- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#263
Jilid 9 [Part 192]
Spoiler for :
BELUM lagi Manahan dan Bagus Handaka selesai menikmati seluruh isi halaman itu, tampaklah kedua cantrik yang menemuinya tadi berjalan mendekatinya.
Dua cantrik itu baru saja muncul dari sebuah rumah kecil yang berdinding kayu, dan beratap ijuk. Meskipun rumah itu sederhana saja, tetapi tampak betapa cermat pemeliharaannya.
Beberapa langkah di depannya, kedua cantrik itu berhenti. Dan setelah membungkuk hormat, berkatalah salah seorang,
Tidak sepantasnyalah kalau Manahan menolak ajakan itu. Maka bersama-sama dengan Bagus Handaka segera mereka diantar memasuki rumah kayu yang beratap ijuk itu. Meskipun rumah itu pendek dan beratap ijuk, namun kesejukan udara terasa meresap ke dalamnya. Mereka berdua dipersilahkan duduk diatas bale-bale bambu yang besar di sisi pintu.
Kedua orang itu segera meninggalkan Manahan dan Bagus Handaka, tetapi sementara itu, muncullah seorang cantrik yang lain, yang agak lebih tua dari kedua cantrik tadi. Dengan senyum ramah pula ia menyapa,
Mendengar pertanyaan itu Manahan dan Bagus Handaka serentak terbelalak karena terkejut. Mereka memperkenalkan diri sebagai Manahan dan Bagus Handaka, tetapi cantrik itu menyebut nama-nama mereka yang sebenarnya. Karena itu dada mereka jadi tergetar.
Sebaliknya, cantrik itupun menjadi terkejut pula. Ia tertegun berdiri di pintu seperti kebingungan. Tiba-tiba berkatalah ia,
Manahan dan Bagus Handaka menjadi semakin kisruh. Agaknya Panembahan Ismaya telah mengetahuinya, bahkan sampai pada orang tua Arya Salaka. Karena itu maka Manahan menjadi berterus terang,
Mendengar keterangan itu, Manahan dan Bagus Handaka menjadi terpesona. Mereka merasa bahwa mereka benar-benar akan bertemu dengan Panembahan Ismaya yang waskita.
Kemudian duduklah cantrik itu bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Dari cantrik itu pula, Mahesa Jenar tahu bahwa seorang cantrik telah memberitahukan kehadirannya kepada Panembahan yang sedang merendam diri di telaga Pangawikan, yang kemudian memerintahkan cantrik itu untuk menemuinya.
Maka kemudian mereka bercakap-cakap tentang berbagai-bagai masalah, bergeser dari yang satu kepada yang lain. Dari jenis tanam-tanaman sampai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung manfaat untuk obat-obatan.
Akhirnya sampailah pembicaraan mereka kepada tanam-tanaman yang tumbuh di halaman serta sulaman-sulaman barunya.
Maka berkatalah cantrik yang bernama Jatirono,
MAHESA Jenar dan Arya Salaka yang sebenarnya lebih senang disebut Bagus Handaka, menarik nafas untuk mengendorkan perasaan mereka. Sebab mereka sudah pasti bahwa anak muda yang merusak-rusak itu adalah Sawung Sariti. Demikian sombongnya anak itu, sehingga mereka berani melakukan hal-hal yang sama sekali tak berkesopanan, di hadapan seorang Panembahan. Tetapi semuanya itu telah lampau, sehingga keduanya hanya dapat menahan perasaan mereka yang melonjak-lonjak.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya, masuklah seorang gadis kecil menjinjing sebuah nampan berisi minuman dan makanan. Dengan cermatnya gadis itu menyuguhkan mangkok tanah yang berisi air jeruk serta makanan dan buah-buahan kepada tamunya. Dan kemudian membungkuk hormat, berjalan meninggalkan mereka.
