- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#266
Jilid 9 [Part 195]
Spoiler for :
DUA orang yang masih duduk itu menggerutu tak habis-habisnya. Salah seorang darinya berkata,
Mendengar kata-kata itu hati Mahesa Jenar berdesir hebat. Ia ingat dengan jelas bahwa orang yang bernama Sakayon adalah salah seorang dari kepercayaan Sima Rodra di Gunung Tidar. Kalau demikian maka orang-orang yang mengepung bukit itu pasti gerombolan Sima Rodra. Mendapat pikiran itu ia menjadi berdebar-debar.
Cepat ia menghubungkannya dengan peristiwa yang baru saja lampau, dimana Sima Rodra telah terbunuh olehnya di padukuhan Gedangan. Maka pikirannya bekerja dengan cepatnya. Yang dihadapi itu hanyalah anak buah gerombolan yang telah diketahui kekuatannya. Karena itu, apakah tidak lebih baik kalau gerombolan itu segera dihancurkannya sama sekali?
Panembahan Ismaya yang melihat kegelisahan Mahesa Jenar berbisik perlahan-lahan,
Mendengar kata-kata Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar menjadi bingung. Bagaimana mungkin menghadapi gerombolan Sima Rodra itu tanpa kekerasan. Karena itu untuk beberapa saat ia menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dan karena Mahesa Jenar berdiam diri, Panembahan Ismaya meneruskan,
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Meskipun ia dapat mengerti jalan pikiran Panembahan itu, namun sebenarnya ia sangat keberatan untuk melepaskan kesempatan ini.
Orang-orang dari gerombolan hitam yang dalam keadaan terpisah-pisah seperti itu, akan dengan mudahnya untuk digilas, seperti membunuh cacing. Ia dapat memasuki kemah demi kemah dan membinasakan isinya sebelum mereka sempat membunyikan tanda apapun. Kemudian ia akan menghadapi pimpinan mereka, istri Sima Rodra yang pasti akan dapat dibinasakannya pula.
Tetapi Panembahan Ismaya itu melarangnya untuk berbuat demikian.
Dalam kebingungan itu terdengar kembali Panembahan Ismaya berbisik,
Hati Mahesa Jenar bergolak hebat. Karena itu ia masih duduk diam tak bergerak.
Kalau Mahesa Jenar tidak dapat mengerti apa yang akan dilakukan, apalagi Arya Salaka. Meskipun ia berdiam diri, namun tubuhnya telah basah oleh keringat dingin. Bahkan terdengar giginya gemeretak menahan hati.
Melihat gelagat itu, maka Panembahan Ismaya menjadi bertambah cemas. Apalagi ketika ia mendengar Arya Salaka berdesis dengan suara yang gemetar.
Mendengar kata-kata Panembahan tua itu, Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia menjadi seperti orang yang tersadar dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Gamblanglah baginya apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu. Ternyata meskipun orang tua itu tidak cukup pengalaman dalam dunia keprajuritan, namun pandangannya yang jauh ternyata sangat bermanfaat.
Tetapi agaknya Arya Salaka sama sekali tidak dapat mengerti pikiran Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab,
MENDENGAR pendapat Mahesa Jenar, Arya Salaka terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gurunya akan menjadi sedemikian lunak menghadapi gerombolan hitam yang memuakkan itu. Karena itu wajahnya jadi merah. Jawabnya,
Sekali lagi Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia dapat merasakan perasaan anak itu. Tetapi ia dapat pula merasakan betapa bijaksananya Panembahan Ismaya dengan pendapatnya. Maka dengan penuh kesabaran seorang guru terhadap murid yang dikasihinya, Mahesa Jenar berkata,
Sehabis ucapannya itu, tiba-tiba Arya sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu.Melihat hal itu Mahesa Jenar terkejut sekali. Karena itu segera ia mencegahnya.
