- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#264
Jilid 9 [Part 193]
Spoiler for :
MAHESA Jenar menjadi semakin sibuk menduga-duga, alangkah jauh dari dugaannya tentang Panembahan itu. Namun demikian Mahesa Jenar menjadi bertambah tidak mengerti, darimanakah orang tua itu dapat mengenalnya sebagai seorang prajurit dan bernama Rangga Tohjaya?
Dalam kebingungan itu terdengar Panembahan Ismaya berkata kembali,
Seperti orang yang kehilangan kesadaran Mahesa Jenar melangkah masuk diikuti oleh Arya Salaka. Mereka berdua kemudian duduk pula di atas batu hitam yang juga beralaskan kulit kayu. Sedang pemuda tampan yang mengantar mereka tadi dengan takzimnya duduk bersila di lantai di belakang Panembahan Ismaya.
Setelah Panembahan Ismaya menanyakan keselamatan Mahesa Jenar, serta beberapa hal tentang dirinya serta perjalanannya mendaki bukit kecil itu, akhirnya Panembahan Ismaya sampai pada sebuah pertanyaan tentang keperluan Mahesa Jenar.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar diam. Ia masih ragu. Apakah perlu ia mengutarakan keperluannya. Bukankah Panembahan Ismaya yang bijaksana itu telah dapat membaca perasaan yang tersimpan di dalam dadanya.
Melihat Mahesa Jenar termangu berkatalah Panembahan itu,
Namun bagaimanapun juga Mahesa Jenar menganggap bahwa Panembahan Ismaya itu seolah-olah memiliki indera keenam, yang dapat melihat barang yang tak kasatmata. Karena itu dengan takzimnya ia menjawab,
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melarikan diri dari sinar mata tajam yang seolah-olah menusuk sampai ke segala relung jantungnya. Meskipun demikian, maka tak ada cara lain yang baik baginya daripada memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mengutarakan maksud kedatangannya.
Maka dengan agak berat Mahesa Jenar berkata,
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu Panembahan Ismaya mengernyitkan alisnya.
Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian dengan tersenyum berkata,
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar mencoba menyembunyikan perasaannya namun di wajahnya membayang pula kekecewaan hatinya, apalagi Arya Salaka. Meskipun demikian, Mahesa Jenar sama sekali tak ada perasaan menyalahkan kepada Panembahan Ismaya. Sebab bagaimanapun juga waskitanya seseorang, namun pasti bahwa tidak semua sudut dunia ini dapat diketahuinya.
AGAKNYA perasaan Mahesa Jenar itu dapat diketahui oleh Panembahan Ismaya, yang kemudian berkata meneruskan,
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya yang terakhir itu, mata Mahesa Jenar menjadi bercahaya. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang Panembahan. Karena itu ia yakin bahwa artinya pun tidak sesederhana kata-kata itu sendiri.
Maka karena itu segera ia menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab,
Akhirnya Mahesa Jenar dan Arya Salaka diperkenankan untuk beristirahat.
Selanjutnya memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mereka berdua untuk beberapa lama tinggal bersama-sama di Karang Tumaritis. Mereka berdua hidup dan bergaul dengan beberapa orang cantrik yang melayani Panembahan Ismaya dengan rajinnya di bawah pimpinan Putut Karang Tunggal.
Namun setelah tujuh hari mereka tinggal di situ, Panembahan Ismaya sama sekali belum pernah menyinggung- nyinggung tentang kedua pusaka itu. Kalau mereka bertemu, maka apa yang dibicarakan oleh Panembahan Ismaya adalah hal-hal yang sama sekali tak berarti. Bahkan kesempatan untuk bertemu pun sangat terbatas.
Panembahan Ismaya selalu menyepi di ruang samadinya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar percaya, bahwa Panembahan Ismaya pada suatu hari akan dapat memberinya bantuan untuk menemukan kedua keris itu.
Selama mereka berada di Karang Tumaritis, mereka mendapat kesempatan untuk mengunjungi setiap lekuk liku pegunungan itu. Sebagai tuan rumah, para cantrik amatlah ramahnya, sehingga Mahesa Jenar dan Arya Salaka merasa seperti di rumah sendiri. Bahkan di bukit itu pun Arya Salaka masih sempat untuk menerima pelajaran-pelajaran dari gurunya, meskipun mereka terpaksa mencari tempat yang agak tersembunyi. Sebab ternyata penghuni bukit itu agaknya tidak pernah membayangkan adanya gerak-gerak kekerasan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka, kecuali menelaah masalah-masalah kerohanian di bawah tuntunan Panembahan Ismaya.
