- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#265
Jilid 9 [Part 194]
Spoiler for :
MENDENGAR permintaan itu, tentu saja Mahesa Jenar tidak akan menolaknya. Maka jawabnya,
Mendengar permintaan itu Mahesa Jenar terkejut. Panembahan Ismaya sendiri akan pergi melihat perkemahan dari orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Karena itu segera ia menjawab,
Hati Mahesa Jenar tergerak mendengar kata-kata itu. Meskipun Panembahan Ismaya itu telah sedemikian lanjut, namun sebagai seorang yang memegang pimpinan dalam bidangnya, ia sangat melindungi orang-orangnya. Karena itu, Mahesa Jenar merasa bahwa apabila ia terpaksa menolak, pasti akan menyinggung perasaan orang tua itu.
Maka yang dapat dikatakan hanyalah,
Mahesa Jenar tidak menjawab, kecuali menunddukkan kepalanya. Sebenarnya ia agak tidak sependapat dengan pernyataan Panembahan Ismaya itu.
Sebagai seorang prajurit, ia membenarkan pada setiap usaha untuk keselamatan diri maupun pasukannya. Hal itu sama sekali bukanlah sesuatu yang perlu disesalkan. Tetapi disamping itu ia mencoba untuk memahami pula alam pikiran Panembahan Ismayaa yang tidak mementingkan persoalan lahiriah.
Maka ketika malam telah larut, Panembahan tua itu kemudian berkemas-kemas untuk turun dari bukit Karang Tumaritis. Orang tua itu sengaja melepaskan jubah putihnya, dan menggantinya dengan kain hitam supaya tidak jelas terlihat di dalam gelapnya malam.
Ketika itu di langit bertaburan jutaan bintang yang berkedip-kedip dengan cemerlangnya. Angin pegunungan yang silir, perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang dengan sangat hati-hati menuruni tebing-tebing bukit Karang Tumaritis.
Mereka, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka, tidak melewati jalan-jalan yang biasa, tetapi mereka menempuh arah yang lain. Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tak sampai hati melihat Panembahan Ismaya, pada malam yang gelap itu, tertatih-tatih dengan tongkatnya menuruni lambung bukit yang agak sulit itu. Namun kemauan orang itu sama sekali sudah tak dapat diubahnya. Bagi Mahesa Jenar, tebing itu sama sekali tak berarti apa-apa. Juga bagi Arya Salaka. Tetapi lainlah Panembahan Ismaya yang telah lanjut usia.
Karena itulah maka perjalanan mereka sangat perlahan-lahan. Seolah-olah mereka sama sekali tidak maju-maju dari satu titik. Kadang-kadang apabila tebing itu agak terlalu terjal, Mahesa Jenar dan Arya Salaka bersama-sama menolong Panembahan Ismaya, supaya tidak jatuh terperosok. Meskipun demikian, ketika bintang Gubug Penceng telah melampaui garis tegaknya, mereka bertiga telah sampai dikaki bukit kecil itu. Nafas Panembahan tua itu terdengar agak terlalu cepat karena kelelahan. Namun demikian sambil tersenyum ia berkata,
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya tertawa terkekeh-kekeh, sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Karena itulah Mahesa Jenar kemudian menjadi cemas, jangan-jangan suara itu didengar oleh orang-orang yang berada di dalam perkemahan yang sudah tidak begitu jauh lagi, sedangkan untuk menegurnya Mahesa Jenar agak segan.
PANEMBAHAN Ismaya kemudian sadar dengan sendirinya. Katanya berbisik-bisik,
Setelah mereka berdiam diri beberapa saat, ternyata mereka tak mendengar suara apapun. Maka legalah hati mereka, karena ternyata suara Panembahan Ismaya itu tak terdengar oleh orang-orang di dalam kemah-kemah di seberang padang ilalang.