Mendengar suara gurunya yang sudah mulai keras itu Arya menjadi tergetar hatinya. Rupa-rupanya gurunya benar-benar mempunyai pendapat yang lain dari pendapatnya terhadap orang-orang dari gerombolan hitam yang tinggal memijat hancur itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba lembah di kaki bukit Karang Tumaritis itu tergetar oleh suara tertawa yang tinggi nyaring. Suara itu jelas suara perempuan. Hati mereka yang sedang bersembunyi di dalam semak-semak itu tiba-tiba menjadi bergetaran dan berdebar-debar.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka sama sekali tidak melupakan bahwa suara itu adalah suara Istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Suara itu kemudian disahut oleh suatu suara yang tenang berat, meskipun terdengar kurang menyenangkan. Sambil tertawa pendek terdengar laki-laki itu berkata,
Sekali lagi terdengar tertawa iblis betina itu, bahkan semakin dekat. Dan ketika sekali lagi terdengar suara laki-laki yang bersamanya, dada Mahesa Jenar bergoncang keras. Suara itu adalah suara berdesis dari Ular Laut Nusakambangan.
Sekali lagi tertawa nyaring yang mengerikan itu meluncur dari mulut harimau betina liar Gunung Tidar itu. Jawabnya,
Lalu suara itu disusul oleh suara tawa dengan nada tinggi yang sangat menyakitkan telinga, yang semakin lama semakin menjauh dan ternyata kemudian memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
Quote:
"Aku kagumi ketangkasan Kakang Sakayon. Sayang hatinya terlalu kecil."
Mendengar kata-kata itu hati Mahesa Jenar berdesir hebat. Ia ingat dengan jelas bahwa orang yang bernama Sakayon adalah salah seorang dari kepercayaan Sima Rodra di Gunung Tidar. Kalau demikian maka orang-orang yang mengepung bukit itu pasti gerombolan Sima Rodra. Mendapat pikiran itu ia menjadi berdebar-debar.
Cepat ia menghubungkannya dengan peristiwa yang baru saja lampau, dimana Sima Rodra telah terbunuh olehnya di padukuhan Gedangan. Maka pikirannya bekerja dengan cepatnya. Yang dihadapi itu hanyalah anak buah gerombolan yang telah diketahui kekuatannya. Karena itu, apakah tidak lebih baik kalau gerombolan itu segera dihancurkannya sama sekali?
Panembahan Ismaya yang melihat kegelisahan Mahesa Jenar berbisik perlahan-lahan,
Quote:
"Apakah yang telah Anakmas ketahui tentang percakapan mereka?"
"Panembahan…" jawab Mahesa Jenar berbisik pula,
"Mereka adalah gerombolan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Aku telah mengenal salah seorang diantara mereka. Dan aku mendapat pikiran untuk menghancurkan mereka sekaligus sekarang juga, kemah demi kemah tanpa mereka ketahui. Sebab benar-benar mereka tidak lebih daripada tikus-tikus yang sangat rakus."
Tiba-tiba Panembahan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya menjadi cemas. Katanya tergagap perlahan-lahan,
"Jangan anakmas, jangan dipakai kekerasan."
"Panembahan…" jawab Mahesa Jenar berbisik pula,
"Mereka adalah gerombolan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Aku telah mengenal salah seorang diantara mereka. Dan aku mendapat pikiran untuk menghancurkan mereka sekaligus sekarang juga, kemah demi kemah tanpa mereka ketahui. Sebab benar-benar mereka tidak lebih daripada tikus-tikus yang sangat rakus."
Tiba-tiba Panembahan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya menjadi cemas. Katanya tergagap perlahan-lahan,
"Jangan anakmas, jangan dipakai kekerasan."
Mendengar kata-kata Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar menjadi bingung. Bagaimana mungkin menghadapi gerombolan Sima Rodra itu tanpa kekerasan. Karena itu untuk beberapa saat ia menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dan karena Mahesa Jenar berdiam diri, Panembahan Ismaya meneruskan,
Quote:
"Anakmas, bukankah dengan demikian akan terjadi pertempuran?"
Hampir tidak sadar Mahesa Jenar berkata,
"Ya Panembahan, pertempuran dan pertumpahan darah."