Mahesa Jenar tersenyum melihat keprigelan gadis yang baru berumur belasan tahun itu, sehingga meloncatlah pertanyaannya,
Demikianlah setelah Mahesa Jenar dan Arya Salaka menikmati hidangan yang disuguhkan oleh Endang Widuri, maka berkatalah Jatirono,
Maka pergilah Jatirono meninggalkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka untuk menengok apakah Panembahan Ismaya telah siap menerima tamunya. Hanya sebentar kemudian masuklah ke dalam rumah kecil itu seorang pemuda tampan, bertubuh gagah serta berdada bidang.
Namun geraknya halus dan sopan. Ia tidak berpakaian seperti para cantrik yang lain, tetapi ia mengenakan sebuah jubah putih. Dengan penuh hormat ia berkata,
Bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Ia adalah seorang ksatria yang biasa bergaul dengan para kesatria pula, sewaktu ia masih berada di lingkungan istana. Sehingga dengan demikian jaranglah baginya bergaul dengan seorang Panembahan seperti Panembahan Ismaya.
Sedang Arya Salaka, justru karena selama ini ia hidup diantara para petani dan nelayan, ia sama sekali tidak merasakan suatu kejanggalan apapun.
Meskipun dari gurunya ia selalu menerima petunjuk-petunjuk yang berharga tentang sopan santun dan tata pergaulan.
Dari pondok kecil itu mereka menyusur jalan sempit diantara tanam-tanaman hijau dihiasi oleh bunga-bunga dari berbagai warna, menuju ke sebuah pondok lain yang agak lebih besar. Namun pondok ini pun dibuatnya dari kayu dan beratap ijuk pula.
Menilik sebutan yang diucapkan, maka Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa pemuda yang sedikit lebih tua dari Arya Salaka itulah yang bernama Putut Karang Tunggal, saudara laki-laki dari Endang Widuri.
Ketika mereka memasuki rumah itu segera mereka melihat seorang yang telah lanjut usia duduk di atas sebuah batu hitam yang dialasi oleh kulit kayu.
Meskipun kesan wajahnya yang telah tua, serta rambutnya telah memutih kapas, namun tubuhnya masih nampak segar. Agaknya orang itu tampak jauh lebih muda dari umur yang sesungguhnya.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka segera mengerti, bahwa orang itulah yang disebut Panembahan Ismaya. Karena itu mereka berlaku sangat sopan dan hati-hati.
Tetapi Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut ketika tiba-tiba, setelah Panembahan Ismaya itu melihat mereka, segera ia berdiri sambil tergesa-gesa menyongsongnya. Dengan sangat hormat ia menyambut tangan Mahesa Jenar untuk bersalaman. Mahesa Jenar menjadi agak kaku dan heran, kenapa seorang Panembahan sampai sedemikian menghormati tamunya. Apalagi dirinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kebesaran apapun, malahan agaknya tidak cukup pantas untuk mendapat kehormatan bertemu dengan seorang Panembahan.
Panembahan Ismaya menyilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang menjadi semakin keheran-heranan. Apalagi ketika Panembahan itu meneruskan,
Dua cantrik itu baru saja muncul dari sebuah rumah kecil yang berdinding kayu, dan beratap ijuk. Meskipun rumah itu sederhana saja, tetapi tampak betapa cermat pemeliharaannya.
Beberapa langkah di depannya, kedua cantrik itu berhenti. Dan setelah membungkuk hormat, berkatalah salah seorang,
Quote:
"Tuan, marilah Tuan berdua kami persilahkan menungu di gubug kami dahulu. Panembahan tengah merendam diri di telaga Pangawikan di bagian selatan bukit ini. Nanti apabila matahari telah surut beliau baru kembali."
"Ki Sanak…" jawab Manahan,
"Biarlah kami menunggu di sini saja. Alangkah sejuknya udara, dan alangkah indahnya pemandangan."
Kedua cantrik itu tersenyum, maka berkata yang lain,
"Tuan terlalu memuji. Tetapi Panembahan selalu tidak puas dengan hasil kerja kami."