Tetapi pada beberapa hari kemudian, terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Ketika mereka sedang berjalan-jalan menyusur tebing bukit itu, dilihatnya agak jauh di lembah di belakang bukit itu, beberapa perkemahan yang sedang dipersiapkan.
Mula-mula mereka sama sekali tidak menaruh perhatian sama sekali, sebab mereka menyangka bahwa kemah dari batang-batang ilalang itu telah dibuat oleh para pemburu. Tetapi ketika ternyata di bagian-bagian yang lain di sekitar bukit itu dibuat pula kemah-kemah yang serupa, maka Mahesa Jemar mulai curiga. Apalagi ketika akhirnya ia mempunyai kesimpulan bahwa bukit Karang Tumaritis itu telah dikepung rapat, sehingga setiap jengkal tanah mendapat pengawasan dengan saksama.
Mau tidak mau Mahesa Jenar terpaksa menebak-nebak. Siapakah yang telah membuat perkemahan itu, dan apakah maksudnya.
Pada malam itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar ketika ia mendapat undangan dari Panembahan Ismaya untuk menghadap. Maka bersama dengan Jatirono dan Arya Salaka Mahesa Jenar pergi memenuhi undangan itu.
Sebagai biasa Panembahan Ismaya menyambut kedatangannya dengan penuh hormat, serta mempersilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka duduk di atas batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Setelah itu dimintanya Jatirono meninggalkan mereka.
Panembahan Ismaya berhenti sejenak, sedang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian mendengarkan setiap patah kata yang meluncur dari mulut orang tua itu. Tetapi meskipun Panembahan Ismaya belum menyampaikan berita apakah yang tidak menyenangkan itu, namun Mahesa Jenar sudah dapat meraba bahwa yang dimaksudkan pasti adanya beberapa perkemahan yang mengelilingi bukit itu. Dan ternyata apa yang dirabanya itu benar.
Sampai sekian Panembahan tua itu berhenti pula.
Dalam kebingungan itu terdengar Panembahan Ismaya berkata kembali,
Quote:
"Marilah Anakmas…."
Seperti orang yang kehilangan kesadaran Mahesa Jenar melangkah masuk diikuti oleh Arya Salaka. Mereka berdua kemudian duduk pula di atas batu hitam yang juga beralaskan kulit kayu. Sedang pemuda tampan yang mengantar mereka tadi dengan takzimnya duduk bersila di lantai di belakang Panembahan Ismaya.
Setelah Panembahan Ismaya menanyakan keselamatan Mahesa Jenar, serta beberapa hal tentang dirinya serta perjalanannya mendaki bukit kecil itu, akhirnya Panembahan Ismaya sampai pada sebuah pertanyaan tentang keperluan Mahesa Jenar.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar diam. Ia masih ragu. Apakah perlu ia mengutarakan keperluannya. Bukankah Panembahan Ismaya yang bijaksana itu telah dapat membaca perasaan yang tersimpan di dalam dadanya.
Melihat Mahesa Jenar termangu berkatalah Panembahan itu,
Quote:
"Anakmas, kedatangan Anakmas ke bukit kecil ini pastilah mempunyai suatu maksud. Meskipun tidak sewajarnya kalau aku yang tak berarti ini memberanikan diri untuk menerima pertanyaan Anakmas. Sebab apakah yang dapat aku kerjakan? Aku adalah seorang tua yang tak pernah meninggalkan bukit ini, sehingga pasti yang aku ketahui tidaklah lebih dari katak di bawah tempurung."
Namun bagaimanapun juga Mahesa Jenar menganggap bahwa Panembahan Ismaya itu seolah-olah memiliki indera keenam, yang dapat melihat barang yang tak kasatmata. Karena itu dengan takzimnya ia menjawab,
Quote:
"Panembahan telah mengetahui apa yang tidak pernah aku katakan kepada Panembahan, yaitu tentang nama kami berdua. Tetapi karena ketajaman indera Panembahan, Panembahan telah dapat mengetahuinya. Adalah sama sekali tidak pantas kalau aku harus mengatakan keperluanku menghadap Panembahan, seolah-olah aku tidak percaya akan ketajaman pandangan Panembahan."