"O ngger…, aku akan mati ketakutan melihat pertempuran. Maksudku semata-mata hanyalah untuk mengetahui apakah maksud mereka mengepung bukit ini. Setelah itu biarlah aku selesaikan kemudian. Dengan mengetahui maksud itu, bukankah aku telah mempunyai ancang-ancang untuk berbicara dengan mereka?"
Hampir tidak sadar Mahesa Jenar berkata,
"Ya Panembahan, pertempuran dan pertumpahan darah."
"O ngger…, aku akan mati ketakutan melihat pertempuran. Maksudku semata-mata hanyalah untuk mengetahui apakah maksud mereka mengepung bukit ini. Setelah itu biarlah aku selesaikan kemudian. Dengan mengetahui maksud itu, bukankah aku telah mempunyai ancang-ancang untuk berbicara dengan mereka?"
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Meskipun ia dapat mengerti jalan pikiran Panembahan itu, namun sebenarnya ia sangat keberatan untuk melepaskan kesempatan ini.
Orang-orang dari gerombolan hitam yang dalam keadaan terpisah-pisah seperti itu, akan dengan mudahnya untuk digilas, seperti membunuh cacing. Ia dapat memasuki kemah demi kemah dan membinasakan isinya sebelum mereka sempat membunyikan tanda apapun. Kemudian ia akan menghadapi pimpinan mereka, istri Sima Rodra yang pasti akan dapat dibinasakannya pula.
Tetapi Panembahan Ismaya itu melarangnya untuk berbuat demikian.
Dalam kebingungan itu terdengar kembali Panembahan Ismaya berbisik,
Quote:
"Anakmas, kita telah berhasil mengetahui maksud kedatangan mereka. Marilah kita kembali dan mempertimbangkan apa yang baik aku lakukan untuk menyelesaikan masalah ini."
Hati Mahesa Jenar bergolak hebat. Karena itu ia masih duduk diam tak bergerak.
Kalau Mahesa Jenar tidak dapat mengerti apa yang akan dilakukan, apalagi Arya Salaka. Meskipun ia berdiam diri, namun tubuhnya telah basah oleh keringat dingin. Bahkan terdengar giginya gemeretak menahan hati.
Melihat gelagat itu, maka Panembahan Ismaya menjadi bertambah cemas. Apalagi ketika ia mendengar Arya Salaka berdesis dengan suara yang gemetar.
Quote:
"Cucu Arya Salaka…" bisik Panembahan Ismaya,
"Apakah rencanaku itu tidak dapat cucu mengerti?"
"Eyang Panembahan…" jawab Arya Salaka memaksa diri untuk berkata,
"Apakah salahnya kalau sekarang juga aku bertindak. Menurut Paman Mahesa Jenar, darma seorang lelaki adalah termasuk menumpas kejahatan. Bukankah saat ini kesempatan itu ada…?"
"Kau betul cucu, kau betul. Dan pamanmu Mahesa Jenar pun betul pula. Tetapi adakah untuk menumpas kejahatan harus dilakukan dengan membinasakan mereka?"
"Bapa Panembahan…" Mahesa Jenar menyahut,
"Setiap sisa dari kejahatan akan dapat menjadi benih pada masa yang akan datang."
"Kau juga benar Anakmas, kau juga benar," jawab Panembahan Ismaya, nafasnya menjadi semakin memburu.
"Tetapi membunuh sebatang pohon tidak harus memotong dahan-dahan serta cabang-cabang saja. Yang penting akarnyalah yang harus dibinasakan."
"Akan sampai juga saatnya kelak," potong Arya Salaka.
"Cucu…" sahut Panembahan Ismaya semakin bingung.
Tetapi dari mulutnya meluncur kata-kata yang menunjukkan kedalaman tanggapannya atas keadaan yang dihadapinya.
"Kalau kau mulai dengan orang-orang yang menurut pamanmu tidak lebih daripada tikus-tikus yang rakus itu, cucu, maka kau tidak akan menemukan rajanya. Atau kau akan diterkamnya tanpa sepengetahuanmu."
"Apakah rencanaku itu tidak dapat cucu mengerti?"