Sebenarnya Mahesa Jenar agak cemas membiarkan Panembahan Ismaya mendekati perkemahan itu. Mereka masih belum tahu siapakah yang berada di dalamnya. Kalau mereka terdiri dari orang-orang yang cukup berilmu maka kedatangan mereka pasti akan ketahuan, sebab Panembahan Ismaya agaknya kurang dapat mengendalikan geraknya sebagai dirinya atau Arya Salaka, yang sudah biasa berlatih diri. Tetapi ia tidak dapat mengutarakan pikirannya itu berterus terang. Sehingga akhirnya ia terpaksa berkesimpulan, bahwa ia harus benar-benar melindungi Panembahan itu atas segala sesuatu yang mungkin terjadi.
Karena itu, maka kemudian mereka bersama-sama dengan hati-hati sekali mendekati kemah yang terdekat di depan mereka. Adalah suatu kebetulan bahwa kemah yang mereka pilih adalah kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain. Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Jenar merangkak paling depan menguakkan batang-batang ilalang dan kadang-kadang gerumbul-gerumbul kecil di garis perjalanannya. Di belakangnya merangkak pula Panembahan Ismaya, dan di belakang sekali Arya Salaka, yang kadang-kadang terpaksa tersenyum geli melihat orang tua di depannya.
Ketika jarak kemah itu sudah tidak begitu jauh, Mahesa Jenar sudah mulai mencium bau asap. Agaknya orang-orang itu sedang menghangatkan dirinya di tepi perapian. Karenanya Mahesa Jenar harus bertambah hati-hati. Ia berusaha bahwa setiap geraknya tidak menimbulkan suara. Baginya hal yang demikian itu tidak begitu sulit, namun tidaklah demikian bagi Panembahan Ismaya.
Untunglah bahwa sampai sedemikian jauh, kedatangan mereka masih belum diketahui.
Ketika sekali lagi Mahesa Jenar menguak batang-batang ilalang, maka tiba-tiba ia surut selangkah. Di depannya tampak dua tiga orang sedang duduk mengelilingi api yang sudah hampir padam. Meskipun perlahan-lahan namun percakapan mereka dapat didengar oleh Mahesa Jenar dengan jelas.
Dengan gerak Mahesa Jenar memberi tanda kepada Panembahan tua itu agar berhenti dan berhati-hati. Panembahan Ismaya agaknya mengetahui pula. Karena itu segera ia berhenti dan duduk bersila. Ia tampaknya sudah demikian lelah.
Mahesa Jenar pun segera duduk di sampingnya, dan agak ke dalam tampak Arya Salaka duduk sambil memeluk lututnya. Di situ mereka merasa aman terlindung oleh batang-batang ilalang yang cukup tinggi dan padat. Sedangkan dari tempat itu pula mereka dapat mendengar setiap pembicaraan dari ketiga orang yang sedang menghangatkan tubuhnya itu.
Untuk beberapa lama pembicaraan orang-orang itu sama sekali tidak menyangkut kepentingan mereka berkemah di situ. Mereka hanya membicarakan diri mereka masing-masing. Mereka saling menyombongkan diri tentang kecakapan mereka berburu, berolah senjata dan jumlah orang yang telah pernah mereka bunuh.
Meskipun demikian dari percakapan itu Mahesa Jenar dapat menerka bahwa rombongan itu bukanlah rombongan orang baik-baik. Rombongan itu pasti termasuk dalam golongan para penjahat, bahkan bukan penjahat-penjahat kecil, tetapi mereka termasuk dalam gerombolan yang cukup besar.
Mula-mula Mahesa Jenar hampir menganggap bahwa para penjahat itu hanya melulu menginginkan kekayaan yang mereka sangka banyak terdapat di puncak bukit kecil itu. Kalau demikian halnya maka soalnya akan menjadi sederhana dan mudah.
Arya Salaka sendiri mungkin akan sudah cukup untuk dapat menakut-nakuti mereka. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar terperanjat oleh percakapan berikutnya. Ketika salah seorang dari mereka menguap dan berdiri akan meninggalkan perapian itu, berkatalah ia,
Setelah itu ia melangkah pergi memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
Quote:
"Bapa Panembahan, aku akan selalu bersedia untuk melakukan apapun yang mungkin. Apalagi apabila ada hubungannya dengan kemah-kemah yang memang sangat menarik hati itu."
