papahmuda099Avatar border
TS
papahmuda099
Pelet Orang Banten





Assalamualaikum wr.wb.



Perkenalkan, aku adalah seorang suami yang saat kisah ini terjadi, tepat berusia 30 tahun. Aku berasal dari Jawa tengah, tepatnya disebuah desa kecil yang dikelilingi oleh perbukitan, yang masih termasuk kedalam wilayah kabupaten Purbalingga.

Aku, bekerja disebuah BUMN sebagai tenaga kerja outsourcing di pinggiran kota Jakarta.


Kemudian istriku, adalah seorang perempuan Sumatra berdarah Banten. Kedua orang tuanya asli Banten. Yang beberapa tahun kemudian, keduanya memutuskan untuk ber-transmigrasi ke tanah Andalas bagian selatan. Disanalah kemudian istriku lahir.

Istriku ini, sebut saja namanya Rara ( daripada sebut saja mawar, malah nantinya jadi cerita kriminal lagi emoticon-Leh Uga), bekerja disebuah pabrik kecil, di daerah kabupaten tangerang, sejak akhir tahun 2016. Istriku, karena sudah memiliki pengalaman bekerja disebuah pabrik besar di wilayah Serang banten, maka ia ditawari menduduki jabatan yang lumayan tinggi dipabrik tersebut.


Dan alhamdulillah, kami sudah memiliki seorang anak perempuan yang saat ini sudah berusia 8 tahun. Hanya saja, dikarenakan kami berdua sama-sama sibuk dalam bekerja, berangkat pagi pulang malam, jadi semenjak 2016 akhir, anak semata wayang kami ini, kami titipkan ditempat orang tuaku di Jawa sana.


Oya, sewaktu kejadian ini terjadi (dan sampai saat ini), kami tinggal disebuah kontrakan besar dan panjang. Ada sekitar 15 kontrakan disana. Letak kontrakan kami tidak terlalu jauh dari pabrik tempat istriku bekerja. Jadi, bila istriku berangkat, ia cukup berjalan kaki saja. Pun jika istirahat, istriku bisa pulang dan istirahat dirumah.


Oke, aku kira cukup untuk perkenalannya. Kini saatnya aku bercerita akan kejadian NYATA yang aku alami. Sebuah kejadian yang bukan saja hampir membuat rumah tangga kami berantakan, tapi juga nyaris merenggut nyawaku dan istriku !
emoticon-Takut

Aku bukannya ingin mengumbar aib rumah tanggaku, tapi aku berharap, agar para pembaca bisa untuk setidaknya mengambil hikmah dan pelajaran dari kisahku ini
emoticon-Shakehand2


*


Bismillahirrahmanirrahim



Senin pagi, tanggal 10 februari 2020.


Biasanya, jam 7 kurang sedikit, istriku pamit untuk berangkat bekerja. Tapi hari ini, ia mengambil cuti 2 hari ( Senin dan selasa ), dikarenakan ia hendak pergi ke Balaraja untuk melakukan interview kerja. Istriku mendapatkan penawaran kerja dari salah satu pabrik yang ada disana dan dengan gaji yang lebih besar dari gaji yang ia terima sekarang.


Karena hanya ada 1 motor, dan itu aku gunakan untuk kerja, ia memutuskan untuk naik ojek online saja.


Awalnya aku hendak mengantarnya
emoticon-Ngacir tapi jam interview dan jam aku berangkat kerja sama. Akhirnya, aku hanya bisa berpesan hati-hati saja kepadanya.


Pagi itu, kami sempat mengobrol dan berandai-andi jika nantinya istriku jadi untuk bekerja di balaraja.

"Kalau nanti bunda jadi kerja disana, gimana nanti pulang perginya ?" kataku agak malas. Karena memikirkan bagaimana aku harus antar jemput.

"Nanti bunda bisa bisa ajak 1 anak buah bunda dari pabrik lama, yah," jawab istriku, "nanti dia bunda ajak kerja disana bareng. Kebetulan rumah dia juga deket disini-sini juga."

Wajahku langsung cerah begitu tahu, kalau aku nantinya tidak terlalu repot untuk antar jemput.