"Eyang Panembahan…" jawab Arya Salaka memaksa diri untuk berkata,
"Apakah salahnya kalau sekarang juga aku bertindak. Menurut Paman Mahesa Jenar, darma seorang lelaki adalah termasuk menumpas kejahatan. Bukankah saat ini kesempatan itu ada…?"
"Kau betul cucu, kau betul. Dan pamanmu Mahesa Jenar pun betul pula. Tetapi adakah untuk menumpas kejahatan harus dilakukan dengan membinasakan mereka?"
"Bapa Panembahan…" Mahesa Jenar menyahut,
"Setiap sisa dari kejahatan akan dapat menjadi benih pada masa yang akan datang."
"Kau juga benar Anakmas, kau juga benar," jawab Panembahan Ismaya, nafasnya menjadi semakin memburu.
"Tetapi membunuh sebatang pohon tidak harus memotong dahan-dahan serta cabang-cabang saja. Yang penting akarnyalah yang harus dibinasakan."
"Akan sampai juga saatnya kelak," potong Arya Salaka.
"Cucu…" sahut Panembahan Ismaya semakin bingung.
Tetapi dari mulutnya meluncur kata-kata yang menunjukkan kedalaman tanggapannya atas keadaan yang dihadapinya.
"Kalau kau mulai dengan orang-orang yang menurut pamanmu tidak lebih daripada tikus-tikus yang rakus itu, cucu, maka kau tidak akan menemukan rajanya. Atau kau akan diterkamnya tanpa sepengetahuanmu."
Mendengar kata-kata Panembahan tua itu, Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia menjadi seperti orang yang tersadar dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Gamblanglah baginya apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu. Ternyata meskipun orang tua itu tidak cukup pengalaman dalam dunia keprajuritan, namun pandangannya yang jauh ternyata sangat bermanfaat.
Tetapi agaknya Arya Salaka sama sekali tidak dapat mengerti pikiran Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab,
Quote:
"Sekarang atau nanti, soalnya sudah jelas. Baik setiap anggota gerombolan itu atau setiap orang yang memegang pimpinan, harus kita binasakan. Apakah bedanya?"
"Arya…" potong Mahesa Jenar dengan tenang,
"Biarlah kita urungkan niat kita. Biarlah kita dapat menangkap orang yang kita kehendaki tanpa korban yang terlalu banyak."
"Arya…" potong Mahesa Jenar dengan tenang,
"Biarlah kita urungkan niat kita. Biarlah kita dapat menangkap orang yang kita kehendaki tanpa korban yang terlalu banyak."
MENDENGAR pendapat Mahesa Jenar, Arya Salaka terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gurunya akan menjadi sedemikian lunak menghadapi gerombolan hitam yang memuakkan itu. Karena itu wajahnya jadi merah. Jawabnya,
Quote:
"Guru… ijinkanlah aku bertindak atas namaku sendiri. Bukankah mereka telah bekerja sama dengan Paman Lembu Sora untuk mencelakakan ayahku…?"
Sekali lagi Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia dapat merasakan perasaan anak itu. Tetapi ia dapat pula merasakan betapa bijaksananya Panembahan Ismaya dengan pendapatnya. Maka dengan penuh kesabaran seorang guru terhadap murid yang dikasihinya, Mahesa Jenar berkata,
Quote:
"Arya Salaka, kalau ada orang yang benci kepada golongan hitam, akulah orangnya yang akan berdiri di baris terdepan. Namun demikian, ada beberapa pertimbangan yang harus kita perhatikan."
"Paman…" potong Arya Salaka,
"Haruskah kita menunggu agar mereka menjadi bertambah kuat dan bersiaga dahulu…? Ataukah kita menunggu sampai mereka menggantung aku tinggi-tinggi di pohon beringin tua itu…?"
"O cucu, jangan sebut-sebut peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu, sahut" Panembahan Ismaya.
"Tetapi hal itu bisa terjadi, Eyang," jawab Arya.
"Mula-mula ayahkulah yang menjadi korban, kemudian apa yang terjadi atas Paman Sawungrana menambah penjelasan. Dan apakah yang sudah mereka lakukan terhadap orang-orang Banyubiru dan Pamingit?"