"Benar Anakmas," sambung Panembahan,
"Memang aku bermaksud untuk mengetahui siapakah yang telah membangun perkemahan itu. Aku kira mereka mempunyai maksud-maksud yang tidak dapat mereka katakan secara berterus terang. Sebab apabila demikian, maka mereka pasti tidak akan melakukannya. Kalau persoalan mereka dapat dilakukan dengan baik pastilah mereka akan langsung menaiki bukit ini."
"Lalu apakah yang harus aku lakukan Bapa…?" tanya Mahesa Jenar.
"Anakmas…" jawab Panembahan itu,
"Nanti apabila hari telah larut, aku ingin melihat perkemahan itu. Sudikah Anakmas mengantarkan aku?"
"Benar Anakmas," sambung Panembahan,
"Memang aku bermaksud untuk mengetahui siapakah yang telah membangun perkemahan itu. Aku kira mereka mempunyai maksud-maksud yang tidak dapat mereka katakan secara berterus terang. Sebab apabila demikian, maka mereka pasti tidak akan melakukannya. Kalau persoalan mereka dapat dilakukan dengan baik pastilah mereka akan langsung menaiki bukit ini."
"Lalu apakah yang harus aku lakukan Bapa…?" tanya Mahesa Jenar.
"Anakmas…" jawab Panembahan itu,
"Nanti apabila hari telah larut, aku ingin melihat perkemahan itu. Sudikah Anakmas mengantarkan aku?"
Mendengar permintaan itu Mahesa Jenar terkejut. Panembahan Ismaya sendiri akan pergi melihat perkemahan dari orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Karena itu segera ia menjawab,
Quote:
"Bapa Panembahan. Sebenarnya tidaklah perlu Bapa Panembahan sendiri pergi untuk menyaksikan kemah-kemah itu. Biarlah aku dan Arya saja yang melakukan. Sedang hasilnya akan aku laporkan kepada Panembahan."
Panembahan Ismaya tersenyum mendengar jawaban Mahesa Jenar. Maka katanya,
"Hal itu tak dapat aku benarkan Anakmas. Anakmas adalah tamu di bukit ini. Bukankah tidak semestinya kalau aku sebagai tuan rumah membebankan suatu pekerjaan kepada tamunya melulu, sedang tuan rumah sendiri akan berpangku tangan."
"Panembahan…" sela Mahesa Jenar,
"Kalau demikian, bukankah Panembahan dapat menunjuk salah seorang cantrik pergi bersama kami?"
Panembahan Ismaya menggelengkan kepala. Katanya,
"Itupun tidak mungkin. Para cantrik adalah anak-anak yang keselamatannya ada di dalam tanggungjawabku. Aku masih belum tahu, apakah pekerjaan yang akan kita lakukan itu berbahaya atau tidak. Karena itu aku tidak dapat menugaskan orang lain dalam hal ini. Kalau aku berani minta kepada Anakmas, adalah karena aku yakin bahwa Anakmas memiliki kemampuan melampaui manusia biasa. Terus terang saja, bahwa Anakmas mungkin akan dapat melindungi diriku apabila ada hal-hal yang sangat tidak menyenangkan, meskipun seharusnya aku percaya bahwa keselamatan seseorang sangat tergantung kepada garis yang telah digoreskan oleh Yang Maha Kuasa. Dan bukan pula seharusnya aku menaruh curiga kepada hal-hal yang belum pasti."
Panembahan Ismaya tersenyum mendengar jawaban Mahesa Jenar. Maka katanya,
"Hal itu tak dapat aku benarkan Anakmas. Anakmas adalah tamu di bukit ini. Bukankah tidak semestinya kalau aku sebagai tuan rumah membebankan suatu pekerjaan kepada tamunya melulu, sedang tuan rumah sendiri akan berpangku tangan."