"Pastilah Panembahan Ismaya seorang yang cinta pada alam," sahut Manahan.
"Tuan benar," jawab salah seorang cantrik itu. Sesaat kemudian ia melanjutkan,
"Namun begitu marilah kami persilahkan beristirahat di gubug kecil itu sambil menunggu kedatangan Panembahan."
"Ki Sanak…" jawab Manahan,
"Biarlah kami menunggu di sini saja. Alangkah sejuknya udara, dan alangkah indahnya pemandangan."
Kedua cantrik itu tersenyum, maka berkata yang lain,
"Tuan terlalu memuji. Tetapi Panembahan selalu tidak puas dengan hasil kerja kami."
"Pastilah Panembahan Ismaya seorang yang cinta pada alam," sahut Manahan.
"Tuan benar," jawab salah seorang cantrik itu. Sesaat kemudian ia melanjutkan,
"Namun begitu marilah kami persilahkan beristirahat di gubug kecil itu sambil menunggu kedatangan Panembahan."
Tidak sepantasnyalah kalau Manahan menolak ajakan itu. Maka bersama-sama dengan Bagus Handaka segera mereka diantar memasuki rumah kayu yang beratap ijuk itu. Meskipun rumah itu pendek dan beratap ijuk, namun kesejukan udara terasa meresap ke dalamnya. Mereka berdua dipersilahkan duduk diatas bale-bale bambu yang besar di sisi pintu.
Quote:
"Tuan…" kata salah seorang,
"Kami persilahkan Tuan menunggu sebentar, kami akan minta diri untuk menyelesaikan pekerjaan kami."
"Silahkan," kata Manahan sambil mengangguk.
"Kami persilahkan Tuan menunggu sebentar, kami akan minta diri untuk menyelesaikan pekerjaan kami."
"Silahkan," kata Manahan sambil mengangguk.
Kedua orang itu segera meninggalkan Manahan dan Bagus Handaka, tetapi sementara itu, muncullah seorang cantrik yang lain, yang agak lebih tua dari kedua cantrik tadi. Dengan senyum ramah pula ia menyapa,
Quote:
"Tuankah yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka?"
Mendengar pertanyaan itu Manahan dan Bagus Handaka serentak terbelalak karena terkejut. Mereka memperkenalkan diri sebagai Manahan dan Bagus Handaka, tetapi cantrik itu menyebut nama-nama mereka yang sebenarnya. Karena itu dada mereka jadi tergetar.
Sebaliknya, cantrik itupun menjadi terkejut pula. Ia tertegun berdiri di pintu seperti kebingungan. Tiba-tiba berkatalah ia,
Quote:
"Tuan… kalau demikian agaknya aku salah duga. Mungkin ada tamu yang lain yang bernama seperti yang aku sebutkan tadi. Sebab Panembahan telah memerintahkan kepadaku untuk datang mendahului kemari menemui kedua orang tamu yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka, putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Maka maafkanlah kesalahan ini. Selanjutnya siapakah Tuan berdua yang barangkali akan menemui Panembahan?"
Manahan dan Bagus Handaka menjadi semakin kisruh. Agaknya Panembahan Ismaya telah mengetahuinya, bahkan sampai pada orang tua Arya Salaka. Karena itu maka Manahan menjadi berterus terang,
Quote:
"Ki Sanak, benarlah kami berdua yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru."
Cantrik itulah kemudian yang tampak bingung. Lalu katanya dengan tarikan nafas dalam-dalam,
"Syukurlah, tetapi agaknya Tuan terkejut ketika aku menyebut nama Tuan."
Mendapat pertanyaan itu, Manahan bertambah sibuk. Namun akhirnya ia berkata dengan jujur,
"Ki Sanak, pada saat aku datang, aku memperkenalkan diriku dengan nama yang akhir-akhir ini kami pakai dalam pengembaraan kami, yaitu Manahan dan Bagus Handaka. Karena itulah kami terkejut ketika Ki Sanak menyebut nama-nama kami yang sebenarnya."