"Arya…" potong Mahesa Jenar,
"Biarlah aku selesaikan penjelasanku dahulu. Kita harus mempunyai beberapa pertimbangan. Pertama kita harus menghormati Bapa Panembahan sebagai tuan rumah. Kedua, kita tidak mau kehilangan pemimpin mereka. Kalau orang-orang itu telah kita binasakan, maka pimpinan mereka tidak akan menginjakkan kakinya di daerah ini. Dengan demikian pekerjaan kita akan bertambah sulit."
"Kalau demikian biarlah kita tinggalkan padepokan ini, supaya kita tidak terikat lagi pada sopan santun. Setelah itu kita bebas untuk bertindak atas orang-orang dari gerombolan hitam itu," jawab Arya.
"Paman…" potong Arya Salaka,
"Haruskah kita menunggu agar mereka menjadi bertambah kuat dan bersiaga dahulu…? Ataukah kita menunggu sampai mereka menggantung aku tinggi-tinggi di pohon beringin tua itu…?"
"O cucu, jangan sebut-sebut peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu, sahut" Panembahan Ismaya.
"Tetapi hal itu bisa terjadi, Eyang," jawab Arya.
"Mula-mula ayahkulah yang menjadi korban, kemudian apa yang terjadi atas Paman Sawungrana menambah penjelasan. Dan apakah yang sudah mereka lakukan terhadap orang-orang Banyubiru dan Pamingit?"
"Arya…" potong Mahesa Jenar,
"Biarlah aku selesaikan penjelasanku dahulu. Kita harus mempunyai beberapa pertimbangan. Pertama kita harus menghormati Bapa Panembahan sebagai tuan rumah. Kedua, kita tidak mau kehilangan pemimpin mereka. Kalau orang-orang itu telah kita binasakan, maka pimpinan mereka tidak akan menginjakkan kakinya di daerah ini. Dengan demikian pekerjaan kita akan bertambah sulit."
"Kalau demikian biarlah kita tinggalkan padepokan ini, supaya kita tidak terikat lagi pada sopan santun. Setelah itu kita bebas untuk bertindak atas orang-orang dari gerombolan hitam itu," jawab Arya.
Sehabis ucapannya itu, tiba-tiba Arya sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu.Melihat hal itu Mahesa Jenar terkejut sekali. Karena itu segera ia mencegahnya.
Quote:
"Arya, apa yang akan kau lakukan? Ingat aku adalah gurumu. Dan aku telah mengasuhmu sampai ketingkatan ini."
Mendengar suara gurunya yang sudah mulai keras itu Arya menjadi tergetar hatinya. Rupa-rupanya gurunya benar-benar mempunyai pendapat yang lain dari pendapatnya terhadap orang-orang dari gerombolan hitam yang tinggal memijat hancur itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba lembah di kaki bukit Karang Tumaritis itu tergetar oleh suara tertawa yang tinggi nyaring. Suara itu jelas suara perempuan. Hati mereka yang sedang bersembunyi di dalam semak-semak itu tiba-tiba menjadi bergetaran dan berdebar-debar.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka sama sekali tidak melupakan bahwa suara itu adalah suara Istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Suara itu kemudian disahut oleh suatu suara yang tenang berat, meskipun terdengar kurang menyenangkan. Sambil tertawa pendek terdengar laki-laki itu berkata,
Quote:
"Seharusnya kau sedikit memelihara kecantikanmu daripada terus-menerus merendam kuku-kukumu itu di dalam racun. Dengan begitu aku tidak akan terlalu ngeri memandangmu."
Sekali lagi terdengar tertawa iblis betina itu, bahkan semakin dekat. Dan ketika sekali lagi terdengar suara laki-laki yang bersamanya, dada Mahesa Jenar bergoncang keras. Suara itu adalah suara berdesis dari Ular Laut Nusakambangan.
Quote:
"Jangan coba merayu aku," katanya,
"Kecuali kalau kau benar-benar dapat menangkap gadis yang kau sebut-sebut anak bekas suamimu yang terbunuh itu. Dengan demikian kau berdua akan aku ambil sekaligus sebagai isteri-isteriku."