"Panembahan…" sela Mahesa Jenar,
"Kalau demikian, bukankah Panembahan dapat menunjuk salah seorang cantrik pergi bersama kami?"
Panembahan Ismaya menggelengkan kepala. Katanya,
"Itupun tidak mungkin. Para cantrik adalah anak-anak yang keselamatannya ada di dalam tanggungjawabku. Aku masih belum tahu, apakah pekerjaan yang akan kita lakukan itu berbahaya atau tidak. Karena itu aku tidak dapat menugaskan orang lain dalam hal ini. Kalau aku berani minta kepada Anakmas, adalah karena aku yakin bahwa Anakmas memiliki kemampuan melampaui manusia biasa. Terus terang saja, bahwa Anakmas mungkin akan dapat melindungi diriku apabila ada hal-hal yang sangat tidak menyenangkan, meskipun seharusnya aku percaya bahwa keselamatan seseorang sangat tergantung kepada garis yang telah digoreskan oleh Yang Maha Kuasa. Dan bukan pula seharusnya aku menaruh curiga kepada hal-hal yang belum pasti."
Hati Mahesa Jenar tergerak mendengar kata-kata itu. Meskipun Panembahan Ismaya itu telah sedemikian lanjut, namun sebagai seorang yang memegang pimpinan dalam bidangnya, ia sangat melindungi orang-orangnya. Karena itu, Mahesa Jenar merasa bahwa apabila ia terpaksa menolak, pasti akan menyinggung perasaan orang tua itu.
Maka yang dapat dikatakan hanyalah,
Quote:
"Panembahan, kalau demikian maka aku tidak dapat berbuat lain dari pada memenuhi permintaan Bapa."
"Nah, kalau demikian akan senanglah hatiku. Meskipun aku merasa bahwa di dalam hati Anakmas pasti mentertawakan aku, seorang yang menamakan dirinya Panembahan, namun masih mencemaskan keselamatannya."
"Nah, kalau demikian akan senanglah hatiku. Meskipun aku merasa bahwa di dalam hati Anakmas pasti mentertawakan aku, seorang yang menamakan dirinya Panembahan, namun masih mencemaskan keselamatannya."
Mahesa Jenar tidak menjawab, kecuali menunddukkan kepalanya. Sebenarnya ia agak tidak sependapat dengan pernyataan Panembahan Ismaya itu.
Sebagai seorang prajurit, ia membenarkan pada setiap usaha untuk keselamatan diri maupun pasukannya. Hal itu sama sekali bukanlah sesuatu yang perlu disesalkan. Tetapi disamping itu ia mencoba untuk memahami pula alam pikiran Panembahan Ismayaa yang tidak mementingkan persoalan lahiriah.
Maka ketika malam telah larut, Panembahan tua itu kemudian berkemas-kemas untuk turun dari bukit Karang Tumaritis. Orang tua itu sengaja melepaskan jubah putihnya, dan menggantinya dengan kain hitam supaya tidak jelas terlihat di dalam gelapnya malam.
Ketika itu di langit bertaburan jutaan bintang yang berkedip-kedip dengan cemerlangnya. Angin pegunungan yang silir, perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang dengan sangat hati-hati menuruni tebing-tebing bukit Karang Tumaritis.
Mereka, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka, tidak melewati jalan-jalan yang biasa, tetapi mereka menempuh arah yang lain. Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tak sampai hati melihat Panembahan Ismaya, pada malam yang gelap itu, tertatih-tatih dengan tongkatnya menuruni lambung bukit yang agak sulit itu. Namun kemauan orang itu sama sekali sudah tak dapat diubahnya. Bagi Mahesa Jenar, tebing itu sama sekali tak berarti apa-apa. Juga bagi Arya Salaka. Tetapi lainlah Panembahan Ismaya yang telah lanjut usia.