"O…." desis cantrik itu.
"Aku juga tidak mengerti, dari mana Panembahan tahu nama-nama Tuan yang sebenarnya."
Cantrik itulah kemudian yang tampak bingung. Lalu katanya dengan tarikan nafas dalam-dalam,
"Syukurlah, tetapi agaknya Tuan terkejut ketika aku menyebut nama Tuan."
Mendapat pertanyaan itu, Manahan bertambah sibuk. Namun akhirnya ia berkata dengan jujur,
"Ki Sanak, pada saat aku datang, aku memperkenalkan diriku dengan nama yang akhir-akhir ini kami pakai dalam pengembaraan kami, yaitu Manahan dan Bagus Handaka. Karena itulah kami terkejut ketika Ki Sanak menyebut nama-nama kami yang sebenarnya."
"O…." desis cantrik itu.
"Aku juga tidak mengerti, dari mana Panembahan tahu nama-nama Tuan yang sebenarnya."
Mendengar keterangan itu, Manahan dan Bagus Handaka menjadi terpesona. Mereka merasa bahwa mereka benar-benar akan bertemu dengan Panembahan Ismaya yang waskita.
Quote:
"Kalau demikian…" cantrik itu melanjutkan,
"Biarlah aku menemani Tuan-tuan di sini seperti perintah Panembahan, sebelum beliau datang."
"Biarlah aku menemani Tuan-tuan di sini seperti perintah Panembahan, sebelum beliau datang."
Kemudian duduklah cantrik itu bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Dari cantrik itu pula, Mahesa Jenar tahu bahwa seorang cantrik telah memberitahukan kehadirannya kepada Panembahan yang sedang merendam diri di telaga Pangawikan, yang kemudian memerintahkan cantrik itu untuk menemuinya.
Maka kemudian mereka bercakap-cakap tentang berbagai-bagai masalah, bergeser dari yang satu kepada yang lain. Dari jenis tanam-tanaman sampai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung manfaat untuk obat-obatan.
Akhirnya sampailah pembicaraan mereka kepada tanam-tanaman yang tumbuh di halaman serta sulaman-sulaman barunya.
Maka berkatalah cantrik yang bernama Jatirono,
Quote:
"Tuan, beberapa waktu berselang, taman kami itu telah dirusakkan oleh beberapa orang berkuda yang tidak kenal keindahan. Mereka datang dengan kuda-kuda mereka menerjang tanaman kami setelah mereka marah-marah dan memaki-maki. Aku tidak tahu apakah sebabnya. Tetapi setelah mereka menghadap Panembahan, agaknya mereka merasa kecewa karena beberapa sebab. Lalu seorang diantaranya yang sebaya dengan Tuan Muda putra Banyubiru itu, marah-marah. Mereka tidak saja merusak taman kami, tetapi mereka juga merusak beberapa perabot rumah kami."
"Tidakkah seorangpun dapat mencegahnya?" tanya Arya Salaka, meskipun ia agak canggung atas sebutan yang diucapkan oleh cantrik itu.
Cantrik itu menggelengkan kepalanya.
"Siapakah diantara kami yang mampu mencegah seorang yang perkasa itu? Kami adalah orang-orang lemah yang bertekun diri di padepokan ini untuk suatu pengabdian rokhaniah. Karena itu kami hanya dapat menyaksikan apa yang dilakukan oleh anak muda itu dengan hati yang berdebar-debar."
"Tidakkah seorangpun dapat mencegahnya?" tanya Arya Salaka, meskipun ia agak canggung atas sebutan yang diucapkan oleh cantrik itu.
Cantrik itu menggelengkan kepalanya.
"Siapakah diantara kami yang mampu mencegah seorang yang perkasa itu? Kami adalah orang-orang lemah yang bertekun diri di padepokan ini untuk suatu pengabdian rokhaniah. Karena itu kami hanya dapat menyaksikan apa yang dilakukan oleh anak muda itu dengan hati yang berdebar-debar."
MAHESA Jenar dan Arya Salaka yang sebenarnya lebih senang disebut Bagus Handaka, menarik nafas untuk mengendorkan perasaan mereka. Sebab mereka sudah pasti bahwa anak muda yang merusak-rusak itu adalah Sawung Sariti. Demikian sombongnya anak itu, sehingga mereka berani melakukan hal-hal yang sama sekali tak berkesopanan, di hadapan seorang Panembahan. Tetapi semuanya itu telah lampau, sehingga keduanya hanya dapat menahan perasaan mereka yang melonjak-lonjak.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya, masuklah seorang gadis kecil menjinjing sebuah nampan berisi minuman dan makanan. Dengan cermatnya gadis itu menyuguhkan mangkok tanah yang berisi air jeruk serta makanan dan buah-buahan kepada tamunya. Dan kemudian membungkuk hormat, berjalan meninggalkan mereka.
Mahesa Jenar tersenyum melihat keprigelan gadis yang baru berumur belasan tahun itu, sehingga meloncatlah pertanyaannya,
Quote:
"Alangkah tangkasnya gadis kecil itu. Apakah ia salah seorang endhang di padepokan ini?"
Jatirono tertawa kecil.
"Gadis kecil itu adalah satu-satunya putri cucu Panembahan Ismaya. Saudaranya laki-laki adalah tetua kami para cantrik. Namanya Putut Karang Tunggal, yang sekarang sedang menemani Panembahan berendam di telaga Pangawikan."
"O…" sahut Mahesa Jenar. Karena itulah maka wajahnya bercahaya.
"Siapakah nama gadis kecil cucu Panembahan itu?"
"Endang Widuri," jawab Jatirono.
"Endang Widuri?" ulang Mahesa Jenar.
"Suatu nama yang bagus. Tetapi lebih dari pada itu, Endang Widuri adalah seorang gadis yang lincah dan cakap, di bawah tuntunan yang sempurna pula."
"Mudah-mudahan demikianlah," jawab Jatirono,
"Meskipun sebagai anak-anak, nakalnya bukan alang kepalang."
Jatirono tertawa kecil.
"Gadis kecil itu adalah satu-satunya putri cucu Panembahan Ismaya. Saudaranya laki-laki adalah tetua kami para cantrik. Namanya Putut Karang Tunggal, yang sekarang sedang menemani Panembahan berendam di telaga Pangawikan."
"O…" sahut Mahesa Jenar. Karena itulah maka wajahnya bercahaya.
"Siapakah nama gadis kecil cucu Panembahan itu?"
"Endang Widuri," jawab Jatirono.
"Endang Widuri?" ulang Mahesa Jenar.
"Suatu nama yang bagus. Tetapi lebih dari pada itu, Endang Widuri adalah seorang gadis yang lincah dan cakap, di bawah tuntunan yang sempurna pula."
"Mudah-mudahan demikianlah," jawab Jatirono,
"Meskipun sebagai anak-anak, nakalnya bukan alang kepalang."
Demikianlah setelah Mahesa Jenar dan Arya Salaka menikmati hidangan yang disuguhkan oleh Endang Widuri, maka berkatalah Jatirono,
Quote:
"Tuan berdua, kami persilahkan tuan beristirahat di sini. Sebentar lagi Panembahan Ismaya akan sudah dapat menerima Tuan-tuan. Karena itu biarlah aku menengoknya sebentar."
Maka pergilah Jatirono meninggalkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka untuk menengok apakah Panembahan Ismaya telah siap menerima tamunya. Hanya sebentar kemudian masuklah ke dalam rumah kecil itu seorang pemuda tampan, bertubuh gagah serta berdada bidang.
Namun geraknya halus dan sopan. Ia tidak berpakaian seperti para cantrik yang lain, tetapi ia mengenakan sebuah jubah putih. Dengan penuh hormat ia berkata,
Quote:
"Tuan, Eyang Panembahan Ismaya sudah selesai merendam diri. Sekarang beliau sedang bersiap untuk menerima Tuan-tuan. Karena itu kami persilahkan tuan bersama aku menghadap."
Bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Ia adalah seorang ksatria yang biasa bergaul dengan para kesatria pula, sewaktu ia masih berada di lingkungan istana. Sehingga dengan demikian jaranglah baginya bergaul dengan seorang Panembahan seperti Panembahan Ismaya.
Sedang Arya Salaka, justru karena selama ini ia hidup diantara para petani dan nelayan, ia sama sekali tidak merasakan suatu kejanggalan apapun.
Meskipun dari gurunya ia selalu menerima petunjuk-petunjuk yang berharga tentang sopan santun dan tata pergaulan.
Dari pondok kecil itu mereka menyusur jalan sempit diantara tanam-tanaman hijau dihiasi oleh bunga-bunga dari berbagai warna, menuju ke sebuah pondok lain yang agak lebih besar. Namun pondok ini pun dibuatnya dari kayu dan beratap ijuk pula.
Quote:
"Di rumah itulah Eyang Panembahan akan menerima Tuan-tuan," kata pemuda yang bertubuh tegap itu.
Menilik sebutan yang diucapkan, maka Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa pemuda yang sedikit lebih tua dari Arya Salaka itulah yang bernama Putut Karang Tunggal, saudara laki-laki dari Endang Widuri.
Ketika mereka memasuki rumah itu segera mereka melihat seorang yang telah lanjut usia duduk di atas sebuah batu hitam yang dialasi oleh kulit kayu.
Meskipun kesan wajahnya yang telah tua, serta rambutnya telah memutih kapas, namun tubuhnya masih nampak segar. Agaknya orang itu tampak jauh lebih muda dari umur yang sesungguhnya.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka segera mengerti, bahwa orang itulah yang disebut Panembahan Ismaya. Karena itu mereka berlaku sangat sopan dan hati-hati.
Tetapi Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut ketika tiba-tiba, setelah Panembahan Ismaya itu melihat mereka, segera ia berdiri sambil tergesa-gesa menyongsongnya. Dengan sangat hormat ia menyambut tangan Mahesa Jenar untuk bersalaman. Mahesa Jenar menjadi agak kaku dan heran, kenapa seorang Panembahan sampai sedemikian menghormati tamunya. Apalagi dirinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kebesaran apapun, malahan agaknya tidak cukup pantas untuk mendapat kehormatan bertemu dengan seorang Panembahan.
Quote:
"Silahkan Anakmas, silahkan…."
Panembahan Ismaya menyilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang menjadi semakin keheran-heranan. Apalagi ketika Panembahan itu meneruskan,
Quote:
"Alangkah bersyukurnya hari ini ketika aku mendapat kabar bahwa Anakmas akan mengunjungi tempat kami yang tak berarti ini."
Untuk menghilangkan kekakuan, Mahesa Jenar pun mengangguk dengan takzimnya sambil menjawab,
"Berbahagialah aku mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan."
Tetapi apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu semakin mengejutkan Mahesa Jenar,
"Bagiku kedatangan Anakmas adalah suatu kurnia. Sebab aku sama sekali tidak bermimpi bahwa tempat ini akan mendapat kunjungan dari seorang perwira istana seperti Anakmas Rangga Tohjaya."
Untuk menghilangkan kekakuan, Mahesa Jenar pun mengangguk dengan takzimnya sambil menjawab,
"Berbahagialah aku mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan."
Tetapi apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu semakin mengejutkan Mahesa Jenar,
"Bagiku kedatangan Anakmas adalah suatu kurnia. Sebab aku sama sekali tidak bermimpi bahwa tempat ini akan mendapat kunjungan dari seorang perwira istana seperti Anakmas Rangga Tohjaya."
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas