. Lantainya licin bersih. Dan yang lebih menyenangkan lagi, di dalam goa itu terdapat sebuah bale-bale bambu. Agaknya para cantrik yang sering bermain-main di dalam goa itu telah membuatnya sebuah bale-bale di dalam.
Quote:
"Nah, Tuan…" kata cantrik itu kemudian,
"Sekarang perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali aku akan dapat kemari untuk menengok perbekalan Tuan."
"Menurut pesan Panembahan, tempat ini harus menjadi tempat rahasia. Sebab siapa tahu orang-orang yang mengepung bukit ini telah mengirimkan orang untuk memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau aku terlalu sering datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini jangan-jangan orang-orang mereka dapat melihatnya."
"Pergilah," jawab Mahesa Jenar,
"Berilah kami kabar apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa Panembahan."
Cantrik itu mengangguk hormat.
"Pesan Tuan akan kami laksanakan dengan baik," katanya.
"Sekarang perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali aku akan dapat kemari untuk menengok perbekalan Tuan."
"Menurut pesan Panembahan, tempat ini harus menjadi tempat rahasia. Sebab siapa tahu orang-orang yang mengepung bukit ini telah mengirimkan orang untuk memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau aku terlalu sering datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini jangan-jangan orang-orang mereka dapat melihatnya."
"Pergilah," jawab Mahesa Jenar,
"Berilah kami kabar apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa Panembahan."
Cantrik itu mengangguk hormat.
"Pesan Tuan akan kami laksanakan dengan baik," katanya.
Kemudian pergilah ia keluar lewat lubang sempit itu, dan seterusnya menyibakkan daun-daun gerumbul yang menutup lubang goa itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar dan Arya Salaka mengamat-amati dinding goa itu. Dan kemudian mereka menemukan suatu ruangan yang agak lebar dengan lubang-lubang pula di atasnya.
Quote:
"Arya…" kata Mahesa Jenar,
"Kita tidak tahu berapa lama kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi aku kira sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak."
"Karena itu kita mempunyai cukup waktu untuk menyusur goa ini sebelum kita mendapat kabar dari cantrik tadi."
Arya Salaka adalah seorang anak yang ingin mengetahui segalanya. Karena itu segera ia menjawab,
"Paman, tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?"
"Marilah," jawab Mahesa Jenar.
"Kita tidak tahu berapa lama kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi aku kira sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak."
"Karena itu kita mempunyai cukup waktu untuk menyusur goa ini sebelum kita mendapat kabar dari cantrik tadi."
Arya Salaka adalah seorang anak yang ingin mengetahui segalanya. Karena itu segera ia menjawab,
"Paman, tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?"
"Marilah," jawab Mahesa Jenar.
Maka segera dengan hati-hati mereka mulai memasuki ke bagian yang lebih dalam lagi. Di beberapa bagian, lubang-lubang yang menembus ke atas masih saja terdapat. Dan sepanjang bagian yang masih mendapat penerangan itu, ternyata terdapat bekas-bekas tempat bermain para cantrik.
Di situ terdapat pula alat-alat memasak dan beberapa perlengkapan lain. Tetapi ketika kemudian mereka sampai ke bagian yang lebih gelap, hilanglah semua bekas-bekas yang menunjukkan bahwa tempat itu pernah didatangi oleh para cantrik.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar dan Arya Salaka menyusuri lubang goa yang semakin lama menjadi semakin sempit dan gelap.
PADA hari yang pertama, mereka menghentikan pengamatan mereka sampai di situ. Tak ada yang istimewa di dalamnya. Kecuali di beberapa tempat terdapat tetesan-tetesan air yang jernih. Agaknya para cantrik sering menampung air yang tetes itu pula, untuk masak-memasak.
Pada hari kedua, Mahesa Jenar dan Arya Salaka kembali menyusuri lubang goa itu jauh lebih ke dalam. Karena pandangan mereka yang sudah agak biasa di dalam gelap, maka meskipun remang-remang mereka dapat melihat di dalam goa itu. Namun yang tampak hanyalah bayangan batu-batu yang menjorok tak teratur. Ada yang runcing, ada yang seperti gerigi, dan ada yang halus licin seperti digosok.
Juga pada hari kedua mereka tak mendapatkan apapun yang menarik perhatian. Dengan perasaan jemu mereka kembali ke ujung goa, dimana mereka menemukan cantrik yang mengantarkan mereka, telah berada di situ.
Quote:
"Ada sesuatu yang terjadi?" tanya Mahesa Jenar tak sabar.
Cantrik itu menggeleng tenang.
"Tak ada," jawabnya.
"Lalu apakah yang dilakukan oleh orang-orang laskar Gunung Tidar itu selama ini?" sambung Mahesa Jenar.
"Menari dan menyanyi-nyanyi seperti orang gila," jawab cantrik itu.
"Mereka berbuat aneh-aneh. Kami tidak melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami mencoba mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani mendekati."
"Tetapi dari jarak yang sedang, kami melihat mereka menari-nari mengelilingi perapian dengan laku yang aneh-aneh. Lebih mengherankan lagi bahwa diantara mereka terdapat pula laskar-laskar perempuan. Dan apa yang kami lihat adalah sangat mengerikan. Kami hampir tak percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang mereka anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar Harimau Betina dari Gunung Tidar."
Cantrik itu menggeleng tenang.
"Tak ada," jawabnya.
"Lalu apakah yang dilakukan oleh orang-orang laskar Gunung Tidar itu selama ini?" sambung Mahesa Jenar.
"Menari dan menyanyi-nyanyi seperti orang gila," jawab cantrik itu.
"Mereka berbuat aneh-aneh. Kami tidak melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami mencoba mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani mendekati."
"Tetapi dari jarak yang sedang, kami melihat mereka menari-nari mengelilingi perapian dengan laku yang aneh-aneh. Lebih mengherankan lagi bahwa diantara mereka terdapat pula laskar-laskar perempuan. Dan apa yang kami lihat adalah sangat mengerikan. Kami hampir tak percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang mereka anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar Harimau Betina dari Gunung Tidar."
Mendengar ceritera cantrik itu, mulut Mahesa Jenar serasa terkunci. Tak sepatah katapun ia menjawab. Dadanya berdentang-dentang dengan kerasnya. Apalagi ketika ia sadar bahwa tak ada sesuatu yang dapat dilakukan. Dengan adanya Sima Rodra dari Alas Lodaya dan Bugel Kaliki, maka setiap usahanya pasti akan sia-sia. Karena itu untuk sementara ia terpaksa membiarkan segalanya terjadi sampai ia menemukan suatu cara untuk mengatasinya.
Cantrik itu tidak lama tinggal di dalam goa. Segera setelah ia menambah bekal-bekal buat Mahesa Jenar, ia minta diri. Dengan hati-hati sekali ia mengendap keluar, dan kemudian hilang dibalik semak-semak di muka mulut goa.
Ceritera cantrik itu menambah prihatin Mahesa Jenar. Ia merasa seperti orang yang sama sekali tak berarti. Alangkah bodoh dan picik pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ia terpaksa membiarkan kemaksiatan itu berlaku di hadapannya tanpa suatu daya apapun untuk mencegahnya.
Karena kejemuannya pula, maka pada hari ketiga Mahesa Jenar dan Arya Salaka memasuki goa itu lebih dalam lagi. Batu-batu runcing bertebaran di sepanjang dindingnya.
Ketika mereka sampai di bagian lebih dalam lagi, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka mendengar gemerisik halus di sekitar tempat itu.
Dengan ketajaman pancainderanya Mahesa Jenar mencoba untuk mengetahui sumber bunyi itu. Tetapi sebentar kemudian bunyi itu telah lenyap. Namun meskipun demikian Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi bertambah berhati-hati.
Apalagi sesaat kemudian bunyi itu terdengar lagi. Agak lebih dekat. Sekarang jelas bagi Mahesa Jenar, bahwa bunyi itu bunyi langkah manusia. Karena itu ia menggamit Arya Salaka, dan dengan isyarat ia menyuruhnya untuk waspada. Tetapi kemudian suara itu lenyap kembali.
Kemudian Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun tidak mau berkisar dari tempatnya. Mereka berdua perlahan-lahan sekali mendekat pada dinding goa. Untuk beberapa lama mereka bertahan di situ. Mereka menunggu setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dan apa yang mereka tunggu-tunggu tiba-tiba muncullah. Di dalam gelap mereka melihat sesosok tubuh berjalan perlahan-lahan sekali dan sangat hati-hati. Tetapi agaknya ia masih belum melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang berdiri melekat dinding, meskipun barangkali orang itu telah mendengar langkah mereka, sebab ternyata orang itu berjalan mendekati mereka.
Tetapi ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah, agaknya orang itu dapat pula melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan tiba-tiba ia meloncat dan berlari menjauh.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi curiga. Karena segera mereka menyusulnya. Namun orang itu berlari terus meskipun tidak begitu cepat karena gelap. Sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka tidak dapat berlari cepat.
Karang-karang yang runcing terbujur lintang tak tentu arah. Meskipun demikian langkah Mahesa Jenar setidak-tidaknya dapat menyamai langkah orang yang dikejarnya, sehingga jarak mereka tidak menjadi semakin jauh.
Ketika orang itu sadar bahwa ia dikejar, maka ia pun mempercepat langkahnya. Belum sedemikian jauh ia berusaha untuk melenyapkan dirinya, masuk ke dalam sebuah lekuk. Tetapi ternyata bahwa lekuk itu hanya merupakan sebuah mulut saja dari cabang goa itu yang cukup dalam pula. Mula-mula Mahesa Jenar agak ragu. Tetapi karena keinginannya untuk mengetahui siapakah orang itu, maka segera ia mengejarnya ke dalam cabang goa itu.
Beberapa lama mereka berkejar-kejaran. Orang itu agaknya sudah amat mengenal keadaan di dalam goa sehingga dengan mudahnya ia memasuki hampir setiap lobang yang ada. Ternyata di dalam goa itu tidak saja terdapat satu dua jalur lubang, tetapi berpuluh-puluh. Karena itulah Mahesa Jenar menjadi sulit untuk mengejar orang yang sudah mengenal tempat itu dengan baik.
Akhirnya ketika ia merasa bahwa usahanya tidak akan berhasil, dan orang yang dikejarnya itu sudah tidak nampak pula, segera ia menghentikan langkahnya. Peluh dinginnya telah merembes hampir membasahi seluruh tubuhnya.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas
Tutup