Karena itulah maka perjalanan mereka sangat perlahan-lahan. Seolah-olah mereka sama sekali tidak maju-maju dari satu titik. Kadang-kadang apabila tebing itu agak terlalu terjal, Mahesa Jenar dan Arya Salaka bersama-sama menolong Panembahan Ismaya, supaya tidak jatuh terperosok. Meskipun demikian, ketika bintang Gubug Penceng telah melampaui garis tegaknya, mereka bertiga telah sampai dikaki bukit kecil itu. Nafas Panembahan tua itu terdengar agak terlalu cepat karena kelelahan. Namun demikian sambil tersenyum ia berkata,
Quote:
"Anakmas, bukankah aku mempunyai bakat untuk menjadi prajurit?"
Mahesa Jenar tertawa lirih, lalu sahutnya,
"Kalau Panembahan masih semuda aku ini, barangkali Panembahan jauh lebih kuat daripadaku."
Mahesa Jenar tertawa lirih, lalu sahutnya,
"Kalau Panembahan masih semuda aku ini, barangkali Panembahan jauh lebih kuat daripadaku."
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya tertawa terkekeh-kekeh, sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Karena itulah Mahesa Jenar kemudian menjadi cemas, jangan-jangan suara itu didengar oleh orang-orang yang berada di dalam perkemahan yang sudah tidak begitu jauh lagi, sedangkan untuk menegurnya Mahesa Jenar agak segan.
PANEMBAHAN Ismaya kemudian sadar dengan sendirinya. Katanya berbisik-bisik,
Quote:
"Celaka…. Apakah mereka mendengar suaraku…?"
Setelah mereka berdiam diri beberapa saat, ternyata mereka tak mendengar suara apapun. Maka legalah hati mereka, karena ternyata suara Panembahan Ismaya itu tak terdengar oleh orang-orang di dalam kemah-kemah di seberang padang ilalang.
Quote:
"Panembahan…" kata Mahesa Jenar kemudian,
"Aku persilahkan Panembahan menunggu di sini. Biarlah aku mendekati salah satu dari perkemahan mereka yang terdekat itu."
"Uh..!" keluh Panembahan Ismaya,
"Aku sudah sampai di sini. Apakah salahnya kalau aku ikut serta."
"Aku persilahkan Panembahan menunggu di sini. Biarlah aku mendekati salah satu dari perkemahan mereka yang terdekat itu."
"Uh..!" keluh Panembahan Ismaya,
"Aku sudah sampai di sini. Apakah salahnya kalau aku ikut serta."
Sebenarnya Mahesa Jenar agak cemas membiarkan Panembahan Ismaya mendekati perkemahan itu. Mereka masih belum tahu siapakah yang berada di dalamnya. Kalau mereka terdiri dari orang-orang yang cukup berilmu maka kedatangan mereka pasti akan ketahuan, sebab Panembahan Ismaya agaknya kurang dapat mengendalikan geraknya sebagai dirinya atau Arya Salaka, yang sudah biasa berlatih diri. Tetapi ia tidak dapat mengutarakan pikirannya itu berterus terang. Sehingga akhirnya ia terpaksa berkesimpulan, bahwa ia harus benar-benar melindungi Panembahan itu atas segala sesuatu yang mungkin terjadi.
Karena itu, maka kemudian mereka bersama-sama dengan hati-hati sekali mendekati kemah yang terdekat di depan mereka. Adalah suatu kebetulan bahwa kemah yang mereka pilih adalah kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain. Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Jenar merangkak paling depan menguakkan batang-batang ilalang dan kadang-kadang gerumbul-gerumbul kecil di garis perjalanannya. Di belakangnya merangkak pula Panembahan Ismaya, dan di belakang sekali Arya Salaka, yang kadang-kadang terpaksa tersenyum geli melihat orang tua di depannya.
Ketika jarak kemah itu sudah tidak begitu jauh, Mahesa Jenar sudah mulai mencium bau asap. Agaknya orang-orang itu sedang menghangatkan dirinya di tepi perapian. Karenanya Mahesa Jenar harus bertambah hati-hati. Ia berusaha bahwa setiap geraknya tidak menimbulkan suara. Baginya hal yang demikian itu tidak begitu sulit, namun tidaklah demikian bagi Panembahan Ismaya.