"Kau benar-benar serigala," jawab istri Sima Rodra,
"Tetapi apakah kau tidak takut kepada Pandan Alas?"
"Itu urusanmu. Kau boleh minta pertolongan ayahmu, Sima Rodra tua dari Lodaya, dan barangkali juga Paman Bugel Kaliki akan bersedia pula membantu."
"Kenapa urusanku?" tanya Istri Sima Rodra.
"Banyak sebabnya," jawab Jaka Soka yang berwajah tampan itu.
"Pertama, Sima Rodra adalah ayahmu. Karena itu permintaanmu akan mendapat perhatiannya. Kedua, Bugel Kaliki adalah sahabat ayahmu itu. Dan ketiga, kau yang minta aku mengawinimu."
"He…" potong Istri Sima Rodra terkejut.
"Siapa bilang aku minta kau mengawini aku?"
"Lalu apa maksudmu menyeret aku kemari serta segala macam tingkah lakumu yang aneh-aneh itu?" tanya Jaka Soka keheran-heranan.
"Kecuali kalau kau benar-benar dapat menangkap gadis yang kau sebut-sebut anak bekas suamimu yang terbunuh itu. Dengan demikian kau berdua akan aku ambil sekaligus sebagai isteri-isteriku."
"Kau benar-benar serigala," jawab istri Sima Rodra,
"Tetapi apakah kau tidak takut kepada Pandan Alas?"
"Itu urusanmu. Kau boleh minta pertolongan ayahmu, Sima Rodra tua dari Lodaya, dan barangkali juga Paman Bugel Kaliki akan bersedia pula membantu."
"Kenapa urusanku?" tanya Istri Sima Rodra.
"Banyak sebabnya," jawab Jaka Soka yang berwajah tampan itu.
"Pertama, Sima Rodra adalah ayahmu. Karena itu permintaanmu akan mendapat perhatiannya. Kedua, Bugel Kaliki adalah sahabat ayahmu itu. Dan ketiga, kau yang minta aku mengawinimu."
"He…" potong Istri Sima Rodra terkejut.
"Siapa bilang aku minta kau mengawini aku?"
"Lalu apa maksudmu menyeret aku kemari serta segala macam tingkah lakumu yang aneh-aneh itu?" tanya Jaka Soka keheran-heranan.
Sekali lagi tertawa nyaring yang mengerikan itu meluncur dari mulut harimau betina liar Gunung Tidar itu. Jawabnya,
Quote:
"Soka… kau benar-benar telah berubah menjadi seorang yang alim. Coba katakan kepadaku, pernahkah kau mengawini segenap perempuan yang kau kumpulkan di Nusakambangan? Sekarang kau tak usah berpura-pura. Aku juga tidak. Kita tidak usah mengikat diri dengan cara apapun. Sebab itu hanya akan menertawakan orang dan mengurangi kemerdekaan kita masing-masing."
"Gila!" gerutu Jaka Soka.
"Ternyata kau jauh lebih liar dari dugaanku. Tetapi bagaimanapun juga bentuk hubungan kita, namun syaratku tetap. Kau harus membawa gadis itu kepadaku. Terserah cara yang akan kau tempuh."
"Kau terlalu menyakitkan hatiku, tetapi aku tidak akan marah kepadamu."
"Jangan takut, gadis itu akan kutangkap dan akan kujadikan umpan untuk memancingmu."
"Gila!" gerutu Jaka Soka.
"Ternyata kau jauh lebih liar dari dugaanku. Tetapi bagaimanapun juga bentuk hubungan kita, namun syaratku tetap. Kau harus membawa gadis itu kepadaku. Terserah cara yang akan kau tempuh."
"Kau terlalu menyakitkan hatiku, tetapi aku tidak akan marah kepadamu."
"Jangan takut, gadis itu akan kutangkap dan akan kujadikan umpan untuk memancingmu."
Lalu suara itu disusul oleh suara tawa dengan nada tinggi yang sangat menyakitkan telinga, yang semakin lama semakin menjauh dan ternyata kemudian memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
Tutup