"Siapa emang, bun?" tanyaku, "Diki?"

Diki adalah salah satu anak buah istriku dipabrik ini. Diki juga sudah kami anggap sebagai adik sendiri. Selain sesama orang lampung, juga karena kami sudah mengenal sifat anak muda itu.

"Bukan," jawab istriku.

Aku langsung memandang istriku dengan heran.

"Terus siapa?"

"Sukirman, yah. Dia anak buah bunda juga. Kerjanya bagus, makanya mau bunda ajak buat bantu bunda nanti disana."

"Kenapa bukan diki aja, bun?" tanyaku setengah menuntut.

Istriku menggelengkan kepalanya.

"Diki masih diperluin dipabrik bunda yang lama. Gak enak juga main asal ambil aja sama bos. Kalo kirman ini, dia emang anak buah bunda. Kasihan, yah. Dia disini gajinya harian. Mana dia anak udah 2 masih kecil-kecil lagi." Istriku menerangkan panjang lebar.

Aku akhirnya meng-iyakan perkataannya tersebut. Aku berfikir, "ah, yang penting aku gak susah. Gak capek bolak balik antar jemput. Lagian maksud istriku juga baik, membantu anak buahnya yang susah."

"Ya udah, bun. Asalkan jaga kepercayaan ayah ya sayang," aku akhirnya memilih untuk mempercayainya.


Jam 09:00 pas, aku berangkat kerja. Tak lupa aku berpamitan kepada istriku. Setelah itu aku berangkat dengan mengendarai sepeda motor berjenis matic miliku.


Waktu tempuh dari kontrakanku ketempat kerja sekitar 40-50 menit dengan jalan santai. Jadi ya seperti biasa, saat itu aku menarik gas motorku diantara kecepatan 50 km/jam.


Tapi tiba-tiba, saat aku sudah sampai disekitaran daerah Jatiuwung. Motorku tiba-tiba saja mati
emoticon-Cape deeehh


"Ya ampun, kenapa nih motor. Kok tau-tau mati," kataku dalam hati.


Aku lalu mendorong motorku kepinggir. Lalu aku coba menekan stater motor, hanya terdengar suara "cekiskiskiskis...," saja
emoticon-Ngakak


Gagal aku stater, aku coba lagi dengan cara diengkol. 


Motor aku standar 2. Lalu aku mulai mengengkol.


Terasa enteng tanpa ada angin balik ( ya pokoknya ngemposlah ) yang keluar dari motor.


"Ya elah, masa kumat lagi sih ini penyakit," ujarku mengetahui penyebab mati mendadaknya motorku ini.


Penyebabnya adalah los kompresi
emoticon-Cape d... Penyakit ini, memang dulu sering motorku alami. Tapi itu sudah lama sekali, kalau tidak salah ingat, motorku terakhir mengalami los kompresi adalah sekitar tahun 2017.


Lalu, entah mengapa. Aku tiba-tiba saja merasakan perubahan pada moodku. 


Yang awalnya baik-baik saja sedari berangkat, langsung berubah menjadi jelek begitu mengalami kejadian los kompresi ini.


Hanya saja, aku mencoba untuk bersabar dengan cara memilih langsung mendorong motorku mencari bengkel terdekat.


Selama mendorong motor ini, aku terus menerus ber-istighfar didalam hati. Soalnya, gak tau kenapa, timbul perasaan was-was dan pikiran-pikiran buruk yang terus melintas dibenak ini.


"Astaghfirullah...Astaghfirullah...semoga ini bukan pertanda buruk," kalimat itu terus kuulang-ulang didalam hati.


Alhamdulillah, tak lama kemudian, aku menemukan sebuah bengkel. Aku langsung menjelaskan permasalahan motorku.


Oleh si lay, aku disarankan untuk ganti busi. Aku sih oke-oke saja. Yang penting cepet beres. Karena aku tidak mau terlambat dalam bekerja.


"Bang, motornya nanti lubang businya aku taruh oli sedikit ya," kata si lay itu padaku. Lalu lanjutnya, "nanti agak ngebul sedikit. Tapi tenang aja, bang. Itu cuman karena olinya aja kok. Nanti juga ilang sendiri."


"Atur aja bang," kataku cepat.


Sekitar 5 menit motorku diperbaiki olehnya. Dan benar saja, motorku memang langsung menyala, tapi kulihat ada asap yang keluar dari knalpot motorku.


"Nanti jangan kau gas kencang dulu, bang," katanya.


"Oke,"


Setelah membayar biaya ganti busi dan lainnya. Aku langsung melanjutkan perjalananku.


Aku sampai dikantor telat 5 menit. Yakni jam 10:05. Jam operasional kantorku sudah buka. Aku langsung menjelaskan penyebab keterlambatanku kepada atasanku. Syukurnya, merek mengerti akan penjelasan ku. Hanya saja, kalau nanti ada apa-apa lagi, aku dimintanya untuk memberikan kabar lewat telepon atau WA.


Aku lalu, mulai bekerja seperti biasa lagi.


Jam menunjukan pukul 12:00 wib.


Itu adalah jam istirahat pabrik istriku. Aku lalu menulis chat untuknya. Contreng 2, tapi tak kunjung dibacanya. Aku lalu berinisiatif untuk menelponnya. Berdering, tapi tak diangkat juga.


"Kemana ini orang....," kataku agak kesal.


"Ya udahlah, nanti juga ngabarin balik," ujarku menghibur diri.


Jam 13:30 siang, disaat aku hendak melaksanak ibadah solat Dzuhur. HPku berdering. 


Kulihat disana tidak tertera nama, hanya nomer telpon saja.


"Nomer siapa nih," desisku.


Awalnya aku malas untuk mengangkatnya.


Tapi sekali lagi nomer itu meneleponku.


Dan, entah kenapa jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat. Hatiku langsung merasakan ada sesuatu yang tidak menyenangkan akan aku dapatkan, bila aku mengangkat telpon ini.


Dengan berdebar, aku lalu menekan tombol hijau di HPku.


"Halo, Assalamualaikum...," jawabku.


"Halo, waalaikumsalam...," kata si penelpon.


"Maaf, ini siapa ya ?" tanyaku.


"Ini saya, mas. Sumarno," jawabnya.


"Oh, mas Sumarno," kataku.


Sumarno adalah laki-laki yang diserahi tanggung jawab untuk mengawasi dan mengurus kontrakan tempatku tinggal.


"Ada apa ya, mas ?" tanyaku dengan jantung berdebar-debar.


"Maaf mas sebelumnya," jawab mas Sumarno.


Aku menunggu kelanjutan kalimat mas Sumarno ini dengan tidak sabar.


Lalu, penjaga kontrakan kami ini melanjutkan ucapannya. Ucapan yang membuat lututku lemas, tubuhku menggigil hebat. Sebuah ucapan yang rasanya tidak akan terjadi selama aku mengenal istriku. Dari sejak kami berpacaran sampai akhirnya kami menikah.


Mas Sumarno berkata, "Mbak Rara berduaan sama laki-laki didalam kontrakan sekarang. Dan pintu dikunci dari dalam."



***



Part 1

Pelet Orang Banten




Quote:




Part 2

Teror Alam Ghaib


Quote:




Terima kasih kepada agan zafin atas bantuannya, dan terutama kepada para pembaca thread ini yang sudah sudi untuk mampir dilapak saya

emoticon-Nyepi






*


Silahkan mampir juga dicerita saya yang lainnya


Diubah oleh papahmuda099 04-04-2024 21:27
ridom203
sampeuk
bebyzha
bebyzha dan 248 lainnya memberi reputasi
235
320.3K
3.1K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Tampilkan semua post
papahmuda099Avatar border
TS
papahmuda099
#775
Rumah Mang Ujang







"Ada apa sebenarnya ini kakek?" Tanyaku dengan wajah penuh kebingungan sembari memandang wajah mereka bertiga.


"Biar nenek kamu saja yang menjelaskan, cu," jawab kakek.


Ini aku gantian memandang ke arah nenek.

Nenekku tersenyum kecil.


Setelah menarik nafas dan menghembuskannya panjang. nenek ku mulai berkata sambil kedua tangannya mengelus-elus rambut istriku yang masih saja tertidur lelap.


"Sebenarnya nenek sudah tahu, kalau malam ini akan ada serangan santet yang mengarah kepada istrimu. Jadi nenek hanya memberitahu kepada kakek dan bapakmu saja. Nenek tidak memberitahukan kepada istrimu, karena takut istrimu nanti panik. Juga kepada kamu. Nenek, kakek dan bapakmu juga tidak memberitahumu. Kami bertiga ingin melihat apakah ilmu yang bapak memasukkan kepada kamu itu berguna. Karena ilmu yang bapakmu masukkan ke dalam tubuhmu, salah satu kegunaannya adalah untuk mengasah firasat mu jikalau ada kejadian buruk yang akan menimpa orang-orang di sekitarmu. Hanya saja, karena senang masih belum bisa menggunakannya dengan baik, maka yang timbul hanyalah perasaan gelisah dan tidak nyaman."


Aku mendengarkan kata-kata nenek dengan seksama. Dan tanpa sadar, tangan kananku meraba dadaku sendiri. Seolah-olah menggenggam apa yang bapak masukkan ke dalam tubuhku. Di malam saat aku menginap di rumah bapak.


"Jadi maksud nenek, cahaya merah yang tadi datang itu adalah santet yang akan mencelakakan istri saya?" Tanyaku.


Nenek mengangguk sambil tersenyum.


"Itulah kenapa nenek menyarankan agar kita semua tidur dilantai, di atas tikar ini. Karena santet itu berasal dari alam gaib. Sedangkan letak alam gaib itu satu jengkal diatas alam kita," kata nenek.


"Oh, jadi maksud nenek kalau saja tadi saya dan istri saya tidur diatas kasur. Apakah santet itu akan berhasil masuk kedalam tubuh istri saya?"


"Iya, Nang," jawab nenek.


Aku mengangguk-angguk tanda mengerti dengan maksud nenek. 


Karena letak alam gaib itu hanya satu jengkal keberadaannya di atas alam manusia. Maka untuk menghindari santet yang datang dan berasal dari alam gaib adalah dengan tidur sedekat mungkin dengan tanah atau lantai ruangan. Sehingga santet kiriman itu tidak sampai ke dalam tubuh kita, karena tubuh kita berada satu jengkal di bawah alam gaib. 

mulustrasi bobo dilantai bree


(Entah benar atau tidak, nyatanya teori ini memang benar adanya dan ku saksikan sendiri malam itu)


"Terima kasih nek sudah menyelamatkan istri saya dari marabahaya," kataku sambil mencium tangan nenek.


Nenek tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.


"Kamu salah, Nang. Yang menyelamatan kamu itu adalah Gusti Allah, bukan nenek. Nenek ini apa, nenek ini hanya satu diantara miliaran butir debu dihadapan-NYA," kata nenek.


"Tapi tetap saja, pertolongan ini melewati nenek sebagai perantara," kataku.


Nenek mengangguk-anggukan kepalanya. Sambil tangan keriputnya mengelus-elus kepalaku beliau berkata.


"Alhamdulillah, cucu nenek sekarang bisa paham dengan ilmu agama. Karena untuk apa kita punya ilmu dunia tapi tidak memiliki ilmu agama sebagai landasannya."


Aku tersipu mendengar perkataan nenek. Karena sesungguhnya pengetahuanku tentang agama sangatlah dangkal. Tidak seperti yang beliau bayangkan.


"Nang, coba kamu cek keadaan istri kamu apakah ada kekurangan atau apa. bila perlu bangunkan saja tanya apa yang dia rasakan saat ini?" Kata-kata menyarankan.


Aku memandang nenek seperti meminta persetujuannya.


Nenek menggeleng pelan.


"Udah nggak usah, kasihan cucu saya ini lagi istirahat. Lagian juga ke penglihatan nenek dia tidak kekurangan apapun. Karena santet itu belum sempat masuk ke dalam tubuhnya."


Aku menganggukan kepala, menyetujui nasehat nenek.


Aku yang sudah kehilangan hasrat untuk tidur segera bertanya kepada nenek.


"Nek, tau nggak sih siapa yang mengirimkan santet itu?"


Nenekku memandangku lalu menjawab.


"Saingan istrimu, Nang," katanya pelan namun dalam.


"Rika," kataku pelan menyebutkan sebuah nama yang tak asing.


"Mungkin saja," kata nenek.


"Perempuan edan, sampai segitunya berniat mencelakakan istriku," ujarku geram.


"Sudah sudah," kata kakek sambil menepuk punggungku. "Semua kejahatan itu pasti akan mendapatkan balasannya. Meskipun itu bukan lewat kamu, ataupun istrimu, tapi karma itu pasti akan datang. Bisa di dunia, ataupun nanti di akhirat."


"Tapi kek, saya sungguh tidak terima istri saya di begini kan olehnya. Pokoknya saya harus membalas perbuatannya," kataku setengah emosi.


"Iya iya, kakek paham dengan isi hatimu. Tapi, dengan kamu yang sekarang, kamu tidak akan bisa berbuat banyak, cu," kata-kata sambil terus menepuk-nepuk punggung ku.


"Jadi bagaimana maksud kakek?"


"Hem..., Besok kamu ikut bapak kamu ke Cirebon. Di sana nanti kamu juga minta pegangan untuk bisa membalaskan dendam kamu. Tapi kakak juga tidak bisa menjanjikan, kalau permintaanmu itu dituruti," kata kakek.


Saat aku hendak bertanya kenapa, Keinginanku itu itu harus aku tunda karena mendengar ucapan nenek.


"Si Kakek ini ya, malah ngajarin cucunya yang bukan-bukan. Balas dendam lah apalah. Aduh si Kakek ini...," Kata nenek sambil menepuk pundak kakek.
emoticon-Ngakak


"Ya mau bagaimana lagi Nek, cucune reang dimengkonokaken je ning wong. Beli tegalah kitane," ucap kakek yang artinya : "cucu saya dibegitukan oleh orang nggak tegalah sayanya."


Kali ini sayalah yang menepuk pundak kakek. Berusaha menurunkan emosi yang saat ini tengah menderanya.
emoticon-Ngakak


"Iya iya, nenek juga tahu maksud kakek baik. Tapi dari ucapan kakek, itu seolah-olah menyuruh cucu kita untuk berbuat hal yang sama seperti yang mereka lakukan. Itu nggak boleh lho itu kek," kata nenek berusaha menyabarkan kakekku yang memang bersifat temperamental bila menyangkut keselamatan keluarganya.


Kakek hanya menghembuskan nafasnya. Lalu seperti anak kecil, beliau berdiri dan berjalan menuju kamarnya.


Sehingga nenek mau tidak mau harus menyusulnya guna meredakan kejengkelan kakek yang malah terlampiaskan kepada nenek.
emoticon-Cape deeehh


Aku dan bapak hanya bisa melihat tingkah laku kedua orang itu sambil tersenyum.


Aku bisa mendengar suara nenek yang sayup-sayup membujuk kakek untuk tidak ngambek lagi.


Kemudian kudengar bapak berkata.


"Ya udah Nang, kamu bangunkan istrimu aja ke kamar kamu yang dulu kamu tempati sewaktu kecil bersama dengan pamanmu,"


"Terus bapak mau tidur di kamar juga?" Kataku.


Kenapa mengangguk.


"Santet itu sudah kembali ke alamnya lagi. Jadi untuk sementara ini keadaan sudah aman," kata bapak sambil berdiri.


Kemudian kulihat bapak berjalan menuju kamarnya.


Kini tinggalah aku dan istriku di ruang tamu itu.


Sambil sedikit menghela nafas, aku lalu menggoyangkan tubuh istriku.


"Bun...Bun, yuk pindah ke kamar aja," kataku perlahan.


Kemudian istriku terbangun.


"Orang-orang pada kemana, yah?" Tanya karena melihat tidak ada ada orang lain selainku.


"Udah pada pindah ke kamar masing-masing. Kata mereka kalau malam di sini suka tambah dingin. Jadinya pada pindah barusan ke kamar. Kita juga yuk," ajakku sambil membantunya berdiri.


Kemudian kami berdua berjalan ke arah kamar yang dulu pernah aku tempati sewaktu aku masih kecil.


Aku buka kamar itu, kenangan masa lalu langsung saja merasuk kepikiran. Dengan sedikit tersenyum aku melangkah masuk diikuti oleh istriku.


"Ternyata kamar ini sudah jadi kamar tamu," kataku dalam hati karena melihat isi kamar yang hanya terdiri dari kasur dan sebuah lemari yang begitu aku buka kosong melompong. Kulihat hanya ada tasku di dekat kasur.


Kamar ini sudah rapi, mana mungkin kerjaan nenek yang sudah merapikannya.


Tanpa banyak basa-basi lagi kami berdua langsung merebahkan tubuh di kasur yang sudah disediakan.




*






Hari Sabtu pagi


Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 8. Aku dan bapak sedang bersiap-siap untuk berangkat ke Cirebon menggunakan motor kakek. Segala sesuatu yang sekiranya akan dibutuhkan, kami masukan kedalam tas gendong. Sedangkan peti itu dibungkus menggunakan kain jarik milik nenek.


Dan seperti ucapan nenek semalam, istriku tidak bisa ikut karena ternyata, tadi pagi dia tiba-tiba saja datang bulan.


"Horang sakti," kataku sewaktu mendengar istriku berkata bahwa ia datang bulan.
emoticon-Cool

Setelah semua beres, aku dan bapak bersiap untuk berangkat. Aku lalu berpamitan kepada istriku.


"Bun, hati-hati ya sayang dirumah nenek. Nanti kalau nenek ngajak main, ikut aja ya. Jangan sendirian dirumah," kataku.


"Iya, ayah. Ayah juga hati-hati ya dijalan," ucap istriku.


Setelah semua persiapan beres, aku duduk didepan sedangkan bapak memilih untuk duduk dibelakang saja sambil membawa petinya.


"Tapikan saya gak tau tempatnya, pap," kataku saat kami akan berangkat.


"Udah tenang aja. Nanti bapak kasih tau jalan-jalannya," jawab bapak sambil nangkring dibelakang.


"Ocrelah kalau begitu,"


Saat aku hendak menjalankan motornya, tiba-tiba saja nenek memanggil namaku.


Kontan aku menoleh.


"Ada apa, nek?"


"Berdoa dulu jangan lupa, Nang," katanya.


"Hehehe...iya. lupa," ucapku.


Setelah semuanya beres. Aku dan bapak segera berangkat.


Perjalanan kami berdua ke Cirebon, tepatnya di wilayah kecamatan gunung jati berjalan lancar. 

Dari rumah nenek, aku melajukan motor kearah pertigaan widasari lalu berbelok kekanan.

Kami melaju terus sampai kemudian kami tiba di pertigaan jalan Arjawinangun-Suranenggala.

Oleh bapak, aku dimintanya untuk berbelok ke kiri, ke jalan pahlawan. Karena rencananya, bapak ingin melewati areal pemakaman sunan gunung jati.


Namun, disaat aku melewati makam sunan gunung jati, tubuhku sedikit bergetar. Ada rasa seperti kegembiraan yang tiba-tiba meluap dan muncul begitu saja. Bahkan mataku menjadi panas lalu mengeluarkan air mata tanpa kusadari.
emoticon-Mewek


"Aneh...,"Gumamku ketika itu.


Namun aku tak berhenti dan tetap terus melanjutkan perjalanan kami.


Tak lama kemudian, sekitar jam 9.30 pagi, kami sampai di sebuah rumah kecil. Setelah sebelumnya kami masuk terlebih dahulu kesebuah jalan kecil, sekitar 200 meter setelah jembatan pekik.


Kami berdua lalu turun dari motor. 


Bapak memberikan peti itu kepadaku. Lalu bapak berjalan kearah rumah itu dan mengetuk pintunya. Sedangkan aku memilih untuk duduk di atas motor.


"Tok...tok...tok, assalamualaikum," salam bapak.


Tak lama kemudian dari dalam terdengar suara laki-laki menjawab salam bapak.


"Wa'alaikumsalam...," 


Lalu munculah seorang laki laki yang mungkin sebaya dengan bapak dari dalam rumah.


"Cagok!" Teriak orang itu senang.


Bapak juga langsung tertawa. 


Kedua orang tua itu langsung berpelukan seperti layaknya anak muda.


Laki-laki teman bapak itu melepaskan pelukannya sambil terus memandangi tubuh bapak dari atas sampai bawah sambil terus tersenyum lebar.


"Edaaan...mimpi apa aku semalam. Bisa berjumpa lagi dengan kawan seperjuangan dulu, hahahaha...!" Katanya sambil tertawa.


Bapak juga tertawa.


"Gimana kabar kamu, Jang?" Kata bapak.


"Alhamdulillah sehat. Kamu kemana aja, belasan tahun menghilang gak tau kemana. Ayo ayo, masuk kedalam," kata laki-laki yang bapak panggil Jang itu.

(nama disamarkan breee)


Bapak mengangguk. 


Lalu bapak memanggilku yang masih duduk diam memperhatikan.


"Nang, ayo sini,"


"Iya,"


Aku lalu turun dan melangkah mendekat.


Laki-laki teman bapak itu memperhatikanku.


Setelah aku mendekat, aku segera salim dan mencium tangannya.


"Tunggu dulu, ucapnya.


Lalu sedikit ragu-ragu, teman bapak itu menyebut namaku.


"Ini anak kamukan, gok?" Katanya.


"Ya iyalah, lihat...miripkan," kata Bapak tersenyum.


"Widih, udah gede senang ini ya. Terakhir mamang lihat waktu kamu masih SD. Sekarang udah gagah kayak bapaknya dulu," kata teman bapak yang kemudian aku panggil mang Ujang.


Aku tertunduk sedikit lalu ikut tertawa.


Kami bertiga lalu masuk dan duduk dikursi ruang tamu.


"Neng...tolong buatin bapak kopi tiga ya. Bapak kedatangan tamu spesial nih," kata mang Ujang.


Lalu dari dalam rumah terdengar suara perempuan menjawab.


"Iya, pak,"


Sambil menunggu, bapak dan mang Ujang mengobrol seru.


Dari obrolan mereka berdua, sepertinya hubungan mereka lebih dari sekedar teman biasa. Karena selain satu perguruan, ternyata diantara kedua orang tua itu juga sudah saling mengikat tali persaudaraan. Dengan bapak sebagai kakaknya.


Aku lalu mengalihkan perhatianku kepada isi ruang tamu ini. 


Meskipun kecil, tapi ruangan ini terasa sangat adem dan nyaman. Betah rasanya duduk disini berlama-lama. Penataan ruang tamu dan halamannya tadi juga sangat bagus.


Tak lama kemudian muncul dua orang perempuan yang kutaksir adalah ibu dan anaknya.


"Cantik," desisku dalam hati ketika pandangan mataku melihat seorang gadis bermata tajam keluar dari ruang dalam rumah. Kutaksir usianya ada dibawahku, namun sepertinya tidak terlalu jauh.


Tapi kemudian aku langsung berusaha untuk menepiskan perasaan kagumku itu.


Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak memperhatikan anak dari mang Ujang.


"Bu, sini dulu. Ikut duduk sama bapak. Kamu juga, neng," kata mang Ujang.


"Ya salam, malah kenapa duduknya adep-adepan sih," kataku dalam hati karena ternyata anak dari mang Ujang duduk tepat berhadapan denganku.


"Ini si miyanka bukan?" Tanya bapak ke mang Ujang.


"Iya. Ini si miyanka anakku yang bungsu. Yang dulu pernah kita jodoh-jodohin," kata mang Ujang sambil tertawa.


Istrinya mang Ujang juga ikutan tertawa mendengar ucapan tersebut.


Hanya aku yang terdiam.


"Miyanka...," Kataku dalam hati.


Sedikit kulirik anak mang Ujang itu. Wajahnya memang tak secantik istriku, tapi entah kenapa seperti ada sesuatu yang membuatku mengaguminya dan rasanya ingin terus menerus melihatnya. Terutama bentuk matanya yang memanjang dan tajam itu. Kulitnya yang kuning langsat, lalu gigi kelincinya saat ia tersenyum kecil tadi.


"Akh, gila aku ini. Ingat, kamu sudah beristri, ndra," kataku mengingatkan dalam hati.


Aku lalu menunduk.


Sekali lagi aku mengucapkan nama perempuan itu didalam hati.


Lalu tanpa sadar, aku berusaha menggali informasi tentang miyanka dimasa kecilku.


"Astaga,"


Sebuah kenangan masa kecil muncul di pikiranku.


Aku bisa melihat diriku saat kecil sedang bermain didepan rumah nenek dengan seorang bocah perempuan berambut pendek. Aku saat itu sudah berusia 8 tahun, dan duduk dikelas 3 SD. Dan bocah perempuan itu masih kelas 1.


Dan aku ingat, dulu rumah mang Ujang masih satu wilayah dengan rumah nenek. 


"Oh, ternyata mang Ujang pindah rumah toh," kataku dalam hati.


Kembali ke ingatanku.


"Mi, kita main gambar-gambaran yuk," ajakku.


Miyanka kecil hanya tersenyum dan mengangguk.


Aku lalu menggandeng tangannya.


Tiba-tiba, miyanka kecil berkata kepadaku.


"Kalau udah gede nanti. Mi maunya nikah sama Ndra aja, ya,"


"Iya. Nanti aku bilang sama nenek," jawabku polos.


Deg!


"Mampus dah....," kataku begitu aku mengingat hal tersebut.


Malu dan canggung.


"Nang...Nang," 


Sebuah panggilan membuyarkan lamunanku.


"Eh, iya. Ada apa, pap?" Jawabku sedikit tergagap.


"Lah malah ngelamun. Ayo siap-siap lagi. Kita mau berangkat lagi,"


"Loh, udah mau pulang lagi, pap?" Tanyaku heran.


"Yeee...pulang lagi. Kita mau kerumah guru bapak sama mang Ujang ini. Bapak udah lupa sama jalannya. Makanya bapak kesini buat ngajak mamang kamu ini," kata bapak.


"Lah...kirain kamu main kesini karena kangen sama aku. Ternyata ada maksud lain toh," kata mang Ujang.


"Hehehe....sambil menyelam minum air" jawab bapak.


"Deeh, bapak kamu itu memang gak berubah sifatnya dari dulu. Hobinya bikin orang lain kesel aja," kata mang ujang.


Mang Ujang lalu masuk kedalam rumah untuk bersiap-siap diikuti oleh istrinya.


"Gok, coba bawa kesini peti punyamu itu." Kata mang Ujang dari ruang dalam.


"Yo," jawab bapak.


"Kamu disini dulu, Nang. Temenin miyanka dulu," kata bapak.


Kemudian bapak pergi keruang dalam sambil membawa petinya.


Kini, tinggalah aku dan miyanka diruang tamu.


Suasana yang tadinya nyaman tiba-tiba saja berubah menjadi kaku.


"Ingat, kamu sudah berkeluarga, Ndra," kataku berusaha memberikan motivasi pada diri sendiri untuk menghilangkan rasa-rasa yang kembali muncul.

Setelah aku berhasil mengendalikan diriku, dan sudah membulatkan tekadku bahwa perempuan yang kini ada dihadapanku ini hanyalah teman masa kecilku. Maka aku putuskan untuk membuka obrolan dengannya.

Aku lalu berinisiatif untuk memanggilnya terlebih dahulu.


"Mi...,"


"Ndra...,"


Tak disangka, kami berdua memanggil satu sama lain berbarengan.








***
Diubah oleh papahmuda099 21-08-2020 06:50
jenggalasunyi
redrices
sulkhan1981
sulkhan1981 dan 55 lainnya memberi reputasi
56
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.