Untunglah bahwa sampai sedemikian jauh, kedatangan mereka masih belum diketahui.
Ketika sekali lagi Mahesa Jenar menguak batang-batang ilalang, maka tiba-tiba ia surut selangkah. Di depannya tampak dua tiga orang sedang duduk mengelilingi api yang sudah hampir padam. Meskipun perlahan-lahan namun percakapan mereka dapat didengar oleh Mahesa Jenar dengan jelas.
Dengan gerak Mahesa Jenar memberi tanda kepada Panembahan tua itu agar berhenti dan berhati-hati. Panembahan Ismaya agaknya mengetahui pula. Karena itu segera ia berhenti dan duduk bersila. Ia tampaknya sudah demikian lelah.
Mahesa Jenar pun segera duduk di sampingnya, dan agak ke dalam tampak Arya Salaka duduk sambil memeluk lututnya. Di situ mereka merasa aman terlindung oleh batang-batang ilalang yang cukup tinggi dan padat. Sedangkan dari tempat itu pula mereka dapat mendengar setiap pembicaraan dari ketiga orang yang sedang menghangatkan tubuhnya itu.
Untuk beberapa lama pembicaraan orang-orang itu sama sekali tidak menyangkut kepentingan mereka berkemah di situ. Mereka hanya membicarakan diri mereka masing-masing. Mereka saling menyombongkan diri tentang kecakapan mereka berburu, berolah senjata dan jumlah orang yang telah pernah mereka bunuh.
Meskipun demikian dari percakapan itu Mahesa Jenar dapat menerka bahwa rombongan itu bukanlah rombongan orang baik-baik. Rombongan itu pasti termasuk dalam golongan para penjahat, bahkan bukan penjahat-penjahat kecil, tetapi mereka termasuk dalam gerombolan yang cukup besar.
Mula-mula Mahesa Jenar hampir menganggap bahwa para penjahat itu hanya melulu menginginkan kekayaan yang mereka sangka banyak terdapat di puncak bukit kecil itu. Kalau demikian halnya maka soalnya akan menjadi sederhana dan mudah.
Arya Salaka sendiri mungkin akan sudah cukup untuk dapat menakut-nakuti mereka. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar terperanjat oleh percakapan berikutnya. Ketika salah seorang dari mereka menguap dan berdiri akan meninggalkan perapian itu, berkatalah ia,
Quote:
"Hati-hatilah kawan. Jangan sampai orang itu lolos. Aku akan tidur sebentar. Kalau lurah kita nanti kehilangan orang itu, mungkin kepala kalian yang akan menjadi gantinya. Ingat, jangan coba menyelesaikan sendiri. Pukul kentongan kalau kau lihat dia. Sebab baginya kau tidak lebih dari seekor tikus tak berarti."
Orang yang masih duduk di tepi perapian yang sudah hampir padam itu tertawa tinggi. Lalu jawabnya,
"Macam apakah orang itu, yang menganggap kita seekor tikus? Justru karena itu aku ingin melihat orangnya. Kalau ia kuat mengayunkan penggadaku ini dengan sebelah tangan seperti yang aku lakukan, aku akan menyembahnya tujuh kali."
Orang yang berdiri itulah kemudian yang tertawa nyaring. Katanya,
"Aku akan berdoa mudah-mudahan permintaanmu itu dapat terkabul."
Orang yang masih duduk di tepi perapian yang sudah hampir padam itu tertawa tinggi. Lalu jawabnya,
"Macam apakah orang itu, yang menganggap kita seekor tikus? Justru karena itu aku ingin melihat orangnya. Kalau ia kuat mengayunkan penggadaku ini dengan sebelah tangan seperti yang aku lakukan, aku akan menyembahnya tujuh kali."
Orang yang berdiri itulah kemudian yang tertawa nyaring. Katanya,
"Aku akan berdoa mudah-mudahan permintaanmu itu dapat terkabul."
Setelah itu ia melangkah pergi memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
Diubah oleh nandeko 22-08-2020 15:19
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
Tutup