Mendengar kata Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu tertawa lirih.
"Anakmas telah salah duga. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui perasaan orang lain dengan tepat, selain Yang Maha Tahu. Tentang nama Anakmas dan cucu Arya Salaka, bukanlah karena aku dapat melihat apa yang belum terjadi, tetapi karena semata-mata nama Anakmas berdua telah demikian tenarnya di sekitar bukit ini. Seorang cantrik yang turun untuk mendapatkan perbekalan kami telah mendengar nama Anakmas berdua sebagai penyelamat di padukuhan Gedangan. Dan hampir setiap mulut dari penduduk pedukuhan itu selalu menyebut nama Tuan yang rangkap, bahkan nama Anakmas sebagai bekas prajurit Demak. Bukankah nama itu disebut-sebut pula oleh anak Sima Rodra yang Anakmas bunuh?"
Mendengar kata Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu tertawa lirih.
"Anakmas telah salah duga. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui perasaan orang lain dengan tepat, selain Yang Maha Tahu. Tentang nama Anakmas dan cucu Arya Salaka, bukanlah karena aku dapat melihat apa yang belum terjadi, tetapi karena semata-mata nama Anakmas berdua telah demikian tenarnya di sekitar bukit ini. Seorang cantrik yang turun untuk mendapatkan perbekalan kami telah mendengar nama Anakmas berdua sebagai penyelamat di padukuhan Gedangan. Dan hampir setiap mulut dari penduduk pedukuhan itu selalu menyebut nama Tuan yang rangkap, bahkan nama Anakmas sebagai bekas prajurit Demak. Bukankah nama itu disebut-sebut pula oleh anak Sima Rodra yang Anakmas bunuh?"
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melarikan diri dari sinar mata tajam yang seolah-olah menusuk sampai ke segala relung jantungnya. Meskipun demikian, maka tak ada cara lain yang baik baginya daripada memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mengutarakan maksud kedatangannya.
Maka dengan agak berat Mahesa Jenar berkata,
Quote:
"Bapa Panembahan, aku mendengar tentang kewaskitaan Panembahan dari seorang yang bernama Wiradapa, penduduk dan sekarang menjadi lurah di padukuhan Gedangan. Karena itu aku memberanikan diri menghadap Panembahan untuk memohon petunjuk, barangkali Panembahan berkenan memberitahukan kepada kami berdua, di manakah atau cara bagaimanakah kami berdua dapat menemukan Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang lenyap dari perbendaharaan istana dan pernah menjadi rebutan dari mereka yang menggolongkan diri dalam suatu gerombolan yang ingin merebut pemerintahan dengan segala cara, termasuk Sima Rodra yang beberapa waktu lalu terbunuh di Gedangan."
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu Panembahan Ismaya mengernyitkan alisnya.
Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian dengan tersenyum berkata,
Quote:
"Anakmas, dalam waktu yang singkat ada dua orang yang mempunyai pertanyaan yang sama. Beberapa waktu yang lalu, datang padaku seorang yang menyatakan dirinya putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru. Dan ternyata anak muda itu terlibat dalam suatu bentrokan dengan Anakmas berdua di Gedangan, menurut berita yang sampai di bukit ini. Anak muda yang bernama Sawung Sariti itu, ternyata menanyakan juga kedua keris yang bernama Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi sayang bahwa aku tak dapat menunjukkannya, sehingga marahlah anak muda itu. Sekarang Anakmas datang pula dengan pertanyaan yang sama. Tentu saja pertanyaan itu amat mencemaskan hatiku. Sebab jangan-jangan Anakmas akan marah pula kepadaku."
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil menyahut,
"Bapa Panembahan, apakah hakku marah kepada Panembahan. Bahwa aku telah mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan, bagiku telah merupakan suatu kesempatan yang tak dapat aku lupakan."
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya pula,
"Aku sudah mengira, bahwa Anakmas tidak akan marah kepadaku seperti anak muda itu. Namun begitu aku sangat menyesal bahwa tak ada pengetahuanku tentang kedua keris itu, yang Anakmas kehendaki itu."
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil menyahut,
"Bapa Panembahan, apakah hakku marah kepada Panembahan. Bahwa aku telah mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan, bagiku telah merupakan suatu kesempatan yang tak dapat aku lupakan."
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya pula,
"Aku sudah mengira, bahwa Anakmas tidak akan marah kepadaku seperti anak muda itu. Namun begitu aku sangat menyesal bahwa tak ada pengetahuanku tentang kedua keris itu, yang Anakmas kehendaki itu."
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar mencoba menyembunyikan perasaannya namun di wajahnya membayang pula kekecewaan hatinya, apalagi Arya Salaka. Meskipun demikian, Mahesa Jenar sama sekali tak ada perasaan menyalahkan kepada Panembahan Ismaya. Sebab bagaimanapun juga waskitanya seseorang, namun pasti bahwa tidak semua sudut dunia ini dapat diketahuinya.
AGAKNYA perasaan Mahesa Jenar itu dapat diketahui oleh Panembahan Ismaya, yang kemudian berkata meneruskan,
Quote:
"Anakmas, aku tahu bahwa Anakmas menjadi kecewa. Hal itu disebabkan karena berita yang berlebih-lebihan tentang diriku. Orang menganggap bahwa aku dapat melihat segala isi dunia ini, dari yang paling kasar sampai yang paling halus. Meskipun demikian, aku mempunyai satu permintaan pada Anakmas berdua yang tidak aku sampaikan kepada anak muda yang bernama Sawung Sariti, untuk sementara tinggal bersama-sama aku di Bukit Karang Tumaritis ini. Aku tidak tahu apakah dengan demikian akan ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan atas maksud-maksud Anakmas itu. Tetapi pada saat aku melihat Anakmas berdua, aku merasa bahwa aku mempunyai kewajiban untuk membantu."
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya yang terakhir itu, mata Mahesa Jenar menjadi bercahaya. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang Panembahan. Karena itu ia yakin bahwa artinya pun tidak sesederhana kata-kata itu sendiri.
Maka karena itu segera ia menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab,
Quote:
"Panembahan adalah bijaksana. Apa yang Panembahan anggap baik, pastilah amat baik bagi kami. Apalagi kemurahan hati Panembahan untuk memberikan tempat berteduh bagi kami berdua, pasti akan kami junjung tinggi."
Panembahan itu tersenyum, lalu katanya meneruskan,
"Anakmas berdua terlalu rendah hati. Namun janganlah Anakmas menjadi kecewa kalau akhirnya aku tak dapat berbuat apa-apa atas keinginanku membantu, yang hanya dibekali oleh kemauan melulu."
Sekali lagi Mahesa Jenar mengangguk sambil berkata,
"Kemauan Panembahan bagi kami adalah jauh lebih berharga dari apapun juga."
Panembahan itu tersenyum, lalu katanya meneruskan,
"Anakmas berdua terlalu rendah hati. Namun janganlah Anakmas menjadi kecewa kalau akhirnya aku tak dapat berbuat apa-apa atas keinginanku membantu, yang hanya dibekali oleh kemauan melulu."
Sekali lagi Mahesa Jenar mengangguk sambil berkata,
"Kemauan Panembahan bagi kami adalah jauh lebih berharga dari apapun juga."
Akhirnya Mahesa Jenar dan Arya Salaka diperkenankan untuk beristirahat.
Selanjutnya memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mereka berdua untuk beberapa lama tinggal bersama-sama di Karang Tumaritis. Mereka berdua hidup dan bergaul dengan beberapa orang cantrik yang melayani Panembahan Ismaya dengan rajinnya di bawah pimpinan Putut Karang Tunggal.
Namun setelah tujuh hari mereka tinggal di situ, Panembahan Ismaya sama sekali belum pernah menyinggung- nyinggung tentang kedua pusaka itu. Kalau mereka bertemu, maka apa yang dibicarakan oleh Panembahan Ismaya adalah hal-hal yang sama sekali tak berarti. Bahkan kesempatan untuk bertemu pun sangat terbatas.
Panembahan Ismaya selalu menyepi di ruang samadinya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar percaya, bahwa Panembahan Ismaya pada suatu hari akan dapat memberinya bantuan untuk menemukan kedua keris itu.
Selama mereka berada di Karang Tumaritis, mereka mendapat kesempatan untuk mengunjungi setiap lekuk liku pegunungan itu. Sebagai tuan rumah, para cantrik amatlah ramahnya, sehingga Mahesa Jenar dan Arya Salaka merasa seperti di rumah sendiri. Bahkan di bukit itu pun Arya Salaka masih sempat untuk menerima pelajaran-pelajaran dari gurunya, meskipun mereka terpaksa mencari tempat yang agak tersembunyi. Sebab ternyata penghuni bukit itu agaknya tidak pernah membayangkan adanya gerak-gerak kekerasan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka, kecuali menelaah masalah-masalah kerohanian di bawah tuntunan Panembahan Ismaya.
Tetapi pada beberapa hari kemudian, terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Ketika mereka sedang berjalan-jalan menyusur tebing bukit itu, dilihatnya agak jauh di lembah di belakang bukit itu, beberapa perkemahan yang sedang dipersiapkan.
Mula-mula mereka sama sekali tidak menaruh perhatian sama sekali, sebab mereka menyangka bahwa kemah dari batang-batang ilalang itu telah dibuat oleh para pemburu. Tetapi ketika ternyata di bagian-bagian yang lain di sekitar bukit itu dibuat pula kemah-kemah yang serupa, maka Mahesa Jemar mulai curiga. Apalagi ketika akhirnya ia mempunyai kesimpulan bahwa bukit Karang Tumaritis itu telah dikepung rapat, sehingga setiap jengkal tanah mendapat pengawasan dengan saksama.
Mau tidak mau Mahesa Jenar terpaksa menebak-nebak. Siapakah yang telah membuat perkemahan itu, dan apakah maksudnya.
Pada malam itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar ketika ia mendapat undangan dari Panembahan Ismaya untuk menghadap. Maka bersama dengan Jatirono dan Arya Salaka Mahesa Jenar pergi memenuhi undangan itu.
Sebagai biasa Panembahan Ismaya menyambut kedatangannya dengan penuh hormat, serta mempersilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka duduk di atas batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Setelah itu dimintanya Jatirono meninggalkan mereka.
Quote:
"Anakmas…" kata Panembahan Ismaya kemudian setelah menanyakan keadaan Mahesa Jenar selama tidak bertemu.
"Perkenankanlah aku menyampaikan suatu berita yang barangkali agak tidak kita harap-harapkan…."
"Perkenankanlah aku menyampaikan suatu berita yang barangkali agak tidak kita harap-harapkan…."
Panembahan Ismaya berhenti sejenak, sedang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian mendengarkan setiap patah kata yang meluncur dari mulut orang tua itu. Tetapi meskipun Panembahan Ismaya belum menyampaikan berita apakah yang tidak menyenangkan itu, namun Mahesa Jenar sudah dapat meraba bahwa yang dimaksudkan pasti adanya beberapa perkemahan yang mengelilingi bukit itu. Dan ternyata apa yang dirabanya itu benar.
Quote:
"Di sekeliling bukit ini…" Panembahan itu meneruskan,
"Ada beberapa orang yang membangun perkemahan. Barangkali hal itu telah dapat Anakmas lihat pula."
"Benar Bapa Panembahan," jawab Mahesa Jenar.
"Aku telah melihat perkemahan itu, yang seolah-olah berusaha mengepung bukit kecil ini."
Panembahan Ismaya menarik nafas. Kemudian katanya pula,
"Tak ada diantara kita yang mengetahui apakah maksud orang-orang yang telah melakukan itu. Dan karena itulah maka aku ingin minta tolong kepada Anakmas."
"Ada beberapa orang yang membangun perkemahan. Barangkali hal itu telah dapat Anakmas lihat pula."
"Benar Bapa Panembahan," jawab Mahesa Jenar.
"Aku telah melihat perkemahan itu, yang seolah-olah berusaha mengepung bukit kecil ini."
Panembahan Ismaya menarik nafas. Kemudian katanya pula,
"Tak ada diantara kita yang mengetahui apakah maksud orang-orang yang telah melakukan itu. Dan karena itulah maka aku ingin minta tolong kepada Anakmas."
Sampai sekian Panembahan tua itu berhenti pula.
Diubah oleh nandeko 23-08-2020 12:32
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas